Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan.
Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan.
“Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hinggap, Wuri takut Ratih menyarankan hal yang tidak sepantasnya kepada Awan.
Wuri bangun dari tidurnya, ia melihat bayangan tubuh lunglainya di depan cermin. Bayangan hitam di bawah matanya mulai terlihat akibat tangisan Wuri semalam. Kehidupan Wuri berjalan begini saja selama ini, Wuri selalu menjadi istri penurut, setia kepada suaminya yang kerap meninggalkannya pergi untuk bekerja.
Drrt.. Terdengar suara ponsel Wuri bergetar.
Wuri buru-buru mengangkat panggilan telepon.
“Hm,” Ucap Wuri malas. Telepon dari Gian, salah satyu dari dua sahabat Wuri. Orang yang dekat dengan Wuri hingga sekarang hanya tersisa Gian, dan Umara. Keduanya sudah menjadi sahabat Wuri sejak sekolah menengah pertama. Tidak ada lagi teman lain selain mereka di tengah kehidupan Wuri, karena Wuri tidak memikirkan berteman. Melihat Gian dan Umara membawa serta anak-anak mereka saat bertemu, sudah membuat Wuri berkecil hati.
“Kenapa lagi Wu, kenapa lemes begitu?” tanya Gian penuh semangat,
“Baru bangun,” jawab Wuri malas.
“Hah? Jam segini?” Gian menyindir.
“He-em..”
“Wu, gue kasih saran deh sama lu, kalau bisa lu jangan kebanyakan makan jajanan pinggir jalan. Lu kan lagi promil..” ucap Gian,
Wuri mengerutkan alis, terlihat bayangannya yang sedang berada di depan cermin westafle di kamar mandi, “maksud lo apaan, Gi?” tanya Wuri bingung.
“Iya, maksud gue, lu kalau bisa, gak usah deh beli makanan pinggir jalan. Lu itu harus makan yang sehat-sehat.” Sambung Gian.
“Siapa yang makan jajanan pinggir jalan, Giii? Gue udah hampir tiga tahun ga makan begituan.” Jawab Wuri sedikit meninggikan suaranya. Gian terdiam, suasana telepon hening, sesekali terdengar tangisan anak kedua Gian yang menandakan Gian masih tersambung dengannya,
“Gi? Halo?” Wuri memanggil Gian yang tiba-tiba diam, berbeda seperti semula yang terus bicara nyaris tanpa jeda, “pingsan?” ejek Wuri.
“Eh, i-itu, berarti gue salah lihat ya. Hahaha..” tawa Gian pecah, namun kali ini tidak seperti biasa, tawa Gian terdengar seperti dipaksakan.
“Apaan sih, Gi? Udah deh ya, gue mau mandi, gue mau jemput Awan ke rumah nyokapnya,”
“Jemput? Awan di rumah mertua lu?” tanya Gian lagi,
“Iya. Semalam Awan ada operasi. Pagi ini baru balik, dia langsung ke rumah Mama.” Jelas Wuri.
“Oh, iya deh. Ya udah, lu mandi dulu deh Wu. Oh ya, sore ini jadi ke rumah Umara?” tanya Gian sebelum menutup sambungan telepon.
“Gue kayaknya ga bisa deh. Awan baru balik, masa gue jalan.” Tolak Wuri.
“Oke.” Jawab Gian mengerti. Wuri menutup sambungan teleponnya. Wuri termenung sebentar di depan cermin. Ada perasaan menolak untuk kembali melangkahkan kaki ke rumah Ratna dan Gunawan setelah perkataan mereka kemarin. Namun Wuri tidak bisa bersikap seperti itu, karena bagaimanapun mertuanya itu sangat wajar bila sudah sangat merindukan kehadiran cucu. Karena Awan adalah harapan mereka satu-satunya. Mungkin sama seperti Khoirul, hanya saja Khoirul mungkin tidak berani mengungkapkannya.
Khoirul sudah memiliki satu cucu, namun ayah dan ibunya nyaris tidak pernah mengajaknya menemui Khoirul. Kalaupun bertemu, sangat sebentar, belum cukup mengobati rasa rindunya.
***
Wuri mendatangi tempat tidur yang di atasnya ada Awan yang sedang tertidur tengkurap, kepala Awan di miringkan. Terlihat Awan sangat lelah. Wuri duduk di bibir tempat tidur itu perlahan. Wuri melihat dari dekat wajah lelaki yang setiap hari ia nantikan di rumah. Awan adalah lelaki lembut yang nyaris tidak pernah membuat Wuri bersedih. Awan dan Wuri tidak pernah ribut besar dalam rumah tangganya. Awan selalu menuruti semua keinginan Wuri, ia juga membebaskan semua gerak Wuri, tidak pernah mengekang apalagi sampai menyurigai istrinya. Begitu juga dengan Wuri, Wuri percaya, Awan adalah lelaki baik yang tidak akan mengecewakannya.
Sebelum masuk ke dalam kamar Awan di rumah mertuanya ini, Wuri bertemu Ratna yang sedang menyusun sarapan bersama asisten rumah tangganya. Wuri mendatangi Ratna, dan menjulurkan tangannya, seperti biasa setiap kali bertemu, Wuri akan mencium tangan mama mertuanya itu.
“Awan tidur. Dia terlihat lelah sekali,” ucap Ratna setelah memberikan punggung tangannya untuk menyambut salam dari Wuri, “coba saja kalau kalian punya momongan, pasti Awan lebih semangat untuk pulang ke rumah. Di rumah juga dia jenuh mungkin.” Sambung Ratna, kali ini ia sambil menuangkan susu ke dalam gelas Gunawan yang duduk dengan rentangan koran di tangannya.
“Mama,” Gunawan terlihat menegur.
Wuri hanya bisa membalasnya dengan senyum getir. Sudah terlalu lelah untuk menanggapi. Siapa yang tidak ingin memiliki keturunan, Wuri dan Awan sudah berusaha, Tuhan belum mengabulkan. Awan mengatakan, ia akan mengajak Wuri kembali melakukan program IVF untuk kedua kalinya, di tempat yang sama namun dengan profesor berbeda. Awan mendapatkan rekomendasi pakar yang bagus dari teman-temannya. Tetapi tetap saja, Wuri masih memiliki trauma melakukan itu
Wuri mengusap kening Wuri perlahan, sentuhan tangan Wuri membangunkan Awan yang tertidur.
“Hm, hei sayang, sudah datang?” tanya Awan dengan mata masih setengah terkatup. Wuri tersenyum ke arah Awan, ia tidak tau lagi apa yang ingin ia utarakan. Mengutarakan kecewa mendalam kepada Ratna, itu bukanlah sesuatu yang benar. Awan masih milik ibunya, Wuri tidak memiliki hak mengadukan hal itu kepada Awan. Bisa-bisa, Wuri yang akan disungkurkan Awan.
“Hm, apa tidak lebih baik, kamu tidur di rumah kita saja, sayang?” tanya Wuri lembut.
“Oh, hm..” Awan bangun, rambutnya yang sudah mulai memanjang terlihat acak-acakan, “tolong, kacamataku.” Pinta Awan seraya menunjuk kaca mata yang terlipat di atas meja. Wuri tertegun sejenak, perlahan ia meraih frame kacamata milik Awan yang terletak di atas sebuah kartu bertuliskan undangan baby shower, sekilas Wuri membaca tulisan di kertas selembar itu, “Jennifer dan Vaz.” Baca Wuri dalam hati.
“Undangan baby shower, Jenn dan Vaz. Anak kedua.” Jelas Awan seakan bisa mendengar ucapan yang enggan untuk Wuri utarakan. Wuri menyerahkan kacamata itu kepada Awan, Awan menerimanya dan langsung memakainya.
“Begitu mudah Jenn hamil.” Ucap Wuri pelan. Tenggorokannya sudah tebal, menahan tangis yang tidak ingin ia tunjukkan. Awan menggeser duduknya, mendekatkan tubuhnya ke Wuri. Awan menarik Wuri masuk ke dalam pelukannya. Sudah sering Awan melakukan ini kepada Wuri. Hanya pelukan yang dapat mendamaikan Wuri. Tidak bisa dipungkiri, perasaan dengki terkadang kerap muncul saat ada seorang teman yang meminta datang dalam kebahagiaannya.
“Nanti kita juga buat yang banyak, ya?” Awan terdengar menghibur. Tujuh tahun terakhir, Awan hanya bisa membesarkan hati Wuri disetiap bulan tamu bulanan Wuri selalu hadir. Awan sangat sabar menghadapi Wuri yang mudah merasa sedih mengenai itu.
Awan mengusap pundak Wuri. Wuri menyembunyikan wajahnya ke dalam pelukan Awan. Kalau saja Wuri bisa mengatakanyang sebenarnya kepada Awan, mengenai kegundahan yang diciptakan Ratna, mungkin perasaan sakit yang begitu besar ini masih bisa ia tahan, tidak sesakit ini.
"Sayang, kamu ganti parfume?"
Awan melepaskan pelukannya setelah mendengar pertanyaan Wuri.
"Maksudmu?" Tanggapan Awan berbeda. Wuri kenal siapa suaminya. Awan mudah alergi dengan wewangian menyengat, dan Wuri sudah hafal dengan pewangi yang selain wangi juga cocok di penghidu Awan.
"Ini juga bukan wangi parfume ku." sambung Wuri. Awan terlihat menelan ludah, Wuri menatap Awan dalam. Awan semakin salah tingkah.
Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu. "Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. "Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari...""Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. "Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. "Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. "Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. "Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk W
Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.***Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut da
Wuri menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, ponsel milik Awan yang tidak pernah ia sentuh. Banyak hal yang ingin ia tau tentang Awan, terlebih akhir-akhir ini ada kejanggalan tak biasa yang Wuri rasakan dari Awan. Biasanya, Wuri merasa tenang mendengar jawaban yang diberikan Awan. Namun, beberapa waktu ini berubah. Wuri tidak lagi meyakini semua jawaban Awan. “Lihat saja, ini.” Awan memperhatikan wajah istrinya yang menatap lama ke arah ponsel miliknya lalu menyuguhkan tepat di hadapan Wuri. Wuri tertegun, seraya menggelengkan kepala, “aku tidak pernah melarangmu untuk melihat isi ponselku, kan?” Awan meyakinkan. Wuri mengangguk, “aku hanya melamun tadi.” Wuri berbohong. Wuri beranjak bangun dan berjalan menjauhi Awan yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan buku di tangannya. “Kamu curiga denganku?” terka Awan, “Kamu kenapa bertanya begitu?” Wuri menghentikan langkahnya, lalu balik bertanya. “Aku rasa, beberapa kali kamu sudah menunjukkan gelagat kecuriga
Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA) Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini
Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah ta
Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya. Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan
Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai. Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri. Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah wakt
Wuri menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, ponsel milik Awan yang tidak pernah ia sentuh. Banyak hal yang ingin ia tau tentang Awan, terlebih akhir-akhir ini ada kejanggalan tak biasa yang Wuri rasakan dari Awan. Biasanya, Wuri merasa tenang mendengar jawaban yang diberikan Awan. Namun, beberapa waktu ini berubah. Wuri tidak lagi meyakini semua jawaban Awan. “Lihat saja, ini.” Awan memperhatikan wajah istrinya yang menatap lama ke arah ponsel miliknya lalu menyuguhkan tepat di hadapan Wuri. Wuri tertegun, seraya menggelengkan kepala, “aku tidak pernah melarangmu untuk melihat isi ponselku, kan?” Awan meyakinkan. Wuri mengangguk, “aku hanya melamun tadi.” Wuri berbohong. Wuri beranjak bangun dan berjalan menjauhi Awan yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan buku di tangannya. “Kamu curiga denganku?” terka Awan, “Kamu kenapa bertanya begitu?” Wuri menghentikan langkahnya, lalu balik bertanya. “Aku rasa, beberapa kali kamu sudah menunjukkan gelagat kecuriga
Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.***Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut da
Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu. "Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. "Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari...""Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. "Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. "Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. "Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. "Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk W
Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan. Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan. “Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hi
Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai. Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri. Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah wakt
Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya. Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan
Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah ta
Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA) Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini