Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai.
Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri.
Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah waktu dimana ia akan dipanggil bila ada operasi darurat yang membutuhkan dirinya untuk bertindak.Delapan tahun sudah mereka lalui, tanpa ada masalah berarti dalam pernikahan. Masalah justru mucil ketika Mamak, begitu panggilan Wuri terhadap Ratih, ibu dari Awan, memintanya untuk segera mengusahakannya untuk memiliki cucu. Awan adalah anak bungsu di keluarga mereka. Anak sulung Ratih meninggal dunia karena leukemia saat masih kecil. Itulah kenapa Awan dijadikan harapan Ratih dan suaminya, Gunawan, untuk menimang cucu dari Awan.
“Kamu kenapa?” tanya lelaki berkepala pelontos dan berkulit pucat itu. Lelaki itu duduk di kursi roda dengan tatapan kosong. Khoirul sudah tidak bisa melihat, sejak setahun lalu karena tumornya sudah menggerogoti syaraf penglihatannya.
“Tidak apa-apa. Ayah sudah makan?” tanya Wuri mengalihkan pembicaraan. Wuri menggantungkan tasnya, lalu berlalu ke belakang untuk meraih botol minum dari kulkas. Wuri menuangkan air bening dingin itu masuk ke dalam gelas. Wuri meneguk habis isi gelas itu.
“Duduklah, Nak.” Pinta Khoirul lembut. Khoirul sudah cukup mengenal anak bungsunya itu. Walaupun sekuat apapun Wuri menyembunyikan kegelisahannya, tapi Khoirul sadar bahwa Wuri sedang tidak baik-baik saja.
Wuri menuruti ayahnya, ia duduk di sofa di samping kursi roda Khoirul. Khoirul membuka telapak tangannya. Wuri mengisinya dengan telapak tangannya. Khoirul menggenggam erat tangan Wuri, Wuri menundukkan kepala, lalu menangis tanpa suara. Wuri menyumpal mulutnya dengan tissue agar ia bisa menyembunyikan tangisnya yang sudah ia pendam sejak diperjalanan dari rumah Ratih dan Gunawan tadi.
“Ayah tau, Wuri sedang menangis. Tidak apa-apa, Nak. Menangislah. Sini, di pelukan Ayah..” ucap Khoirul lembut. Wuri bangkit dari duduknya, lalu memeluk Khorul. Sudah sangat lama. Terakhir kali Wuri menangis di pundak Khoirul, delapan tahun lalu, sesaat setelah Awan berhasil melewati ijab kobulnya. Wuri menangis sejadinya di pundak Khoirul. Ia yakin, setelah ini, dirinya pasti akan menyesal karena membuat Khoirul tau bahwa ia sedang bersedih. Khoirul menepuk pundak putrinya beberapa kali. Setelah selesai menangis, Wuri duduk bersimpuh di lantai, sambil kepalanya bersandar ke kedua lutut Khoirul yang tertekuk di atas kursi roda. Khoirul mengusap rambut Wuri perlahan, usaha dirinya untuk menenangkan Wuri hanya sebatas itu. Ia tidak bisa mengusahakan lebih dari itu.
“Wuri bukan Tuhan, Yah.” Ucap Wuri bergetar, “kata dokter, kami berdua bisa memiliki anak. Hanya saja, ketentuan memang bukan ada pada kami.” Ucap Wuri lagi. Khoirul sudah bisa menerka, tidak ada masalah Wuri dan Awan selain keturunan. Keduanya sudah sangat dewasa dalam menghadapi masalah pernikahan. Hanya, desakan orang sekitar yang kerap membuat Wuri terpuruk.
“Apa yang harus Wuri perbuat, Yah? Apa Wuri harus menyerah?” Wuri bertanya lagi, sesekali ia mengangkat tangan untuk menyeka tetesan air mata yang menetes di pipi. Hati Wuri hancur. Tiga hari sekali, seperti biasa, Wuri datang berkunjung ke rumah mertuanya. Di sana, biasanya Wuri di sambut dengan kehangatan. Namun nyaris dua tahun, Wuri mendapatkan sikap berbeda. Ia merasa di acuhkan. Awalnya Wuri merasa kalau kesibukan Awan, lalu ia jarang menemui kedua orangtuanya yang membuat Ratih dan Gunawan sensitif terhadap Wuri. Namun ternyata bukan itu. Mereka kini lebih tegas masalah cucu.
“Wuri. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha. Berdoa, itu juga termasuk usaha. Allah sudah mengatur semua urusan dan rezeki manusia di dunia. Tidak ada yang tau, tidak ada yang bisa memperkirakan semua kehendak-Nya.” Khoirul berkata lembut. Ratih dan Gunawan pernah mendesak Awan dan Gunawan untuk melaksanakan program bayi tabung atau IVF. Wuri dan Awan sudah lakukan. Tapi, usaha itupun belum kunjung berhasil.
“Sudah Mama bilang, kan? Mama dan Papa menyarankan kalian IVF di Singapore. Anak teman Mama ada yang berhasil di sana. Tapi, masih aja kamu ngeyel Wuri untuk tetap di sini! Apa sih yang kamu pertimbangkan selain punya anak?”
Perkataan sinis Ratih selalu terngiang di benak Wuri. Pada saat itu, memang Ratih dan Gunawan mendesak agar Wuri program di luar negeri. Namun Wuri menolak karena Wuri memikirkan ayahnya yang tidak bisa terlalu lama ia tinggalkan. Selain itu Awan mengatakan bahwa IVF di Indonesia ada yang lebih baik dibandingkan luar negeri. Kini, setelah gagal, Ratih dan Gunawan menyalahkan Wuri. Hanya Wuri.
“Nak, kalau bisa Ayah memohon permohonan yang bisa langsung dikabulkan oleh Allah. Allah mungkin akan lebih mendesak Dia untuk mengabulkan. Ayah ingin lekas pergi.. Toh, hidup Ayah tidak ada gunanya lagi di dunia ini. Tapi, Allah belum mengambil Ayah. Hikmahnya, Allah masih memberikan kesempatan kepada Ayah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.” Ucap Khoirul, “kamu juga harus seperti itu. Kamu, harus mengerti, bahwa setiap takdir yang digariskan oleh Allah itu ada hikmahnya.” Sambung lelaki tua itu.
“Ayah jangan bicara seperti itu. Wuri ingin selamanya dengan Wuri.” Wuri meraih tangan Khoirul dan mencium telapak tangan lelaki itu beberapa kali.
Harapan Wuri tinggal Awan. Wuri selalu berdoa agar Awan tidak bosan untuk selalu sabar menanti buah hati mereka, dan tidak tertekan oleh hasutan Ratih dan Gunawan.
“Sekarang tidurlah. Lalu hubungi Awan. Sedari pagi Awan belum pulang,” pinta Khoirul.
“Baik, Yah.” Wuri menghapus air matanya yang membasahi pipi. Lalu ia beranjak bangun, dan berjalan menjauhi Khoirul. Wuri nyaris melupakan Awan yang memang dari semalam mengatakan bahwa hari ini ia akan sangat sibuk karena ia akan membatu bakti sosial operasi bibir sumbing di rumah sakitnya. Bila seperti itu, Awan akan berangkat pagi dan pulang sangat larut.
Di tinggal dinas mendadak adalah risiko istri seorang dokter, terlebih dokter anastesi seperti Awan. Sejak awal menikah, Awan sudah sering melakukan hal seperti ini. Namun, tiga bulan terakhir, jadwa Awan sepertinya sangat padat, sampai beberapa kali, Awan harus menginap atau pergi ke luar kota untuk menjadi pembicara di beberapa seminar ilmiah. Bagi Wuri, selama Awan mendedikasikan dirinya untuk orang lain, Wuri tidak pernah mempermasalahkan itu.
Wuri menempelkan teleponnya di telinga setelah menekan layar datar di ponselnya. Terdengar suara nada sambung beberapa kali, agak lama, sebelum akhirnya terdengar suara lemas Awan.
“Awan, ini sudah jam delapan malam. Kamu masih ada operasi?” tanya Wuri.
“Hah, iya. Aku masih ada beberapa kali operasi lagi. Kamu tidur duluan saja. Kalau aku lelah, mungkin aku akan bermalam di kamar jaga, dan pulang besok pagi.” Jawab Awan.
“Baiklah. Jangan terlalu lelah sayang,” Wuri berkata lembut.
“Baiklah. Kamu juga ya. See you honey.” Tutup Awan.
“Love you..” Wuri berkata, namun belum ia mendengar jawaban, telepon Awan sudah terputus. Wuri meletakkan gawainya ke sakul. Ia berjalan lunglai masuk ke dalam kamarnya. Kehidupan pernikahan seperti ini sudah ia jalani selama delapan tahun. Memiliki suami baik, lembut, dan bisa menerima segala kekurangan istri, ternyata tidak luput dari cobaan rumah tangga. Wuri dan Awan bisa saling menerima, namun tidak dengan mama dan papa Awan. Wuri membuka pintu kamar, berjalan ke atas tempat tidur, dan merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Kedua tangan Wuri renggangkan. Ia menatap lurus ke langit-langit kamar ia dan Awan.
Hal seperti ini sering I lakukan bila ditinggal Awan dinas malam. Seandainya Wuri memiliki anak, mungkin Awan tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama di rumah sakit.
“Ya Allah. Kabulkanlah doa kami.” Bisik Wuri pelan. Setetes air mata jatuh di ekor matanya. Doa itu yang selalu ia panjatkan tiap malam, tidak pernah bosan ia panjatkan.
Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan. Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan. “Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hi
Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu. "Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. "Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari...""Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. "Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. "Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. "Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. "Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk W
Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.***Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut da
Wuri menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, ponsel milik Awan yang tidak pernah ia sentuh. Banyak hal yang ingin ia tau tentang Awan, terlebih akhir-akhir ini ada kejanggalan tak biasa yang Wuri rasakan dari Awan. Biasanya, Wuri merasa tenang mendengar jawaban yang diberikan Awan. Namun, beberapa waktu ini berubah. Wuri tidak lagi meyakini semua jawaban Awan. “Lihat saja, ini.” Awan memperhatikan wajah istrinya yang menatap lama ke arah ponsel miliknya lalu menyuguhkan tepat di hadapan Wuri. Wuri tertegun, seraya menggelengkan kepala, “aku tidak pernah melarangmu untuk melihat isi ponselku, kan?” Awan meyakinkan. Wuri mengangguk, “aku hanya melamun tadi.” Wuri berbohong. Wuri beranjak bangun dan berjalan menjauhi Awan yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan buku di tangannya. “Kamu curiga denganku?” terka Awan, “Kamu kenapa bertanya begitu?” Wuri menghentikan langkahnya, lalu balik bertanya. “Aku rasa, beberapa kali kamu sudah menunjukkan gelagat kecuriga
Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA) Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini
Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah ta
Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya. Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan
Wuri menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, ponsel milik Awan yang tidak pernah ia sentuh. Banyak hal yang ingin ia tau tentang Awan, terlebih akhir-akhir ini ada kejanggalan tak biasa yang Wuri rasakan dari Awan. Biasanya, Wuri merasa tenang mendengar jawaban yang diberikan Awan. Namun, beberapa waktu ini berubah. Wuri tidak lagi meyakini semua jawaban Awan. “Lihat saja, ini.” Awan memperhatikan wajah istrinya yang menatap lama ke arah ponsel miliknya lalu menyuguhkan tepat di hadapan Wuri. Wuri tertegun, seraya menggelengkan kepala, “aku tidak pernah melarangmu untuk melihat isi ponselku, kan?” Awan meyakinkan. Wuri mengangguk, “aku hanya melamun tadi.” Wuri berbohong. Wuri beranjak bangun dan berjalan menjauhi Awan yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan buku di tangannya. “Kamu curiga denganku?” terka Awan, “Kamu kenapa bertanya begitu?” Wuri menghentikan langkahnya, lalu balik bertanya. “Aku rasa, beberapa kali kamu sudah menunjukkan gelagat kecuriga
Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.***Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut da
Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu. "Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. "Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari...""Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. "Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. "Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. "Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. "Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk W
Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan. Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan. “Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hi
Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai. Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri. Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah wakt
Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya. Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan
Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah ta
Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA) Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini