Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA)
Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini Zia juga akan bisa memberikannya keturunan. Walaupun Wuri tau, alasan Awan ingin menikahi Zia juga karena rasa cinta yang sudah gagal ia bendung. Rasa cinta yang akhirnya membuat Awan menyerah untuk bertahan, dan ia putuskan untuk dibagi.
Awan adalah lelaki berani, ia berani menjamin bahwa semua janji dan komitmen yang dirinya dan ayah Wuri buat akan Awan jalani dengan baik. Awan bekerja di salah satu rumah sakit swasta, ia adalah dokter spesialis anastesi. Saat itu, Awan masih berstatus sebagai mahasiswa program sekolah spesialis. Wuri dan Awan bertemu, saat Wuri nyaris tiap dua binggu sekali datang ke salah satu rumah sakit rujukan di daerahnya untuk berkonsultasi masalah tumor otak yang baru terdeteksi setelah pemeriksaan CT scan di lakukan pada Khoirul, ayah dari Wuri. Wuri seorang pegawai salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang advertising. Wuri sudah beberapa kali pindah perushaan, karena ia merasa tidak pernah cocok bekerja di perushaan-perusahaan yang berjalan lurus tanpa menerima masukan untuk berubah. Perushaan terakhir ini, bersedia melakukan itu. Saat itu Wuri untuk pertama kalinya pergi ke rumah sakit di sela jam kantornya. Asuransi kesehatan membuat Wuri harus melakukan beberapa lapis registrasi di tempat yang berbeda. Wuri saat itu bertanya kepada seorang lelaki berbalut jas putih yang menjulur sampai ke lutut. Penampilan lelaki yang di dada bagian kanan jasnya itu bertuliskan ‘Departemen Anastesi’ itu biasa, bahkan cenderung kusam. Masker yang digunakan, hanya terikat dua buah tali bagian atas, sedangkan kedua tali bagian bawah dibiarkan menjulur. Di dalam jas, lelaki itu menggunakan baju dan celana berwarna hijau. Senada, atas dan bawah. Sementara di kepalanya masih tertempel topi ruang operasi.
“Maaf, Mas. Bagian administrasi untuk asuransi Jiwa Hati, dimana ya?” tanya Wuri saat itu. Awan menjawab dengan sangat jelas tanpa menurunkan maskernya.
“Oh, iya. Baik, terimakasih,” Wuri mengangguk mengerti. Wuri melipat kertas bawaannya, dan menggulungnya masuk ke dalam tas. Wuri lalu menarik kursi roda yang di atasnya duduk lelaki yang sangat ia cintai itu. Wuri memutuskan membawa ayahnya ke rumah sakit setelah beberapa kali ia mendapati ayahnya meringis menahan sakit sambil memegangi kepalanya. Walaupun ayah Wuri enggan jujur, namun Wuri bisa membedakan bahwa ada sesuatu yang aneh pada diri ayahnya. Wuri mendorong kursi roda menuju arahan Awan, koridor rumah sakit dipenuhi dengan bannyak pasien. Wuri beruntung, ayahnya ter-cover oleh asuransi di tempatnya bekerja. Wuri tidak ingin kehilangan orang tercintanya untuk kedua kali. Seperti ia kehilangan ibunya dulu. Saat itu Wuri belum bekerja, masih duduk di bangku kuliah. Ayahnya baru saja kehilangan pekerjaan, karena pembatasan karyawan. Sementara, mengurus surat menyurat tanda tidak mampu sulit untuk ayah yang memiliki banyak peninggalan tanah. Ayah tidak dikatakan orang tidak mampu. Saat itu ayah berusaha menjual beberapa tanah peninggalan untuk mengobati ibu, tapi belum tanah itu laku terjual, ibu sudah tidak tahan dan meninggal dunia dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Ibu Wuri memiliki riwayat sakit gula darah tinggi yang sudah membuat ginjalnya rusak.
“Maaf, Mbak.” Terdengar suara seorang lelaki. Wuri tidak menggubris, ia masih mencari kertas yang semula ia gulung dan selipkan di dalam tasnya itu, “ini Mbak..” Wuri mengangkat kepalanya, ia melihat beberapa kertas tersuguh ke arahnya.
“Ini. Tadi Mbak jatuhkan di ruang tunggu. Milik Pak Khoirul Adnan.”Awan ternyata menghampiri Wuri yang tidak sengaja menjatuhkan berkas asuransi milik ayahnya yang harus ia suguhkan ke bagian administrasi.
“Wah, alhamdulillah. Terimakasih banyak, Mas.Wuri melebarkan senyumnya.
Lelaki yang sudah menurunkan maskernya itu tersenyum. Senyum yang sangat manis. Kulitnya yang sawo matang, berpadu sempurna dengan hidun mancung, bola mata berwarna coklat dan alis mata yang terukir sempurna.
“Panggil saja Awan. Aku di departemen anastesi.”
Wuri mengangguk, ia tidak terlalu mengerti bagian dibidang kedokteran, “bagian bius.” Awan menjelaskan sambil berjalan di samping Wuri yang masih mendorong ayahnya. Wuri mengangguk mengerti.
“Pantas saja, itu, masih terpasang.” Wuri menunjuk ke atas kepala Awan. Tangan Awan menyentuh bagian kepalanya, terkejut.
“Oh, i-iya. Aku lupa melepaskannya.” Jawab Awan kikuk. Wuri mengulum senyum melihat tingkah Awan yang langsung melepas, menggulung lalu memasukkan topi sekali pakainya itu ke dalam kantung jas putihnya, “itu ruangannya. Kebetulan, aku harus ke bangsal bedah. Ada beberapa pasien untuk aku kontrol pagi ini.” Pamit Awan. Wuri mengangguk,
“Oh ya, aku Awan. Aku memakai operator yang banyak digunakan orang, dengan kode wilayah Jakarta Pusat. Hm, 123123 itu enam nomor di belakang. Hubungi aku.” Awan tersenyum seraya menjauh. Wuri memutar bola matanya. Awan melambaikan tangannya sambil tertawa menunjukkan geliginya yang rapih. Wuri memicingkan senyum, tidak sadar Wuri membalas lambaian tangan Awan. Awan berlalu, tubuhnya menghilang di balik pintu kaca, di atas pintu itu bertuliskan, Ruang Melati, di bawah tulisan besar berwarna hitam itu ada tulisan lebih keciul, Ruang Rawat Bedah.
“Sepertinya nomor ponsel dokter itu, sama seperti nomor ponsel awal Ayah. Berusahalah, Nak. Dia sepertinya lelaki yang baik.” Ayah Wuri menimpali. Wuri tersadar bahwa ada lelaki yang mendengar percakapannya dengan Awan tadi.
“Apaan sih, Yah!” Wuri menampik, namun dalam hati hatinya memekik. Awan memang bukan tipenya. Wuri tidak terlalu menyukai lelaki agresif seperti Awan. Wuri trauma. Abid, mantan kekasihnya dulu memiliki karakter sangat ramah, baik dan sangat perduli. Namun pada akhirnya, Abid melakukan itu kepada semua wanita yang ia temui. Awan nampak seperti Abid.
Walaupun begitu, Wuri masih menyimpan kalimat terakhir Awan. Clue nomor ponsel yang Awan berikan. Wuri menggigit bibir bawahnya. Sudah cukup lama ia sendiri, menolak atau sekedar menghindar dari beberapa kali brasa cinta yang lelaki suguhkan. Cara Awan dan dirinya bertemu kali ini berbeda, Wuri berharap Awan tidak sama dengan Abid. Lelaki yang pernah sangat ia cintai, namun ternyata berkhianat satu minggu sebelum acara tunangan mereka berlangsung. Semua rencana indah gagal. Hati Wuri membeku sejak itu. Wuri kembali merasakan kehangatan ketika melihat Awan tersenyum sambil melambaikan tangan tadi. Entah mengapa Wuri seperti anak SMA yang naksir dengan remaja sebayanya. Sudah sangat lama Wuri tidak merasakan hal seperti ini.
"Ayah senang kamu bertemu dokter ini," ucap Khoirul perlahan. Wuri masih terus mendorong kursi roda sambil melihat ruangan administrasi, "kamu akan semangat membawa Ayah kontrol." Khoirul mengucapkan alasannya.
Wuri tersenyum, tidak menanggapi ucapan Khoirul yang menggoda anak bungsunya itu. Wuri menghentikan dorongan kursi roda milik ayahnya. Wuri mengunci kedua roda kursi roda itu agar tidak bergerak. Wuri duduk seraya menggenggam tangan Khoirul yang lemah.
"Ada atau tidak ada dokter itu, Wuri akan selalu menemani Ayah. Wuri berjanji." Ucap Wuri mengusap pundak Khoirul. Khoirul mengusap punggung tangan putrinya lembut,
"Terimakasih, Nak." ucap Khoirul dengan suara berat.
Wuri tersenyum seraya mengangguk. Wuri sudah berjanji pada dirinya sendiri dan mendiang ibunya, bahwa Wuri akan merawat ayahnya sepenuh hati.
Wuri tersenyum
Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah ta
Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya. Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan
Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai. Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri. Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah wakt
Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan. Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan. “Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hi
Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu. "Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. "Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari...""Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. "Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. "Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. "Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. "Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk W
Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.***Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut da
Wuri menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, ponsel milik Awan yang tidak pernah ia sentuh. Banyak hal yang ingin ia tau tentang Awan, terlebih akhir-akhir ini ada kejanggalan tak biasa yang Wuri rasakan dari Awan. Biasanya, Wuri merasa tenang mendengar jawaban yang diberikan Awan. Namun, beberapa waktu ini berubah. Wuri tidak lagi meyakini semua jawaban Awan. “Lihat saja, ini.” Awan memperhatikan wajah istrinya yang menatap lama ke arah ponsel miliknya lalu menyuguhkan tepat di hadapan Wuri. Wuri tertegun, seraya menggelengkan kepala, “aku tidak pernah melarangmu untuk melihat isi ponselku, kan?” Awan meyakinkan. Wuri mengangguk, “aku hanya melamun tadi.” Wuri berbohong. Wuri beranjak bangun dan berjalan menjauhi Awan yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan buku di tangannya. “Kamu curiga denganku?” terka Awan, “Kamu kenapa bertanya begitu?” Wuri menghentikan langkahnya, lalu balik bertanya. “Aku rasa, beberapa kali kamu sudah menunjukkan gelagat kecuriga
Wuri menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, ponsel milik Awan yang tidak pernah ia sentuh. Banyak hal yang ingin ia tau tentang Awan, terlebih akhir-akhir ini ada kejanggalan tak biasa yang Wuri rasakan dari Awan. Biasanya, Wuri merasa tenang mendengar jawaban yang diberikan Awan. Namun, beberapa waktu ini berubah. Wuri tidak lagi meyakini semua jawaban Awan. “Lihat saja, ini.” Awan memperhatikan wajah istrinya yang menatap lama ke arah ponsel miliknya lalu menyuguhkan tepat di hadapan Wuri. Wuri tertegun, seraya menggelengkan kepala, “aku tidak pernah melarangmu untuk melihat isi ponselku, kan?” Awan meyakinkan. Wuri mengangguk, “aku hanya melamun tadi.” Wuri berbohong. Wuri beranjak bangun dan berjalan menjauhi Awan yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur dengan buku di tangannya. “Kamu curiga denganku?” terka Awan, “Kamu kenapa bertanya begitu?” Wuri menghentikan langkahnya, lalu balik bertanya. “Aku rasa, beberapa kali kamu sudah menunjukkan gelagat kecuriga
Zia menatap lelaki berkemeja tosca itu memasuki mobil cepat. Tangan kanan Zia menggenggam tas belanjaan berisi beberapa keperluan anak mereka. Semua harus Zia terima, karena Zia sudah memilih jalan kelam ini. Membohongi hati seorang wanita yang ia kenal, tidak mudah. Zia dan Wuri sudah kenal cukup baik, Wuri pernah mengajak Zia beserta anaknya jalan bersama ke sebuah taman rekreasi. Wuri terlihat bahagia, karena anak lelaki Zia dapat mengambil hati Wuri.***Dua bulan lalu, saat dimana Awan berhasil mengajukan cuti dan mendapatkan kesempatan untuk membawa serta Zia dalam perjalanan liburan mereka. Wuri mengenal Zia sebagai single mom, dan sebagai asisten Awan di ruang operasi.Awan melirik ke spion tengah, menatap Zia yang juga menangkap tatapan Awan. Sudah gila memang. Awan berhasil membujuk Wuri untuk ikut serta berlibur ke villa Awan di daerah puncak. Awan mengulum senyum, dalam hatinya bahagia karena kini ia bersama dua wanita yang sama-sama ia cintai. Wuri wanita baik, lembut da
Dahaga tidak bisa terobati hanya dengan setetes embun. Satu jam setelah Wuri menanyakan wangi pada baju Awan. Jawaban Awan tidak membuat Wuri puas, Awan mengatakan mungkin saja parfum laundry yang Wuri gunakan. Namun tidak begitu yang sering penghidu Wuri tangkap. Laundry rumah sakit tidak ada yang semewah itu. "Sayang, masih memikirkan wangi?" Tanya Awan yang duduk di samping Wuri. Wuri menggeleng dengan wajah datar. Awan menghirup nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. "Aku hampir enam jam di ruang OK*, kemejaku tergantung di ruangan. Wangi yang kamu hirup, bisa saja dari parfum ruangan yang tersemprot lima menit sekali, atau dari...""Iya, aku tidak masalah dengan itu." Wuri memotong penjelasan Awan dan tersenyum seraya mengusap pipi suaminya. "Kamu belum mau pulang?" Tanya Wuri. "Mau. Ada apa? Kamu mau pergi dengan Gian dan Umara?" Awan balik bertanya. "Kamu gak kangen aku?" Wuri menatap Awan sinis. "Hahaha.." tawa Awan pecah mendengar pertanyaan Wuri. Awan memeluk W
Yang dapat menghapus mendung, hanya hujan. Wuri duduk terbangun. Ia mengusap dadanya perlahan. Baru saja ia terbangun karena mimpi buruk yang terasa sangat nyata. Wuri melihat Awan sedang mencumbu wanita lain di hadapannya. Awan terlihat begitu bahagia dengan wanita itu di dalam mimpinya. Wuri mengusap sisa air mata yang jatuh tanpa ia sadari, lalu menarik ponsel yang tergeletak di samping tempatnya terlelap. Ia bhangun kesiangan hari ini, jam di ponsel sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Wuri melihat tempat tidur di sampingnya, belum ia dapati Awan. Awan belum pulang. Wuri membuka sebuah pesan di ponselnya, terlihat dari Awan. “Setelah apel dan rapat direksi, aku pulang. Aku rencananya akan mampir ke rumah Mama. Kamu jemput di rumah Mama ya, karena mobilku di bengkel, ada masalah di karburatornya.” Benar dugaan Wuri, Awan belum pulang sampai pagi ini. Melihat pesan Awan yang mengajak Wuri untuk kembali mengunjungi Ratih, Wuri teringat dengan perkataan Ratih. Ada perasaan takut yang hi
Menikah adalah bersiap menghadapi rintik sampai hujan badai. Wuri tersenyum melihat Awan dengan tingkah kikuknya. Ia tau, Awan teringat dengan malam pertama yang baru saja mereka lakukan. Malam yang indah dan penuh kejutan. Awan mendadak bertingkah seperti anak kecil yang harus dibimbing. Wuri teringat pesan Khoirul yang membisikkan sesuatu, bahwa pernikahan adalah pintu, dimana kamu akan dihadapi dengan beribu pristiwa, pristiwa yang disebabkan karenamu, karena suamimu, karena keluargamu, atau karena yang lain. Khoirul berpesan bahwa semuanya adalah pilihan Yang Kuasa untuk mematangkan langkah kita sebagai sepasang suami istri. Waktu berjalan begitu saja. Awan matang sebagai dokter spesialis anastesi yang menjadi andalan beberapa rumah sakit. Pekerjaannya sebagai dokter ahli bius menuntut Awan selalu pulang bekerja dan berangkat dengan waktu tidak menentu. Pagi sampai siang, adalah waktu wajib Awan bekerja. Sedangkan waktu lain adalah wakt
Dia adalah pensil, sedangkan hatiku adalah kanvasnya. Kehidupan Wuri bagai dua mata pisau. Satu sisi ia harus berjalan bersama Khoirul dalam menghadapi tumor ganas yang dengan cepat menggerogoti kepalanya. Satu sisi Wuri menemukan kebahagiaan pada tiap hari yang ia lalui, karena Awan selalu berhasil menghiasi setiap harinya. Wuri mungkin terlihat seperti kembali ke delamapan tahun lalu, saat ia berusia tujuh belas taun. Ketika itu, Wuri untuk pertama kalinya jatuh cinta, Wuri dibuat sulit tidur karenanya. Wuri kembali mengalami hal yang sama ketika bersama Awan. Setiap saat, Awan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Wuri. Di sela pekerjaannya di ruang operasi, saat jam istirahat, sampai diwajtu jeda ia menghadapi konsulen, saat ujian.“Aku sudah menelepon Ibuku, meminta doa. Agar ujianku lancar.” Bisik Awan,“Hm, lalu..?” tanya Wuri, belum apa-apa, di ujung telepon Wurin sudah menyunggingkan
Jangan abaikan pertemuan. Dari pertemuan, mengajarkan cara menilai, cara berprasangka hingga cara mencinta. (Wuri-MA)“Kamu siapa?” Pertanyaan Khoirul kepada putri bungsunya itu membuat seluruh badan Wuri membeku.Pada awalnya ayah hanya mengeluh kalau perilakunya sering tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Beberapa waktu lalu, ketika Khoirul ingin mengambil air minum di atas meja, ia berniat menggapai cangkir di hadapannya, namun tangannya sangat sulit bergerak mengikuti apa yang ia inginkan.Wuri mengira, itu hanya bentuk manja ayahnya yang biasa diperlakukan manja oleh ibu saat ia masih hidup. Sepeninggalan Lista, ibu Wuri, Wuri tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada Khoirul. Setengah waktu Wuri ia habiskan di kantor, terlebih karirnya sedang meroket akhir-akhir ini. Banyak client yang menyukai konsep yang selalu ia presentasikan, itu membuat Wuri hanya bisa menitipkan ayah kepada Bik Imah, asisten rumah ta
Kamu tahu, senja itu juga punya mendung, bahkan ia memiliki hujan. Jangan kamu berpaling hanya karena keduanya hadir. Senja akan kembali indah, setelah itu (Wuri-MA) Foto-foto meriahnya pesta, wajah tegang Awan dan Wuri berhadapan dengan ayah Wuri yang saat itu masih sehat dan masih bisa menggenggam tangan Awan gagah. Kejadian indah lima belas tahun lalu itu masih indah terekam di benak Wuri. Semua foto itu ia tarik dari semua media sosialnya, karena Wuri tidak mau semua teman-temannya masih menyangka rumah tangga mereka masih seperti dulu. Harmonis, saling mengisi dan menerima. Tapi, pada kenyataannya, Awan telah melakukan hal yang membuat Wuri tidak bisa berbuat apapun. Awan meminta izin untuk berpoligami, dengan alasan, ia ingin mendapatkan keturunan setelah delapan tahun mereka berharap bersama. Awan meminta izin bersama Zia, wanita berhijab itu sudah memiliki seorang anak lelaki, dan Awan meyakini