"Aldo jadi pulang kan hari ini? Jam berapa pesawatnya landing?"
Mendengar hal tersebut, seorang wanita dengan perut buncit karena tengah mengandung menghentikan langkahnya. Tanpa suara, Amanda mendekatkan dirinya ke celah pintu kamar mertuanya, tidak jadi ke pintu depan.
“Bang Aldo pulang hari ini?” batinnya bertanya-tanya.
Amanda memasang telinga, memastikan bahwa memang ia mendengar nama itu disebut,nama yang tidak lain dan tidak bukan adalah suaminya. Dan mama mertuanya tadi mengatakan bahwa suaminya akan pulang sebentar lagi?
Tentu Amanda bertanya-tanya. Bukan apa-apa, semenjak pergi 5 bulan yang lalu dalam sebuah misi perdamaian, ia sama sekali tidak mendapatkan kabar apa-apa tentang Aldo. Termasuk kabar kepulangan suaminya jika apa yang dia dengar barusan adalah benar.
'Tapi bukankah dia di sana dua tahun? Kenapa mendadak pulang?' batin Amanda.
"Iya aku ngerti, Mas. Aku nggak bilang sama Amanda soal ini." suara itu kembali terdengar, membuat Amanda untuk kesekian kalinya terkejut bukan main.
Kenapa harus dirahasiakan dari dia? Amanda ini istri sah Aldo! Kenapa dia tidak boleh tahu mengenai kabar kepulangan sang suami?
Amanda mendekat ke arah pintu, hendak lebih lama mencuri dengar Redita, ibu tiri Aldo sekaligus mertuanya, yang tampak tengah menelepon sang suami.
"Nanti biar aku yang jemput Aldo balik, Mas. Kamu jangan khawatir. Nanti aku kabari lagi."
Dengan mata terpejam, Amanda menghirup udara dalam-dalam. Ia masih menyimak dan tentu saja menunggu obrolan itu terhenti. Ia hendak mengkonfirmasi berita yang baru saja dia dengar.
"Iya Sayang. Kamu semangat kerjanya, ya! Jangan pikirkan apapun. Aku kabari terus nanti."
Sunyi.
Tidak lagi terdengar obrolan di dalam kamar, membuat Amanda kemudian memberanikan diri mengetuk pintu kamar mertuanya.
Tok ... Tok ... Tok
Jantung Amanda berdegup kencang, dalam hati dia sangat cemas dan tentu saja penasaran. Apakah yang dia dengarkan itu benar? Dan kenapa mertuanya harus merahasiakan kepulangan sang suami?
"Loh, Nda? A-ada apa, Nda?"
Wajah ayu milik sang mertua tampak terkejut dengan mata membulat dan paras sedikit pucat ketika melihat Amanda. Ekspresi tersebut membuat Amanda tersenyum kecut dengan hati berdesir cemas. Ada apa ini?
"Manda boleh masuk, Ma? Manda pengen ngomong sesuatu."
Redita kembali tampak terkejut luar biasa. Sorot matanya menyimpan sejuta misteri, membuat Amanda makin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Ah i-iya. Silakan masuk, Sayang!"
Seulas senyum tersungging di wajah Amanda. Ia bergegas masuk ke dalam, diikuti Redita yang menyusul setelah menutup pintu kamar.
"Manda pengen ngomong apa?" tanya suara itu lembut, namun Amanda mampu mendengar getar khawatir di balik suara lembut itu.
Amanda menjatuhkan diri ke atas ranjang, mengelus perutnya yang membukit dengan begitu lembut. Redita pun ikut menjatuhkan diri di sebelah Amanda, ikut mengelus perut itu dengan sama lembutnya.
"Sebelumnya, Manda pengen minta maaf sama Mama." Amanda menjeda kalimatnya, ia menghela napas panjang. "Apa benar bang Aldo hari ini pulang, Ma?"
Sama seperti saat Redita muncul membukakan pintu untuk dirinya, ekspresi wajah Amanda tampak sangat terkejut. Kali ini bukan hanya raut terkejut yang tergambar di sana, tetapi juga ekspresi takut, gelisah, dan khawatir yang membaur menjadi satu.
"Kamu tau dari mana, Nda?" Bukannya langsung menjawab, Redita malah melontarkan kalimat tanya yang makin meremas-remas hatinya dengan begitu luar biasa.
Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Manda minta maaf, Ma ... Manda nggak sengaja denger tadi pas Mama telpon sama Papa." jawab Amanda jujur dengan tangan mengelus lembut perut membukitnya.
"Ah ... i-tu ... itu ...."
"Kenapa Mama sama Papa merahasiakan semua ini dari Manda, Ma? Benarkan Bang Aldo pulang hari ini?" Kembali Amanda mendesak, kenapa kepulangan suaminya perlu dirahasiakan sampai seperti ini?
Aldo pergi hanya berselang beberapa minggu setelah mereka menikah! Bukan salah Amanda kalau kemudian dia begitu antusias dan berharap Aldo benar-benar pulang hari ini?
Redita menghela napas panjang, memejamkan mata lalu mengangguk perlahan.
"Jadi benar, Ma?" tanya Amanda memastikan, matanya membulat dengan sorot bahagia. "Tapi kenapa mama sama papa nggak ngasih tau Amanda soal ini?"
"Ya sebenarnya kami pengen kasih kamu kejutan, Nda." kilah Redita dengan senyum getir.
Amanda mengela napas panjang, "Ma ... yang harusnya dikasih kejutan itu harusnya bang Aldo dong. Jam berapa dia landing? Amanda harus ikut! Dia harus lihat ini!"
Redita menatap ke arah jari Amanda menunjuk, apalagi kalau bukan perutnya yang membuncit?
"Amanda siap-siap dulu, Ma ... tunggu, ya!"
Amanda segera bangkit, melangkah keluar dari kamar Redita dengan wajah berbinar cerah. Langkahnya begitu ringan dan bahagia.
“Kira-kira, bagaimana tanggapan Abang nanti pas lihat perutku?”
***
“Mana ya Bang Aldo ....”
Seperti biasa, suasana bandara nampak hiruk-pikuk. Amanda sudah mengganti bajunya dengan dress kuning dengan corak bunga putih. Wajahnya dia rias sederhana. Begitu segar dengan lipcream nude pink favoritnya.
Di tangan Amanda sudah bertengger buket bunga dengan foto USG yang ditempel di salah satu tangkai bunga. Sebuah hadiah penyambutan yang pastinya akan mengejutkan Aldo dengan begitu luar biasa. Senyum Amanda mengembang, kira-kira apa bagaimana reaksi Aldo nanti? Melompat girang? Atau berteriak saking gembiranya? Amanda sama sekali tidak bisa membayangkan!
Ia begitu bahagia, meskipun hatinya masih bertanya-tanya, kenapa kepulangan suaminya jauh dari waktu yang sudah dijadwalkan. Namun Amanda tidak ingin menduga-duga mengenai sesuatu yang belum pasti dan membuatnya cemas. Lagipula, ia bisa mendengar alasan tersebut nanti dari suaminya sendiri, bersamaan dengan cerita Aldo ketika pria itu bertugas di sana.
Tiba-tiba, wanita yang tengah hamil lima bulan itu melihat sosok familier di tengah kerumunan. Sosok yang berbulan-bulan ini begitu ia rindukan.
"Itu Bang Aldo, Ma!" teriak Amanda riang, satu tangannya menunjuk sosok gagah dengan seragam hijau. Aldo tampak tengah berdiri berhadapan dengan beberapa lelaki dengan seragam yang sama.
Mereka terlihat tengah berbincang, gerak mulutnya terlihat, namun sayang ... suaranya tidak terdengar sampai telinga Amanda. Apa yang sedang dibicarakan? Apakah akan lama? Ia sudah tidak sabar lagi!
Amanda menanti sosok itu melangkah ke arah mereka. Ingin dia peluk erat-erat tubuh itu untuk membayar semua rindu yang dia pendam selama ini. Amanda sudah sangat merindukan sosok itu! Sangat merindukan sekali! Dan ketika sosok itu berbalik, melangkah ke arahnya, Redita rasanya ingin pingsan!
"Nda, mau kemana?" Redita memekik terkejut ketika Amanda berlari menghambur ke arah Aldo, ia hendak meraih tangan Amanda, namun terlambat!
Amanda sudah berlari menghampiri Aldo, merentangkan kedua tangan, memeluk tubuh tinggi tegap dan gagah itu dengan cucuran air mata. Bukan balas pelukan hangat yang Amanda dapatkan, lelaki itu bahkan hanya berdiri mematung di tempatnya, membeku hingga kemudian suara itu bertanya tanpa ekspresi apa-apa.
"Maaf, kamu siapa?"
“Maaf, kamu siapa?”Amanda terperangah, matanya membulat menatap Aldo yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Sorot mata itu kosong, tidak lagi hangat seperti biasanya. Dan pertanyaan Aldo barusan benar-benar menampar Amanda dengan begitu luar biasa. "A-aku siapa?" Amanda mengulang kalimat tanya itu dengan rasa tidak percaya. "Kamu tanya aku siapa?"Wajah itu tampak datar. Aldo belum memalingkan wajah dari Amanda, membuat Amanda rasanya seperti dihantam batu besar dengan begitu keras. Tidak ada sorot kebohongan di mata itu! Amanda bisa lihat semuanya, dan ia benar-benar tidak mengerti.Sebenarnya ada apa? "Nda, kita bicarakan semuanya nanti. Kita sudah ditunggu tim dokter di rumah sakit." Redita menyentuh bahu Amanda, membuat Amanda tersentak dan menoleh menatap mama mertuanya itu. "Ma ... jangan bilang kalau ma—“"Papa mana, Ma?” potong Aldo tiba-tiba. “Kenapa Mama cuma jemput sendirian? Kak Edo sama Arra? Mereka kemana?"Pertanyaan itu membungkam Amanda! Aldo menanyakan semua ke
"Awasi terus, bisa hubungi aku kalau ada apa-apa."Amanda segera menyeka air mata, ia sontak berdiri begitu langkah kaki dan obrolan itu terdengar setelah pintu ruangan terbuka. Di sana, sosok itu berdiri. Dengan wajah lelah dan bingung yang makin membuat hati Amanda teriris pedih. "Terima kasih banyak atas bantuannya, Nung." papa mertua Amanda menoleh, menatap Amanda dengan tatapan iba. "Yuk kita pulang, Nda.""Baik, Pa!" Amanda memaksakan diri tersenyum, "Terima kasih banyak Dokter atas bantuannya."Lelaki berkacamata itu tersenyum, kepalanya terangguk pelan. "Sudah merupakan tugas saya, Nda. Kamu yang sabar ya."Kembali rasanya Amanda ingin menangis. Namun ia tahan kuat-kuat air mata. Amanda hanya tersenyum simpul, matanya melirik lelaki yang bahkan wajahnya masih datar dan begitu asing. "Kalau begitu kami pamit dulu, Nung. Sekali lagi terima kasih banyak." kembali sang papa mertua bersuara, satu persatu menyalami Dokter Hanung. Aldo langsung melangkah pergi tanpa sepatah kata.
"Itu benar anakku?"Hening. Dunia Amanda seolah runtuh begitu kalimat itu menyapanya dengan sorot mata ragu. Wajah itu masih sama asingnya dengan yang dia lihat, dingin menyapa dan mencengkeram kuat hati Amanda dengan begitu luar biasa. Ia seperti dihantam dengan begitu keras. Tidak terlihat lagi sorot kebahagiaan sedikitpun di mata Amanda. Setitik kebahagiaan yang tadi hinggap di mata dan wajah Amanda, kini benar-benar lenyap! "Per-pertanyaan macam apa itu, Bang?" Amanda sedikit tergagap, air matanya mengambang. Tangisnya siap pecah, namun masih dia tahan sekuat tenaga. Aldo menghela napas, "Bagaimana bisa kamu hamil lima bulan? Katamu ki--""Papa, mama dan dua kakak kamu dokter, Bang! Tanyakan ke mereka kenapa bisa usia kandungan aku menyentuh angka lima sekarang." potong Amanda getir. Jadi Aldo meragukan janin dalam kandungan Amanda? "Tidak salah ka--""Aku berani bersumpah bahwa aku hanya tidur denganmu! Aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain." Kembali Amanda memotong, dad
"Mas Aldo mau dibuatin minum?"Aldo yang tengah berusaha mengumpulkan kepingan memorinya yang hilang kontan terkejut. Ia menoleh dan mendapati Mbak Tik sudah berdiri tidak jauh darinya. "Boleh, Mbak. Makasih banyak."Wanita empat puluh tahunan itu mengangguk, segera undur diri dan menghilang dari pandangan Aldo. Aldo masih menatap arah di mana wanita itu menghilang. Ia menghela napas panjang, menghembuskan perlahan-lahan ke udara lalu kembali menyandarkan tubuh ke sofa. "Sama Mbak Tik aja aku inget loh! Masa sama yang katanya istri aku bisa sama sekali nggak inget sih?"Itu yang terus Aldo herankan sejak kepulangannya ke sini. Jangan lupa tentang bagaimana Aldo sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa, ikatan batin apapun dengan Amanda. Bagaimana bisa dulu mereka menikah kalau begini? "Apa aku mungkin dibodohin, ya? Papa kasihan gitu sama aku terus dicariin jodoh?" Aldo merubah posisi duduknya, masih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum ia pergi dan kehi
"Astaga, Al! Tapi kamu masih inget sama Mama. Jadi yang dimaksud amnesia itu yang kayak gimana, Al?"Aldo menghela napas panjang, ia meraih cangkir teh miliknya. Meneguk cairan itu perlahan-lahan lalu meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. "Malah ingatan-ingatan baru Aldo yang hilang entah kemana, Ma. Begitu Aldo sadar kemarin ... Aldo bener-bener syok dan kaget. Bagaimana bisa Aldo ada di sana? Siapa orang-orang yang ada sama Aldo, Aldo sama sekali nggak kenal dan nggak tahu siapa mereka."Yuri mengangguk pelan, wajahnya nampak tegang. Dia nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Aldo, ia sibuk kembali mencoba memunguti sisa-sisa kenangan yang bisa kembali dia satukan dalam otaknya. Kenangan tentang wanita yang disebut-sebut sebagai istri Aldo. "Kamu inget sama Arra?"Aldo terkejut, ia menoleh dan menatap mamanya yang nampak tengah mengawasinya dengan tatapan menyelidik. "Ya kenal dong, Ma! Masa lupa sana Arra sih? Orang dulu PAUD-nya sama-sama. Temenan juga dari kecil. M
"Astaga!"Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda. "Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas. Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah. "Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertan
"Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Lyn, ada acara hari ini?"Josselyn membelalak, mulutnya yang penuh oatmeal membuat Josselyn tidak bisa langsung menjawab. Buru-buru ia menelan overnight oatmeal dalam mulut, lalu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gunawan. "Ng-nggak ada, ada apa, Pa?" Tentu Josselyn penasaran, apakah ini ada hubungannya dengan pembicaraan mereka semalam? "Sekali-kali, ikutlah papa ke kantor, Lyn. Sampai jam makan siang aja deh. Gimana, tertarik?" Tawar Gunawan yang makin membuat Josselyn yakin ini ada hubungannya dengan obrolan mereka semalam.Josselyn melirik ke arah sang mama, Kamila nampak pura-pura sibuk dengan semangkuk salad di atas meja, membuat Josselyn kembali menatap ke arah Gunawan dan mengangguk pelan."Oke! Habis ini Josselyn ganti baju dulu." Ucapnya yang seketika membuat Gunawan tersenyum lebar. "Nah gitu dong! Papa pengen kamu sekarang tiap hari ikut ke kantor, terus nanti papa mau tempatin kamu di jajaran manager, sekalian belajar." Titah Gunawan yang kembali membuat Josselyn me
"Al ... Aldo? Kamu nggak apa-apa, Al?"Aldo dengar suara itu, suara yang sangat familiar di telinganya. Siapa lagi kalau bukan Adnan? Perlahan-lahan Aldo memaksakan diri membuka mata, rasanya begitu berat, terlebih sakit yang mencengkeram kepalanya makin membuatnya sedikit kesulitan. "Pelan-pelan, Al. Jangan dipaksa!" Gumam suara itu diikuti remasan tangan yang kuat tapi lembut di telapak tangan Aldo.Kalau ini, Aldo yakin bukan tangan papanya! Tangan Adnan tidak sekecil dan selembut ini! Aldo terus berusaha, hingga kemudian akhirnya Aldo berhasil membuka pelupuk mata. Perlahan-lahan Aldo menatap sekeliling, benar saja, ada Adnan di sana dan jangan lupa, wanita dengan wajah khawatir itu duduk tepat di sisi Aldo, meremas tangannya dengan begitu lembut. "Papa ... Aku kok bisa di sini?" Tanya Aldo sedikit terkejut. Bukannya tadi .... "Memang tadi kamu di mana, Al?" Tanya Adnan dengan seulas senyum tipis. "Di kamar mandi. Tadi aku mau mandi mandi, Pa!" Jawab Aldo yang ingat betul bahw
"Kamu belum tidur?"Aldo terkejut, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Dia macam maling yang tertangkap basah. Mendadak ada sebuah perasaan takut menjalar di hatinya, sebuah ketakutan yang sama seperti ketika ia melihat Adnan berdiri menatapnya dengan tatapan tajam di depan pintu. Apa Jangan-jangan ... "Belum, Bang. Nungguin kamu pulang." Wajah itu tersenyum, tanpa ada sorot kemarahan di sana yang seketika membuat Aldo refleks menghela napas panjang. Dengan perlahan Aldo menutup pintu, melangkah masuk ke dalam dengan hati yang sedikit lebih tenang. Ia masih tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa atau membahas apa, ketika kemudian pertanyaan itu terlontar dari bibir Amanda. "Abang mau mandi? Biar aku siapkan baju gantinya."Aldo menoleh, sorot mata itu masih tidak berubah membuat Aldo lantas menganggukkan kepalanya dengan cepat. Memang dia perlu mandi, mungkin guyuran shower bisa sedikit menenangkan hati dan pikirannya yang kacau. "Yaudah kalau gi--""Nda!" Aldo refleks me
"Papa mau ngomong, Al!"Aldo yang baru saja beberapa langkah dari mobil kontan menghentikan langkah. Ia menatap sang papa dengan tatapan takut-takut. Puluhan tahun menjadi anaknya, Aldo tahu, ada sorot kemarahan di balik tatapan itu. "Baik, Pa. Ada apa?" suara Aldo begitu lirih, hatinya risau. "ADA APA KAMU BILANG?" nampak mata itu membelalak, ia menatap Aldo dengan tatapan murka. "Kamu ini paham atau pura-pura oon sih, Al? Mulai sekarang, nggak ada lagi acara pergi-pergi sama mantan pacar kamu itu lagi! Ngerti?"Aldo sudah menduga, pasti karena hal ini. Ia menghela napas panjang. Belum sempat ia bicara, Adnan kembali mengomel panjang kali lebar. "Adek kamu yang masih SD aja tahu itu nggak bener, kamu nggak malu apa sama Rena?"Kini Aldo terperanjat, ia menatap papanya dengan tatapan tidak percaya. Rena tahu? Tahu yang bagaimana? "Re-Rena tahu?"Adnan mendengus kesal, "Kamu tadi habis dari mana? Papa ngajak dia jajan eskrim, terus lihat kamu jalan sama itu mantan kamu entah siapa
"Suamimu belum pulang?"Amanda yang tengah duduk di ruang tengah menemani Rena menggambar kontan melonjak, ia menoleh dan mendapati Adnan sudah muncul dengan tatapan menyelidik. "Be-belum, Pa. Kenapa?" Amanda menatap sosok itu lekat-lekat, mengabaikan sejenak Rena yang bergeming dari tempatnya duduk. Adnan hanya menggeleng, ia nampak menghela napas panjang lalu melangkah pergi. Sepeninggal sang papa, Rena menengadahkan wajah, menatap Amanda yang masih nampak terkejut. "Kenapa tadi Mbak Nda nggak ikut Mas Aldo pergi?" kembali wajah itu serius dengan pensil warna dan lembar di meja, membuat Amanda tersenyum seraya mengelus lembut kepala Rena. "Mas Al lagi ada urusan penting, jadi biar berangkat sendiri." jawab Amanda mencoba menyembunyikan apa yang terjadi, anak sekecil Rena rasanya belum pantas tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi. "Sepenting apa? Kan Mbak Nda istrinya?"Kini Amanda tertawa, dicubit nya pipi gembil Rena yang kembali menatapnya lekat-lekat. Emang dasar genetiknya
"Jadi selain es krim ini, yang nggak pernah berubah adalah ... perasaan aku ke kamu, Al."Aldo tertegun, matanya tidak berpaling dari Josselyn, ia menatap mata itu dengan seksama, sementara si pemilik mata malah menundukkan wajah membuat pandangan itu terlepas dari mata Aldo. "Kamu tahu kan, Al, sebenarnya dulu aku nggak mau kita putus. Cuma karena masing-masing dari kita sadar, kita sama sekali tidak bisa berdamai dengan jarak dan waktu, akhirnya keputusan itu yang kita sepakati bersama kan, Al?"Lidah Aldo mendadak kelu. Otaknya blank dan jujur dia sedikit terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Josselyn barusan. "Aku udah coba mau gantiin kamu sama yang lain. Namun dari beberapa itu, aku nggak bisa temuin yang kayak kamu, Al. Aku udah coba lepas dari bayangan kamu, blokir semua akses komunikasi kita tapi ternyata hasilnya nihil."Aldo menghela napas panjang, kembali hatinya berkecamuk. Dua perasaan yang cukup mengganggu itu kembali muncul. Saling berdebat sesuatu yang Al
"Hai, Al!"Wajah itu tersenyum begitu manis begitu kaca mobil Aldo turun, ia segera membuka pintu dan duduk di jok depan. "Loh, langsung pergi?" tanya Aldo yang seketika membuat Josselyn menoleh dan menatapnya dengan alis berkerut. "Iyalah, emang mau ngapain lagi, Al?" Josselyn tertawa lirih, ia sudah berhasil memasang seat belt dan benar-benar siap pergi. "Nggak pamit sama mama kamu dulu? Nggak enak dong bawa pergi anak orang tapi ngga--""Mama udah duluan pergi kali, Al. Udah kita langsung aja deh mendingan!" Josselyn menurunkan suhu AC, duduk bersandar dengan begitu santai.Mata Aldo membulat, ia terkekeh dengan kepala mengangguk. Perlahan-lahan, ingatan ketika dulu ia sering menjemput gadis ini di rumah ini berkelebat. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh Aldo jika ingin membawa pergi putri kesayangan si pemilik rumah, yaitu : harus berpamitan, kemana hendak pergi, dan tidak boleh pulang lebih dari jam delapan malam! "Jadi kita langsung pergi?" sebuah pertanyaan ti
"Abang jadi pergi?"Sosok yang tengah mematut diri di depan cermin itu kontan menoleh, menatap Amanda dengan tatapan datar. Kepalanya terangguk pelan, hanya sebentar karena kemudian ia kembali fokus pada bayangan dirinya di depan cermin. "Kalau besok, Abang ada acara?"Jika di pertanyaan tadi Aldo langsung menoleh menatap dirinya, kini Aldo bergeming. Sebuah reaksi yang membuat Amanda mengigit bibirnya kuat-kuat. Ia menghela napas panjang, dadanya mendadak sesak. Apakah lelaki itu lantas bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang Amanda tujukan kepadanya? "Entah, aku belum tau. Kenapa?"Aldo sudah selesai bersiap-siap, nampak dia begitu santai dengan celana jeans dan kemeja polos. Rambutnya sudah disisir rapi, sebuah ciri khas dari Aldo sejak dulu sekali ketika Amanda pertama kali bertemu dengan sosok ini. "Pengen ajak Abang jalan-jalan, ke tempat dulu biasanya Abang ajak aku pergi, Bang. Gimana?"Nampak wajah itu berpikir keras, ada raut bingung dan ragu yang membuat hati Amanda kemb
"Gila! Solusi macam apa ini, Mas?"Yuri berteriak, namun suaminya sudah lebih dulu pergi dan nampak cuek dengan teriakannya. Ia mendengus, melipat dua tangan sambil memasang wajah masam. Enak sekali lelaki itu bilang! Suruh Aldo mengundurkan diri dari kesatuan? Dia tidak tahu apa bagaimana anak lelakinya ith berjuang untuk bisa ada di posisinya sekarang? "Dasar nggak solutif!" Yuri masih menggerutu, ia belum berniat menyusul suaminya masuk ke dalam kamar. Hatinya masih dongkol. "Apa bener sih kalo tiap istri prajurit itu diawasi? Masa sedetail itu sih?" Yuri masih tidak percaya, seketat itukah jadi istri prajurit? Yuri berpikir keras, kalau benar untuk Aldo mengajukan gugatan cerai begitu sulit dan tidak semudah yang dia bayangkan, maka dia tidak bisa tinggal diam! Bisa-bisa rencananya gagal total! "Mikir, Ri! Ayo mikir kamu!" ia memijit pelipisnya perlahan. "Masa harus seumur hidup punya menantu model begitu sih?"Ia masih belum terima, Amanda sama sekali tidak masuk dalam list