"Awasi terus, bisa hubungi aku kalau ada apa-apa."
Amanda segera menyeka air mata, ia sontak berdiri begitu langkah kaki dan obrolan itu terdengar setelah pintu ruangan terbuka. Di sana, sosok itu berdiri. Dengan wajah lelah dan bingung yang makin membuat hati Amanda teriris pedih."Terima kasih banyak atas bantuannya, Nung." papa mertua Amanda menoleh, menatap Amanda dengan tatapan iba. "Yuk kita pulang, Nda.""Baik, Pa!" Amanda memaksakan diri tersenyum, "Terima kasih banyak Dokter atas bantuannya."Lelaki berkacamata itu tersenyum, kepalanya terangguk pelan."Sudah merupakan tugas saya, Nda. Kamu yang sabar ya."Kembali rasanya Amanda ingin menangis. Namun ia tahan kuat-kuat air mata. Amanda hanya tersenyum simpul, matanya melirik lelaki yang bahkan wajahnya masih datar dan begitu asing."Kalau begitu kami pamit dulu, Nung. Sekali lagi terima kasih banyak." kembali sang papa mertua bersuara, satu persatu menyalami Dokter Hanung.Aldo langsung melangkah pergi tanpa sepatah kata. Melewati Amanda begitu saja tanpa melirik Amanda sama sekali! Sebuah hal yang tidak pernah dilakukan Aldo selama ini. Amanda ingat betul, bagaimana hangat dan ramahnya Aldo ketika mereka bertemu untuk pertama kali dulu. Ketika kemudian mereka resmi berpacaran, menikah hingga akhirnya terpisah. Aldo belum pernah seperti ini dan ini sangat menyakiti Amanda.Amanda menahan napas sejenak, menghela napas panjang lalu menghirup udara banyak-banyak. Sementara di sisi lain Papa Aldo langsung mengejar langkah itu. Meninggalkan Amanda dan Redita bersama Dokter Hanung.Dengan sedikit tergesa, Amanda menyalami Dokter Hanung, ia tentu saja hendak mengejar langkah sang suami."Sekali lagi te--""Nda," potong Dokter Hanung lirih, "Jangan terlalu dipaksakan, ya? Saya takut Aldo malah akan kehilangan memorinya secara permanen. Biarkan ingatannya sendiri yang datang memeluknya kembali."Amanda tertegun, niatnya mengejar langkah Aldo ia urungkan. Kini ia menatap Dokter Hanung tanpa kedip dengan hati hampa. Separah itu 'kecelakaan' yang suaminya alami?"Dok ... akan berapa lama Bang Aldo seperti ini?" tanya Amanda lemas.Dokter Hanung tidak menjawab, ia malah melemparkan pandangan ke arah mama mertua Amanda, membuat Amanda menoleh dan menatap mama mertuanya dengan mata berkaca-kaca."Tidak ada yang tahu betapa lama, Nda. Tidak ada yang bisa memastikan," Redita meraih tangan Amanda, meremas tangan itu dengan begitu lembut.Lidah dan bibir Amanda mendadak kelu. Otaknya blank. Ia tidak bisa memikirkan apapun lagi, termasuk pertanyaan-pertanyaan perihal kondisi sang suami kepada dokter yang merawat suaminya.Fakta-fakta yang dia temukan setelah sosok suaminya muncul di hadapan Amanda seolah menampar Amanda dengan sangat keras. Begitu sakit dan menyesakkan."Terus beri dia perhatian, Nda. Bantu ingatkan sedikit-sedikit kisah yang pernah kalian rajut bersama. Tapi sekali lagi ...." Dokter Hanung tidak melanjutkan kalimatnya, "Sekali lagi tolong jangan terlalu dipaksa, Nda. Semua demi kebaikan Aldo dan tentunya kamu sendiri."Tes.Air mata Amanda kembali menitik. Redita mencengkeram kuat bahu Amanda, berusaha memberi support dan kekuatan untuk menantunya yang tengah hamil itu."Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi saya, Nda. Saya permisi dulu. Hati-hati di jalan.""Baik, terima kasih banyak Dokter Hanung." Redita yang menjawab, karena Amanda sendiri mendadak kehilangan kemampuan bersuara.Remasan hangat nan lembut itu masih dia rasakan, Amanda lantas tersentak ketika suara itu begitu lembut membuyarkan lamunannya atas nasib buruk yang terjadi pada Aldo."Ada Mama sama Papa yang bakalan bantu kamu, Nda!" tegas Redita tulus. "Fokus pada kehamilan kamu, ya? Jangan sampai calon cucu Mama kenapa-kenapa."Amanda menoleh, menyeka bulir air mata yang spontan menitik ketika menatap wajah mama mertuanya."Terima kasih banyak, Ma. Tapi jujur ... Amanda pengen Bang Al cepet ingat. Balik lagi ingat sama Manda, Ma."Redita mengangguk, dibelainya puncak kepala sang menantu dengan penuh kasih sayang."Mama ngerti. Kita semua juga pengennya begitu. Tapi tentu kamu ingat, bukan, bahwa semuanya perlu proses?"Dengan berat Amanda mengangguk pelan. Mama mertuanya benar, semua perlu proses. Dan yang Aldo alami ini cukup serius. Amanda kembali mengangkat wajah, menatap Redita dengan saksama."Ma ... Mama mau bantu Redita, nggak?"Wajah ayu di depannya itu nampak mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan itu. Kembali seulas senyum tergambar di sana. Tangan itu meraih tangan Amanda, meremas tangannya dengan lembut."Tentu mau. Katakan, kamu ingin Mama bantu apa, Nda?""Manda pengen Mama nanti ...."***"Ini benar kamarku?"Aldo tertegun begitu masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya yang sudah dia tempati sejak kecil itu sudah berubah banyak. Ada penambahan beberapa perabot yang 'cewek' banget lengkap dengan segala macam benda yang Aldo sendiri tidak ingat pernah membelinya."Foto apa itu?" Aldo terusik dengan foto-foto yang menempel di salah satu bagian dinding.Kaki Aldo terayun mendekati dinding itu. Matanya membulat sempurna melihat siapa yang ada di foto itu. Dalam gambar itu, ada dirinya dan wanita tadi ... ya wanita hamil yang mengaku sebagai istrinya!"Nggak! Ini nggak mungkin! Kapan aku nikah?" Kepala Aldo tertunduk, matanya terpejam seraya mencoba mengingat betul-betul, apakah benar dia ini sudah menikah?Sekuat apapun Aldo mengingat, yang ada dalam ingatannya hanyalah lembar kosong putih. Tidak ada apapun yang dia dapatkan, termasuk momen yang tergambar dalam foto.Kreekk.Suara pintu membuat Aldo membuka mata, menoleh ke arah pintu dan tertegun mendapati wanita hamil itu muncul masih dengan buket bunga di tangan."Bang ...."Suara itu begitu lembut dan lirih, tampak wanita itu ragu dan canggung. Hingga kemudian dia melangkah mendekati Aldo yang masih berdiri di depan tembok."Manda bawa ini buat Abang. Mohon diterima, ya?" ujarnya sambil menyerahkan buket bunga pada Aldo."Terima kasih," Aldo meraih buket itu, merasa tidak enak dan kasihan melihat wanita di hadapannya ini."Abang lagi lihat foto nikahan kita?" tanya suara itu dengan nada riang, "Abang ingat, dulu Abang yang pilih semua foto yang akan ditempel di sini?"Aldo kembali memalingkan wajah ke tembok. Matanya menyapu satu demi satu foto yang tergantung di sana. Benar di dalam foto itu adalah mereka. Tapi kapan foto diambil? Kenapa Aldo sama sekali tidak bisa mendapatkan informasi apapun dalam memori otaknya?"Maaf, aku sama sekali tidak ingat," desis Aldo lirih.Jujur dia sedikit tidak nyaman dengan kehadiran wanita ini di sisinya. Apakah benar Amanda ini istrinya? Kenapa tidak ada getar perasaan apapun di dalam hati Aldo."Tidak apa, Bang. Manda percaya, Abang akan segera ingat lagi." Amanda tersenyum getir, Aldo bisa lihat ada sorot kecewa dan luka di mata itu.Pandangan Aldo tertuju pada perut Amanda yang menyembul, ia mengangkat wajah kembali menatap wajah Amanda yang terlihat menahan tangis."Kita nikah bulan apa?"Sebuah pertanyaan datar dan dingin yang terdengar begitu indah di telinga Amanda. Tidak peduli suara itu begitu dingin, bagi Amanda, itu pertanyaan yang cukup membahagiakan. Itu artinya Aldo ingin mencoba mengingat kembali semua kisah mereka, bukan?"Kita nikah bulan April, Bang."Amanda begitu semangat menjawab, setelah ini hal apa lagi yang hendak Aldo tanyakan?"Kamu hamil berapa bulan?" sebuah pertanyaan yang spontan meluncur keluar dari mulut Aldo. Kenapa mendadak Aldo ragu?Wajah Amanda makin sumringah, ia menarik tangan Aldo dan menempelkan tangan itu di perut membuncitnya."Udah jalan lima, Bang. Lihat di da--""Tunggu!" potong Aldo cepat, ia menarik tangannya dari perut Amanda. Kening Aldo nampak berkerut dengan ekspresi terkejut.Senyum Amanda lenyap, kembali dia merasa begitu sakit dengan ekspresi dan sikap sang suami terhadapnya. Amanda masih mencoba menenangkan diri ketika pertanyaan itu mengejutkannya dengan luar biasa."Itu benar anakku?""Itu benar anakku?"Hening. Dunia Amanda seolah runtuh begitu kalimat itu menyapanya dengan sorot mata ragu. Wajah itu masih sama asingnya dengan yang dia lihat, dingin menyapa dan mencengkeram kuat hati Amanda dengan begitu luar biasa. Ia seperti dihantam dengan begitu keras. Tidak terlihat lagi sorot kebahagiaan sedikitpun di mata Amanda. Setitik kebahagiaan yang tadi hinggap di mata dan wajah Amanda, kini benar-benar lenyap! "Per-pertanyaan macam apa itu, Bang?" Amanda sedikit tergagap, air matanya mengambang. Tangisnya siap pecah, namun masih dia tahan sekuat tenaga. Aldo menghela napas, "Bagaimana bisa kamu hamil lima bulan? Katamu ki--""Papa, mama dan dua kakak kamu dokter, Bang! Tanyakan ke mereka kenapa bisa usia kandungan aku menyentuh angka lima sekarang." potong Amanda getir. Jadi Aldo meragukan janin dalam kandungan Amanda? "Tidak salah ka--""Aku berani bersumpah bahwa aku hanya tidur denganmu! Aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain." Kembali Amanda memotong, dad
"Mas Aldo mau dibuatin minum?"Aldo yang tengah berusaha mengumpulkan kepingan memorinya yang hilang kontan terkejut. Ia menoleh dan mendapati Mbak Tik sudah berdiri tidak jauh darinya. "Boleh, Mbak. Makasih banyak."Wanita empat puluh tahunan itu mengangguk, segera undur diri dan menghilang dari pandangan Aldo. Aldo masih menatap arah di mana wanita itu menghilang. Ia menghela napas panjang, menghembuskan perlahan-lahan ke udara lalu kembali menyandarkan tubuh ke sofa. "Sama Mbak Tik aja aku inget loh! Masa sama yang katanya istri aku bisa sama sekali nggak inget sih?"Itu yang terus Aldo herankan sejak kepulangannya ke sini. Jangan lupa tentang bagaimana Aldo sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa, ikatan batin apapun dengan Amanda. Bagaimana bisa dulu mereka menikah kalau begini? "Apa aku mungkin dibodohin, ya? Papa kasihan gitu sama aku terus dicariin jodoh?" Aldo merubah posisi duduknya, masih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum ia pergi dan kehi
"Astaga, Al! Tapi kamu masih inget sama Mama. Jadi yang dimaksud amnesia itu yang kayak gimana, Al?"Aldo menghela napas panjang, ia meraih cangkir teh miliknya. Meneguk cairan itu perlahan-lahan lalu meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. "Malah ingatan-ingatan baru Aldo yang hilang entah kemana, Ma. Begitu Aldo sadar kemarin ... Aldo bener-bener syok dan kaget. Bagaimana bisa Aldo ada di sana? Siapa orang-orang yang ada sama Aldo, Aldo sama sekali nggak kenal dan nggak tahu siapa mereka."Yuri mengangguk pelan, wajahnya nampak tegang. Dia nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Aldo, ia sibuk kembali mencoba memunguti sisa-sisa kenangan yang bisa kembali dia satukan dalam otaknya. Kenangan tentang wanita yang disebut-sebut sebagai istri Aldo. "Kamu inget sama Arra?"Aldo terkejut, ia menoleh dan menatap mamanya yang nampak tengah mengawasinya dengan tatapan menyelidik. "Ya kenal dong, Ma! Masa lupa sana Arra sih? Orang dulu PAUD-nya sama-sama. Temenan juga dari kecil. M
"Astaga!"Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda. "Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas. Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah. "Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertan
"Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Abang udah mikir sampai sana?"Sebuah pertanyaan terlontar secara spontan dari mulut Amanda sebagai tanggapan pernyataan cinta Aldo yang begitu tiba-tiba. Amanda bahkan belum menjawab pernyataan Aldo mengenai perasaan lelaki itu dan Aldo susah begitu jauh membahas tentang pernikahan? Mendapat pertanyaan macam itu, Aldo malah tertawa dengan begitu renyah. Hanya sebentar, karena didetik selanjutnya Aldo kembali menatap Amanda dengan tatapan serius dan seulas senyum manis. "Memang kenapa? Kamu pikir Abang macarin kamu cuma buat main-main aja? Abang serius!" tegas Aldo kemudian. "Ya mungkin memang kita perlu masa pendekatan dan pengenalan satu sama lain, Dek. Tapi tujuan Abang ya ke sana, nggak cuma mau ngajakin anak orang jalan rontang-runtung berdua aja."Entah bagaimana raut wajah Amanda sekarang, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas rasanya tubuh Amanda begitu ringan. Ia seperti melayang mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut itu. Sebuah kalimat paling manis yang sama seka
Tok ... Tok ... TokTerdengar suara ketukan di pintu, Aldo mengerjapkan mata. Berusaha membuka matanya lebar-lebar guna melirik jam dinding yang tergantung di tembok. "Ah sudah pagi rupanya!" Angka 6 yang ditunjuk jarum jam, pantas saja pintu kamarnya sudah ada yang mengetuk. Aldo dengan malas berusaha bangkit, menguap sejenak ketika ia berhasil duduk di tepi ranjang. Tok ... Tok ... TokKembali suara ketukan itu terdengar membuat Aldo kontan bangkit dan melangkah menuju pintu. Dengan cepat Aldo meraih gagang pintu, memutar kunci dan membuka pintu itu dengan segera. "Siapa si--"Aldo tercekat, nampak Amanda sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi secangkir kopi dan setangkup roti isi. "Sarapan dulu yuk, Bang?" desisnya sambil menyunggingkan senyum. Aldo menghirup udara dalam-dalam, nampak mata Amanda sedikit bengkak. Tapi apa peduli Aldo? Dan menu di nampan itu ... kenapa dia bisa tahu kalau Aldo tidak terbiasa makan nasi untuk makan pagi? "Ok. Terimakasih!"Dengan se
"Lyn, ada acara hari ini?"Josselyn membelalak, mulutnya yang penuh oatmeal membuat Josselyn tidak bisa langsung menjawab. Buru-buru ia menelan overnight oatmeal dalam mulut, lalu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gunawan. "Ng-nggak ada, ada apa, Pa?" Tentu Josselyn penasaran, apakah ini ada hubungannya dengan pembicaraan mereka semalam? "Sekali-kali, ikutlah papa ke kantor, Lyn. Sampai jam makan siang aja deh. Gimana, tertarik?" Tawar Gunawan yang makin membuat Josselyn yakin ini ada hubungannya dengan obrolan mereka semalam.Josselyn melirik ke arah sang mama, Kamila nampak pura-pura sibuk dengan semangkuk salad di atas meja, membuat Josselyn kembali menatap ke arah Gunawan dan mengangguk pelan."Oke! Habis ini Josselyn ganti baju dulu." Ucapnya yang seketika membuat Gunawan tersenyum lebar. "Nah gitu dong! Papa pengen kamu sekarang tiap hari ikut ke kantor, terus nanti papa mau tempatin kamu di jajaran manager, sekalian belajar." Titah Gunawan yang kembali membuat Josselyn me
"Al ... Aldo? Kamu nggak apa-apa, Al?"Aldo dengar suara itu, suara yang sangat familiar di telinganya. Siapa lagi kalau bukan Adnan? Perlahan-lahan Aldo memaksakan diri membuka mata, rasanya begitu berat, terlebih sakit yang mencengkeram kepalanya makin membuatnya sedikit kesulitan. "Pelan-pelan, Al. Jangan dipaksa!" Gumam suara itu diikuti remasan tangan yang kuat tapi lembut di telapak tangan Aldo.Kalau ini, Aldo yakin bukan tangan papanya! Tangan Adnan tidak sekecil dan selembut ini! Aldo terus berusaha, hingga kemudian akhirnya Aldo berhasil membuka pelupuk mata. Perlahan-lahan Aldo menatap sekeliling, benar saja, ada Adnan di sana dan jangan lupa, wanita dengan wajah khawatir itu duduk tepat di sisi Aldo, meremas tangannya dengan begitu lembut. "Papa ... Aku kok bisa di sini?" Tanya Aldo sedikit terkejut. Bukannya tadi .... "Memang tadi kamu di mana, Al?" Tanya Adnan dengan seulas senyum tipis. "Di kamar mandi. Tadi aku mau mandi mandi, Pa!" Jawab Aldo yang ingat betul bahw
"Kamu belum tidur?"Aldo terkejut, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Dia macam maling yang tertangkap basah. Mendadak ada sebuah perasaan takut menjalar di hatinya, sebuah ketakutan yang sama seperti ketika ia melihat Adnan berdiri menatapnya dengan tatapan tajam di depan pintu. Apa Jangan-jangan ... "Belum, Bang. Nungguin kamu pulang." Wajah itu tersenyum, tanpa ada sorot kemarahan di sana yang seketika membuat Aldo refleks menghela napas panjang. Dengan perlahan Aldo menutup pintu, melangkah masuk ke dalam dengan hati yang sedikit lebih tenang. Ia masih tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa atau membahas apa, ketika kemudian pertanyaan itu terlontar dari bibir Amanda. "Abang mau mandi? Biar aku siapkan baju gantinya."Aldo menoleh, sorot mata itu masih tidak berubah membuat Aldo lantas menganggukkan kepalanya dengan cepat. Memang dia perlu mandi, mungkin guyuran shower bisa sedikit menenangkan hati dan pikirannya yang kacau. "Yaudah kalau gi--""Nda!" Aldo refleks me
"Papa mau ngomong, Al!"Aldo yang baru saja beberapa langkah dari mobil kontan menghentikan langkah. Ia menatap sang papa dengan tatapan takut-takut. Puluhan tahun menjadi anaknya, Aldo tahu, ada sorot kemarahan di balik tatapan itu. "Baik, Pa. Ada apa?" suara Aldo begitu lirih, hatinya risau. "ADA APA KAMU BILANG?" nampak mata itu membelalak, ia menatap Aldo dengan tatapan murka. "Kamu ini paham atau pura-pura oon sih, Al? Mulai sekarang, nggak ada lagi acara pergi-pergi sama mantan pacar kamu itu lagi! Ngerti?"Aldo sudah menduga, pasti karena hal ini. Ia menghela napas panjang. Belum sempat ia bicara, Adnan kembali mengomel panjang kali lebar. "Adek kamu yang masih SD aja tahu itu nggak bener, kamu nggak malu apa sama Rena?"Kini Aldo terperanjat, ia menatap papanya dengan tatapan tidak percaya. Rena tahu? Tahu yang bagaimana? "Re-Rena tahu?"Adnan mendengus kesal, "Kamu tadi habis dari mana? Papa ngajak dia jajan eskrim, terus lihat kamu jalan sama itu mantan kamu entah siapa
"Suamimu belum pulang?"Amanda yang tengah duduk di ruang tengah menemani Rena menggambar kontan melonjak, ia menoleh dan mendapati Adnan sudah muncul dengan tatapan menyelidik. "Be-belum, Pa. Kenapa?" Amanda menatap sosok itu lekat-lekat, mengabaikan sejenak Rena yang bergeming dari tempatnya duduk. Adnan hanya menggeleng, ia nampak menghela napas panjang lalu melangkah pergi. Sepeninggal sang papa, Rena menengadahkan wajah, menatap Amanda yang masih nampak terkejut. "Kenapa tadi Mbak Nda nggak ikut Mas Aldo pergi?" kembali wajah itu serius dengan pensil warna dan lembar di meja, membuat Amanda tersenyum seraya mengelus lembut kepala Rena. "Mas Al lagi ada urusan penting, jadi biar berangkat sendiri." jawab Amanda mencoba menyembunyikan apa yang terjadi, anak sekecil Rena rasanya belum pantas tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi. "Sepenting apa? Kan Mbak Nda istrinya?"Kini Amanda tertawa, dicubit nya pipi gembil Rena yang kembali menatapnya lekat-lekat. Emang dasar genetiknya
"Jadi selain es krim ini, yang nggak pernah berubah adalah ... perasaan aku ke kamu, Al."Aldo tertegun, matanya tidak berpaling dari Josselyn, ia menatap mata itu dengan seksama, sementara si pemilik mata malah menundukkan wajah membuat pandangan itu terlepas dari mata Aldo. "Kamu tahu kan, Al, sebenarnya dulu aku nggak mau kita putus. Cuma karena masing-masing dari kita sadar, kita sama sekali tidak bisa berdamai dengan jarak dan waktu, akhirnya keputusan itu yang kita sepakati bersama kan, Al?"Lidah Aldo mendadak kelu. Otaknya blank dan jujur dia sedikit terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Josselyn barusan. "Aku udah coba mau gantiin kamu sama yang lain. Namun dari beberapa itu, aku nggak bisa temuin yang kayak kamu, Al. Aku udah coba lepas dari bayangan kamu, blokir semua akses komunikasi kita tapi ternyata hasilnya nihil."Aldo menghela napas panjang, kembali hatinya berkecamuk. Dua perasaan yang cukup mengganggu itu kembali muncul. Saling berdebat sesuatu yang Al
"Hai, Al!"Wajah itu tersenyum begitu manis begitu kaca mobil Aldo turun, ia segera membuka pintu dan duduk di jok depan. "Loh, langsung pergi?" tanya Aldo yang seketika membuat Josselyn menoleh dan menatapnya dengan alis berkerut. "Iyalah, emang mau ngapain lagi, Al?" Josselyn tertawa lirih, ia sudah berhasil memasang seat belt dan benar-benar siap pergi. "Nggak pamit sama mama kamu dulu? Nggak enak dong bawa pergi anak orang tapi ngga--""Mama udah duluan pergi kali, Al. Udah kita langsung aja deh mendingan!" Josselyn menurunkan suhu AC, duduk bersandar dengan begitu santai.Mata Aldo membulat, ia terkekeh dengan kepala mengangguk. Perlahan-lahan, ingatan ketika dulu ia sering menjemput gadis ini di rumah ini berkelebat. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh Aldo jika ingin membawa pergi putri kesayangan si pemilik rumah, yaitu : harus berpamitan, kemana hendak pergi, dan tidak boleh pulang lebih dari jam delapan malam! "Jadi kita langsung pergi?" sebuah pertanyaan ti
"Abang jadi pergi?"Sosok yang tengah mematut diri di depan cermin itu kontan menoleh, menatap Amanda dengan tatapan datar. Kepalanya terangguk pelan, hanya sebentar karena kemudian ia kembali fokus pada bayangan dirinya di depan cermin. "Kalau besok, Abang ada acara?"Jika di pertanyaan tadi Aldo langsung menoleh menatap dirinya, kini Aldo bergeming. Sebuah reaksi yang membuat Amanda mengigit bibirnya kuat-kuat. Ia menghela napas panjang, dadanya mendadak sesak. Apakah lelaki itu lantas bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang Amanda tujukan kepadanya? "Entah, aku belum tau. Kenapa?"Aldo sudah selesai bersiap-siap, nampak dia begitu santai dengan celana jeans dan kemeja polos. Rambutnya sudah disisir rapi, sebuah ciri khas dari Aldo sejak dulu sekali ketika Amanda pertama kali bertemu dengan sosok ini. "Pengen ajak Abang jalan-jalan, ke tempat dulu biasanya Abang ajak aku pergi, Bang. Gimana?"Nampak wajah itu berpikir keras, ada raut bingung dan ragu yang membuat hati Amanda kemb
"Gila! Solusi macam apa ini, Mas?"Yuri berteriak, namun suaminya sudah lebih dulu pergi dan nampak cuek dengan teriakannya. Ia mendengus, melipat dua tangan sambil memasang wajah masam. Enak sekali lelaki itu bilang! Suruh Aldo mengundurkan diri dari kesatuan? Dia tidak tahu apa bagaimana anak lelakinya ith berjuang untuk bisa ada di posisinya sekarang? "Dasar nggak solutif!" Yuri masih menggerutu, ia belum berniat menyusul suaminya masuk ke dalam kamar. Hatinya masih dongkol. "Apa bener sih kalo tiap istri prajurit itu diawasi? Masa sedetail itu sih?" Yuri masih tidak percaya, seketat itukah jadi istri prajurit? Yuri berpikir keras, kalau benar untuk Aldo mengajukan gugatan cerai begitu sulit dan tidak semudah yang dia bayangkan, maka dia tidak bisa tinggal diam! Bisa-bisa rencananya gagal total! "Mikir, Ri! Ayo mikir kamu!" ia memijit pelipisnya perlahan. "Masa harus seumur hidup punya menantu model begitu sih?"Ia masih belum terima, Amanda sama sekali tidak masuk dalam list