"Astaga!"
Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda."Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas.Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah."Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertanyaan muncul di kepala Aldo.'Apa kabar Joselyn sekarang?'"Ah waktu itu Mama bantuin dia ngurus kasus plagiarisme, Al. Buku dia ada yang diplagiat sama penulis online. Jadi dia bawa ke jalur hukum. Sejak itu Mama sama dia jadi akrab. Dia menang penuh di kasus itu."Kepala Aldo terangguk. Hatinya meronta-ronta ingin mengungkapkan rasa penasaran yang menganggu, namun entah mengapa Aldo ragu. Perlukah dia menanyakan itu?"Habis putus dari kamu dulu, kata Mamanya, Joselyn nggak pernah pacaran lagi, Al. Kayaknya masih sayang deh sama kamu!"Setitik perasaan hangat menjalar di relung hati Aldo. Entah mengapa rasanya dia begitu bahagia mendengar kalimat itu. Benarkah? Tapi apakah mungkin?"Minggu depan, ya? Mama jemput nanti. Dia pasti seneng banget kalau tau kamu ikut jemput dia, Al!"Aldo tersentak, ia menoleh dan menatap nanar wajah yang nampak begitu bersemangat. Kening Aldo berkerut, mamanya ini sudah tahu kalau Aldo sudah menikah, kan? Kenapa dia malah seperti mendorong Aldo bertemu kembali dengan masa lalunya?"Ma ... serius Mama mau ajak Aldo?" tanya Aldo ragu."Loh, memangnya kenapa sih? Nggak ada masalah kalau kamu mau ikut."Dengan perlahan Aldo menggaruk kepalanya. Ia makin tidak mengerti, kenapa sikap mamanya jadi seperti ini? Seolah-olah Aldo ini belum menikah. Padahal semua orang menekankan bahwa dia sudah menikah dan hampir menjadi seorang ayah."Aldo udah nikah, Ma!" entah mengapa, meskipun ragu dia benar sudah pernah menikah, namun kalimat itu yang meluncur keluar dari mulut Aldo."Ah! Itu lagi!" decit Yuri dengan wajah yang otomatis menjadi masam. "Mama nggak ngerti ya, Al, kenapa dulu kamu mau nikahin dia? Sampai kamu berani-beraninya ngelawan Mama."Mata Aldo membulat. Apa yang barusan dia dengar ini? Tidak salah? Dia sampai berani melawan Yuri hanya demi menikahi wanita tadi?"Yang bener, Ma?" tanya Aldo dengan tatapan tidak percaya.Yuri mendesah panjang, ia meraih cangkir miliknya, meneguk isi cangkir itu perlahan-lahan dengah sedikit santai."Apa gunanya Mama bohong? Entah apa yang dulu merasuki kamu, Al! Mama sendiri tidak tahu!"Bisa Aldo lihat, ekspresi Mamanya sangat tidak senang. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa sepertinya Yuri tidak suka dengan Amanda?"Jujur, Ma ... Aldo sendiri tidak ingat kapan nikah. Sama perempuan tadi ... jujur Aldo juga tidak ingat siapa dia, kapan ketemu dan kenapa mendadak orang-orang menyatakan bahwa dia itu istri Aldo?"***"Mbak Yuri di sana?"Amanda menghela napas panjang. Kalau saja istri dari papa mertuanya itu ada di depan Amanda, rasanya Amanda memilih untuk mengangguk perlahan sebagai jawaban dari pertanyaan yang tadi diajukan kepadanya."Iya, Ma. Udah dari beberapa saat yang lalu." jawab Amanda dengan sedikit terpaksa, bukan karena malas bicara pada sosok itu, hanya saja Amanda takut tangisnya kembali pecah jika membahas ibu kandung dari suaminya itu."Ngomong apa aja sama kamu, Nda? Udah nggak usah didengerin ya, Nda?"Seulas senyum Amanda tersungging, dengan sekuat tenaga Amanda menahan air matanya agar tidak menitik. Dadanya mendadak terasa sesak. Yuri adalah sosok yang menjadi cobaan dalam kehidupan pernikahan Aldo dengan Amanda sejak dulu."Amanda nggak berani turun, Ma. Jujur belum siap aja ketemu Mama Yuri dengan kondisi yang masih begini." desis Amanda lirih, ia gagal menahan air mata, air matanya menitik membasahi pipi."Huft!"Helaan napas kasar itu terdengar dari seberang, membuat Amanda buru-buru menyeka air mata yang kini membasahi pipi. Bahkan bekas air mata yang belum kering Amanda hapus, sudah basah lagi karena tetes air mata baru."Lebih baik memang kamu jangan turun, Nda. Papamu belum pulang?""Belum, tapi nggak tau kalau sekarang, Ma. Amanda belum berani keluar dari kamar lagi."Mata Amanda melirik jam dinding yang tergantung di tembok, sudah cukup malam rupanya. Ia berharap sosok itu sudah kembali pulang. Jadi Amanda bisa turun untuk setidaknya mengecek kondisi sang suami."Ok kalau begitu, Nda. Mama tutup dulu, ya? Kabari Mama kalo ada apa-apa, Nda."Kini Amanda tidak berani menjawab. Isaknya hampir saja pecah. Ia benar-benar tidak mengerti, kenapa bisa mertua tirinya itu begitu sayang dan peduli padanya. Sedangkan Mama kandung sang suami teramat sangat membenci Amanda. Apa salah Amanda memangnya?"Udah nangisnya, dong!"Amanda menutup wajahnya setelah meletakkan ponsel. Jujur ia sangat lelah hari ini dan menangis hanya membuat lelahnya makin menjadi-jadi."Hey, Sayang ... kita kuat ya, Nak?" Pandangan dan fokus Amanda beralih. Ia mengelus perutnya dengan begitu lembut.Setitik perasaan haru dan bahagia menjalar di relung hati Amanda, sedikit mengurai dan mengurangi segala macam perasaan duka yang hari ini mencengkeram kuat hati Amanda."Udah bisa denger Mama, kan? Bantu doa ya, Sayang ... moga papa bisa cepet ingat sama kita ya, Nak? Mama yakin, entah kapan ... Papa akan ingat semua hal tentang ingatan papa yang hilang itu."Suara Amanda bergetar, ia sendiri tidak tahu kapan saat itu datang. Yang jelas, jauh di dalam relung hati Amanda, ia yakin bahwa Aldo akan kembali mengingat Amanda. Mengingat kisah cinta mereka dengan segera."Mama harap, sebelum kamu lahir papa udah sembuh ya, Sayang ... Biar nanti papa bisa adzanin kamu, gendong kamu tanpa harus meragukan Mama dan kamu lagi."Hati Amanda kembali pedih ketika ingat Aldo dengan begitu entang bertanya perihal anak dalam rahim Amanda.'Benar itu anakku?'Pertanyaan macam apa itu? Memang Aldo pikir Amanda ini wanita macam apa? Amanda berani bersumpah bahwa tidak ada lelaki lain yang menyentuh tubuhnya kecuali Aldo! Hanya Aldo yang pertama dan satu-satunya! Kenapa bisa Aldo mempertanyakan janin dalam kandungan Amanda?"Apakah ketika sudah berhasil mengingat semua kenangan kita, kamu akan menyesal sudah mempertanyakan hal itu kepadaku, Bang?""Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Abang udah mikir sampai sana?"Sebuah pertanyaan terlontar secara spontan dari mulut Amanda sebagai tanggapan pernyataan cinta Aldo yang begitu tiba-tiba. Amanda bahkan belum menjawab pernyataan Aldo mengenai perasaan lelaki itu dan Aldo susah begitu jauh membahas tentang pernikahan? Mendapat pertanyaan macam itu, Aldo malah tertawa dengan begitu renyah. Hanya sebentar, karena didetik selanjutnya Aldo kembali menatap Amanda dengan tatapan serius dan seulas senyum manis. "Memang kenapa? Kamu pikir Abang macarin kamu cuma buat main-main aja? Abang serius!" tegas Aldo kemudian. "Ya mungkin memang kita perlu masa pendekatan dan pengenalan satu sama lain, Dek. Tapi tujuan Abang ya ke sana, nggak cuma mau ngajakin anak orang jalan rontang-runtung berdua aja."Entah bagaimana raut wajah Amanda sekarang, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas rasanya tubuh Amanda begitu ringan. Ia seperti melayang mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut itu. Sebuah kalimat paling manis yang sama seka
Tok ... Tok ... TokTerdengar suara ketukan di pintu, Aldo mengerjapkan mata. Berusaha membuka matanya lebar-lebar guna melirik jam dinding yang tergantung di tembok. "Ah sudah pagi rupanya!" Angka 6 yang ditunjuk jarum jam, pantas saja pintu kamarnya sudah ada yang mengetuk. Aldo dengan malas berusaha bangkit, menguap sejenak ketika ia berhasil duduk di tepi ranjang. Tok ... Tok ... TokKembali suara ketukan itu terdengar membuat Aldo kontan bangkit dan melangkah menuju pintu. Dengan cepat Aldo meraih gagang pintu, memutar kunci dan membuka pintu itu dengan segera. "Siapa si--"Aldo tercekat, nampak Amanda sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi secangkir kopi dan setangkup roti isi. "Sarapan dulu yuk, Bang?" desisnya sambil menyunggingkan senyum. Aldo menghirup udara dalam-dalam, nampak mata Amanda sedikit bengkak. Tapi apa peduli Aldo? Dan menu di nampan itu ... kenapa dia bisa tahu kalau Aldo tidak terbiasa makan nasi untuk makan pagi? "Ok. Terimakasih!"Dengan se
"Kamu ngapain di sini?"Amanda tersentak, sosok itu sudah berdiri di belakangnya, membuat Amanda rasanya seperti hampir pingsan. Tidak ada hal paling menyeramkan baginya kecuali bertemu dengan wanita ini. "A-anu, Ma ... Amanda anter sarapan buat Bang Al." jawab Amanda yang langsung menundukkan wajah. "Nggak usah panggil Mama, kan saya udah bilang dari dulu!" tegas suara itu dengan nada tak suka. "Nggak kamu kasih macem-macem kan di makanannya? Atau kamu mau bikin Aldo mbangkang lagi sama mamanya?"Jleb! Spontan Amanda mengangkat wajah, menatap sosok itu dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Amanda dituduh 'memberi sesuatu' pada Aldo, tapi Amanda benar-benar tidak menyangka kalau bahkan dalam kondisi Aldo yang menolak dan sama sekali tidak mengingat dirinya, sang mama mertua masih menuduhnya demikian. "Ya ampun, Ma ... demi Tuhan, Amanda ngga--""Sudah di bilang jangan panggil saya mama! Sejak ka--""Kamu datang pagi-pagi ke rumah orang cuma m
"Kenapa sih ribut-ribut, Ma?"Aldo menatap Yuri dengan tatapan tidak mengerti. Mereka sudah berada di dalam sekarang, menjauh seperti apa yang tadi Adnan perintahkan. "Mana sarapan yang dianter sama perempuan tadi?" bukannya menjawab, Yuri malah fokus pada makanan itu."Astaga! Ini loh, Ma." Aldo menunjuk nakas, membuat Yuri segera meraih nampan itu dan membawanya menuju kamar mandi. Ia menuang kopi ke dalam kloset lalu membilasnya, mengambil setangkup roti isi dan membuang makanan itu ke dalam tempat sampah yang ada di dalam sana. "Kamu makan saja bubur yang Mama bawa, jangan pernah makan makanan yang dikasih wanita itu tadi, mengerti?"Aldo melongo, sungguh dia tidak mengerti dengan apa maksud dari mamanya ini. Ia menatap wanita itu yang nampak tengah mengeluarkan styrofoam dari plastik yang dia bawa dia taruh ke atas nampan dan tak lupasegelas teh hangat yang dibungkus cup plastik di sana."Nih ... makan dulu, Al!"Asap nampak masih mengepul dari styrofoam itu, Aldo menatap nan
"Mama nggak ribut-ribut lagi, kan?" Mendengar pertanyaan itu Yuri kontan mengerucutkan bibir. Ia segera menutup pintu dan melangkah menghampiri Aldo yang sedang menikmati bubur yang tadi dia bawakan. "Memang sejak kapan Mama kamu ini jadi tukang bikin onar, Al?" tanya Yuri seraya menarik kursi dan duduk di atasnya. "Buktinya, Mama ribut-ribut tadi pagi." jawab Aldo dengan begitu enteng.Yuri mendecih, ia melangkah membuka lemari pakaian. Di dalam lemari itu kosong, membuat Yuri menoleh dan menatap Aldo dengan tatapan tidak mengerti. "Bajumu kemana, Al?"Aldo menghentikan suapan bubur, dibalasnya tatapan itu dengan malas. Ia meraih gelas yang tergeletak di atas nakas, lalu meneguk isinya perlahan. "Di kamar atas, Ma. Aldo belum sempet bawa pindah baju ke bawah sini."Yuri mendesah panjang, ia menggeleng perlahan lalu melangkah keluar kamar tanpa berkata-kata lagi. Yang dia tuju adalah dapur, tentu dia berharap sosok Mbak Tik masih berada di sana. Dan benar saja! Mata Yuri berbina
"Kamu mikir apa, Al?"Yuri melirik Aldo yang duduk di sebelahnya, nampak ia tengah berpikir keras. Tapi entah apa yang dia pikirkan, Yuri sama sekali tidak tahu. "Aldo cuma nggak habis pikir aja, Ma. Kenapa Aldo sama sekali nggak bisa ingat sama istri Aldo sendiri? Padahal kan--""Al ... Mama kan udah bilang, entah apa yang dia lakukan kepadamu, dulu kamu benar-benar berbeda! Kamu bahkan berani melawan Mama, entah apa yang terjadi, Mama juga nggak tahu!""Masa sih, Ma? Aldo ngelawan yang kayak gimana sih? Kenapa dari kemarin Mama bilang begitu?" Aldo tidak mengerti, ia duduk dengan lirik penuh tanda tanya ke arah Yuri. Yuri mendengus kesal, wajahnya benar-benar nampak tidak suka. Ia tidak langsung menjawab, ia menghentikan mobilnya di belakang garis putih. "Kamu sama sekali tidak mau dengerin mama, Al! Mama nggak setuju kamu nikah sama perempuan itu. Tapi apa jawabmu dulu, kamu malah salahin Mama dan lain-lain." suara itu terdengar begitu kesal, sementara Aldo, ia masih mencoba men
"Lyn, ada acara hari ini?"Josselyn membelalak, mulutnya yang penuh oatmeal membuat Josselyn tidak bisa langsung menjawab. Buru-buru ia menelan overnight oatmeal dalam mulut, lalu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gunawan. "Ng-nggak ada, ada apa, Pa?" Tentu Josselyn penasaran, apakah ini ada hubungannya dengan pembicaraan mereka semalam? "Sekali-kali, ikutlah papa ke kantor, Lyn. Sampai jam makan siang aja deh. Gimana, tertarik?" Tawar Gunawan yang makin membuat Josselyn yakin ini ada hubungannya dengan obrolan mereka semalam.Josselyn melirik ke arah sang mama, Kamila nampak pura-pura sibuk dengan semangkuk salad di atas meja, membuat Josselyn kembali menatap ke arah Gunawan dan mengangguk pelan."Oke! Habis ini Josselyn ganti baju dulu." Ucapnya yang seketika membuat Gunawan tersenyum lebar. "Nah gitu dong! Papa pengen kamu sekarang tiap hari ikut ke kantor, terus nanti papa mau tempatin kamu di jajaran manager, sekalian belajar." Titah Gunawan yang kembali membuat Josselyn me
"Al ... Aldo? Kamu nggak apa-apa, Al?"Aldo dengar suara itu, suara yang sangat familiar di telinganya. Siapa lagi kalau bukan Adnan? Perlahan-lahan Aldo memaksakan diri membuka mata, rasanya begitu berat, terlebih sakit yang mencengkeram kepalanya makin membuatnya sedikit kesulitan. "Pelan-pelan, Al. Jangan dipaksa!" Gumam suara itu diikuti remasan tangan yang kuat tapi lembut di telapak tangan Aldo.Kalau ini, Aldo yakin bukan tangan papanya! Tangan Adnan tidak sekecil dan selembut ini! Aldo terus berusaha, hingga kemudian akhirnya Aldo berhasil membuka pelupuk mata. Perlahan-lahan Aldo menatap sekeliling, benar saja, ada Adnan di sana dan jangan lupa, wanita dengan wajah khawatir itu duduk tepat di sisi Aldo, meremas tangannya dengan begitu lembut. "Papa ... Aku kok bisa di sini?" Tanya Aldo sedikit terkejut. Bukannya tadi .... "Memang tadi kamu di mana, Al?" Tanya Adnan dengan seulas senyum tipis. "Di kamar mandi. Tadi aku mau mandi mandi, Pa!" Jawab Aldo yang ingat betul bahw
"Kamu belum tidur?"Aldo terkejut, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Dia macam maling yang tertangkap basah. Mendadak ada sebuah perasaan takut menjalar di hatinya, sebuah ketakutan yang sama seperti ketika ia melihat Adnan berdiri menatapnya dengan tatapan tajam di depan pintu. Apa Jangan-jangan ... "Belum, Bang. Nungguin kamu pulang." Wajah itu tersenyum, tanpa ada sorot kemarahan di sana yang seketika membuat Aldo refleks menghela napas panjang. Dengan perlahan Aldo menutup pintu, melangkah masuk ke dalam dengan hati yang sedikit lebih tenang. Ia masih tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa atau membahas apa, ketika kemudian pertanyaan itu terlontar dari bibir Amanda. "Abang mau mandi? Biar aku siapkan baju gantinya."Aldo menoleh, sorot mata itu masih tidak berubah membuat Aldo lantas menganggukkan kepalanya dengan cepat. Memang dia perlu mandi, mungkin guyuran shower bisa sedikit menenangkan hati dan pikirannya yang kacau. "Yaudah kalau gi--""Nda!" Aldo refleks me
"Papa mau ngomong, Al!"Aldo yang baru saja beberapa langkah dari mobil kontan menghentikan langkah. Ia menatap sang papa dengan tatapan takut-takut. Puluhan tahun menjadi anaknya, Aldo tahu, ada sorot kemarahan di balik tatapan itu. "Baik, Pa. Ada apa?" suara Aldo begitu lirih, hatinya risau. "ADA APA KAMU BILANG?" nampak mata itu membelalak, ia menatap Aldo dengan tatapan murka. "Kamu ini paham atau pura-pura oon sih, Al? Mulai sekarang, nggak ada lagi acara pergi-pergi sama mantan pacar kamu itu lagi! Ngerti?"Aldo sudah menduga, pasti karena hal ini. Ia menghela napas panjang. Belum sempat ia bicara, Adnan kembali mengomel panjang kali lebar. "Adek kamu yang masih SD aja tahu itu nggak bener, kamu nggak malu apa sama Rena?"Kini Aldo terperanjat, ia menatap papanya dengan tatapan tidak percaya. Rena tahu? Tahu yang bagaimana? "Re-Rena tahu?"Adnan mendengus kesal, "Kamu tadi habis dari mana? Papa ngajak dia jajan eskrim, terus lihat kamu jalan sama itu mantan kamu entah siapa
"Suamimu belum pulang?"Amanda yang tengah duduk di ruang tengah menemani Rena menggambar kontan melonjak, ia menoleh dan mendapati Adnan sudah muncul dengan tatapan menyelidik. "Be-belum, Pa. Kenapa?" Amanda menatap sosok itu lekat-lekat, mengabaikan sejenak Rena yang bergeming dari tempatnya duduk. Adnan hanya menggeleng, ia nampak menghela napas panjang lalu melangkah pergi. Sepeninggal sang papa, Rena menengadahkan wajah, menatap Amanda yang masih nampak terkejut. "Kenapa tadi Mbak Nda nggak ikut Mas Aldo pergi?" kembali wajah itu serius dengan pensil warna dan lembar di meja, membuat Amanda tersenyum seraya mengelus lembut kepala Rena. "Mas Al lagi ada urusan penting, jadi biar berangkat sendiri." jawab Amanda mencoba menyembunyikan apa yang terjadi, anak sekecil Rena rasanya belum pantas tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi. "Sepenting apa? Kan Mbak Nda istrinya?"Kini Amanda tertawa, dicubit nya pipi gembil Rena yang kembali menatapnya lekat-lekat. Emang dasar genetiknya
"Jadi selain es krim ini, yang nggak pernah berubah adalah ... perasaan aku ke kamu, Al."Aldo tertegun, matanya tidak berpaling dari Josselyn, ia menatap mata itu dengan seksama, sementara si pemilik mata malah menundukkan wajah membuat pandangan itu terlepas dari mata Aldo. "Kamu tahu kan, Al, sebenarnya dulu aku nggak mau kita putus. Cuma karena masing-masing dari kita sadar, kita sama sekali tidak bisa berdamai dengan jarak dan waktu, akhirnya keputusan itu yang kita sepakati bersama kan, Al?"Lidah Aldo mendadak kelu. Otaknya blank dan jujur dia sedikit terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Josselyn barusan. "Aku udah coba mau gantiin kamu sama yang lain. Namun dari beberapa itu, aku nggak bisa temuin yang kayak kamu, Al. Aku udah coba lepas dari bayangan kamu, blokir semua akses komunikasi kita tapi ternyata hasilnya nihil."Aldo menghela napas panjang, kembali hatinya berkecamuk. Dua perasaan yang cukup mengganggu itu kembali muncul. Saling berdebat sesuatu yang Al
"Hai, Al!"Wajah itu tersenyum begitu manis begitu kaca mobil Aldo turun, ia segera membuka pintu dan duduk di jok depan. "Loh, langsung pergi?" tanya Aldo yang seketika membuat Josselyn menoleh dan menatapnya dengan alis berkerut. "Iyalah, emang mau ngapain lagi, Al?" Josselyn tertawa lirih, ia sudah berhasil memasang seat belt dan benar-benar siap pergi. "Nggak pamit sama mama kamu dulu? Nggak enak dong bawa pergi anak orang tapi ngga--""Mama udah duluan pergi kali, Al. Udah kita langsung aja deh mendingan!" Josselyn menurunkan suhu AC, duduk bersandar dengan begitu santai.Mata Aldo membulat, ia terkekeh dengan kepala mengangguk. Perlahan-lahan, ingatan ketika dulu ia sering menjemput gadis ini di rumah ini berkelebat. Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh Aldo jika ingin membawa pergi putri kesayangan si pemilik rumah, yaitu : harus berpamitan, kemana hendak pergi, dan tidak boleh pulang lebih dari jam delapan malam! "Jadi kita langsung pergi?" sebuah pertanyaan ti
"Abang jadi pergi?"Sosok yang tengah mematut diri di depan cermin itu kontan menoleh, menatap Amanda dengan tatapan datar. Kepalanya terangguk pelan, hanya sebentar karena kemudian ia kembali fokus pada bayangan dirinya di depan cermin. "Kalau besok, Abang ada acara?"Jika di pertanyaan tadi Aldo langsung menoleh menatap dirinya, kini Aldo bergeming. Sebuah reaksi yang membuat Amanda mengigit bibirnya kuat-kuat. Ia menghela napas panjang, dadanya mendadak sesak. Apakah lelaki itu lantas bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang Amanda tujukan kepadanya? "Entah, aku belum tau. Kenapa?"Aldo sudah selesai bersiap-siap, nampak dia begitu santai dengan celana jeans dan kemeja polos. Rambutnya sudah disisir rapi, sebuah ciri khas dari Aldo sejak dulu sekali ketika Amanda pertama kali bertemu dengan sosok ini. "Pengen ajak Abang jalan-jalan, ke tempat dulu biasanya Abang ajak aku pergi, Bang. Gimana?"Nampak wajah itu berpikir keras, ada raut bingung dan ragu yang membuat hati Amanda kemb
"Gila! Solusi macam apa ini, Mas?"Yuri berteriak, namun suaminya sudah lebih dulu pergi dan nampak cuek dengan teriakannya. Ia mendengus, melipat dua tangan sambil memasang wajah masam. Enak sekali lelaki itu bilang! Suruh Aldo mengundurkan diri dari kesatuan? Dia tidak tahu apa bagaimana anak lelakinya ith berjuang untuk bisa ada di posisinya sekarang? "Dasar nggak solutif!" Yuri masih menggerutu, ia belum berniat menyusul suaminya masuk ke dalam kamar. Hatinya masih dongkol. "Apa bener sih kalo tiap istri prajurit itu diawasi? Masa sedetail itu sih?" Yuri masih tidak percaya, seketat itukah jadi istri prajurit? Yuri berpikir keras, kalau benar untuk Aldo mengajukan gugatan cerai begitu sulit dan tidak semudah yang dia bayangkan, maka dia tidak bisa tinggal diam! Bisa-bisa rencananya gagal total! "Mikir, Ri! Ayo mikir kamu!" ia memijit pelipisnya perlahan. "Masa harus seumur hidup punya menantu model begitu sih?"Ia masih belum terima, Amanda sama sekali tidak masuk dalam list