Luna kini tengah berada di atas angin karena rasa simpati dari orang-orang yang mendukungnya, tidak sia-sia ia tadi menangis di kolam renang seperti orang yang tidak waras dan membuat cerita sedih tentang hubungannya dengan Barra. "Barra, kamu terlalu menguji kesabaranku. Ah, mari kita lihat sudah berapa banyak pendukungku sekarang." tawanya penuh kemenangan.Luna membuka sosial medianya kembali, tapi ternyata akunnya kini sudah tidak bisa di akses dan bahkan sudah hilang dari peredaran setelah ia mengeceknya dengan akun fake miliknya. Seseorang sudah meretas akunnya bahkan berita tentang Sarah yang sempat trending pun sudah tidak ada, Luna yakin ini pasti ulah Barra dan asisitennya yang menyebalkan itu.Luna membanting ponselnya hingga hancur berserakan di lantai, "Apa bagusnya pelacur itu dibandingkan dengan aku! tubuhnya? ya memang aku akui tubuhnya bagus dan wajahnya juga cantik, tapi tetap saja dia itu cuma seonggok barang bekas yang sudah dipakai banyak pria!" Luna berguling-g
Sejak semalam Helena tidak bisa tidur karena ia tidak terbiasa tidur malam, sedangkan Sarah tidur dengan nyenyak setelah berganti pakaian dan meminum obatnya. Helena keluar dari kamar Sarah, lalu berjalan-jalan sedikit mengitari rumah sakit untuk menghilangkan rasa bosannya.Sekarang masih pukul setengah lima pagi, Keadaan rumah sakit masih sangat sunyi dan hanya ada beberapa staff kebersihan yang tengah membersihkan area rumah sakit. Samar-samar telinga Helena mendengar suara indah seseorang dari bilik yang bertuliskan tanda musholla, Helena yang penasaran akhirnya mengintip sedikit dari balik tembok. Ternyata ada yang sedang mengaji disana yaitu dokter Daffa, dan ada seorang perawat wanita di belakangnya yang tengah menunggu datangnya adzan subuh. "Astagfirullah," perawat wanita itu terkejut saat melihat Helena yang tengah mengintip dengan rambut panjangnya terurai. Daffa refleks menoleh ke arah perawat itu, "Ada apa Tiara?" "Hai dok!" sapa Helena, kini ia sudah tidak bersembunyi
Barra memarkirkan mobilnya asal-asalan di halaman rumah Arista, ia bahkan sampai menabrak tanaman hias kesayangan milik Arista dan melindasnya hingga hancur tidak berbentuk. "Tuan Barra, kenapa di tabrak tanaman nyonya besar? duh kalau gini saya bisa di pecat tuan," ucap Opi, tukang kebun yang bertugas menjaga kecantikan tanaman kesayangan Arista. Barra tidak menghiraukan rengekan Opi, ia terus berjalan ke dalam rumah hendak mencari ibu yang sudah melahirkannya dan membesarkannya namun tidak pernah menganggapnya sebagai manusia. Suara cekikikan dua perempuan terdengar dari gazebo taman belakang, Barra segera menghampiri mereka yang tengah asik mengobrol dengan secangkir teh di tangan masing-masing. "Barra," Luna melambaikan tangannya saat netranya mendapati sosok Barra ada di ambang pintu. Barra tidak menyahutinya, ia melangkah maju menghampiri Arista dan Luna dengan tatapan sedingin es. Luna maju mendekatinya dan hendak memeluknya, namun sebelum tangan Luna berhasil merengkuh tub
"Bawa keluar semua barang-barangku yang ada di kondominium dan jual segera tempat ini, aku akan kembali ke rumah milikku." titahnya. "Tapi apa anda tidak akan terganggu dengan nona Luna jika anda kembali ke rumah tuan?" "Aku lebih terganggu dengan jejak aroma parfum wanita itu yang masih tertinggal di sini," Barra keluar dari kondominium dan menyerahkan kuncinya kepada Gabriel, Barra tidak ingin mengingat apapun lagi tentang Sarah. *****Di kediaman Barra, Luna kini tengah menunggunya dan langsung memeluknya begitu Barra sampai dan masuk ke dalam rumah. Barra tidak membalas pelukannya, tetapi juga tidak bersikap ketus dan dingin padanya. "Pulanglah Luna, aku sedang tidak ingin di ganggu siapapun." ucapnya tanpa ekspresi. Luna menuruti ucapannya, dan bergegas pergi dari hadapan Barra dengan hati yang begitu bahagia. Rencana Nathaniel memisahkan mereka sudah berhasil, kini tinggal Luna yang menjalankan rencananya untuk membuat Barra menyetujui pernikahan ini. Barra begitu frustasi
Sarah mematut dirinya di depan cermin, memoleskan lipstik berwarna cherry red di bibirnya dan memakai sedikit bedak di wajahnya agar tidak terlihat pucat. Hari ini Sarah akan pergi melamar kerja di sebuah perusahaan perhiasan ternama, kebetulan mereka sedang membuka lowongan besar-besaran untuk cabang baru di kota B. Setelah Sarah berpikir keras semalaman, ia akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengejar ambisinya dan lebih memilih memulai hidup yang baru. Kemarin malam Sarah pulang ke rumahnya untuk mengambil dokumen penting miliknya dengan di dampingi oleh kedua anak buah Nathan, karena Sarah yakin ia tidak bisa dengan mudahnya masuk ke dalam sana. Mario yang sekarang tidak lagi sama seperti Mario yang dulu ia kenal, saat Sarah tiba di sana Mario tengah bercinta dengan tiga orang pelacur bayaran yang sedang menunjukan kemolekan tubuhnya di depan Mario. Thalita sudah tidak ada di sana, rumah itu juga nampak berantakan dan Yuyun sudah di pecat karena selalu melaporkan kelakuan buruk
Sarah baru saja sampai di apartemen Helena dan merebahkan dirinya di ranjang, namun tiba-tiba ponselnya berdering dengan nomor tidak di kenal memanggilnya. "Halo," ucap Sarah lebih dulu. "Selamat sore saudari Sarah Valerie, saya Dea pihak HRD dari Amethyst Corporation ingin memberitahukan bahwa anda di terima bekerja di perusahaan kami." sahut Dea di ujung telepon. Sarah bangkit dari tempat tidur dengan senyum mengembang lebar, Sarah tidak menyangka kalau ia akan di terima bekerja dalam waktu secepat ini. "Saudari Sarah? apa anda menyimak ucapan saya?" "Iya ibu Dea, maaf saya hanya syok sesaat karena terlalu senang." sahutnya menahan kegembiraan."Oke tidak masalah, kalau begitu besok pagi silahkan datang ke Amethyst Corporation dan langsung temui saya untuk menandatangani kontrak kerja." Setelah panggilan telepon terputus, Sarah langsung berjingkat-jingkat di atas ranjang Helena. Tadinya Sarah sempat merasa pesimis karena saat wawancara ia cukup banyak melakukan kesalahan, tapi
FlashbackDi balik selimut, kini Claudia tengah tersenyum manis di dalam pelukan Gabriel. Gadis berusia dua puluh tahun ini baru saja menyerahkan kesuciannya kepada Gabriel di hari jadi mereka yang ke dua ratus hari, dua insan yang tengah di mabuk asmara ini tidak memikirkan konsekuensi apapun dari tindakan mereka. Yang terpenting saat ini bagi mereka adalah mereka saling bahagia, dan mereka melakukan hal terlarang itu atas dasar suka sama suka. Claudia, gadis cantik yang hidupnya selalu kesepian dan terkekang. Kekosongan yang selama ini selalu memenuhi hatinya kini mulai terisi sejak kehadiran Gabriel di hidupnya, asisten pribadi Barra. Kedua orang tuanya selalu sibuk pada urusannya masing-masing, dan beranggapan kalau Claudia sudah merasa cukup bahagia dengan harta yang mereka berikan untuknya. Sedangkan Barra tidak pernah perduli terhadapnya, bisnis dan Sheila jauh lebih penting daripada Claudia yang hanya adik tirinya. Kepergian Sheila dari hidup Barra yang secara tiba-tiba membu
Claudia keluar dari paviliun di pagi hari dan kembali ke rumah induk yang sudah seperti kapal pecah, pelaku pengrusakan properti itu kini tengah bersantai di meja makan dengan secangkir kopi panas dan sepotong sandwich di depannya. Matanya sibuk menatap layar tab yang tengah menampilkan laporan dari perusahaan Amethyst bulan ini, di depannya ada asisten pribadinya yang begitu setia padanya bahkan di pagi hari yang seharusnya di gunakan untuk sarapan malah ia gunakan untuk mengecek dokumen fisik milik bosnya. Claudia menggelengkan kepalanya, Gabriel tidak pernah berubah sejak dulu dan selalu menuruti apa kata Barra meskipun ini bukan tempatnya bekerja. Claudia mengambil sepotong roti tawar di atas meja, di oleskannya madu untuk menambah rasa manisnya. Di meja makan ini ada tiga orang manusia, tapi tidak ada obrolan apapun yang terjadi dan hanya terdengar suara kertas yang di bolak balik membuat Claudia risih. Roti di tangannya habis, Claudia menjulurkan tangannya hendak mengambil sepo
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes