Claudia keluar dari paviliun di pagi hari dan kembali ke rumah induk yang sudah seperti kapal pecah, pelaku pengrusakan properti itu kini tengah bersantai di meja makan dengan secangkir kopi panas dan sepotong sandwich di depannya. Matanya sibuk menatap layar tab yang tengah menampilkan laporan dari perusahaan Amethyst bulan ini, di depannya ada asisten pribadinya yang begitu setia padanya bahkan di pagi hari yang seharusnya di gunakan untuk sarapan malah ia gunakan untuk mengecek dokumen fisik milik bosnya. Claudia menggelengkan kepalanya, Gabriel tidak pernah berubah sejak dulu dan selalu menuruti apa kata Barra meskipun ini bukan tempatnya bekerja. Claudia mengambil sepotong roti tawar di atas meja, di oleskannya madu untuk menambah rasa manisnya. Di meja makan ini ada tiga orang manusia, tapi tidak ada obrolan apapun yang terjadi dan hanya terdengar suara kertas yang di bolak balik membuat Claudia risih. Roti di tangannya habis, Claudia menjulurkan tangannya hendak mengambil sepo
Sarah membasuh wajahnya di wastafel dengan air dingin demi menghilangkan rasa kesalnya, rupanya ia sudah benar-benar masuk ke dalam jebakan pria itu sehingga kemanapun Sarah pergi ia akan selalu mengikutinya seperti bayangan. Kemarin Barra hadir di kehidupannya sebagai pria yang membeli harga dirinya, sekarang ia hadir sebagai bosnya dan sialnya lagi posisinya kini adalah sekretaris Barra. Jika Sarah hanya staff biasa mungkin ia bisa menghindari Barra, tapi sekretaris? ah kepala Sarah mendadak sakit memikirkannya. Sarah baru bekerja disini selama satu jam, tapi rasanya ia sudah ingin resign saja dari sini kalau ia tidak mengingat isi perjanjian kontrak kerja yang baru di tanda tanganinya satu jam yang lalu. Sarah mengambil ponselnya dari saku roknya, baru saja ia menempelkan benda pipih itu ke telinga tiba-tiba seseorang menabraknya hingga ponselnya tercebur ke wastafel yang sedang di aliri air kran."Ponselku!" pekik Sarah, harta satu-satunya yang paling berharga kini rusak sudah.
Hari-hari Sarah bekerja di perusahaan ini tidak pernah tenang sama sekali, Barra selalu mengganggunya untuk melakukan suatu hal di luar pekerjaan. Tapi beruntungnya Barra tidak pernah mendapatkan keinginannya, karena setiap kali ia berusaha menyentuh Sarah maka ada saja penghalang yang membuatnya gagal menyentuh Sarah. Sarah juga terpaksa harus pindah tempat kost karena Barra selalu datang kesana tanpa kenal waktu, meskipun peraturan di kost itu tidak terlalu ketat namun membawa pria yang bukan pasangan juga tidak di perbolehkan oleh pemilik kost. Sedangkan Barra, ia mana perduli dengan hal seperti itu. Ketika di usirpun ia malah nekat ingin membeli kost itu dengan alasan supaya bisa bebas bertemu dengan Sarah kapanpun, Sarah akhirnya mengalah dan keluar dari kost tanpa mendapatkan kembali sisa pembayaran sewa yang seharusnya masih berjalan tiga bulan lagi. Dan di sinilah Sarah tinggal sekarang, sebuah kontrakan model rumah yang ia dapatkan dari Nathaniel. Melihat kesusahan Sarah yan
"Apa anda yakin ingin datang ke acara makan malam ini tuan Barra?" tanya Gabriel, pasalnya makan malam ini akan membicarakan soal pernikahan Barra dan Luna yang akan di langsungkan pekan depan. "Iya, cepat siapkan mobil." Gabriel dengan patuh pergi ke garasi untuk mengeluarkan salah satu mobil milik Barra, Gabriel tidak ikut kesana karena makan malam ini hanya melibatkan anggota keluarga inti Barra dan Luna. Barra akhirnya mau menerima rencana pernikahannya dengan Luna setelah menolaknya berkali-kali, tapi Barra tidak serta merta menerima Luna sebagai istrinya nanti karena bagi Barra pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan di atas kertas. Tidak ada status suami istri yang nyata di antara ia dan Luna, juga tidak ada kewajiban bagi Barra untuk bersikap seperti seorang suami untuk Luna. Pernikahan ini terjadi karena paksaan, jadi jangan harap Barra akan menganggapnya sebagai istri apalagi membahagiakannya. Barra sampai di restoran bintang lima yang paling terkenal di kota ini, juga
Sarah segera mengemas barangnya yang ada di kontrakan setelah mengetahui niat jahat Nathaniel, untungnya ia belum lama tinggal disini jadi tidak terlalu banyak barang yang akan ia bawa. Sarah menyeret kopernya di tengah gelapnya malam, ia tidak menyangka kalau ternyata Nathaniel bisa sejahat itu padanya. Nathaniel benar-benar lihai menyembunyikan topeng aslinya, untungnya ia tau lebih dulu rencana busuk Nathaniel untuk menghancurkannya juga Barra sebelum semuanya terlambat. Sarah menyetop taksi saat sampai di pertigaan jalan, pikirannya blank seketika karena kekecewaannya pada Nathaniel. Saat ditanya tujuanpun Sarah bukannya menunjukkan alamat apartemen Helena, ia tanpa sadar malah menjawab alamat kondominium Barra. Lima belas menit berlalu taksi itu akhirnya memberhentikan lajunya tepat di lobby kondominium mewah, Sarah memberinya ongkos serta tip lalu membawa keluar barang bawaannya dari bagasi mobil."Selamat malam nyonya, anda ingin ke unit mana?" tanya security yang bertugas di
"Selamat pagi pak Barra," sapa semua karyawan saat Barra datang.Meja itu masih kosong, padahal satu menit lagi jam kerja akan segera di mulai. Netranya melirik ke segala arah untuk mencari keberadaan Sarah, tapi nampaknya Sarah memang tidak masuk kerja hari ini. Gabriel tersenyum tipis melihat tingkah Barra yang seperti anak ayam kehilangan induknya, bilangnya tidak perduli lagi tapi ketika Sarah tidak ada ia langsung kelimpungan. Pekerjaannya tidak ada yang beres sejak tadi, ia merindukan sosok cantik itu dan aroma tubuhnya."Buatkan aku kopi," titah Barra lewat interkom. Gabriel datang membawakan segelas kopi untuknya, juga beberapa dokumen yang harus ia diskusikan sesegera mungkin dengan Barra. "Apa Sarah meminta izin untuk tidak masuk ke kantor hari ini?" tanya Barra di tengah diskusi. "Tidak tuan Barra, tapi sepertinya dia tidak akan masuk hari ini atau mungkin beberapa hari ke depan. Biar saya yang mewakilkan izinnya ke pihak HRD," sahut Gabriel. Kening Barra mengernyit, "D
Sarah mengerjapkan kedua matanya saat tubuhnya mulai terasa gerah karena sesuatu yang mendekapnya erat, entah sejak kapan ia tertidur yang jelas sekarang sudah pukul lima sore dan langit mulai menampilkan cahaya senjanya yang indah. Sarah menoleh ke arah Barra yang tengah tertidur lelap di sebelahnya, ia menatap lekat wajah pria yang kini sudah memenuhi seluruh ruang di hatinya. Barra membuka kedua matanya secara tiba-tiba dan kini pandangan mereka saling bertemu, setelah sekian lama berjauhan akhirnya Barra dapat merasakan lagi momen saat berdekatan seperti ini dengan Sarah. Barra menangkup sebelah wajah Sarah, mencoba mendekati bibir ranum yang sudah lama tidak ia cicipi. Sarah pun mulai tenggelam dalam tatapan Barra, sampai akhirnya mereka hanyut dalam sebuah ciuman yang panas. Tangan Barra mulai menyelinap masuk ke dalam baju Sarah dan menggenggam gundukan kenyal yang hanya terbalut bra tipis, ciuman Barra kini berganti ke leher Sarah yang membuatnya mendesah pelan karena hisapan
Mereka akhirnya sampai di butik dan langsung di sambut penuh hormat oleh karyawan Arista, wanita paruh baya itu langsung memeluk calon menantu kesayangannya dan membawanya ke ruangan fitting sedangkan Barra hanya menunggunya di ruangan Arista. Barra menyapu pandangannya ke setiap sudut ruangan Arista, sampai tatapannya tertuju pada figura kecil di sudut ruangan dengan sebuah foto usang di dalamnya. Enzo Fabiano, rupanya Arista masih terus mengingatnya meskipun pria bajingan itu sudah mencampakkannya dan Barra. Barra mengeluarkan foto itu dari figura, lalu membakarnya hingga terobek sebagian terutama wajahnya. Pria bajingan itu tidak pantas di kenang, ia lebih pantas di lenyapkan dari dunia ini. Kalau Arista tetap kekeuh ingin menyimpan foto itu biarlah, lagipula foto itu hanya tersisa secuil dan menyisakan bagian kakinya saja. "Sayang, aku cari kamu kemana-mana. Aku kira kamu pulang," rengek Luna, ia datang ke ruangan Arista dengan memakai baju pengantin. Barra menendang sisa foto
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes