Mereka saling membagi tugas masing-masing dan melaksanakan tugas itu dengan saksama. Saling membantu satu sama di saat Karina membutuhkan bantuan atau Bu Ningsih membutuhkan bantuan. Mulai dari menggoreng, mengiris, sampai menyiapkan hidangan di atas meja makan dilakukan dengan bersama-sama. Hidangan di siapkan begitu rapi di meja makan. Tidak banyak makanan yang tersaji di atasnya tapi dapat menggugah selera siapa saja yang melihat. Karena disusun begitu menarik dan cantik serta aroma yang bisa tercium dari kejauhan. “Wahhh, ternyata kamu pinter masak ya!” puji Bu Ningsih yang melihat Karina sangat cekatan dalam memasak. “Karina cuman bisa Tante, enggak pinter,” sanggahnya sembari merapikan meja. “selesai.” Karina dengan melipat kedua tangannya di dada dan membuang nafas lega setelah sekian lama terjebak di dapur. Bu Ningsih yang melihatnya tersenyum segar. “Kita duduk aja dulu yuk, lagian Axelnya belum pulang juga.” Bu Ningsih memberi tahu Karina sembari merangkul bahu si gadis
Malam gulita telah tiba dan sinar hilang bersama dengan terbenamnya matahari. Di kamar Agni sudah ingin tertidur dengan selimut yang sudah terpasang di tubuhnya namun belum sepenuhnya. Selimut itu menutupi bagian dada sampai kakinya dan dia terduduk di nakas sembari membaca novel. Di kamar itu dia menikmati malam dan menenggelamkan perhatiannya ke tiap lembaran tersebut. Tak lama Tian masuk dengan piyama tidurnya, Agni yang tadinya sangat fokus kini terganggu karena kehadiran Tian. “Ni. Ngapain?” tanya Tian dengan datar. “Baca novel,” singkat Agni dan langsung mengalihkan perhatiannya dari buku ke Tian.“Buatin aku kopi, aku mau kerja soalnya,” perintahnya pada Agni.Saat Agni ingin melangkahkan kakinya keluar dari kamar dia kembali dipanggil oleh Tian. “Ni, nanti anter kopi ke ruang kerja aku aja ya.” Tian memberi tahu sembari memainkan handphonenya. Agni langsung bergerak menuju dapur dan membuatkan kopi. Dia menuruni setiap tangga dengan hati-hati. Setelah menapakkan kakinya
Tian langsung berlari mengambil kunci mobil, mengeluarkan kendaraan roda empat dari garasi dan bergegas injak gas mencari keberadaan Agni. Tian sangat takut Agni pergi meninggalkannya, seperti yang sempat pernah terlindas dulu. Berpikir dia akan bunuh diri atau kabur dari rumah. Menunggunya begitu lama sampai Agni mau menerimanya seakan pupus dalam sekejap jika dia bunuh diri atau pergi entah ke mana. Dalam perjalanan, di tempat yang sunyi ia melihat semua motor terparkir dari sebelah sisi kanan jalan. Dia memelankan laju mobilnya ke speed yang hampir berhenti tapi tetap melaju. “Di tempat yang sunyi kenapa ada motor?” Tian mengamati motor itu dengan saksama. Sedikit terasa mengganjal ketika melihatnya, karena tempat yang hanya ada rumah-rumah kosong. Setelah dilihat lebih saksama, dia juga melihat sekantung plastik berserakan. Melihat semua keganjilan itu, Tian pun memutar mobilnya menjadi di sebelahnya. Tian menghentikan mobilnya tepat di belakang motor yang terparkir di sana.
"Tian!” pekik Agni, dia mencoba memanggilnya agar Tian tetap sadar bahwa mereka sedang dalam bahaya. Tian masih tergeletak, tapi suara sirene mobil polisi mulai berbunyi dan melesat langsung terdengar keras. Saat kedua pemuda itu sadar sedang dalam bahaya, mereka ingin kabur. Secara bersamaan Tian dan Agni menahan kaki mereka agar tidak bisa lari. Agni mencoba sekuat tenaga menahan kaki mereka berdua karena Tian akhirnya pingsan. Tapi yang namanya laki-laki pastilah lebih besar dari perempuan. Salah satu pemuda berhasil membebaskan dirinya. Untuk melepaskan temannya dia menginjak tangan Agni. “Akkk!”teriak Agni. Masih di ambang gang, mereka sudah di kepung oleh beberapa mobil. “Jangan bergerak.” Semua polisi menodongkan pistol ke arah mereka. Kedua orang itu angkat tangan dan saling melihat. Dengan gesit mereka melarikan diri melalui dinding tembok di ujung gang. Gang tersebut terbuat karena lorong antara dua rumah kosong yang berjarak dan berujung tembok. Dan kedua pemuda itu
Dengan refleks Tian memegang tangan Agni. Karena masih teringat jelas kejadian itu, dia sontak terkejut yang menjadikan napasnya tak beraturan. Tian mendekati wajah Agni yang sedang terkejut itu. Sangat ingin menikmati bibir cantik itu. Tapi Agni sontak berdiri dan mendorong Tian. Dia tak membiarkan dirinya disentuh oleh orang yang tidak ada di hatinya.Agni memalingkan wajah, Agni meletakkan handuk itu di meja dan langsung buru-buru tidur menghadap ke arah yang berlawanan dengan Tian. Tian yang dari awal tidak ada niat seperti itu karena mengerti keadaan Agni pun tersenyum. Dia juga ikut tertidur setelah berjalannya waktu. ‘Malam ini terjadi sesuatu sama aku, Xel. Kamu enggak perlu tau , yang harus kamu tau adalah ... Axel, aku kangen kamu,’ batin Agni sambil meneteskan air mata. Di hari yang cerah ini, Axel sudah merencanakan kegiatan bersama temannya untuk latihan band. Sebelum latihan, dia berencana mengunjungi Arkan.Nuttt!Suara memanggil terdengar dari ponsel Axel yang se
Suara telepon toko berbunyi dan di angkat oleh Ana, saat mengangkatnya ternyata orang di balik telepon itu ingin bicara dengan pemilik toko Ken’Z itu. “Arkan!” panggil Ana dengan lembut. “Ini ada telepon dari pelanggan. Katanya mau ngomong sama kamu,” lanjut Ana dengan lembut. Arkan yang tak berpikir panjang langsung mengambil alih telepon itu dari tangan Ana lalu berbicara dengan orang di balik telepon.“Hallo, ada yang bisa saya bantu selaku pemilik toko ken’Z ini?” Arkan dengan kelembutan suara serta nada keceriaan.“ ....”“Ah baik.”“....”“Baik”Pelayan itu menjelaskan. Jadi Arkan hanya mendengar dengan seksama.“Baik, kalau begitu nanti antar ke alamat toko saya saja ya, Pak," ucapnya setuju.“Baik, Pak, terima kasih atas kerja samanya.” Arkan lalu mematikan telepon itu dan kembali duduk di samping Axel. “Axel, Axel!” panggil Arkan dengan nada terburu-buru. Wajahnya menyiratkan bahagia.Axel yang masih merenung hanya menoleh dan tak menjawab panggilan dari sahabatnya itu.
Dia berpikir mungkin Bu Ningsih hanya ingin membuka pintunya agar angin segar dari luar masuk ke dalam rumah dan menyegarkan. “Permisi Tante?” Karina mendorong sedikit pintu yang sudah terbuka itu. Mendengar tidak ada yang merespons, Karina memberanikan diri melangkah lebih jauh masuk ke dalam rumah. “Tante?” panggil lagi Karina. “Kok, nggak ada yang jawab sih? Kan pintunya terbuka, berarti nggak mungkin nggak ada di rumah dong.” Karina mencoba mencerna semua yang terjadi. “Tante?” panggil Karina lagi dengan sedikit khawatir dan karena tak kunjung mendengar jawaban. Karina mencoba mencarinya di taman, siapa yang tau? Mungkin dia sedang menyiram atau melihat bunga-bunga yang ada di taman belakang rumahnya. Namun setelah diperiksa tidak ada, dia mencoba mencarinya ke dapur, tapi itu pun tak ada juga. Semua kejanggalan itu membuatnya heran. Untuk memastikan lagi dia masuk ke kamar Bu Ningsih. Dilihat dari kejauhan, terlihat pintu kamarnya juga terbuka. Karina terkejut karena men
“Agni?” Arkan mencoba mencerna yang dibilang oleh Bi Ira, bahwa bibik itu akan memanggil istri sang pemesan yang tak lain Tian.“Tunggu ... Bukannya kata bibik tadi dia mau manggil istrinya pak Tian tapi kok Lo yang keluar?” Arkan dengan wajah bingung, dia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. “Ahhh, itu, emmm.” Agni tidak mengerti harus bilang apa, dia tidak rela dibenci oleh sahabat dan temannya karena mengetahui sekarang statusnya sebagai istri orang. “Jawab, Agni.” Arkan dengan nada bicara memaksa Agni untuk Jujur. Agni yang saat itu tertegun kini merasakan rasa sesak di dadanya dan nafasnya kini tak beraturan. Pembuluh darahnya seakan mengalir deras di dalam tubuhnya. “Paket, ya?” suara Tian terdengar dari belakang punggung Arkan. “Sayang.” Tian sengaja memanggil Agni sayang agar bisa memamerkannya pada pengantar paket itu yang ternyata pemilik toko tersebut. Pun dia membubuhkan kecupqn tepat di pelipis Agni.*Di saat itu juga Agni cukup tercengang mendengar Tian mem