Tak banyak yang Aline lakukan saat kumpul keluarga ini. Dia hanya melihat dan mengamati. Sejatinya, Aline merasa kecil ketika berkumpul bersama keluarga besar suaminya.
Mereka tertawa bersama. Dan ah, Aline tak tahu harus bersikap seperti apa. Jadi dia biasa saja. Sibuk bersama anak-anaknya saja. "Nggak kepikiran nambah anak, line?" Tanya bude Tuti. "Kali aja anak ke empat perempuan." Aline hanya tersenyum tak enak. "Punya 3 aja dia kerepotan. Rumah kayak kapal pecah. Mau nambah satu lagi, duh.." Puri menggeleng. "Ya nggak papa lah. Mumpung mereka masih muda." Seloroh Bude Tuti santai. Aline tak ingin menjawab karena ia melihat wajah Puri yang sudah berubah masam. Entah apa salahnya. Padahal ketiga anaknya ini dibawah pengasuhan Aline. Dalam artian, Aline tidak meminta bantuan mertuanya ini untuk menjaga anaknya. Apa mungkin karena Aline tidak bekerja jadi mertuanya ini tidak menyukainya? Ya, bisa jadi. Hari pernikahan tiba. Alan dan keluarganya nampak serasi memakai baju berwarna senada. Yaitu warna navy. Tak lupa, Aline menjadi bidadari Alan dan ketiga anaknya yang paling cantik menggunakan kebaya dengan hijab menjuntai senada. Alan banyak berkumpul bersama keluarganya untuk mengobrol. Sedangkan, Aline memisahkan diri bersama ketiga anaknya. "Mari kita makan." Ajak Alan. Aline mengangguk sembari menyerahkan Edwin dan Ervin kepada suaminya. Sedang dia menggendong Envier. Alan sendiri mengajak istri dan anaknya makan di meja VIP dimana keluarga besarnya sudah berkumpul. "Alan.." Puri memanggil. Alan dan Aline menoleh. Mata Alan membulat sempurna ketika melihat wanita cantik yang ada di samping ibunya. Mikha. "Ada Mikha.." seru Puri sambil mendekat. Nampak bahagia sekali terlihat dari wajah mertua Aline ini Mikha tersenyum manis. "Mas Alan.." sapanya ramah dan beralih ke Aline. Alan membalas dengan senyuman. Ia baru ingat jika anak bude Tuti ini juga teman dari Mikha. Pantas saja dia datang. "Perkenalkan ini istriku.." Alan merengkuh bahu Aline. "Aline." Aline tersenyum dan mengulurkan tangannya yang disambut oleh Mikha. "Mikha." Balas Mikha sama manisnya. "Ini ketiga jagoanku." Ucap Alan sembari memperkenalkan ketiga jagoannya. "Senang sekali bisa bertemu." Ucap Mikha. Aline memperhatikan wanita yang ada di hadapannya ini. Sungguh cantik. Rambutnya yang hitam di sanggul rapi. Belum lagi tubuh tinggi bak model. Wajahnya mulus tanpa jerawat. Pantas saja suaminya masih menyimpan foto cinta pertamanya ini di komputer. Alan sendiri mencoba untuk menguasai dirinya. Dia harus tenang. Di depan ada cintanya dan di sampingnya ada istrinya. Tapi ada yang tidak membuat Alan tenang. Ibunya sendiri. Puri tidak henti-hentinya membahas Mikha selama di perjalanan pulang. Memuji penampilannya yang semakin cantik dan juga membahas kehidupan pernikahannya yang menyedihkan. Sarah sudah memberi kode untuk ibunya berhenti. Masalahnya disini ada Aline. Setidaknya hargai lah perasaan Aline sedikit. Tetap saja wanita paruh baya itu tak bergeming. Pulang dari Bali. Keluarga kecil ini kembali ke aktivitas masing-masing dan kebetulan sekali Alan pulang terlambat malam ini. "Ada lembur, mas?" Tanya Aline. Dia tak mendapat kabar dari suaminya. Biasanya dia rajin menghubungi Aline jika pulang terlambat. Alan hanya berdeham dan segera masuk ke bilik mandi. Entah Aline sadari atau tidak. Ia sedikit merasa Alan sedikit berubah. Lebih uring-uringan dan sering melamun. Suaminya ini memang pendiam dan tak banyak bicara. Tapi kali ini berbeda. Dia sering melamun. "Sedang ada masalah, mas?" Aline merebahkan diri di samping suaminya dengan tangannya yang memijat lembut kepala suaminya. "Tidak ada." Alan memejamkan mata menikmati pijatan istrinya. Sampai, ia sadar. "Sudah cukup.. kamu pasti capek juga ngurus anak-anak seharian." Aline hanya tersenyum. "Nggak capek kok buat suami sendiri." Alan tak menanggapi. Dia berbalik dan menyelimuti dirinya. Semakin hari, Alan semakin pulang malam. Sesekali saja dia memberi kabar jika ada lembur di kantor. Dan ajaibnya, Puri juga jarang bermain ke rumah. Biasanya ada saja tiap hari alasannya datang hanya sekedar untuk menggerutui Aline. "Kamu pasti lelah lembur terus.." ucap Aline sambil mengambil handuk dan baju ganti suaminya. Hari ini, Alan pulang malam lagi. "Aku siapkan air hangat, ya.." Alan hanya berdeham. Aline lalu menyiapkan semuanya. Air hangat dan aromaterapi untuk berendam. Itu bisa merelaksasi otot Alan karena kelelahan. Setelah Alan masuk ke kamar mandi. Barulah Aline ke dapur untuk membuat susu hangat. Khusus dibuat untuk suaminya. Tak lama suara pintu terketuk. Aline heran siapa yang datang malam-malam begini. "Ibu?" Aline terkejut. Ibu mertuanya ada di depan pintu pada hari sudah menunjukkan pukul 8 malam. Apa mungkin ada sesuatu yang tak beres? "Alan sudah pulang?" "Sudah. Lagi mandi." "Suruh cepat kesini. Ibu mau ngomong." Potong Puri cepat karena ia tahu menantunya ini ingin bertanya. Aline mengangguk dan memanggil suaminya. Alan datang menemui ibunya dengan wajah yang masam. "Ibu cuma mau ngobrol berdua aja dengan Alan." Baru saja Aline menaruh pinggulnya di kursi malah mertuanya mengusirnya. Tak ada pilihan selain hanya menurut. "Kenapa kamu menolak, Alan?" Geram Puri setelah Aline pergi meninggalkan mereka berdua saja. "Aku rasa otak ibu sudah tidak waras. Kalian semua!!" Geram Alan. "Ibu tahu kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu!" Puri tersadar akan ucapannya dan memelankan suaranya. "Kalian berdua itu masih saling mencintai." "Bu.." tegur Alan. "Aku sudah menikah dengan Aline. Jangan lupa kalau aku sudah memiliki tiga orang anak. Mereka adalah hidupku." "Ya ya ya." Puri tak mau kalah. "Tapi, hatimu milik Mikha kan?" Alan hanya terdiam. Tangannya mengepal menahan emosi. "Pertimbangkanlah permintaan ayah Mikha. Menikahlah dengan Mikha." "Aku sudah menikah!" Tegas Alan. "Dan kami berdua menolak perjodohan ini." Alan bangkit dari duduknya tanpa perduli akan protes ibunya. Ayah Mikha. Robby masuk ke rumah sakit akibat gagal ginjal kronis. Hidupnya sudah tidak lama lagi. Pernikahan Mikha yang berantakan sungguh membuat Robby merasa bersalah. Andai saja waktu itu dia tak berambisi menikahkan Mikha dengan anak koleganya. Pasti semuanya tidak seperti ini. Robby juga tahu bahwa Mikha masih memiliki hati dengan Alan. Karena itulah ia meminta Alan untuk menikahi anaknya. Mengobati luka yang pernah ia buat dulu. Menjadi istri kedua tak masalah, asalkan itu bisa menebus dosanya. Balasannya, seluruh harta Robby akan menjadi milik Mikha dan Alan. Namun Alan tegas menolak. Dia sudah menikah. Bagaimana perasaan istrinya jika tahu kalau suaminya dijodohkan dengan mantan kekasihnya? Alan tak mau menyakiti hati Aline. Alan masuk ke kamar ketika selesai berbicara dengan Puri. "Minum susunya dulu, mas." Tawar Aline lembut. Aline bisa melihat garis-garis di wajah suaminya yang tegang. Sepertinya baru saja bertengkar dengan ibunya. Alan menyerahkan gelas kosong itu setelah meneguk habis susu hangat. Baru saja Aline menaruh gelas itu di nakas. Dia setengah berteriak. Alan menarik Aline sedikit agak kasar dan merebahkannya di atas tempat tidur. Hati Alan sungguh kesal hari ini dan dia ingin penawarnya. Tubuh istrinya adalah obat kekesalannya malam ini.Alan menatap lekat wajah istrinya yang tengah tertidur lelap. Biasanya setelah melayani Alan, Aline akan segera membersihkan diri dan baru tertidur.Tapi kali ini dia langsung tertidur setelah melayani Alan. Aline sepertinya kelelahan karena Alan sangat bersemangat tadi.Lelaki ini menepikan anak rambut di telinga Aline agar wajah istrinya ini terlihat jelas. Tiba-tiba Alan merasa berdosa. Bisa-bisanya dia membayangkan wanita lain saat sedang berhubungan dengan istrinya.Alan menatap istrinya dengan sedih. Entah sampai kapan rasa cinta ini akan tumbuh. Sudah tujuh tahun berumah tangga, tapi Aline masih belum bisa membuka pintu hati Alan.Pagi ini, Aline mendapat kejutan dari mertuanya yang ternyata menginap di rumah. Pantas kalau Aline tidak tahu, karena Alan langsung menyerangnya semalam. Jadi dia tak mengecek keadaan di luar semalam."Ibu menginap disini semalam?" Aline sungguh tak tahu."Ya." Jawab Puri dingin.
"Jadi, kalian benar-benar tidak ingin bersama lagi?" Puri sampai mendengkus.Alan memalingkan wajah sampai menghela nafas kasar. Pagi minggunya ternodai karena kedatangan Puri yang mengomel."Apa sih kurangnya Mikha itu? Dia cantik, lembut terus pintar cari uang. Kamu menyia-nyiakan permata, Alan!""Ibu sudah cukup." Tegur Alan masih sabar."Lagi pula apa yang terjadi pada kalian waktu itu juga bukan salah kalian. Itu salah papanya Mikha!" Sambung Puri mencoba menyadarkan Alan.Alan sampai mengelus dada karena ucapan ibunya. Untung saja anak-anak sedang bermain di kamarnya. Atau mungkin, Edwin yang sudah sekolah akan mengerti sedikit apa yang orang dewasa ini katakan."Aku sudah menikah, bu. Bagiku pernikahan cukup satu kali. Aku gak mau mendua.."Puri sampai berdecih mendengar ucapan Alan."Kamu pikir ibu gak tahu kalau kamu masih cinta sama Mikha?""Ibu.." tegur Alan
Alan mengirim pesan ke istrinya melalui ponsel sesaat sebelum keluar dari bandara.Tempat sudah di reservasi. Mereka akan pergi setelah bada' maghrib. Alan juga sudah memberi tahu Puri kalau anak-anak hari ini di titipkan padanya. Ya, walaupun awalnya Puri sedikit mengomel karena harus dititipkan tiga cucu sekaligus.Tapi, Alan sudah bertekad untuk memperbaiki masalahnya. Tak enak ternyata perang dingin dengan istri sendiri.Alan menatap langit dari dalam mobilnya. Sebuah pesawat lepas landas. Mungkin pesawat Mikha yang baru saja terbang.Sambil menghela nafas panjang, Alan memasukkan ponselnya ke dalam tas kerja dan menaruhnya di kursi belakang. Dia lalu menghidupkan mesin dan memutar mobilnya keluar dari bandara.Bohong jika Alan mengatakan hatinya saat ini baik-baik saja. Jika bisa memilih, dia sungguh ingin menahan Mikha. Tak ingin berpisah. Tapi isi kepalanya mengajak untuk tetap waras.Ada anak dan istri yang menu
Aline mengerjap beberapa kali agar air matanya tak turun. Suami yang baru saja di do'akannya mulai menunjukkan kesadaran penuh walau di mulutnya memanggil nama wanita lain.Perlahan Alan membuka matanya dan menemukan Aline dengan wajah yang penuh kesedihan."Aline.." desah Alan lemah."Tunggu sebentar. Aku panggilkan perawat."Aline bergegas memanggil petugas medis untuk memeriksa kondisi suaminya yang sadar. Nasib baik Alan tidak mengalami hal serius. Aline sempat putus asa jika suaminya tidak berumur panjang."Sudah berapa lama aku gak sadar?" Tanya Alan setelah mendapat kesadaran penuh."Tujuh hari."Alan memejamkan matanya sebentar."Dimana anak-anak?""Bersama ibuku. Ada ibu yang datang dari kampung."Alan lalu menyapu sekitar. Dia belum diperbolehkan pindah dari ruang intensif."Maafkan aku yang sudah membuat kalian cemas..""Aku b
Aline menoleh menatap mertuanya dengan getir."Sudah sadar kamu?""Ibu.." Aline terperangah. Apa maksud ucapan mertuanya ini."Lihat bagaimana Alan dan Mikha ketika bersama. Alan sangat bahagia."Aline sampai memalingkan wajah. Mertuanya ini, entah apa yang ia pikirkan."Apa yang ibu katakan? Apa ibu sadar?"Mata Puri melotot mendengar ucapan Aline. Menantunya ini memang terkenal berani. Pantas saja seluruh anaknya laki-laki.Suara gaduh terdengar dari luar, Alan sampai melesatkan pendengarannya."Seperti ada orang di luar." Gumam Alan.Mikha pun merasakan hal yang sama. Penasaran, ia pun pergi ke pintu yang tidak tertutup rapat itu dan menemukan menantu dan mertua yang saling menatap tajam."Ibu? Mbak Aline?" Mikha sampai tergagap.Aline masuk begitu saja tanpa menghiraukan Mikha yang masih terkejut akan kedatangannya."Kamu sudah beli makan
Robby pulang setelah ditolak. Malang sekali nasibnya, di ujung usianya ia sudah mendapatkan penolakan beberapa kali dari Alan. Mungkin itu buah yang ia petik akibat sikap arogannya di masa lalu.Puri yang mendengar ketegasan Alan tadi juga ikut dongkol. Dia yang malu. Sepulangnya Robby, dia ingin sekali melabrak anaknya itu. Apalagi si Aline. Duh! Senyumnya puas sekali. Seperti mengejek Puri atas kekalahannya.Baru saja Puri ingin berceloteh tapi mulutnya berhenti. Ternyata, Emma ada disana sedang bermain dengan Envier dan Ervin."Eh, bu besan belum pulang?" Tanya Puri. Hampir saja mulutnya kepeleset ingin marah-marah.Emma tersenyum."Insya Allah besok pagi. Masih kangen cucu.""Oh..." Puri pura-pura tersenyum. Padahal hatinya masih dongkol, sudah satu minggu lebih besannya di rumah ini dan selama ini juga dia tidak bisa memarahi Aline."Kalau begitu ibu pulang aja." Kata Puri kepada Alan.
Pintu rumah diketuk dengan tidak sabarnya. Aline sudah tahu siapa yang dari tadi mengetuk. Wanita ini masih bergelut mengurusi kedua anaknya dan satu lagi anak mertua yang sedang menyantap sarapan. Sepertinya suara ketukan keras itu tak membuatnya bergeming. "Ervin! Jangan diambil seperti itu!" Aline segera mengambil tangan mungil anaknya yang berusia 3 tahun itu. Ervin mulai lagi mengacak-ngacak sarapan. Saat tangannya diambil, maka Ervin memprotes. Belum lagi Edwin yang tak sabar untuk berangkat ke sekolah. Mana makanan dalam kotak bekal yang sudah disusun oleh Aline malah tumpah berceceran karena ulah Ervin. Aline menghela nafas. Ia berusaha tetap tenang. Ia tidak boleh menjadi gila hanya karena hal seperti ini. Segera ia memisahkan kedua anaknya dan menyusun kembali isian di kotak bekal Edwin sambil sesekali melayani suaminya di meja makan. Pintu diketuk lagi.
"Aku dengar Mikha kembali ke Jakarta." Bisikan itu terdengar meskipun diselimuti oleh suara anak-anak yang bergema sedang asyik bercengkrama. Alan tak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya datar saja. Meskipun informasi yang baru saja didapatkan ini mengenai mantan terindahnya. "Dia baru saja bercerai dari suaminya. Ternyata suaminya itu suka memukulnya." Sambung Sarah lagi. Puri mendekatkan tubuhnya lagi untuk mendengarkan cerita lengkapnya. "Kasihan sekali Mikha.." "Akibat perjodohan orang tua." Sahut Sarah. "Andai saja waktu itu Papanya Mikha mau merestui hubungan anaknya dengan Alan. Sudah bisa dipastikan mereka hidup bahagia sekarang." Mata Sarah melotot kepada ibunya. Bisa-bisanya Puri malah mengungkit masa lalu. Alan berdeham. "Yang lalu biarlah berlalu, bu. Sekarang hidupku sudah bersama Aline."
Robby pulang setelah ditolak. Malang sekali nasibnya, di ujung usianya ia sudah mendapatkan penolakan beberapa kali dari Alan. Mungkin itu buah yang ia petik akibat sikap arogannya di masa lalu.Puri yang mendengar ketegasan Alan tadi juga ikut dongkol. Dia yang malu. Sepulangnya Robby, dia ingin sekali melabrak anaknya itu. Apalagi si Aline. Duh! Senyumnya puas sekali. Seperti mengejek Puri atas kekalahannya.Baru saja Puri ingin berceloteh tapi mulutnya berhenti. Ternyata, Emma ada disana sedang bermain dengan Envier dan Ervin."Eh, bu besan belum pulang?" Tanya Puri. Hampir saja mulutnya kepeleset ingin marah-marah.Emma tersenyum."Insya Allah besok pagi. Masih kangen cucu.""Oh..." Puri pura-pura tersenyum. Padahal hatinya masih dongkol, sudah satu minggu lebih besannya di rumah ini dan selama ini juga dia tidak bisa memarahi Aline."Kalau begitu ibu pulang aja." Kata Puri kepada Alan.
Aline menoleh menatap mertuanya dengan getir."Sudah sadar kamu?""Ibu.." Aline terperangah. Apa maksud ucapan mertuanya ini."Lihat bagaimana Alan dan Mikha ketika bersama. Alan sangat bahagia."Aline sampai memalingkan wajah. Mertuanya ini, entah apa yang ia pikirkan."Apa yang ibu katakan? Apa ibu sadar?"Mata Puri melotot mendengar ucapan Aline. Menantunya ini memang terkenal berani. Pantas saja seluruh anaknya laki-laki.Suara gaduh terdengar dari luar, Alan sampai melesatkan pendengarannya."Seperti ada orang di luar." Gumam Alan.Mikha pun merasakan hal yang sama. Penasaran, ia pun pergi ke pintu yang tidak tertutup rapat itu dan menemukan menantu dan mertua yang saling menatap tajam."Ibu? Mbak Aline?" Mikha sampai tergagap.Aline masuk begitu saja tanpa menghiraukan Mikha yang masih terkejut akan kedatangannya."Kamu sudah beli makan
Aline mengerjap beberapa kali agar air matanya tak turun. Suami yang baru saja di do'akannya mulai menunjukkan kesadaran penuh walau di mulutnya memanggil nama wanita lain.Perlahan Alan membuka matanya dan menemukan Aline dengan wajah yang penuh kesedihan."Aline.." desah Alan lemah."Tunggu sebentar. Aku panggilkan perawat."Aline bergegas memanggil petugas medis untuk memeriksa kondisi suaminya yang sadar. Nasib baik Alan tidak mengalami hal serius. Aline sempat putus asa jika suaminya tidak berumur panjang."Sudah berapa lama aku gak sadar?" Tanya Alan setelah mendapat kesadaran penuh."Tujuh hari."Alan memejamkan matanya sebentar."Dimana anak-anak?""Bersama ibuku. Ada ibu yang datang dari kampung."Alan lalu menyapu sekitar. Dia belum diperbolehkan pindah dari ruang intensif."Maafkan aku yang sudah membuat kalian cemas..""Aku b
Alan mengirim pesan ke istrinya melalui ponsel sesaat sebelum keluar dari bandara.Tempat sudah di reservasi. Mereka akan pergi setelah bada' maghrib. Alan juga sudah memberi tahu Puri kalau anak-anak hari ini di titipkan padanya. Ya, walaupun awalnya Puri sedikit mengomel karena harus dititipkan tiga cucu sekaligus.Tapi, Alan sudah bertekad untuk memperbaiki masalahnya. Tak enak ternyata perang dingin dengan istri sendiri.Alan menatap langit dari dalam mobilnya. Sebuah pesawat lepas landas. Mungkin pesawat Mikha yang baru saja terbang.Sambil menghela nafas panjang, Alan memasukkan ponselnya ke dalam tas kerja dan menaruhnya di kursi belakang. Dia lalu menghidupkan mesin dan memutar mobilnya keluar dari bandara.Bohong jika Alan mengatakan hatinya saat ini baik-baik saja. Jika bisa memilih, dia sungguh ingin menahan Mikha. Tak ingin berpisah. Tapi isi kepalanya mengajak untuk tetap waras.Ada anak dan istri yang menu
"Jadi, kalian benar-benar tidak ingin bersama lagi?" Puri sampai mendengkus.Alan memalingkan wajah sampai menghela nafas kasar. Pagi minggunya ternodai karena kedatangan Puri yang mengomel."Apa sih kurangnya Mikha itu? Dia cantik, lembut terus pintar cari uang. Kamu menyia-nyiakan permata, Alan!""Ibu sudah cukup." Tegur Alan masih sabar."Lagi pula apa yang terjadi pada kalian waktu itu juga bukan salah kalian. Itu salah papanya Mikha!" Sambung Puri mencoba menyadarkan Alan.Alan sampai mengelus dada karena ucapan ibunya. Untung saja anak-anak sedang bermain di kamarnya. Atau mungkin, Edwin yang sudah sekolah akan mengerti sedikit apa yang orang dewasa ini katakan."Aku sudah menikah, bu. Bagiku pernikahan cukup satu kali. Aku gak mau mendua.."Puri sampai berdecih mendengar ucapan Alan."Kamu pikir ibu gak tahu kalau kamu masih cinta sama Mikha?""Ibu.." tegur Alan
Alan menatap lekat wajah istrinya yang tengah tertidur lelap. Biasanya setelah melayani Alan, Aline akan segera membersihkan diri dan baru tertidur.Tapi kali ini dia langsung tertidur setelah melayani Alan. Aline sepertinya kelelahan karena Alan sangat bersemangat tadi.Lelaki ini menepikan anak rambut di telinga Aline agar wajah istrinya ini terlihat jelas. Tiba-tiba Alan merasa berdosa. Bisa-bisanya dia membayangkan wanita lain saat sedang berhubungan dengan istrinya.Alan menatap istrinya dengan sedih. Entah sampai kapan rasa cinta ini akan tumbuh. Sudah tujuh tahun berumah tangga, tapi Aline masih belum bisa membuka pintu hati Alan.Pagi ini, Aline mendapat kejutan dari mertuanya yang ternyata menginap di rumah. Pantas kalau Aline tidak tahu, karena Alan langsung menyerangnya semalam. Jadi dia tak mengecek keadaan di luar semalam."Ibu menginap disini semalam?" Aline sungguh tak tahu."Ya." Jawab Puri dingin.
Tak banyak yang Aline lakukan saat kumpul keluarga ini. Dia hanya melihat dan mengamati. Sejatinya, Aline merasa kecil ketika berkumpul bersama keluarga besar suaminya.Mereka tertawa bersama. Dan ah, Aline tak tahu harus bersikap seperti apa. Jadi dia biasa saja. Sibuk bersama anak-anaknya saja."Nggak kepikiran nambah anak, line?" Tanya bude Tuti. "Kali aja anak ke empat perempuan."Aline hanya tersenyum tak enak."Punya 3 aja dia kerepotan. Rumah kayak kapal pecah. Mau nambah satu lagi, duh.." Puri menggeleng. "Ya nggak papa lah. Mumpung mereka masih muda." Seloroh Bude Tuti santai.Aline tak ingin menjawab karena ia melihat wajah Puri yang sudah berubah masam. Entah apa salahnya. Padahal ketiga anaknya ini dibawah pengasuhan Aline. Dalam artian, Aline tidak meminta bantuan mertuanya ini untuk menjaga anaknya.Apa mungkin karena Aline tidak bekerja jadi mertuanya ini tidak menyukainya? Ya, bi
Keduanya duduk berhadapan dengan situasi yang penuh kecanggungan. Tak menyangka Alan bisa bertemu dengan mantan kekasihnya secepat ini.Mata Alan tak lepas menatap Mikha. Cinta pertamanya yang kini semakin dewasa. Usia Mikha kini sudah 32 tahun dengan kecantikan yang begitu mempesona."Maafkan aku gak sempat hadir saat pernikahan mas kemarin." Mikha tersenyum.Alan membalas senyuman itu dengan wajah tertunduk."Ada apa, Mikha? Aku dengar dari Sarah kalau kamu berpisah dengan suamimu?""Oh itu.. aku memang baru berpisah darinya." Mikha tersenyum getir. "Sayangnya aku tidak mendapatkan pernikahan yang bahagia seperti yang mas Alan miliki."Alan memalingkan wajah. Dia tak bisa menatap mata Mikha berlama-lama."Aku turut prihatin..""Terima kasih." Jawab Mikha. "Aku harus tetap menjalankan hidup.""Itu benar." Alan mengangguk setuju."Kamu masih aktif menulis?"
"Aku dengar Mikha kembali ke Jakarta." Bisikan itu terdengar meskipun diselimuti oleh suara anak-anak yang bergema sedang asyik bercengkrama. Alan tak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya datar saja. Meskipun informasi yang baru saja didapatkan ini mengenai mantan terindahnya. "Dia baru saja bercerai dari suaminya. Ternyata suaminya itu suka memukulnya." Sambung Sarah lagi. Puri mendekatkan tubuhnya lagi untuk mendengarkan cerita lengkapnya. "Kasihan sekali Mikha.." "Akibat perjodohan orang tua." Sahut Sarah. "Andai saja waktu itu Papanya Mikha mau merestui hubungan anaknya dengan Alan. Sudah bisa dipastikan mereka hidup bahagia sekarang." Mata Sarah melotot kepada ibunya. Bisa-bisanya Puri malah mengungkit masa lalu. Alan berdeham. "Yang lalu biarlah berlalu, bu. Sekarang hidupku sudah bersama Aline."