Alan menatap lekat wajah istrinya yang tengah tertidur lelap. Biasanya setelah melayani Alan, Aline akan segera membersihkan diri dan baru tertidur.
Tapi kali ini dia langsung tertidur setelah melayani Alan. Aline sepertinya kelelahan karena Alan sangat bersemangat tadi. Lelaki ini menepikan anak rambut di telinga Aline agar wajah istrinya ini terlihat jelas. Tiba-tiba Alan merasa berdosa. Bisa-bisanya dia membayangkan wanita lain saat sedang berhubungan dengan istrinya. Alan menatap istrinya dengan sedih. Entah sampai kapan rasa cinta ini akan tumbuh. Sudah tujuh tahun berumah tangga, tapi Aline masih belum bisa membuka pintu hati Alan. Pagi ini, Aline mendapat kejutan dari mertuanya yang ternyata menginap di rumah. Pantas kalau Aline tidak tahu, karena Alan langsung menyerangnya semalam. Jadi dia tak mengecek keadaan di luar semalam. "Ibu menginap disini semalam?" Aline sungguh tak tahu. "Ya." Jawab Puri dingin. Aline segera ke dapur untuk memasak. Dia harus menyiapkan sarapan dan bekal untuk anaknya ke sekolah. Suara jeritan terdengar dari kamar hingga ke dapur karena Ervin dan Edwin yang sudah bangun. Edwin juga sudah siap menggunakan baju sekolahnya. "Eyang tidur disini, ya?" Tanya Edwin "Ya. Kenapa? Gak boleh eyang tidur disini?" Puri berbicara ketus. Aline hanya menggeleng. Padahal Edwin bertanya baik-baik tapi eyangnya malah menjawab dengan nada marah. Setelah sarapan, Puri akhirnya pulang ke rumahnya sendiri. Aline bisa bernafas lega. "Ibu.." panggil Ervin. "Kita pergi ke pasar hari ini." Aline tersenyum. Jika soal membeli mainan, Ervin tidak akan pernah lupa. "Iya. Sekalian kita beli susu adikmu." Sekitar pukul 10 pagi. Aline mengajak dua jagoannya pergi ke supermarket untuk membeli susu formula dan kebutuhan lainnya. Tak lupa mampir ke toko mainan mengabulkan keinginan Ervin. "Bu.. Ervin lapar.." Ervin mengelus-ngelus perutnya. Aline melirik jam. Benar juga sudah hampir jam 12 siang. "Ayo kita cari makan dulu. Baru ke sekolah menjemput kakakmu, ya.." Sambil menggendong Envier, Aline menuntun tangan Ervin ke restoran cepat saji. Aline memesan dan minta di bungkus saja, supaya tidak telat menjemput Edwin. "Bu.. mau main.." Ervin memelas menatap ibunya. Aline menghela nafas. Ervin ini tak bisa melihat playground sedikit pasti ingin bermain. "Mainlah sebentar.." Aline mengizinkan. Bermain 10 menit tak masalah sembari menunggu pesanan mereka selesai. Aline memilih duduk di luar saja sambil mengamati Ervin bermain di playground. Namun, mata Aline terpaku melihat mobil hitam yang dikenalnya tengah terparkir di restoran seberang. "Itu mobil Ayah, kan?" Aline berbicara pada Envier. "Ervin!! Tunggu sebentar disini. Jaga adikmu!" Titah Aline kepada Ervin karena Envier ikut bermain disana. Aline memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Mungkin suaminya sedang bertemu dengan koleganya disana. Yang Aline tahu, Alan memang sering rapat di luar sembari makan siang. "Betul mobil mas Alan.." Aline sampai dan melihat mobil hitam yang terparkir itu. Aline tersenyum. Dia masuk ke restoran. Jika memang suaminya disini maka dia akan memberi kejutan. Sekalian minta di antar pulang dan menjemput Edwin pulang sekolah. Namun apa yang dilihat Aline tak sesuai dengan harapannya. Bahu Aline merosot. Hampir saja tas jinjing ini lepas dari tangannya. Disana ada Alan beserta Mikha yang saling berpelukan dengan erat. Alan melepaskan pelukannya dari Mikha. "Jaga dirimu disana." Ucap Alan berat. Mikha mengangguk. "Jika kamu sempat, aku ingin kamu mengantarku ke bandara." "Aku lihat jadwalku dulu." Jawab Alan datar. "Aku harus kembali ke kantor." Alan berjalan melewati Mikha dan tertegun. Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang yang ia kenal menatapnya dengan sedih dari jauh. "Aline.." Alan begitu terkejut. Aline pergi setelah Alan sadar akan kehadirannya. Ia sedikit berlari menuju restoran cepat saji di tempat anaknya sudah menunggu. Alan yang panik segera mengejar Aline. Jelas, Alan takut istrinya ini salah paham. Sedangkan Mikha hanya melihat saja. "Aline!" Alan berhasil menahan lengan istrinya tapi berhasil ditepis. "Aku bisa jelaskan." "Jelaskan apa? Kalau kamu berselingkuh dengan mantan kekasihmu?" Aline menatap tajam. "Alinee..." Alan membujuk. "Kamu sudah salah paham." "Sudahlah, mas! Pergilah kesana. Kekasihmu menunggu!" "Aku tidak ingin kita bertengkar di tempat umum." Aline menatap suaminya sinis. "Tapi kamu tidak malu berpelukan dengan Mikha di tempat umum?" "Aline.. kita pulang dulu. Nanti aku jelaskan." Alan memboyong anak dan istrinya pulang dengan terlebih dahulu menjemput Edwin. Setelah pulang dan memastikan anak-anaknya aman, barulah Alan mengajak istrinya bicara. Dia menjelaskan awal pertemuannya dengan Mikha. Ayah Mikha yang sakit hingga Alan yang ingin dijodohkan pada Mikha. Tapi keduanya memutuskan untuk menolak perjodohan. Mikha tak ingin menjadi istri kedua dan Alan tak ingin menyakiti hati Aline. Sungguh adegan berpelukan tadi di luar dugaan. Mereka hanya terbawa suasana karena dalam beberapa hari kedepan Mikha akan pulang ke luar negeri. "Aku tidak berbohong padamu.." Alan menatap istrinya dengan penuh harap. Mata Aline memerah. Sebenarnya, ia sudah tahu jika suaminya ini dijodohkan dengan Mikha. Semalam ia mencuri dengar percakapan Puri dan Alan di balik dinding. Yang tadinya ia pikir itu karena ulah Puri. Ternyata karena ayahnya Mikha. "Kenapa kamu menolak perjodohan itu? Bukannya kamu masih mencintainya?" "Darimana asal dugaan itu?" "Kamu pikir aku tidak tahu, mas. Kamu masih menyimpan foto mantan kekasihmu itu di laptopmu. Setiap malam kamu memandanginya." Alan terkesiap. Dia kehabisan kata-kata. "Maafkan aku, Aline.. aku akan menghapusnya." "Kenapa kamu gak menerima saja tawaran itu? Mikha pasti masih mencintaimu." "Aline!!" Alan mengusap wajahnya dengan kasar. Dia ingin Aline berhenti bicara sekarang. Meladeni kecemburuan perempuan tidak akan pernah menang. "Aku tidak ingin menyakitimu. Kamu istriku!" "Apa kamu mencintaiku?" Alan terkejut. "Kenapa terkejut, mas? Tinggal jawab saja. Kamu cinta gak sama aku?" Desak Aline. "Aku sangat menghargaimu sebagai istriku." Aline membuang mukanya. "Bahkan sampai detik ini aku belum bisa mengetuk pintu hatimu." Aline bergetar mengucapkannya. "Aku sudah melakukan semuanya untukmu agar kamu bahagia. Supaya kamu juga bisa membalas cintaku.. nyatanya.. hanya aku yang cinta sendirian." "Aline!" Tegur Alan tak suka. Sekarang pembicaraan ini malah kemana-mana. "Sudah, cukup! Aku sudah menjelaskan semuanya. Terserah padamu mau percaya atau tidak." Alan bangkit dari duduknya meninggalkan Aline sendirian. Air mata lolos mengalir di wajah Aline. Ia lalu mengingat semua perjalanannya selama berumah tangga bersama Alan. Aline bahkan rela meninggalkan profesi yang selama ini digelutinya untuk mengasuh ketiga anaknya. Aline bahkan rela tidak memakai pengasuh atau asisten rumah tangga untuk tidak memberatkan pengeluaran. Ia juga rela dikucilkan hingga diremehkan oleh keluarga besar suaminya. Asalkan badai tak datang menimpa rumah tangganya yang harmonis. Tapi, nyatanya Aline salah.. ia terlalu percaya diri soal perasaan Alan padanya.. Rupanya Alan masih terkungkung dalam kisah lamanya. Pernikahan ini hanyalah kompensasi baginya."Jadi, kalian benar-benar tidak ingin bersama lagi?" Puri sampai mendengkus.Alan memalingkan wajah sampai menghela nafas kasar. Pagi minggunya ternodai karena kedatangan Puri yang mengomel."Apa sih kurangnya Mikha itu? Dia cantik, lembut terus pintar cari uang. Kamu menyia-nyiakan permata, Alan!""Ibu sudah cukup." Tegur Alan masih sabar."Lagi pula apa yang terjadi pada kalian waktu itu juga bukan salah kalian. Itu salah papanya Mikha!" Sambung Puri mencoba menyadarkan Alan.Alan sampai mengelus dada karena ucapan ibunya. Untung saja anak-anak sedang bermain di kamarnya. Atau mungkin, Edwin yang sudah sekolah akan mengerti sedikit apa yang orang dewasa ini katakan."Aku sudah menikah, bu. Bagiku pernikahan cukup satu kali. Aku gak mau mendua.."Puri sampai berdecih mendengar ucapan Alan."Kamu pikir ibu gak tahu kalau kamu masih cinta sama Mikha?""Ibu.." tegur Alan
Alan mengirim pesan ke istrinya melalui ponsel sesaat sebelum keluar dari bandara.Tempat sudah di reservasi. Mereka akan pergi setelah bada' maghrib. Alan juga sudah memberi tahu Puri kalau anak-anak hari ini di titipkan padanya. Ya, walaupun awalnya Puri sedikit mengomel karena harus dititipkan tiga cucu sekaligus.Tapi, Alan sudah bertekad untuk memperbaiki masalahnya. Tak enak ternyata perang dingin dengan istri sendiri.Alan menatap langit dari dalam mobilnya. Sebuah pesawat lepas landas. Mungkin pesawat Mikha yang baru saja terbang.Sambil menghela nafas panjang, Alan memasukkan ponselnya ke dalam tas kerja dan menaruhnya di kursi belakang. Dia lalu menghidupkan mesin dan memutar mobilnya keluar dari bandara.Bohong jika Alan mengatakan hatinya saat ini baik-baik saja. Jika bisa memilih, dia sungguh ingin menahan Mikha. Tak ingin berpisah. Tapi isi kepalanya mengajak untuk tetap waras.Ada anak dan istri yang menu
Aline mengerjap beberapa kali agar air matanya tak turun. Suami yang baru saja di do'akannya mulai menunjukkan kesadaran penuh walau di mulutnya memanggil nama wanita lain.Perlahan Alan membuka matanya dan menemukan Aline dengan wajah yang penuh kesedihan."Aline.." desah Alan lemah."Tunggu sebentar. Aku panggilkan perawat."Aline bergegas memanggil petugas medis untuk memeriksa kondisi suaminya yang sadar. Nasib baik Alan tidak mengalami hal serius. Aline sempat putus asa jika suaminya tidak berumur panjang."Sudah berapa lama aku gak sadar?" Tanya Alan setelah mendapat kesadaran penuh."Tujuh hari."Alan memejamkan matanya sebentar."Dimana anak-anak?""Bersama ibuku. Ada ibu yang datang dari kampung."Alan lalu menyapu sekitar. Dia belum diperbolehkan pindah dari ruang intensif."Maafkan aku yang sudah membuat kalian cemas..""Aku b
Aline menoleh menatap mertuanya dengan getir."Sudah sadar kamu?""Ibu.." Aline terperangah. Apa maksud ucapan mertuanya ini."Lihat bagaimana Alan dan Mikha ketika bersama. Alan sangat bahagia."Aline sampai memalingkan wajah. Mertuanya ini, entah apa yang ia pikirkan."Apa yang ibu katakan? Apa ibu sadar?"Mata Puri melotot mendengar ucapan Aline. Menantunya ini memang terkenal berani. Pantas saja seluruh anaknya laki-laki.Suara gaduh terdengar dari luar, Alan sampai melesatkan pendengarannya."Seperti ada orang di luar." Gumam Alan.Mikha pun merasakan hal yang sama. Penasaran, ia pun pergi ke pintu yang tidak tertutup rapat itu dan menemukan menantu dan mertua yang saling menatap tajam."Ibu? Mbak Aline?" Mikha sampai tergagap.Aline masuk begitu saja tanpa menghiraukan Mikha yang masih terkejut akan kedatangannya."Kamu sudah beli makan
Robby pulang setelah ditolak. Malang sekali nasibnya, di ujung usianya ia sudah mendapatkan penolakan beberapa kali dari Alan. Mungkin itu buah yang ia petik akibat sikap arogannya di masa lalu.Puri yang mendengar ketegasan Alan tadi juga ikut dongkol. Dia yang malu. Sepulangnya Robby, dia ingin sekali melabrak anaknya itu. Apalagi si Aline. Duh! Senyumnya puas sekali. Seperti mengejek Puri atas kekalahannya.Baru saja Puri ingin berceloteh tapi mulutnya berhenti. Ternyata, Emma ada disana sedang bermain dengan Envier dan Ervin."Eh, bu besan belum pulang?" Tanya Puri. Hampir saja mulutnya kepeleset ingin marah-marah.Emma tersenyum."Insya Allah besok pagi. Masih kangen cucu.""Oh..." Puri pura-pura tersenyum. Padahal hatinya masih dongkol, sudah satu minggu lebih besannya di rumah ini dan selama ini juga dia tidak bisa memarahi Aline."Kalau begitu ibu pulang aja." Kata Puri kepada Alan.
Pintu rumah diketuk dengan tidak sabarnya. Aline sudah tahu siapa yang dari tadi mengetuk. Wanita ini masih bergelut mengurusi kedua anaknya dan satu lagi anak mertua yang sedang menyantap sarapan. Sepertinya suara ketukan keras itu tak membuatnya bergeming. "Ervin! Jangan diambil seperti itu!" Aline segera mengambil tangan mungil anaknya yang berusia 3 tahun itu. Ervin mulai lagi mengacak-ngacak sarapan. Saat tangannya diambil, maka Ervin memprotes. Belum lagi Edwin yang tak sabar untuk berangkat ke sekolah. Mana makanan dalam kotak bekal yang sudah disusun oleh Aline malah tumpah berceceran karena ulah Ervin. Aline menghela nafas. Ia berusaha tetap tenang. Ia tidak boleh menjadi gila hanya karena hal seperti ini. Segera ia memisahkan kedua anaknya dan menyusun kembali isian di kotak bekal Edwin sambil sesekali melayani suaminya di meja makan. Pintu diketuk lagi.
"Aku dengar Mikha kembali ke Jakarta." Bisikan itu terdengar meskipun diselimuti oleh suara anak-anak yang bergema sedang asyik bercengkrama. Alan tak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya datar saja. Meskipun informasi yang baru saja didapatkan ini mengenai mantan terindahnya. "Dia baru saja bercerai dari suaminya. Ternyata suaminya itu suka memukulnya." Sambung Sarah lagi. Puri mendekatkan tubuhnya lagi untuk mendengarkan cerita lengkapnya. "Kasihan sekali Mikha.." "Akibat perjodohan orang tua." Sahut Sarah. "Andai saja waktu itu Papanya Mikha mau merestui hubungan anaknya dengan Alan. Sudah bisa dipastikan mereka hidup bahagia sekarang." Mata Sarah melotot kepada ibunya. Bisa-bisanya Puri malah mengungkit masa lalu. Alan berdeham. "Yang lalu biarlah berlalu, bu. Sekarang hidupku sudah bersama Aline."
Keduanya duduk berhadapan dengan situasi yang penuh kecanggungan. Tak menyangka Alan bisa bertemu dengan mantan kekasihnya secepat ini.Mata Alan tak lepas menatap Mikha. Cinta pertamanya yang kini semakin dewasa. Usia Mikha kini sudah 32 tahun dengan kecantikan yang begitu mempesona."Maafkan aku gak sempat hadir saat pernikahan mas kemarin." Mikha tersenyum.Alan membalas senyuman itu dengan wajah tertunduk."Ada apa, Mikha? Aku dengar dari Sarah kalau kamu berpisah dengan suamimu?""Oh itu.. aku memang baru berpisah darinya." Mikha tersenyum getir. "Sayangnya aku tidak mendapatkan pernikahan yang bahagia seperti yang mas Alan miliki."Alan memalingkan wajah. Dia tak bisa menatap mata Mikha berlama-lama."Aku turut prihatin..""Terima kasih." Jawab Mikha. "Aku harus tetap menjalankan hidup.""Itu benar." Alan mengangguk setuju."Kamu masih aktif menulis?"
Robby pulang setelah ditolak. Malang sekali nasibnya, di ujung usianya ia sudah mendapatkan penolakan beberapa kali dari Alan. Mungkin itu buah yang ia petik akibat sikap arogannya di masa lalu.Puri yang mendengar ketegasan Alan tadi juga ikut dongkol. Dia yang malu. Sepulangnya Robby, dia ingin sekali melabrak anaknya itu. Apalagi si Aline. Duh! Senyumnya puas sekali. Seperti mengejek Puri atas kekalahannya.Baru saja Puri ingin berceloteh tapi mulutnya berhenti. Ternyata, Emma ada disana sedang bermain dengan Envier dan Ervin."Eh, bu besan belum pulang?" Tanya Puri. Hampir saja mulutnya kepeleset ingin marah-marah.Emma tersenyum."Insya Allah besok pagi. Masih kangen cucu.""Oh..." Puri pura-pura tersenyum. Padahal hatinya masih dongkol, sudah satu minggu lebih besannya di rumah ini dan selama ini juga dia tidak bisa memarahi Aline."Kalau begitu ibu pulang aja." Kata Puri kepada Alan.
Aline menoleh menatap mertuanya dengan getir."Sudah sadar kamu?""Ibu.." Aline terperangah. Apa maksud ucapan mertuanya ini."Lihat bagaimana Alan dan Mikha ketika bersama. Alan sangat bahagia."Aline sampai memalingkan wajah. Mertuanya ini, entah apa yang ia pikirkan."Apa yang ibu katakan? Apa ibu sadar?"Mata Puri melotot mendengar ucapan Aline. Menantunya ini memang terkenal berani. Pantas saja seluruh anaknya laki-laki.Suara gaduh terdengar dari luar, Alan sampai melesatkan pendengarannya."Seperti ada orang di luar." Gumam Alan.Mikha pun merasakan hal yang sama. Penasaran, ia pun pergi ke pintu yang tidak tertutup rapat itu dan menemukan menantu dan mertua yang saling menatap tajam."Ibu? Mbak Aline?" Mikha sampai tergagap.Aline masuk begitu saja tanpa menghiraukan Mikha yang masih terkejut akan kedatangannya."Kamu sudah beli makan
Aline mengerjap beberapa kali agar air matanya tak turun. Suami yang baru saja di do'akannya mulai menunjukkan kesadaran penuh walau di mulutnya memanggil nama wanita lain.Perlahan Alan membuka matanya dan menemukan Aline dengan wajah yang penuh kesedihan."Aline.." desah Alan lemah."Tunggu sebentar. Aku panggilkan perawat."Aline bergegas memanggil petugas medis untuk memeriksa kondisi suaminya yang sadar. Nasib baik Alan tidak mengalami hal serius. Aline sempat putus asa jika suaminya tidak berumur panjang."Sudah berapa lama aku gak sadar?" Tanya Alan setelah mendapat kesadaran penuh."Tujuh hari."Alan memejamkan matanya sebentar."Dimana anak-anak?""Bersama ibuku. Ada ibu yang datang dari kampung."Alan lalu menyapu sekitar. Dia belum diperbolehkan pindah dari ruang intensif."Maafkan aku yang sudah membuat kalian cemas..""Aku b
Alan mengirim pesan ke istrinya melalui ponsel sesaat sebelum keluar dari bandara.Tempat sudah di reservasi. Mereka akan pergi setelah bada' maghrib. Alan juga sudah memberi tahu Puri kalau anak-anak hari ini di titipkan padanya. Ya, walaupun awalnya Puri sedikit mengomel karena harus dititipkan tiga cucu sekaligus.Tapi, Alan sudah bertekad untuk memperbaiki masalahnya. Tak enak ternyata perang dingin dengan istri sendiri.Alan menatap langit dari dalam mobilnya. Sebuah pesawat lepas landas. Mungkin pesawat Mikha yang baru saja terbang.Sambil menghela nafas panjang, Alan memasukkan ponselnya ke dalam tas kerja dan menaruhnya di kursi belakang. Dia lalu menghidupkan mesin dan memutar mobilnya keluar dari bandara.Bohong jika Alan mengatakan hatinya saat ini baik-baik saja. Jika bisa memilih, dia sungguh ingin menahan Mikha. Tak ingin berpisah. Tapi isi kepalanya mengajak untuk tetap waras.Ada anak dan istri yang menu
"Jadi, kalian benar-benar tidak ingin bersama lagi?" Puri sampai mendengkus.Alan memalingkan wajah sampai menghela nafas kasar. Pagi minggunya ternodai karena kedatangan Puri yang mengomel."Apa sih kurangnya Mikha itu? Dia cantik, lembut terus pintar cari uang. Kamu menyia-nyiakan permata, Alan!""Ibu sudah cukup." Tegur Alan masih sabar."Lagi pula apa yang terjadi pada kalian waktu itu juga bukan salah kalian. Itu salah papanya Mikha!" Sambung Puri mencoba menyadarkan Alan.Alan sampai mengelus dada karena ucapan ibunya. Untung saja anak-anak sedang bermain di kamarnya. Atau mungkin, Edwin yang sudah sekolah akan mengerti sedikit apa yang orang dewasa ini katakan."Aku sudah menikah, bu. Bagiku pernikahan cukup satu kali. Aku gak mau mendua.."Puri sampai berdecih mendengar ucapan Alan."Kamu pikir ibu gak tahu kalau kamu masih cinta sama Mikha?""Ibu.." tegur Alan
Alan menatap lekat wajah istrinya yang tengah tertidur lelap. Biasanya setelah melayani Alan, Aline akan segera membersihkan diri dan baru tertidur.Tapi kali ini dia langsung tertidur setelah melayani Alan. Aline sepertinya kelelahan karena Alan sangat bersemangat tadi.Lelaki ini menepikan anak rambut di telinga Aline agar wajah istrinya ini terlihat jelas. Tiba-tiba Alan merasa berdosa. Bisa-bisanya dia membayangkan wanita lain saat sedang berhubungan dengan istrinya.Alan menatap istrinya dengan sedih. Entah sampai kapan rasa cinta ini akan tumbuh. Sudah tujuh tahun berumah tangga, tapi Aline masih belum bisa membuka pintu hati Alan.Pagi ini, Aline mendapat kejutan dari mertuanya yang ternyata menginap di rumah. Pantas kalau Aline tidak tahu, karena Alan langsung menyerangnya semalam. Jadi dia tak mengecek keadaan di luar semalam."Ibu menginap disini semalam?" Aline sungguh tak tahu."Ya." Jawab Puri dingin.
Tak banyak yang Aline lakukan saat kumpul keluarga ini. Dia hanya melihat dan mengamati. Sejatinya, Aline merasa kecil ketika berkumpul bersama keluarga besar suaminya.Mereka tertawa bersama. Dan ah, Aline tak tahu harus bersikap seperti apa. Jadi dia biasa saja. Sibuk bersama anak-anaknya saja."Nggak kepikiran nambah anak, line?" Tanya bude Tuti. "Kali aja anak ke empat perempuan."Aline hanya tersenyum tak enak."Punya 3 aja dia kerepotan. Rumah kayak kapal pecah. Mau nambah satu lagi, duh.." Puri menggeleng. "Ya nggak papa lah. Mumpung mereka masih muda." Seloroh Bude Tuti santai.Aline tak ingin menjawab karena ia melihat wajah Puri yang sudah berubah masam. Entah apa salahnya. Padahal ketiga anaknya ini dibawah pengasuhan Aline. Dalam artian, Aline tidak meminta bantuan mertuanya ini untuk menjaga anaknya.Apa mungkin karena Aline tidak bekerja jadi mertuanya ini tidak menyukainya? Ya, bi
Keduanya duduk berhadapan dengan situasi yang penuh kecanggungan. Tak menyangka Alan bisa bertemu dengan mantan kekasihnya secepat ini.Mata Alan tak lepas menatap Mikha. Cinta pertamanya yang kini semakin dewasa. Usia Mikha kini sudah 32 tahun dengan kecantikan yang begitu mempesona."Maafkan aku gak sempat hadir saat pernikahan mas kemarin." Mikha tersenyum.Alan membalas senyuman itu dengan wajah tertunduk."Ada apa, Mikha? Aku dengar dari Sarah kalau kamu berpisah dengan suamimu?""Oh itu.. aku memang baru berpisah darinya." Mikha tersenyum getir. "Sayangnya aku tidak mendapatkan pernikahan yang bahagia seperti yang mas Alan miliki."Alan memalingkan wajah. Dia tak bisa menatap mata Mikha berlama-lama."Aku turut prihatin..""Terima kasih." Jawab Mikha. "Aku harus tetap menjalankan hidup.""Itu benar." Alan mengangguk setuju."Kamu masih aktif menulis?"
"Aku dengar Mikha kembali ke Jakarta." Bisikan itu terdengar meskipun diselimuti oleh suara anak-anak yang bergema sedang asyik bercengkrama. Alan tak menunjukkan ekspresi apapun. Wajahnya datar saja. Meskipun informasi yang baru saja didapatkan ini mengenai mantan terindahnya. "Dia baru saja bercerai dari suaminya. Ternyata suaminya itu suka memukulnya." Sambung Sarah lagi. Puri mendekatkan tubuhnya lagi untuk mendengarkan cerita lengkapnya. "Kasihan sekali Mikha.." "Akibat perjodohan orang tua." Sahut Sarah. "Andai saja waktu itu Papanya Mikha mau merestui hubungan anaknya dengan Alan. Sudah bisa dipastikan mereka hidup bahagia sekarang." Mata Sarah melotot kepada ibunya. Bisa-bisanya Puri malah mengungkit masa lalu. Alan berdeham. "Yang lalu biarlah berlalu, bu. Sekarang hidupku sudah bersama Aline."