Rafandra masuk ke dalam ruangan rapat dengan wajah kesalnya. Rambutnya masih berantakan dan alas kaki yang berbeda dari biasanya. Samsul yang duduk di deretan kursi paling depan hanya bisa menepuk dahinya, kesal dengan kelakuan aneh bosnya. Ingin rasanya ia menegur bosnya tapi tidak berani. “Kamu dari mana saja? Ini hari kerja loh,” tegur Wirautama sang ayah saat Rafandra dengan santainya duduk di depan setelah memberi salam. “Loh, ini kan hari cuti Rafa. Kenapa papa marah?” balas Rafandra tak mau kalah. Wirautama kalah telak. Ia tak bisa lagi membalas kata-kata Rafandra yang menyudutkannya tadi. Ia pun memilih diam dan berbalik arah. “Baiklah, kita mulai rapatnya,” ujar Wirautama membuka rapat. Rafandra yang memang tak berminat memilih duduk dengan kaki dinaikkan, bertumpu dengan kaki yang lain. Tangannya membuka tutup botol minuman dan bungkus permen yang tersedia di depannya. Sesekali matanya melirik laptop yang dibawa Samsul lalu kembali menatap si pembicara di depan. Hampir s
"Ayo periksa." Alyssa menarik tangan Kayana masuk ke dalam kamar, entah apa yang akan mereka lakukan. Rafandra yang penasaran pun mengikuti mereka dari belakang. Ia berdiri di depan pintu dan mendengar percakapan antara ibu dan istrinya. "Kamu ke kamar mandi, terus test pakai alat ini. Mama selalu bawa di tas untuk jaga-jaga." Alyssa memberikan alat test itu pada Kayana yang berdiri mematung kebingungan. "Tapi, ma—" Kayana mengerutkan dahinya lalu memberi kode lewat mata pada Rafandra yang berdiri tepat di belakang ibunya. "Mau mama temani?" usul Alyssa yang segera ditolak Kayana. Rafandra membelalakkan matanya, tangannya langsung menyambar alat tes kehamilan di tangan ibunya. Alyssa segera merebutnya kembali dan memberikannya pada Kayana. "Kamu tahu kan cara pakainya?" Kayana mengangguk pelan. Sebenarnya, ia ingin menolak lagi tapi tidak enak rasanya. Apalagi jika melihat wajah ibu mertuanya yang sangat bersemangat. "Sebentar ya, Ma." Kayana masuk ke dalam kamar mandi dan menutu
Raut wajah bahagia terpancar jelas di lewat senyuman lebar di bibir Alyssa. Sejak ia masuk ke dalam rumah, aura kebahagiaan menyertainya. Sang suami yang sedang duduk santai di depan tv pun ikut merasakan perubahan itu. Penasaran, ia pun bertanya pada istrinya. "Bahagia sekali. Ada berita apa hari ini?" Alyssa menoleh cepat. Bibirnya masih menyunggingkan senyum manis. Wirautama jarang sekali melihatnya tersenyum seperti ini. Ada yang membuatnya bahagia? "Kamu mau dengar berita bahagia?" tanya Alyssa yang kini mendekat ke sofa tempat duduk suaminya. Wirautama mengerutkan dahinya, ia semakin merasa penasaran dengan berita yang membuat istrinya bahagia. "Apa itu?" Alyssa mendekat lalu berbisik di telinga suaminya, "Kita akan punya cucu." Alyssa tersenyum setelahnya lalu sibuk berseluncur ke dunia maya, mengabaikan suaminya yang mengerutkan dahinya bingung. Apa sebenarnya yang sedang dibicarakan oleh Alyssa? "Cucu? Maksudnya?" "Kamu ini, pura-pura tidak mengerti?" Alyssa memarahi
"Selamat ibu Kayana dan pak Rafa. Ibu Kayana positif hamil dengan usia kandungan tiga minggu. Sesuai dengan report yang diberikan tadi, sejak dua minggu lalu seharusnya ibu Kayana sudah memeriksakan kandungan. Beruntung tidak ada kekurangan gizi untuk calon bayinya." Kayana tersenyum mengangguk mendengar penjelasan dokter Saras, dokter yang sudah dipercaya oleh Alyssa untuk memeriksakan kandungan. "Tuh, kamu kenapa tidak periksa kemarin? Untung saja tidak ada masalah." Alyssa meniru ucapan dokter Saras menasehati Kayana yang dibalas dengan anggukan pelan olehnya. "Kayana kemarin tidak terasa kalau hamil. Yang bermasalah malah suami saya, dok. Dia marah-marah terus," tunjuk Kayana pada Rafandra yang mencebikkan bibirnya. Kayana membalasnya dengan seringainya. "Ah, berarti efek morning sickness dan perubahan hormonnya terbaru suami ibu Kayana. Jangan lupa minum vitamin ya. Jangan stress, harus banyak makan makanan bergizi," pesan dokter Sarah pada Kayana. Kayana mengangguk paham. "
“Sayang, kamu tahu tidak?” Rafandra menggelengkan kepalanya. Kayana menoleh lalu tertawa. “Aku memang belum kasih tahu sih.”“Menyebalkan,” gerutu Rafandra.“Tadi sehabis makan malam, aku ke kamar mama. Terus—” Kayana menjeda sejenak kalimatnya. Ia menarik napas cukup dalam. Terdengar sedikit berat hingga Rafandra yang tadi sibuk membalas surel di laptop, kini benda itu sudah ditaruhnya di meja samping ranjang. Rafandra membalik posisi tidurnya menghadap ke arah Kayana hingga mata mereka saling bertatapan. Rafandra memandang wajah Kayana yang terlihat sangatlah serius.“Lalu?” tanya Rafandra penasaran.“Kamu mau tahu?” goda Kayana dengan wajah menyebalkan.“Kamu niat mau kasih tahu aku apa tidak?” Rafandra merajuk, ia membalik badannya mencari laptop namun dengan cepat dicegah oleh Kayana. “Aku mau lanjut kerja nih,” ketus Rafandra yang kini berwajah masam.“Jangan marah dong sayang. Tadi, saat aku ke kamar mama, aku dengar sesuatu yang—” Kayana kembali menjeda kalimatnya lalu menari
Samsul masuk ke dalam ruangan Rafandra tepat pukul delapan pagi. Saat itu Rafandra baru saja tiba dan mendudukkan dirinya di kursi nyaman itu. Samsul memberi salam lalu ikut duduk setelah dipersilakan oleh Rafandra. “Bos, selamat pagi,” sapa Samsul yag dibalas gumaman oleh bosnya. Rafandra mendongakkan kepalanya menatap Samsul yang hanya diam saja setelah menyapanya tadi. Rafandra menaruh pena lalu menatap ke sekelilingnya sebelum akhirnya bertanya pada Samsul. “Kenapa kamu baru ceritakan sekarang kalau ada sesuatu yang aneh dengan papa saya. Apa alasannya?” Samsul menarik napas panjang. Di kepalanya ia merancang berbagai skenario agar bosnya tak marah dan murka padanya.Ia juga sempat berdoa dalam hati semoga saja bosnya tidak mengamuk. “Kenapa diam saja?” bentak Rafandra yang membuat mata Samsul membelalak lebar. Samsul menelan ludahnya ketakutan. Baru kali ini ia dibentak kasar oleh bosnya tanpa basa-basi. “Kalau kamu tidak mau bicara, saya bisa—” “B-baik bos. Saya akan ceritak
"Selamat siang." Samsul menghentikan pekerjaannya, melihat seseorang tergesa-gesa berjalan ke arahnya, ia pun menengadahkan kepalanya. "Mas Samsul bisa jemput pak bos besar ke rumah sakit?" Samsul mengerutkan dahinya. "Ke rumah sakit? Pak bos besar kenapa?" Seseorang yang bertanya tadi adalah asisten Wirautama yang kebetulan berada di kantor Rafandra untuk mengecek keperluan bos besarnya itu. Satu detik setelah Samsul bertanya, orang itu menepuk dahinya. "Tidak jadi mas. Permisi." Orang itu berlari ke arah lift pekerja dan sepertinya sedang terburu-buru turun ke lantai bawah. Merasa ada yang aneh, Samsul pun ikut turun ke bawah. Ia mengikuti orang itu lewat lift khusus untuk petinggi perusahaan. Samsul terus mengikuti orang itu hingga ke lantai bawah perusahaan. Orang itu ternyata sedang berbicara dengan supir pribadi bos besar yang ternyata sedang beristirahat di dekat kendaraan kantor. Samsul mengendap-endap mencari tempat yang nyaman untuk menguping pembicaraan mereka. Terden
Alyssa berpikir sejenak dengan rencana kepulangannya ke rumah besar. Ia memang masih kesal pada suaminya, tapi hati tak bisa berbohong jika dirinya begitu merindukan senyuman manis seorang Wirautama. Namun, niat itu berhasil dicegah oleh Rafandra. Bertepatan dengan putranya yang masuk ke dalam rumah, Alyssa malah terdiam mendengar penjelasan dari Rafandra. "Papa enggak akan pulang ke rumah malam ini. Coba saja mama telpon simbok nanti malam. Terus, mama hubungi papa setelahnya." Rafandra begitu percaya diri saat mengatakannya pada Alyssa karena lima menit yang lalu, Samsul mengirimkan bukti percakapan supir pribadi dan ayahnya. Dalam percakapan itu tertulis jika ayahnya sengaja malam ini menginap di sebuah rumah yang belum diketahui milik siapa. "Papa bilang sesuatu sama kamu?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Lalu, kenapa kamu tahu kalau papa tidak pulang malam ini?" "Firasat," jawab Rafandra singkat. "Kamu sudah mengetahuinya?" Alyssa bertanya dengan tatapan penuh menyelidik