Di dalam ruang kerjanya, Reynald tengah berpikir tentang perkataan kakeknya tadi pagi. Beberapa berkas yang berserakan terlupakan begitu saja di hadapannya. Fokusnya berubah untuk sejenak.
Memang sih, perempuan itu terlihat manis dan lain sekali tipenya dari semua wanita yang pernah Kakek jodohkan padaku. Tapi apa benar ini pilihan yang tepat bagi Kakek. Bukan! Apa dia memang perempuan yang tepat untukku? Apalagi kemarin Ardant memberiku data hasil cek up Kakek terakhir kali. Memang kondisinya sedang tidak bagus. Aarrgh ... ini sungguh membuatku frustrasi!!!
Pria itu terlalu sibuk dengan pikirannya hingga sebuah ketukan di pintu ruangannya membuat Reynald tersadar. Reynald mengangkat kepalanya dan menemukan sosok sahabatnya sudah berdiri di depan pintu ruang prakteknya.
“Hei ... kenapa wajahmu seperti itu? Kali ini siapa lagi wanita yang Kakek jodohkan padamu?” kata Ardant yang sudah hapal di luar kepala arti dari mimik wajah sahabatnya saat ini.
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Reynald sambil menatap sahabatnya heran.
“Sudah tak terhitung banyaknya aku melihat wajahmu yang seperti ini,” kata Ardant sambil menghela napas kemudian duduk di hadapan Reynald. “Kali ini gadis seperti apa yang jadi calon pendampingmu?”
“Malaikat penyelamat nyawa, begitu kata Kakek!” kata Reynald datar.
“Ah, jadi begitu. Apa gadis manis penuh semangat dengan rambut hitam lurus yang panjang sepunggung?” tebak Ardant.
“Kamu kenal dia?”
“Ya, aku tahu gadis itu. Beberapa kali dia ke sini menjenguk Kakek. Kakek juga yang memberinya pekerjaan di VO-Channnel. Pantas saja Kakek menyebutnya malaikat penyelamat. Bukankah dia gadis yang manis?” kata Ardant panjang lebar dengan penuh semangat berbanding terbalik dengan raut wajah sahabat yang duduk di depannya.
“Manis apanya?”
“Hei ... jangan begitu. Kamu kan belum mengenalnya lebih dekat. Kalau kamu kenal dia lebih dekat, kamu pasti akan menyebutnya gadis yang manis dan mungkin saja kamu bisa menyukainya.”
“Memangnya kamu dekat dengannya?” tanya Reynald penuh selidik.
“Tidak juga, sih. Hanya beberapa kali mengobrol dengannya. Menurutku dia gadis yang baik. Aku rasa kali ini Kakek memilih calon yang tepat untukmu!”
“Tepat apanya? Aku bahkan tak bisa memilih pasanganku sendiri,” gerutu Reynald jengkel.
“Sudahlah, terima saja. Aku rasa gadis itu masih jauh lebih baik daripada artis cantik yang selalu mengejarmu itu!” kata Ardant sambil mengangkat dagunya menunjuk seseorang yang berjalan mendekat saat pria itu berjalan keluar dari ruang praktek Reynald. “Bersemangatlah! Semoga harimu menyenangkan,” ucap Ardant lagi sambil tersenyum tipis kemudian pergi meninggalkan Reynald sendirian.
“Hai, Rey!” sapa Safira sambil tersenyum manis diikuti sang managernya. Wanita yang selalu menjaga lekuk tubuhnya agar tetap indah itu pun melangkah menghampiri Reynald sambil membuka kacamata hitamnya.
“Dokter Steven kan di lantai tiga bukan di sini!” kata Reynald dingin dan tak acuh. Pria itu sungguh tak ada waktu untuk meladeni tingkah artis manja yang satu ini. Reynald bahkan tak mau bersusah-susah untuk melihat bahkan melirik Safira.
“Aku ke sini untuk menemuimu, Rey. Tidak bisakah kita bicara berdua?” kata Safira lagi kemudian menyuruh managernya pergi meninggalkan mereka berdua.
“Tak ada yang perlu kita bicarakan, Safira.” Reynald bangkit berdiri dari duduknya. Namun Safira berusaha menghalangi jalannya dan berharap pria itu mau menyisakan fokusnya untuk dirinya walau hanya sejenak. “Jangan halangi jalanku! Aku ada operasi penting siang ini,” ucap dokter tampan itu dengan tatapan menusuk lalu melangkah pergi meninggalkan Safira begitu saja.
“Tunggu Rey!” Safira segera memanggil Reynald sebelum pria itu meninggalkan ruangannya. Namun Reynald sama sekali tak menggubrisnya. “Hhh ... kenapa dia jadi sedingin ini, sih. Padahal dulu dia baik sekali padaku.” Safira mulai menggerutu. “Apa sekarang aku tidak terlihat menarik?” tanya Safira pada managernya yang belum sempat beranjak dari tempatnya saat Reynald meninggalkan mereka.
“Kamu jelas memang menarik sekali. Sampai mata semua pria akan menatapmu ke mana pun kamu pergi. Tapi mungkin dia begitu karena dulu kamu cuma memanfaatkannya supaya bisa kembali pada mantan pacarmu yang tidak baik itu! Padahal dulu dia sangat peduli sekali padamu,” jelas Tania mulai menceramahi Safira seperti biasanya.
“Apa benar dulu dia sepeduli itu padaku?”
“Iya. Kamu saja yang terlalu fokus sama mantanmu itu sampai pria baik seperti dia hanya kamu manfaatkan saja. Pantas saja dia jadi sekecewa ini padamu. Kamu menyesal kan sekarang?”
“Tenang saja. Apapun yang terjadi aku akan mendapatkan hatinya kembali!” kata Safira penuh percaya diri.
“Menurutku itu pasti sulit sekali.”
“Sudah kamu diam saja! Ini urusanku!”
Safira sebenarnya tahu kalau semuanya sudah salah sejak awal. Dia memang pernah memanfaatkan kebaikan dan perhatian dokter tampan itu hanya untuk kepentingan pribadi dan keegoisannya. Walaupun Reynald dengan tulus selalu ada untuknya di saat dia benar-benar terpuruk dulu. Namun kini pria itu berpaling darinya bahkan enggan menatapnya. Namun dia selalu berharap bisa memperbaiki semuanya dan kembali mendapatkan hati Reynald.
Safira melipat kedua tangannya di depan dada sambil berpikit tentang trik apa lagi yang bisa dia lakukan untuk meluluhkan hari dokter tampan pujaannya tersebut. Hingga sebuah senyuman akhirnya mengembang menghiasi bibirnya yang berlapis lipstik merah cerah yang memikat.
Safira segera menyeret Tania ke sebuah restoran dan memesan banyak sekali makanan. Kemudian kembali ke rumah sakit dan mulai membagikan bento makanan yang dia pesan ke semua stasiun perawat yang ada di lantai tempat Reynald bekerja. Safira juga tak lupa menyiapkan kudapan yang sedang hits di media sosial akhir-akhir ini. Sebagai imbalan untuk setiap perawat yang memberi tahunya segala hal tentang Reynald yang selama ini belum diketahuinya.
Sudah beberapa jam ini, Safira berjalan hilir mudik ke sana kemari di dekat ruang praktek Reynald dan berharap bisa bertemu lagi dengan pria pujaannya tersebut. Sampai terdengar suara berat yang memanggil namanya. Sayangnya suara berat itu bukanlah suara yang saat ini sangat ingin dia dengar.
“Safira,” panggil pria itu sekali lagi lalu berjalan cepat menghampiri Safira. “Sedang apa kamu di sini? Bukankah jadwal konsultasi kita besok?”
Safira akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap pria di depannya dengan senyum yang dipaksakan. “Ah, Dokter Steven. Aku ada keperluan lain.”
“Di sini?” Pria itu memandang sekeliling ruangan besar dengan beberapa pintu ruang praktek dan stasiun perawat dengan heran. “Ini kan poli bedah?”
Safira hanya bisa tersenyum kaku. “Emang apa masalahnya kalau aku di sini?” tanya Safira balik.
“Kamu sakit?” tanya Steven lagi.
Belum sempat menjawab pertanyaan Steven, sudut mata Safira menemukan sosok yang selama ini ditunggunya baru saja tiba di depan meja perawat bersama Ardant. Senyum semringah mulai mengembang menghiasi bibir Safira dan dengan tak acuh, wanita itu melewati Steven begitu saja untuk menghampiri Reynald.
“Rey!”
****
Hai readers, salam kenal dari aku, penulis yang hobi menggalau. Yuk menggalau bersama ceritaku ini. semoga kalian suka dengan kisah Leanna dan Dokter Reynald.
“Pagi, Leanna!” sapa Arvian ceria saat tiba di studio 2 dan mendapati Leanna sedang bekerja di sana.“Pagi juga. Tumben jam segini sudah datang?”“Iya. Sekarang aku jadi host program ‘Musik Hitz’. Keren, kan?” kata Arvian narsis.“Dasar narsis. Sudah ah, aku mau kembali bekerja. Dah … Arvian!” pamit Leanna, tetapi dengan cepat Arvian menarik lengan gadis itu. “Ada apa lagi?”“Nanti siang kita makan sama-sama, ya! Jangan lupa tunggu aku di sini!”“Baiklah,” jawab Leanna sambil tersenyum sebelum akhirnya pergi kembali bekerja.Untungnya hari ini jadwal acara yang Leanna pegang tak begitu banyak sehingga dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu Arvian selesai membawakan program musiknya. Sesekali Leanna membantu Nindy menyiapkan pakaian untuk para kontestan acara pencarian bakat menyanyi nanti malam. Hingga tak lama kemudian dering suara ponsel Leanna berbunyi dan nama Arvian tertera di layar ponselnya.“Aku sudah selesai. Kamu di mana sekarang?”“Aku masih di ruang wardrobe. Tunggu se
Sudah tiga hari ini Leanna tidak masuk kerja. Semenjak kejadian di rumah sakit, Leanna tak melihat sedikit pun penampakan Reynald di rumah. Mungkin pria itu sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak pernah pulang.Suasana di rumah Kakek pun sangat sepi sekali karena Kakek sedang sibuk mengurus beberapa bisnisnya dan baru akan pulang ketika dini hari. Leanna merasa bosan hingga membuatnya tak bisa tidur malam ini.Pelan-pelan Leanna berjalan menuju dapur untuk membuat kopi kesukaannya. Sambil sesekali menyeret kakinya yang masih sedikit sakit, Leanna memanaskan air dan mengambil bubuk kopi. Setengah berjinjit, Leanna berusaha mengambil cangkir kopi di rak paling atas. Karena keseimbangan kakinya belum baik, Leanna pun oleng. Untung seseorang menangkap pinggangnya dan membantunya berdiri dengan benar.“Kenapa tidak panggil Bu Tia saja?” kata Reynald yang terlihat masih mengenakan pakaian rapi walau terlihat sedikit kusut. Nampaknya pria itu baru saja pulang dari rumah sakit karena aro
Pagi sekali Leanna terbangun dalam kebingungan, karena seingatnya dia tertidur di sofa ruang santai saat sedang menyelesaikan gaun yang dibuatnya. Sekarang Leanna justru sudah berada di kamarnya.“Apa aku berjalan sambil tertidur, ya?” gumam Leanna pelan kemudian segera bangkit untuk bersiap-siap berangkat kerja.Setengah jam kemudian Leanna sudah ada di dapur membantu Bu Tia menyiapkan sarapan. Sekalipun Bu Tia menyuruhnya duduk saja namun wanita itu lebih suka ikut membantunya memasak dan menyiapkan peralatan makan. Hingga tak lama kemudian Reynald dan Fiona telah duduk bergabung mengelilingi meja makan.“Kalian mau minum apa? Kopi atau teh?” tanya Leanna sambil menyiapkan cangkir kopi atau teh.“Kopi,” jawab Reynald dan Fiona bersamaan. Dengan sigap Leanna menuang kopi ke dalam dua buah cangkir putih lalu memberikannya pada Reynald dan Fiona.“Selamat pagi cucuku semua!” sapa Kakek saat tiba di ruang makan kemudian duduk di kursinya. Pagi ini Kakek terlihat lelah tak seperti biasan
Leanna bangun terlalu pagi di akhir pekan yang cukup tenang. Wanita itu membuka pintu kaca balkonnya dan menghirup udara pagi yang segar. Tercium beberapa aroma bunga yang bermekaran dari taman belakang dan dia tak pernah bosan menghabiskan waktu luangnya untuk sekadar bersantai di kursi balkon kamar tersebut. Sayangnya dering telepon yang mengalunkan lagu favorit Leanna berhasil menyabotase kegiatannya menikmati udara segar dan ketenangan di balkon tersebut. Leanna langsung menekan tombol terima dengan segera begitu tahu siapa yang meneleponnya. “Pagi, Leanna. Apa kabarmu pagi ini?” tanya Arvian lembut. “Aku baik. Kenapa meneleponku sepagi ini? Memangnya kamu tidak ada syuting?” “Ini aku sudah di lokasi syuting. Hari ini aku syuting mini drama dan suasananya sangat membosankan. Andai saja kamu ada di sini Leanna,” keluh Arvian. “Memang yang jadi lawan mainmu sekarang siapa?” “Soraya. Dari dia datang sampai break syuting, dia selalu saja mengikutiku dan membuatku jengkel. Jadi ak
Ketika sampai di gedung tempat acara pernikahan Stella dilangsungkan, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Leanna maupun Reynald. Sekalipun Leanna berusaha mencairkan suasana, tetapi selalu ditanggapi dengan datar dan dingin oleh pria itu. “Dokter, aku mau ke ruang pengantin wanita dulu, ya. Apa Dokter mau ikut?” “Tidak. Saya tunggu di dalam saja.” “Oke.” Keduanya pun berpisah arah. Reynald memilih langsung masuk ke dalam ballroom sedangkan Leanna segera menuju ruang pengantin wanita untuk menemui Stella. “Wow!!! Lihatlah dirimu ... kamu cantik sekali Stella,” puji Leanna tulus sambil menghampiri sang pengantin yang terlihat cantik dengan gaun putih yang berhiaskan sentuhan ornamen bunga berwarna biru sesuai tema pernikahannya. “Akhirnya kamu datang juga. Lihat yang lain sudah menunggumu!” kata Stella sambil menunjuk teman-temannya yang mengenakan pakaian dengan warna dan bahan yang sama dengan yang dikenakan Leanna. Beberapa teman dekat masa sekolahnya dulu kini ada di h
Pagi-pagi sekali Leanna sudah siap untuk berangkat kerja. Sengaja dia berangkat lebih awal sebelum Kakek dan Reynald bangun. Semalam Leanna benar-benar tak bisa tidur karena jantungnya tetap berdebar kencang mengingat kejadian di pesta pernikahan Stella. Entah kenapa akhir-akhir ini dokter itu selalu bisa membuat jantungnya berdetak gila. Kalau Leanna melihat pria itu pagi ini, bisa-bisa jantungnya melompat keluar dari rongganya.Sebelum berangkat, Leanna sengaja menitipkan pesan pada Bu Tia supaya Kakek tidak menunggunya saat sarapan dan sekarang dia tengah memasuki ruang tim wardrobe stasiun TV VO-Channel.“Pagi, Leanna,” sapa Nindy yang tengah sibuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas besar untuk keperluan syuting.“Pagi juga. Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya dimasukkan ke dalam tas? Memangnya kita mau ke mana?”“Apa kamu lupa kalau mulai hari ini kita bertanggung jawab menyiapkan wardrobe untuk syuting drama. Drama kedokteran yang Arvian bintangi dengan Safira dan Soray
“Apa yang kamu lakukan, Safira? Sengaja membuatnya kesulitan?” tanya Reynald yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Leanna dengan raut wajah dingin. Pria itu sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan Safira yang terus membuat Leanna harus beberapa kali berlari keluar masuk parkiran-lobi untuk memenuhi permintaannya.“Loh kan, memang itu sudah jadi tugasnya? Memangnya aku salah?” balas Safira ketus.“Ini. Suruh saja asistenmu yang mengambilkannya!” kata Reynald sambil mengembalikan kunci mobil Safira. Kemudian pria itu menggandeng tangan Leanna pergi meninggalkan lobi dan membuat Safira semakin jengkel.“Hei, Dokter! Kita mau ke mana, sih? Aku kan, belum selesai kerja!” ucap Leanna berusaha menghentikan laju jalan Reynald yang nyaris membuatnya terseret.“Ini sudah jam dua siang. Sudah lewat jam makan siang dan kamu belum makan, kan? Mau penyakitmu kumat lagi?” ceramah Reynald dengan wajah tanpa ekspresi.“Tapi ....”“Yang lain juga pasti sedang istirahat makan siang. Ayo!” Mendengar k
“Kamu mau pulang?” tanya Reynald yang sudah berdiri di samping Leanna dengan wajah tanpa ekspresinya. “Iya. Tapi tunggu hujannya reda. Aku lupa bawa payung,” kata Leanna sambil tersenyum tipis. “Ayo kita pulang! Kakek bisa marah kalau tahu saya membiarkanmu kehujanan!” katanya sambil mengambil snellinya kemudian ditudungkannya di kepala Leanna hingga membuat wanita itu tak bisa berkata-kata dan hanya menatap pria di hadapannya heran. “Kenapa bengong? Kamu mau pulang tidak?” tanya Reynald lagi kemudian menarik lengan Leanna untuk mengikutinya ke parkiran. Leanna yang masih terkesima dengan sikap Reynald hanya bisa memandang punggung pria di hadapannya itu sambil menahan degup jantungnya agar tidak terdengar siapa pun. “Hari ini Dokter kenapa? Bukan karena salah makan, kan?” tanya Leanna sambil menatap pria di sampingnya yang serius menatap jalanan dari balik kemudi. “Kenapa? Kamu tidak suka pulang bersama saya?” “Bukan itu maksudnya. Aneh saja Dokter bersikap baik padaku. Biasanya
Mungkin untuk sebagian orang, menikahi pria kaya dan tampan adalah sebuah kesempurnaan hidup. Namun Leanna tidak merasa seperti itu. Menikah dengan Reynald terasa seperti mengemban sebuah tugas yang berat, seperti apa yang Safira katakan sebelumnya. Anak di dalam kandungannya bahkan sudah mendapatkan tanggung jawab besar jauh sebelum dia dilahirkan.Awalnya mungkin Leanna tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun begitu membuka mata keesokan paginya, dia benar-benar menyadari kalau hidupnya tidak akan semudah itu. Baru saja membuka matanya dan raut wajah penuh kekhawatiran dapat terlihat jelas dari beberapa orang yang kini memenuhi ruang rawatnya.“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Kakek Antony. “Kenapa kamu membiarkan istrimu kelelahan?” kata Kakek Antony pada Reynald begitu melihat pria itu masuk ke dalam ruang rawatnya.“Kamu juga kenapa tidak mengatakan lebih awal kalau Leanna di rawat di sini?” kata Kakek Antony pada Fiona yang terlihat merengut tidak terima disalahkan.“Justru aku y
Setelah kepanikan dan kehebohan di sepanjang lorong menuju poli obstetri dan ginekologi tadi, Leanna akhirnya langsung dapat penanganan dari Dokter Vira. Setelah melakukan banyak pemeriksaan Leanna akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan untuk beristirahat selagi menunggu hasil pemeriksaan yang sudah dilakukannya barusan.Meskipun nyeri di perut Leanna sudah berkurang dan wanita itu pun kini sudah terlihat mulai nyaman berbaring di ranjangnya, tetapi Safira dan Fiona masih terlihat penuh kekhawatiran.“Benar sudah tidak sakit?” tanya Safira lagi. “Kalau memang masih sakit nanti kupanggilkan Dokter Vira lagi,” kata Safira.“Kamu belum makan, kan? Kamu mau makan apa biar kupesankan,” kata Fiona tak kalah paniknya.“Sebaiknya kalian juga duduk sebentar. Memangnya tidak lelah berlari-lari seperti tadi?” kata Leanna yang mulai pusing melihat kedua wanita cantik itu berjalan hilir mudik di depan ranjangnya.“Kalau perutmu masih terasa sakit, kamu tarik napas yang panjang saja, ya,” kata Safi
Sudah beberapa hari ini Fiona lebih sering berada di butik Leanna dengan setumpuk buku referensi pernikahan yang dibawanya. Menghabiskan hari sambil berceloteh tentang model gaun seperti apa yang cocok untuk gaun pengantinnya. Dekorasi seperti apa yang bagus untuk acara pernikahannya kelak, hingga jenis dan warna bunga yang bagaimana yang bagus digunakan untuk menghiasi ballroom tempat acaranya nanti. Leanna sampai pusing sendiri menanggapi semua celotehan Fiona tentang rencana pernikahannya tersebut. Belum lagi ketika Fiona bertanya beberapa pilihan konsep pernikahan yang ada di buku referensi tersebut. Leanna sampai bingung harus pilih yang seperti apa. Karena semua konsep yang Fiona usulkan semuanya memiliki keunikan tersendiri. “Kalian sedang apa?” tanya Safira yang tiba-tiba datang. Wanita itu membuka kacamata hitamnya kemudian ikut duduk di sebelah Fiona. “Merencanakan pernikahan,” jawab Leanna singkat. “Pernikahan siapa?” tanya Safira bingung. Leanna hanya melirik ke arah Fi
Tuan Darwin duduk di samping Kakek Antony kemudian kedua orang tua Kennard dan Kennard yang duduk persis di samping Fiona. Mereka semua saling menyapa dengan anggukan dan senyuman singkat kepada Kakek Antony. “Bukankah kamu yang meminta Kennard untuk membawa serta kami sekeluarga?” balas Tuan Darwin sambil menatap Kakek Antony tajam. Yang menurut Leanna seperti harimau yang sedang menakut-nakuti mangsanya. “Tentu, kalau cucumu itu ingin mendapatkan cucu perempuanku yang berharga.” “Kalau begitu, apakah kamu sudah bersedia menyerahkan cucu perempuanmu yang berharga itu pada cucuku?” tanya Tuan Darwin yang kali ini dengan senyuman tipis di bibirnya. “Mengingat sudah berapa lama kita berteman, seharusnya kamu tahu jelas apa jawabanku, kan, Win?” balas Kakek Antony lagi sambil menatap Tuan Darwin lekat-lekat. “Baiklah! Kita tidak perlu berbasa basi seperti ini lagi. Bagaimana kalau langsung menetapkan tanggal pernikahan untuk mereka saja?” kata Tuan Darwin yang saat ini raut wajahnya
Belaian lembut di pipi Leanna pun membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya. Sebuah kecupan bahkan mendarat di bibir Leanna saat wanita itu membuka mata. Reynald kemudian menatapnya dalam-dalam sambil merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi Leanna. “Pagi,” sapa Reynald saat Leanna sudah sadar sepenuhnya. “Hari ini sudah tidak ada seminar, tapi sepertinya kita harus lekas pulang,” kata Reynald dengan nada suara lembut. “Pulang?” “Hmm. Kamu lupa kalau nanti malam ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga Raharjo?” “Nanti malam? Ah, iya. Acaranya Fiona?” “Betul. Awalnya saya ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini, tapi tadi pagi sekali Fiona menelepon untuk mengingatkan saya tentang pertemuan keluarga ini.” “Ah, benar juga. Tidak mudah membuat Tuan Darwin mau datang mengurus masalah Fiona dan Kennard. Kita tidak boleh mengacaukannya.” “Tentu. Karena itu … ayo lekas bangun, Sayang,” kata Reynald sambil mengusap pipi Leanna kemudian tersenyum dan menatap is
“Memangnya kenapa?” tanya Reynald.“Jawab saja, Mas. Kita ini pasangan serasi atau bukan?”“Memangnya menurut kamu, kalau pasangan serasi itu seperti apa?” Reynald kembali balik bertanya.“Wajahnya cantik dan ganteng. Kelihatan sangat saling mencintai. Kompak dalam hal apa pun,” ucap Leanna menyebutkan isi salah satu artikel yang pernah di bacanya di media sosial.“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya.”“Apa?” Leanna justru bingung dengan jawaban yang diberikan Reynald.“Sudah jam 7, saya dan Steven harus kembali ke ruang seminar. Kalau kamu masih mau jalan-jalan lagi bersama Safira tidak apa-apa. Nanti minta Pak Sugio saja yang antarkan.”“Eh, tapi –”Reynald bangkit berdiri sambil mengusap puncak kepala Leanna dengan penuh rasa sayang kemudian tersenyum pada Leanna sebelum beranjak pergi. Begitu juga dengan Steven. Pria itu pun ikut bangkit berdiri menyusul Reynald.“Jangan lupa meneleponku kalau sudah selesai!” kata Safira sambil menatap Steven dengan tatapan tidak rela berpisah.“O
Usai berkeliling dari butik satu ke butik lainnya, Safira dan Leanna duduk berhadapan di salah satu café yang sedang hits di Dago. Beberapa tas belanjaan tergeletak di atas kursi di samping keduanya. Leanna sedang meminum jusnya, sedangkan Safira sibuk memeriksa ponselnya. “Mau sampai kapan kamu memandangi ponselmu begitu?” tanya Leanna yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Safira. “Seminar mereka baru akan selesai malam hari.” Safira mengangkat wajahnya dan fokus mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Leanna. “Seminar hari ini materinya lumayan padat. Mas Reynald bilang pasti akan malam sekali selesainya.” “Memangnya mereka selesai jam berapa?” tanyanya penasaran. “Sekitar jam 10 sampai jam 11 malam,” kata Leanna sambil mengingat-ingat daftar jadwal seminar yang diberikan Reynald padanya. “Semalam itu?” Safira terlihat mendesah kecewa. “Itu sih sama saja tidak bisa bertemu dengannya hari ini.” “Hmm … bisa saja sih bertemu dengannya pada saat jam makan malam. Biasanya mere
Reynald mengurai pelukan Leanna dan menatap wajah wanita kesayangannya itu. Masih sedikit tidak percaya Leanna menyusulnya ke hotel tempatnya menginap. “Aku tidak bisa tidur kalau tidak ada, Mas,” ucap Leanna pelan sambil menatap wajah suaminya yang kini sedang tersenyum tipis menatapnya. Leanna kembali mendekap Reynald dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Masih rindu dengan dekapan hangat dan aroma maskulin yang selalu bisa menenangkan jiwanya. Reynald membalas pelukan Leanna dan mengusap lembut punggungnya. Menyalurkan kedamaian dan kenyamanan yang selalu membuat Leanna ingin berada dalam pelukan hangat pria itu selamanya. “Peluknya nanti di sambung lagi. Sekarang kita ke kamar dulu, ya!” Reynald kemudian menggandeng Leanna memasuki lift yang membawa mereka ke lantai 5. Berhubung sudah tengah malam, Reynald tidak mungkin membiarkan Leanna berada lama-lama di lobi hotel. Reynald langsung membawa Leanna ke dalam kamarnya. Perjalanan panjang dari rumah mereka ke hot
Leanna terbangun dan wangi maskulin yang selama ini dia rindukan tercium kental dihidungnya. Leanna pun membuka mata dan menemukan dirinya sedang berada dalam dekapan pria yang beberapa waktu lalu membuatnya kesal.“Kapan Mas pulang? Katanya mau shift malam menggantikan teman Mas?” tanya Leanna sedikit terkejut mendapati suaminya itu mendekapnya erat.“Sstt … jangan bergerak!” Bukannya menjawab, Reynald justru mengetatkan pelukannya. “Kita tidur sebentar lagi, ya!” pinta pria itu dan kembali memejamkan matanya.Leanna hanya bisa menurut dan membiarkan suaminya itu memeluknya dan terlelap untuk beberapa saat. Namun suara perut Leanna yang kelaparan segera membangunkan Reynald. Sambil tersipu malu, Leanna menatap Reynald sedangkan pria itu justru tersenyum lembut.“Lapar, ya?” tanya Reynald dan Leanna mengangguk pelan. Memasuki trisemester kedua membuat perutnya menjadi lebih sering merasa lapar. “Mau makan apa?”“Bakso.”“Sepagi ini mana ada yang jual bakso, Leanna?”Leanna mengerucutk