“Pagi, Leanna!” sapa Arvian ceria saat tiba di studio 2 dan mendapati Leanna sedang bekerja di sana.
“Pagi juga. Tumben jam segini sudah datang?”
“Iya. Sekarang aku jadi host program ‘Musik Hitz’. Keren, kan?” kata Arvian narsis.
“Dasar narsis. Sudah ah, aku mau kembali bekerja. Dah … Arvian!” pamit Leanna, tetapi dengan cepat Arvian menarik lengan gadis itu. “Ada apa lagi?”
“Nanti siang kita makan sama-sama, ya! Jangan lupa tunggu aku di sini!”
“Baiklah,” jawab Leanna sambil tersenyum sebelum akhirnya pergi kembali bekerja.
Untungnya hari ini jadwal acara yang Leanna pegang tak begitu banyak sehingga dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu Arvian selesai membawakan program musiknya. Sesekali Leanna membantu Nindy menyiapkan pakaian untuk para kontestan acara pencarian bakat menyanyi nanti malam. Hingga tak lama kemudian dering suara ponsel Leanna berbunyi dan nama Arvian tertera di layar ponselnya.
“Aku sudah selesai. Kamu di mana sekarang?”
“Aku masih di ruang wardrobe. Tunggu sebentar! Aku ke sana sekarang.” Usai menutup panggilan teleponnya, Leanna segera menuju studio 2 di mana Arvian telah menunggunya. “Kamu ini tidak sabaran sekali, ya!” ujar Leanna begitu tiba di studio 2 dan melihat Arvian yang berkali-kali menatap layar ponselnya.
“Habis, aku takut kamu melarikan diri hanya gara-gara takut diamuk penggemarku.”
“Tapi kalau ada gosip jangan salahkan aku, ya!”
“Oke, deh!” sahut Arvian girang sambil merangkul pundak Leanna.
Baru saja hendak melangkah menuju pintu keluar studio, seorang kru berteriak ke arah mereka berdua.
“AWAS!!!” teriak seorang kru yang berada dekat kamera. Leanna refleks melihat ke arah pandang kru kamera tersebut. Sebuah tiang lampu sorot atas studio terjun bebas ke arah mereka berdiri. Namun terlambat bagi Leanna untuk berlari menjauh setelah mendorong Arvian dari tempat jatuhnya tiang lampu tersebut. Leanna berhasil menjauhkan Arvian dari kecelakaan tersebut, tetapi ternyata tiang yang berat itu menimpa salah satu kakinya. Tangan dan kakinya sempat tergores beberapa pecahan kaca lampu. Sedangkan tangan Arvian hanya tergores sedikit dan luka lecet akibat jatuh didorong Leanna tiba-tiba. Selebihnya pria itu baik-baik saja. Hanya terlihat sedikit syok dan cemas melihat kondisi Leanna.
“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Leanna saat Arvian mendekat padanya untuk membantu mengangkat tiang yang menimpa kakinya.
“Tak perlu cemaskan aku! Lihat dirimu! Kenapa kamu ceroboh sekali, sih! Seharusnya selamatkan dulu dirimu! Apa kamu bisa berdiri?” tanya Arvian bertubi-tubi sambil memeriksa kondisi Leanna yang berusaha bangkit saat tiang lampu sudah diangkat dari kakinya.
Baru saja Arvian hendak membantu Leanna berdiri, ketika tiba-tiba beberapa kru senior dan para penggemar setianya mulai mengikutinya ke mana pun dia pergi. Mereka mengelilingi dan menanyakan kondisinya. Bahkan Sony, managernya langsung heboh memeriksa sekeliling tubuh Arvian untuk melihat seberapa parah cidera yang dialaminya. Soraya, partner host Arvian juga langsung memberikan perhatian ekstra yang membuat pria itu sedikit muak. Semua begitu peduli dan khawatir pada Arvian hingga tak ada yang memperhatikan Leanna kecuali kru kameramen yang berdiri di dekatnya.
“Minggir semua! Bukan aku yang terluka!” teriak Arvian frustrasi melihat kehebohan di sekelilingnya. Arvian justru berlari menghampiri Leanna kemudian memapahnya keluar ruang studio. “Sony, cepat ambil mobil. Kita ke rumah sakit sekarang! teriak Arvian tanpa memedulikan sekelilingnya. Yang dia khawatirkan hanya Leanna.
Tidak lama kemudian mobil Arvian sudah tersedia di depan lobi kantor stasiun TV VO-Channel. Saat menuju ke rumah sakit pun beberapa penggemar setia Arvian mengikutinya hingga membuat beberapa keramaian di lobi rumah sakit saat Arvian memapah Leanna masuk IGD. Sedangkan managernya segera memanggil perawat jaga untuk membawakan kursi roda untuk Arvian. Saat itu Reynald sedang melintasi lobi pun melihat semua kehebohan yang terjadi di sekeliling Arvian. Semua orang menyuruh artis tampan nan rupawan itu duduk di kursi roda yang dibawa perawat, sedangkan pria itu malah berteriak marah saat managernya mendorong kursi roda menuju IGD.
“Sudah kubilang, aku tak apa-apa. Yang sakit bukan aku!” teriak Arvian pada managernya namun sang manager menahannya untuk tetap duduk di kursi roda yang dibawanya. Sony berusaha menghindari gosip yang akan timbul bila artisnya terus saja berada di dekat Leanna, terlebih banyak penggemar Arvian yang tengah menonton mereka di sana.
Begitu semua kehebohan itu menjauh, Reynald melihat Leanna berusaha berdiri dengan susah payah berpegangan pada kursi ruang tunggu. Reynald dengan cepat melangkahkan kakinya dan menghampiri Leanna yang hampir terjatuh kemudian menangkapnya.
“Apa yang sakit?” tanya Reynald yang tengah memeluk pinggang Leanna untuk membantunya berdiri dan membuat gadis itu sempat terperangah karena dekapan pria itu barusan.
“Kakiku,” jawab Leanna pelan. Segera saja Reynald membopong Leanna menuju ruang IGD. “Do-Dokter ... tak perlu menggendongku begini. Aku tak apa-apa.”
“Apanya yang tidak apa-apa. Wajahmu terlihat nyaris menangis,” celetuk Reynald dingin.
Sesampainya di ruang IGD, Reynald segera memeriksa kaki Leanna dan beberapa luka kecil di tangannya. Dengan cekatan Reynald membalut kaki Leanna yang untungnya hanya tergores dan memar saja.
“Untungnya kakimu hanya memar. Tidak ada tulang yang retak atau patah. Apa yang terjadi?”
Belum sempat Leanna menjawab pertanyaan Reynald, Arvian tiba-tiba menyerbu masuk dan menanyakan keadaan Leanna.
“Kamu tidak apa-apa kan, Leanna? Apa sakit? Dokter, kakinya tidak patah, kan?” tanya Arvian tanpa jeda.
“Ya, begitulah. Tidak ada luka yang serius,” jawab Reynald sekenanya.
“Seharusnya yang tertimpa tiang itu aku, bukan kamu, Leanna.”
“Kamu kan, artis. Mana boleh terluka! Nanti para penggemarmu sedih karena melihatmu terluka,” kata Leanna sambil tersenyum.
“Arvian! Kamu seharusnya tetap di kamarmu! Ayo!” kata Sony sang manager sambil menyeret Arvian kembali ke kamar perawatannya.
“Wah ... wah ... sepertinya banyak hal yang menghebohkan ya, di sekitarmu!” sindir Reynald sambil mengobati luka di tangan Leanna.
“Hei, Rey! Tadi kudengar ada kehebohan di lobi. Artis mana yang terluka?” tanya Ardant yang datang menghampiri Reynald.
“Arvian. Tapi kurasa dia tidak apa-apa.”
“Eh, ada Leanna. Kamu kenapa?” tanya Dokter Ardant ramah.
“Hanya tertimpa tiang,” jawab Leanna polos.
“Tertimpa tiang sampai kakimu memar begini, kamu bilang hanya? Dasar wanita aneh. Apa kamu ingin terkenal dengan menyelamatkan artis?” sindir Reynald dingin.
“Hei ... hei ... kamu ini dingin sekali. Dia calon tunanganmu, kan? Berbaik hatilah padanya,” goda Ardant yang sempat membuat mata Leanna mengedip heran. “Benarkah itu, Leanna? Kamu yang menolong Arvian? Apa Arvian terluka parah? Kulihat di media sosial sudah ramai sekali tentang hal itu.”
“Yang benar? Kasihan Arvian, pasti banyak gosip yang macam-macam.”
“Lihat, Ar! Benar kan, kataku kalau dia gadis yang aneh. Dia lebih mencemaskan orang yang baik-baik saja ketimbang dirinya yang terluka parah!” celetuk Reynald sinis.
“LEANNA! Kenapa kakimu? Apa sakit sekali?” Tiba-tiba saja Kakek Antony datang bersama Nico untuk memeriksa kondisi Leanna.
“Kenapa Kakek bisa kemari?”
“Bu Carissa yang memberitahuku. Katanya kamu begini karena menolong Arvian, ya? Kamu tidak apa-apa kan, Nak? Di media sosial sudah banyak sekali berita bermunculan. Ada beberapa video amatir juga, sepertinya dari penggemar Arvian yang ada di studio.”
“Aku tidak apa-apa kok, Kek!”
“Rey, coba cek yang benar. Apa lagi yang terluka selain kakinya?” tanya Kakek sengit. “Soal berita itu, sudah Kakek bereskan. Kakek tidak mau kamu menjadi bahan gosip. Kamu kan, calon istri cucu Kakek.”
“Dia baik-baik saja Kek. Hanya memar dan luka sedikit,” jelas Reynald singkat.
“Wah, sepertinya yang jadi cucu Kakek itu Leanna ya, bukan kamu Rey!” goda Ardant sambil tertawa kecil.
“Makanya kamu bujuk temanmu itu untuk menikah dengan pilihan Kakek ini,” kata Kakek pada Ardant yang masih tersenyum melihat wajah sahabatnya menjadi semakin keruh.
“Sudahlah, Kek. Nanti saja kita bicarakan di rumah. Aku masih banyak kerjaan!” kata Reynald yang akhirnya lebih memilih pergi meninggalkan kakeknya yang penuh drama itu.
“Dasar, anak itu selalu saja begitu!” gerutu Kakek. “Leanna ... kamu cuti saja dulu, ya. Kalau sudah sembuh, baru masuk kerja lagi. Nico, cepat kamu hubungi Bu Carissa, mintakan cuti untuk Leanna!”
“Iya, Kek. Terima kasih ya, Kek!” kata Leanna sambil tersenyum manis.
****
Sudah tiga hari ini Leanna tidak masuk kerja. Semenjak kejadian di rumah sakit, Leanna tak melihat sedikit pun penampakan Reynald di rumah. Mungkin pria itu sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak pernah pulang.Suasana di rumah Kakek pun sangat sepi sekali karena Kakek sedang sibuk mengurus beberapa bisnisnya dan baru akan pulang ketika dini hari. Leanna merasa bosan hingga membuatnya tak bisa tidur malam ini.Pelan-pelan Leanna berjalan menuju dapur untuk membuat kopi kesukaannya. Sambil sesekali menyeret kakinya yang masih sedikit sakit, Leanna memanaskan air dan mengambil bubuk kopi. Setengah berjinjit, Leanna berusaha mengambil cangkir kopi di rak paling atas. Karena keseimbangan kakinya belum baik, Leanna pun oleng. Untung seseorang menangkap pinggangnya dan membantunya berdiri dengan benar.“Kenapa tidak panggil Bu Tia saja?” kata Reynald yang terlihat masih mengenakan pakaian rapi walau terlihat sedikit kusut. Nampaknya pria itu baru saja pulang dari rumah sakit karena aro
Pagi sekali Leanna terbangun dalam kebingungan, karena seingatnya dia tertidur di sofa ruang santai saat sedang menyelesaikan gaun yang dibuatnya. Sekarang Leanna justru sudah berada di kamarnya.“Apa aku berjalan sambil tertidur, ya?” gumam Leanna pelan kemudian segera bangkit untuk bersiap-siap berangkat kerja.Setengah jam kemudian Leanna sudah ada di dapur membantu Bu Tia menyiapkan sarapan. Sekalipun Bu Tia menyuruhnya duduk saja namun wanita itu lebih suka ikut membantunya memasak dan menyiapkan peralatan makan. Hingga tak lama kemudian Reynald dan Fiona telah duduk bergabung mengelilingi meja makan.“Kalian mau minum apa? Kopi atau teh?” tanya Leanna sambil menyiapkan cangkir kopi atau teh.“Kopi,” jawab Reynald dan Fiona bersamaan. Dengan sigap Leanna menuang kopi ke dalam dua buah cangkir putih lalu memberikannya pada Reynald dan Fiona.“Selamat pagi cucuku semua!” sapa Kakek saat tiba di ruang makan kemudian duduk di kursinya. Pagi ini Kakek terlihat lelah tak seperti biasan
Leanna bangun terlalu pagi di akhir pekan yang cukup tenang. Wanita itu membuka pintu kaca balkonnya dan menghirup udara pagi yang segar. Tercium beberapa aroma bunga yang bermekaran dari taman belakang dan dia tak pernah bosan menghabiskan waktu luangnya untuk sekadar bersantai di kursi balkon kamar tersebut. Sayangnya dering telepon yang mengalunkan lagu favorit Leanna berhasil menyabotase kegiatannya menikmati udara segar dan ketenangan di balkon tersebut. Leanna langsung menekan tombol terima dengan segera begitu tahu siapa yang meneleponnya. “Pagi, Leanna. Apa kabarmu pagi ini?” tanya Arvian lembut. “Aku baik. Kenapa meneleponku sepagi ini? Memangnya kamu tidak ada syuting?” “Ini aku sudah di lokasi syuting. Hari ini aku syuting mini drama dan suasananya sangat membosankan. Andai saja kamu ada di sini Leanna,” keluh Arvian. “Memang yang jadi lawan mainmu sekarang siapa?” “Soraya. Dari dia datang sampai break syuting, dia selalu saja mengikutiku dan membuatku jengkel. Jadi ak
Ketika sampai di gedung tempat acara pernikahan Stella dilangsungkan, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Leanna maupun Reynald. Sekalipun Leanna berusaha mencairkan suasana, tetapi selalu ditanggapi dengan datar dan dingin oleh pria itu. “Dokter, aku mau ke ruang pengantin wanita dulu, ya. Apa Dokter mau ikut?” “Tidak. Saya tunggu di dalam saja.” “Oke.” Keduanya pun berpisah arah. Reynald memilih langsung masuk ke dalam ballroom sedangkan Leanna segera menuju ruang pengantin wanita untuk menemui Stella. “Wow!!! Lihatlah dirimu ... kamu cantik sekali Stella,” puji Leanna tulus sambil menghampiri sang pengantin yang terlihat cantik dengan gaun putih yang berhiaskan sentuhan ornamen bunga berwarna biru sesuai tema pernikahannya. “Akhirnya kamu datang juga. Lihat yang lain sudah menunggumu!” kata Stella sambil menunjuk teman-temannya yang mengenakan pakaian dengan warna dan bahan yang sama dengan yang dikenakan Leanna. Beberapa teman dekat masa sekolahnya dulu kini ada di h
Pagi-pagi sekali Leanna sudah siap untuk berangkat kerja. Sengaja dia berangkat lebih awal sebelum Kakek dan Reynald bangun. Semalam Leanna benar-benar tak bisa tidur karena jantungnya tetap berdebar kencang mengingat kejadian di pesta pernikahan Stella. Entah kenapa akhir-akhir ini dokter itu selalu bisa membuat jantungnya berdetak gila. Kalau Leanna melihat pria itu pagi ini, bisa-bisa jantungnya melompat keluar dari rongganya.Sebelum berangkat, Leanna sengaja menitipkan pesan pada Bu Tia supaya Kakek tidak menunggunya saat sarapan dan sekarang dia tengah memasuki ruang tim wardrobe stasiun TV VO-Channel.“Pagi, Leanna,” sapa Nindy yang tengah sibuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas besar untuk keperluan syuting.“Pagi juga. Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya dimasukkan ke dalam tas? Memangnya kita mau ke mana?”“Apa kamu lupa kalau mulai hari ini kita bertanggung jawab menyiapkan wardrobe untuk syuting drama. Drama kedokteran yang Arvian bintangi dengan Safira dan Soray
“Apa yang kamu lakukan, Safira? Sengaja membuatnya kesulitan?” tanya Reynald yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Leanna dengan raut wajah dingin. Pria itu sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan Safira yang terus membuat Leanna harus beberapa kali berlari keluar masuk parkiran-lobi untuk memenuhi permintaannya.“Loh kan, memang itu sudah jadi tugasnya? Memangnya aku salah?” balas Safira ketus.“Ini. Suruh saja asistenmu yang mengambilkannya!” kata Reynald sambil mengembalikan kunci mobil Safira. Kemudian pria itu menggandeng tangan Leanna pergi meninggalkan lobi dan membuat Safira semakin jengkel.“Hei, Dokter! Kita mau ke mana, sih? Aku kan, belum selesai kerja!” ucap Leanna berusaha menghentikan laju jalan Reynald yang nyaris membuatnya terseret.“Ini sudah jam dua siang. Sudah lewat jam makan siang dan kamu belum makan, kan? Mau penyakitmu kumat lagi?” ceramah Reynald dengan wajah tanpa ekspresi.“Tapi ....”“Yang lain juga pasti sedang istirahat makan siang. Ayo!” Mendengar k
“Kamu mau pulang?” tanya Reynald yang sudah berdiri di samping Leanna dengan wajah tanpa ekspresinya. “Iya. Tapi tunggu hujannya reda. Aku lupa bawa payung,” kata Leanna sambil tersenyum tipis. “Ayo kita pulang! Kakek bisa marah kalau tahu saya membiarkanmu kehujanan!” katanya sambil mengambil snellinya kemudian ditudungkannya di kepala Leanna hingga membuat wanita itu tak bisa berkata-kata dan hanya menatap pria di hadapannya heran. “Kenapa bengong? Kamu mau pulang tidak?” tanya Reynald lagi kemudian menarik lengan Leanna untuk mengikutinya ke parkiran. Leanna yang masih terkesima dengan sikap Reynald hanya bisa memandang punggung pria di hadapannya itu sambil menahan degup jantungnya agar tidak terdengar siapa pun. “Hari ini Dokter kenapa? Bukan karena salah makan, kan?” tanya Leanna sambil menatap pria di sampingnya yang serius menatap jalanan dari balik kemudi. “Kenapa? Kamu tidak suka pulang bersama saya?” “Bukan itu maksudnya. Aneh saja Dokter bersikap baik padaku. Biasanya
Dari meninggalkan parkiran rumah sakit sampai masuk ke dalam lobi, Reynald menggandeng tangan Leanna. Wanita itu bahkan nyaris terseret langkah lebar Reynald."Hei Dokter! Kamu mau menarikku ke mana? Safiranya kan sudah tidak ada," kata Leanna saat Reynald terus menariknya ke dalam rumah sakit hingga nyaris masuk ruangan IGD."Ah, ya benar. Kalau begitu, sampai nanti!" ucap Reynald canggung."Iya. Terima kasih ya Dok, untuk tumpangannya," kata Leanna sambil tersenyum manis dan dijawab dengan anggukan pelan dari Reynald yang kemudian pergi menuju IGD meninggalkan Leanna yang masih sibuk mengatur detak jantungnya."Hei! Kenapa melamun di sini?" Arvian menepuk pundak Leanna dan memamerkan senyum cerahnya. "Apa kamu sedang menungguku, ya?" kata Arvian penuh percaya diri sambil tersenyum amat manis di samping Leanna."Ah tidak ...." jawab Leanna sambil tersenyum tipis."Terus kenapa melamun? Sedang memikirkan apa? Memikirkanku, ya?" goda Arvian."Bukan.""Kenapa bukan? Justru aku ingin sel
Mungkin untuk sebagian orang, menikahi pria kaya dan tampan adalah sebuah kesempurnaan hidup. Namun Leanna tidak merasa seperti itu. Menikah dengan Reynald terasa seperti mengemban sebuah tugas yang berat, seperti apa yang Safira katakan sebelumnya. Anak di dalam kandungannya bahkan sudah mendapatkan tanggung jawab besar jauh sebelum dia dilahirkan.Awalnya mungkin Leanna tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun begitu membuka mata keesokan paginya, dia benar-benar menyadari kalau hidupnya tidak akan semudah itu. Baru saja membuka matanya dan raut wajah penuh kekhawatiran dapat terlihat jelas dari beberapa orang yang kini memenuhi ruang rawatnya.“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Kakek Antony. “Kenapa kamu membiarkan istrimu kelelahan?” kata Kakek Antony pada Reynald begitu melihat pria itu masuk ke dalam ruang rawatnya.“Kamu juga kenapa tidak mengatakan lebih awal kalau Leanna di rawat di sini?” kata Kakek Antony pada Fiona yang terlihat merengut tidak terima disalahkan.“Justru aku y
Setelah kepanikan dan kehebohan di sepanjang lorong menuju poli obstetri dan ginekologi tadi, Leanna akhirnya langsung dapat penanganan dari Dokter Vira. Setelah melakukan banyak pemeriksaan Leanna akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan untuk beristirahat selagi menunggu hasil pemeriksaan yang sudah dilakukannya barusan.Meskipun nyeri di perut Leanna sudah berkurang dan wanita itu pun kini sudah terlihat mulai nyaman berbaring di ranjangnya, tetapi Safira dan Fiona masih terlihat penuh kekhawatiran.“Benar sudah tidak sakit?” tanya Safira lagi. “Kalau memang masih sakit nanti kupanggilkan Dokter Vira lagi,” kata Safira.“Kamu belum makan, kan? Kamu mau makan apa biar kupesankan,” kata Fiona tak kalah paniknya.“Sebaiknya kalian juga duduk sebentar. Memangnya tidak lelah berlari-lari seperti tadi?” kata Leanna yang mulai pusing melihat kedua wanita cantik itu berjalan hilir mudik di depan ranjangnya.“Kalau perutmu masih terasa sakit, kamu tarik napas yang panjang saja, ya,” kata Safi
Sudah beberapa hari ini Fiona lebih sering berada di butik Leanna dengan setumpuk buku referensi pernikahan yang dibawanya. Menghabiskan hari sambil berceloteh tentang model gaun seperti apa yang cocok untuk gaun pengantinnya. Dekorasi seperti apa yang bagus untuk acara pernikahannya kelak, hingga jenis dan warna bunga yang bagaimana yang bagus digunakan untuk menghiasi ballroom tempat acaranya nanti. Leanna sampai pusing sendiri menanggapi semua celotehan Fiona tentang rencana pernikahannya tersebut. Belum lagi ketika Fiona bertanya beberapa pilihan konsep pernikahan yang ada di buku referensi tersebut. Leanna sampai bingung harus pilih yang seperti apa. Karena semua konsep yang Fiona usulkan semuanya memiliki keunikan tersendiri. “Kalian sedang apa?” tanya Safira yang tiba-tiba datang. Wanita itu membuka kacamata hitamnya kemudian ikut duduk di sebelah Fiona. “Merencanakan pernikahan,” jawab Leanna singkat. “Pernikahan siapa?” tanya Safira bingung. Leanna hanya melirik ke arah Fi
Tuan Darwin duduk di samping Kakek Antony kemudian kedua orang tua Kennard dan Kennard yang duduk persis di samping Fiona. Mereka semua saling menyapa dengan anggukan dan senyuman singkat kepada Kakek Antony. “Bukankah kamu yang meminta Kennard untuk membawa serta kami sekeluarga?” balas Tuan Darwin sambil menatap Kakek Antony tajam. Yang menurut Leanna seperti harimau yang sedang menakut-nakuti mangsanya. “Tentu, kalau cucumu itu ingin mendapatkan cucu perempuanku yang berharga.” “Kalau begitu, apakah kamu sudah bersedia menyerahkan cucu perempuanmu yang berharga itu pada cucuku?” tanya Tuan Darwin yang kali ini dengan senyuman tipis di bibirnya. “Mengingat sudah berapa lama kita berteman, seharusnya kamu tahu jelas apa jawabanku, kan, Win?” balas Kakek Antony lagi sambil menatap Tuan Darwin lekat-lekat. “Baiklah! Kita tidak perlu berbasa basi seperti ini lagi. Bagaimana kalau langsung menetapkan tanggal pernikahan untuk mereka saja?” kata Tuan Darwin yang saat ini raut wajahnya
Belaian lembut di pipi Leanna pun membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya. Sebuah kecupan bahkan mendarat di bibir Leanna saat wanita itu membuka mata. Reynald kemudian menatapnya dalam-dalam sambil merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi Leanna. “Pagi,” sapa Reynald saat Leanna sudah sadar sepenuhnya. “Hari ini sudah tidak ada seminar, tapi sepertinya kita harus lekas pulang,” kata Reynald dengan nada suara lembut. “Pulang?” “Hmm. Kamu lupa kalau nanti malam ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga Raharjo?” “Nanti malam? Ah, iya. Acaranya Fiona?” “Betul. Awalnya saya ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini, tapi tadi pagi sekali Fiona menelepon untuk mengingatkan saya tentang pertemuan keluarga ini.” “Ah, benar juga. Tidak mudah membuat Tuan Darwin mau datang mengurus masalah Fiona dan Kennard. Kita tidak boleh mengacaukannya.” “Tentu. Karena itu … ayo lekas bangun, Sayang,” kata Reynald sambil mengusap pipi Leanna kemudian tersenyum dan menatap is
“Memangnya kenapa?” tanya Reynald.“Jawab saja, Mas. Kita ini pasangan serasi atau bukan?”“Memangnya menurut kamu, kalau pasangan serasi itu seperti apa?” Reynald kembali balik bertanya.“Wajahnya cantik dan ganteng. Kelihatan sangat saling mencintai. Kompak dalam hal apa pun,” ucap Leanna menyebutkan isi salah satu artikel yang pernah di bacanya di media sosial.“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya.”“Apa?” Leanna justru bingung dengan jawaban yang diberikan Reynald.“Sudah jam 7, saya dan Steven harus kembali ke ruang seminar. Kalau kamu masih mau jalan-jalan lagi bersama Safira tidak apa-apa. Nanti minta Pak Sugio saja yang antarkan.”“Eh, tapi –”Reynald bangkit berdiri sambil mengusap puncak kepala Leanna dengan penuh rasa sayang kemudian tersenyum pada Leanna sebelum beranjak pergi. Begitu juga dengan Steven. Pria itu pun ikut bangkit berdiri menyusul Reynald.“Jangan lupa meneleponku kalau sudah selesai!” kata Safira sambil menatap Steven dengan tatapan tidak rela berpisah.“O
Usai berkeliling dari butik satu ke butik lainnya, Safira dan Leanna duduk berhadapan di salah satu café yang sedang hits di Dago. Beberapa tas belanjaan tergeletak di atas kursi di samping keduanya. Leanna sedang meminum jusnya, sedangkan Safira sibuk memeriksa ponselnya. “Mau sampai kapan kamu memandangi ponselmu begitu?” tanya Leanna yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Safira. “Seminar mereka baru akan selesai malam hari.” Safira mengangkat wajahnya dan fokus mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Leanna. “Seminar hari ini materinya lumayan padat. Mas Reynald bilang pasti akan malam sekali selesainya.” “Memangnya mereka selesai jam berapa?” tanyanya penasaran. “Sekitar jam 10 sampai jam 11 malam,” kata Leanna sambil mengingat-ingat daftar jadwal seminar yang diberikan Reynald padanya. “Semalam itu?” Safira terlihat mendesah kecewa. “Itu sih sama saja tidak bisa bertemu dengannya hari ini.” “Hmm … bisa saja sih bertemu dengannya pada saat jam makan malam. Biasanya mere
Reynald mengurai pelukan Leanna dan menatap wajah wanita kesayangannya itu. Masih sedikit tidak percaya Leanna menyusulnya ke hotel tempatnya menginap. “Aku tidak bisa tidur kalau tidak ada, Mas,” ucap Leanna pelan sambil menatap wajah suaminya yang kini sedang tersenyum tipis menatapnya. Leanna kembali mendekap Reynald dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Masih rindu dengan dekapan hangat dan aroma maskulin yang selalu bisa menenangkan jiwanya. Reynald membalas pelukan Leanna dan mengusap lembut punggungnya. Menyalurkan kedamaian dan kenyamanan yang selalu membuat Leanna ingin berada dalam pelukan hangat pria itu selamanya. “Peluknya nanti di sambung lagi. Sekarang kita ke kamar dulu, ya!” Reynald kemudian menggandeng Leanna memasuki lift yang membawa mereka ke lantai 5. Berhubung sudah tengah malam, Reynald tidak mungkin membiarkan Leanna berada lama-lama di lobi hotel. Reynald langsung membawa Leanna ke dalam kamarnya. Perjalanan panjang dari rumah mereka ke hot
Leanna terbangun dan wangi maskulin yang selama ini dia rindukan tercium kental dihidungnya. Leanna pun membuka mata dan menemukan dirinya sedang berada dalam dekapan pria yang beberapa waktu lalu membuatnya kesal.“Kapan Mas pulang? Katanya mau shift malam menggantikan teman Mas?” tanya Leanna sedikit terkejut mendapati suaminya itu mendekapnya erat.“Sstt … jangan bergerak!” Bukannya menjawab, Reynald justru mengetatkan pelukannya. “Kita tidur sebentar lagi, ya!” pinta pria itu dan kembali memejamkan matanya.Leanna hanya bisa menurut dan membiarkan suaminya itu memeluknya dan terlelap untuk beberapa saat. Namun suara perut Leanna yang kelaparan segera membangunkan Reynald. Sambil tersipu malu, Leanna menatap Reynald sedangkan pria itu justru tersenyum lembut.“Lapar, ya?” tanya Reynald dan Leanna mengangguk pelan. Memasuki trisemester kedua membuat perutnya menjadi lebih sering merasa lapar. “Mau makan apa?”“Bakso.”“Sepagi ini mana ada yang jual bakso, Leanna?”Leanna mengerucutk