Sudah tiga hari ini Leanna tidak masuk kerja. Semenjak kejadian di rumah sakit, Leanna tak melihat sedikit pun penampakan Reynald di rumah. Mungkin pria itu sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak pernah pulang.
Suasana di rumah Kakek pun sangat sepi sekali karena Kakek sedang sibuk mengurus beberapa bisnisnya dan baru akan pulang ketika dini hari. Leanna merasa bosan hingga membuatnya tak bisa tidur malam ini.
Pelan-pelan Leanna berjalan menuju dapur untuk membuat kopi kesukaannya. Sambil sesekali menyeret kakinya yang masih sedikit sakit, Leanna memanaskan air dan mengambil bubuk kopi. Setengah berjinjit, Leanna berusaha mengambil cangkir kopi di rak paling atas. Karena keseimbangan kakinya belum baik, Leanna pun oleng. Untung seseorang menangkap pinggangnya dan membantunya berdiri dengan benar.
“Kenapa tidak panggil Bu Tia saja?” kata Reynald yang terlihat masih mengenakan pakaian rapi walau terlihat sedikit kusut. Nampaknya pria itu baru saja pulang dari rumah sakit karena aroma tubuhnya sedikit bercampur dengan aroma antiseptik.
“Aku kan, hanya ingin membuat kopi saja. Tak perlu sampai membangunkan Bu Tia, kasihan,” jawab Leanna pelan namun jantungnya berdebar kencang karena kejadian barusan. Sudah kesekian kalinya dia berada sedekat ini dengan pria tampan itu hingga membuat jantungnya seakan mau melompat keluar. “Dokter baru pulang? Mau kubuatkan kopi?” tanya Leanna takut-takut.
“Hmm ... boleh,” jawab Reynald singkat kemudian duduk di kursi meja makan.
“Ini kopinya.” Leanna meletakkan secangkir kopi hangat di hadapan Reynald. “Dokter ... terima kasih ya,” ucap Leanna malu-malu sambil memainkan cangkir kopinya dan duduk di hadapan Reynald.
“Untuk apa?” tanya Reynald sambil meminum kopinya dengan tenang.
“Semuanya.”
“Hmm ....”
“Dan juga ... maaf karena aku tinggal di sini,” kata Leanna pelan.
“Sudahlah. Tidur sana! Saya juga mau istirahat. Terima kasih kopinya,” kata Reynald sambil beranjak dari kursinya dan melangkah pergi menuju kamarnya di lantai dua.
Leanna pun segera merapikan cangkir kopi yang tergeletak di meja makan kemudian bergegas menuju kamarnya yang juga di lantai dua.
Sambil berbaring di kasurnya yang nyaman, Leanna kembali teringat kejadian di lift kantor saat maag-nya kumat dan kejadian beberapa hari ini. Menurutnya, pria itu sebenarnya baik. Hanya saja sikapnya dingin karena wajah tanpa ekspresinya yang lebih sering terlihat galak.
Keesokan paginya, suasana rumah Kakek masih sama seperti kemarin. Masih sunyi senyap dan hening. Reynald juga sepertinya sudah berangkat pagi-pagi buta. Menurut Bu Tia, Reynald pulang hanya untuk mengecek kesehatan kakeknya yang mulai sibuk dengan pekerjaannya lagi.
Alhasil selesai sarapan Leanna kembali ke kamarnya dan mulai menyelesaikan gaun bridesmaid untuk pernikahan Stella. Bahan lace biru muda yang diberikan Stella disulapnya menjadi sebuah dress simpel selutut yang elegan. Ide desainnya berasal dari dress karya Elie Saab desainer favoritnya. Leanna selalu suka gaun penuh ornamen bunga dan kristal dengan warna lembut yang romantis karya desainer tersebut.
Setelah cukup lama berkutat dengan kain, gunting dan benang akhirnya Leanna keluar dari kamarnya menuju halaman depan untuk meregangkan otot-ototnya yang kaku karena duduk terlalu lama. Sambil memandang langit senja yang kemerahan, Leanna duduk di salah satu bangku taman halaman depan.
Tak lama sebuah mobil sedan hitam yang Leanna hapal sebagai mobil Reynald berhenti di garasi di samping halaman depan. Sepertinya hari ini Reynald pulang lebih awal. Tak sampai lima menit sebuah mobil sedan merah memasuki garasi yang sama dan berhenti tepat di samping mobil Reynald. Seorang wanita tinggi semampai dibalut pakaian modis buatan desainer terkenal keluar dari mobil merah tersebut kemudian tersenyum pada pria tampan di hadapannya. Bahkan wanita itu tak segan menggandeng lengan Reynald sambil bergelayut manja. Mungkin wanita itu kenal baik dengan sang dokter. Terlihat bagaimana pria itu sama sekali tak keberatan dengan semua perlakuan wanita di sampingnya. Lagipula wanita itu terlihat benar-benar berkelas, jauh berbeda dengan Safira yang tempo hari selalu mendekati Reynald.
“Siapa dia?” tanya wanita itu saat berhenti di depan Leanna yang seingat Leanna adalah Direktur Queen's, Nona Fiona Nathalia.
“Cucu baru Kakek!” jawab Reynald singkat.
“Kakek itu apa-apaan, sih? Memangnya dia mau punya cucu berapa sih? Apa ini drama Kakek lagi supaya Kakak segera menikah?” gerutu Fiona yang sudah hafal sifat Kakek tersayangnya. “Sepertinya aku pernah lihat! Kamu pernah melamar di Queen's, kan?”
“Iya, benar. Kenalkan, saya Leanna Marishka.”
“Oh ya ampun. Dasar Kakek! Di mana Kakek sekarang?” tanya Fiona lagi.
“Ada di ruang kerjanya,” kata Leanna lagi.
“KAKEK!” teriak Fiona saat menuju ruang kerja Kakek Antony diikuti oleh Reynald dan Leanna.
“Kenapa sih cucu Kakek yang cantik ini teriak-teriak? Tumben kamu pulang hari ini?” kata Kakek bangkit dari meja kerjanya menuju sofa yang terletak di tengah ruangan tersebut.
“Apa benar Kakek punya cucu baru? Tak cukupkah aku menjadi cucu Kakek yang paling cantik dan berbakat?” tanya Fiona mulai merajuk manja pada Kakek Antony.
“Oh ... jadi kamu sudah bertemu Leanna, ya? Dia akan resmi jadi cucu Kakek kalau kakakmu itu segera menikahinya. Coba kamu bujuk kakak kesayanganmu itu!” ucap Kakek sambil tersenyum penuh arti.
“Sebenarnya apa maksud Kakek? Apa aku tak cukup untuk Kakek? Kalau Kakek butuh seseorang yang bisa menangani bisnis Kakek, aku juga bisa kok. Semua perusahaan yang Kakek serahkan padaku aku kelola dengan baik. Kakek tak perlu sampai memaksa Kakak menikah dengan wanita pilihan Kakek.”
Kakek Antony tertawa kecil sebelum berkata, “Jangan merajuk begitu dong. Kakek hanya ingin Kakakmu segera menikah. Masa cucu Kakek yang tampan itu jadi bujang lapuk. Kakek tidak rela! Dan kebetulan Kakek bertemu Leanna. Kakek berhutang nyawa padanya. Lagipula menurut Kakek, dia gadis yang baik dan cocok untuk kakakmu yang kaku itu,” jelas Kakek santai.
“Apa? Memangnya tidak ada pilihan yang lain ya, Kek? Kasihan sekali kakakku itu!”
“Hush ... kenapa kalian berisik sekali membicarakan tentang kehidupanku!” protes Reynald yang baru masuk diikuti oleh Leanna.
“Ah ... Leanna kenalkan ini cucu perempuan Kakek, Fiona. Dia adiknya Reynald.”
“Iya Kek, aku sudah bertemu dengannya di taman tadi,” kata Leanna sambil tersenyum.
“Tumben kamu ingat pulang ke sini. Biasanya tak pernah mau pulang kalau tidak Kakek panggil?” tanya Kakek pada Fiona.
“Besok pagi aku berangkat ke Paris dan ada barang yang harus aku ambil di sini.”
“Ada masalah di Paris?” tanya Kakek heran.
“Tidak Kek. Aku hanya mau mengecek beberapa pesanan kostum untuk Hollywood. Bulan depan harus sudah siap semua.”
“Oh, begitu. Kamu benar-benar sudah bekerja keras,” puji Kakek tulus.
“Makanya Kakek jangan marah kalau aku jarang mengunjungi Kakek. Pekerjaanku saja sudah banyak menyita waktuku.”
“Iya, Sayang. Kakek bangga padamu!”
Setelah beberapa saat berbincang dengan Kakek Antony, Fiona pun menuju kamarnya di dekat ruang kerja Kakek bersama kakak tersayangnya. Sedangkan Leanna menuju kamarnya di lantai dua untuk menyelesaikan pekerjaannya.
“Kak, apa Kakak setuju dengan perjodohan yang Kakek buat kali ini?” kata Fiona sambil duduk di tepi tempat tidurnya.
“Entahlah ....” kata Reynald cuek sambil duduk bersandar di sofa mungil Fiona.
“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Kakek. Apa tidak ada kualifikasi yang lebih baik dari perempuan itu?” gerutu Fiona.
“Sudahlah. Kamu tak perlu memusingkan hal ini!”
“Aku hanya kasihan saja dengan Kakak,” kata Fiona sambil mendesah pelan. “Tapi apa Kakak yakin kalau perempuan itu adalah perempuan baik yang seperti Kakek bilang cocok untuk Kakak? Sepertinya kategori calon istri penerus kerajaan bisnis Kakek berubah total.”
“Entahlah. Mungkin bagi Kakek ini untuk yang terakhir kalinya. Mengingat kondisi Kakek. Lagipula hati manusia mudah berubah. Siapa tahu saja nanti hatiku berubah menyukainya. Dan lagi, kopi buatannya enak,” kata Reynald tersenyum tipis. Senyuman yang jarang terlihat di wajahnya yang tampan.
“Jadi, Kakak menerima perjodohan ini hanya karena kopi buatannya enak? Ah, yang benar saja! Kakak ini sama anehnya dengan Kakek!”
“Ya, kita lihat saja nanti! Sudah sana istirahat. Besok kan, kamu terbang dengan penerbangan pertama. Selamat malam adikku yang cantik!” kata Reynald sambil mengusap lembut puncak kepala adik kesayangannya itu.
“Baiklah. Selamat malam juga Kakakku sayang!”
Reynald menutup pintu kamar Fiona perlahan dan saat melintasi ruang tengah, dia melihat Leanna yang sedang tertidur di sofa ruang santai sambil memegang sebuah gaun berwarna biru muda. Di atas meja di hadapan gadis itu tergeletak sebuah kotak tempat kristal dan payet lengkap dengan tempat jarum dan benangnya. Sepertinya Leanna tertidur saat tengah menyelesaikan aksesoris gaunnya. Melihat Leanna yang tertidur begitu pulasnya membuat Reynald tak tega membiarkannya begitu saja. Pria itu pun segera memanggil Bu Tia untuk merapikan gaun yang dipegang Leanna dan semua pekerjaan gadis itu yang masih berserakan di atas meja.
Lalu dengan perlahan Reynald menggendong Leanna menuju kamarnya yang bernuansa bunga berwarna pink dan putih. Dalam diam pria itu menatap gadis yang tengah tertidur pulas di hadapannya.
Entah kenapa dia kembali teringat wajah Leanna yang kesakitan di lobi rumah sakit tanpa ada yang memedulikannya. Reynald menghela napas pelan sebelum akhirnya meninggalkan kamar Leanna.
Dia gadis yang kuat. Semoga saja dia lebih kuat dari ini untuk bisa ada di sisiku. Semoga saja Leanna tidak cepat menyerah seperti 'Dia'.
****
Pagi sekali Leanna terbangun dalam kebingungan, karena seingatnya dia tertidur di sofa ruang santai saat sedang menyelesaikan gaun yang dibuatnya. Sekarang Leanna justru sudah berada di kamarnya.“Apa aku berjalan sambil tertidur, ya?” gumam Leanna pelan kemudian segera bangkit untuk bersiap-siap berangkat kerja.Setengah jam kemudian Leanna sudah ada di dapur membantu Bu Tia menyiapkan sarapan. Sekalipun Bu Tia menyuruhnya duduk saja namun wanita itu lebih suka ikut membantunya memasak dan menyiapkan peralatan makan. Hingga tak lama kemudian Reynald dan Fiona telah duduk bergabung mengelilingi meja makan.“Kalian mau minum apa? Kopi atau teh?” tanya Leanna sambil menyiapkan cangkir kopi atau teh.“Kopi,” jawab Reynald dan Fiona bersamaan. Dengan sigap Leanna menuang kopi ke dalam dua buah cangkir putih lalu memberikannya pada Reynald dan Fiona.“Selamat pagi cucuku semua!” sapa Kakek saat tiba di ruang makan kemudian duduk di kursinya. Pagi ini Kakek terlihat lelah tak seperti biasan
Leanna bangun terlalu pagi di akhir pekan yang cukup tenang. Wanita itu membuka pintu kaca balkonnya dan menghirup udara pagi yang segar. Tercium beberapa aroma bunga yang bermekaran dari taman belakang dan dia tak pernah bosan menghabiskan waktu luangnya untuk sekadar bersantai di kursi balkon kamar tersebut. Sayangnya dering telepon yang mengalunkan lagu favorit Leanna berhasil menyabotase kegiatannya menikmati udara segar dan ketenangan di balkon tersebut. Leanna langsung menekan tombol terima dengan segera begitu tahu siapa yang meneleponnya. “Pagi, Leanna. Apa kabarmu pagi ini?” tanya Arvian lembut. “Aku baik. Kenapa meneleponku sepagi ini? Memangnya kamu tidak ada syuting?” “Ini aku sudah di lokasi syuting. Hari ini aku syuting mini drama dan suasananya sangat membosankan. Andai saja kamu ada di sini Leanna,” keluh Arvian. “Memang yang jadi lawan mainmu sekarang siapa?” “Soraya. Dari dia datang sampai break syuting, dia selalu saja mengikutiku dan membuatku jengkel. Jadi ak
Ketika sampai di gedung tempat acara pernikahan Stella dilangsungkan, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Leanna maupun Reynald. Sekalipun Leanna berusaha mencairkan suasana, tetapi selalu ditanggapi dengan datar dan dingin oleh pria itu. “Dokter, aku mau ke ruang pengantin wanita dulu, ya. Apa Dokter mau ikut?” “Tidak. Saya tunggu di dalam saja.” “Oke.” Keduanya pun berpisah arah. Reynald memilih langsung masuk ke dalam ballroom sedangkan Leanna segera menuju ruang pengantin wanita untuk menemui Stella. “Wow!!! Lihatlah dirimu ... kamu cantik sekali Stella,” puji Leanna tulus sambil menghampiri sang pengantin yang terlihat cantik dengan gaun putih yang berhiaskan sentuhan ornamen bunga berwarna biru sesuai tema pernikahannya. “Akhirnya kamu datang juga. Lihat yang lain sudah menunggumu!” kata Stella sambil menunjuk teman-temannya yang mengenakan pakaian dengan warna dan bahan yang sama dengan yang dikenakan Leanna. Beberapa teman dekat masa sekolahnya dulu kini ada di h
Pagi-pagi sekali Leanna sudah siap untuk berangkat kerja. Sengaja dia berangkat lebih awal sebelum Kakek dan Reynald bangun. Semalam Leanna benar-benar tak bisa tidur karena jantungnya tetap berdebar kencang mengingat kejadian di pesta pernikahan Stella. Entah kenapa akhir-akhir ini dokter itu selalu bisa membuat jantungnya berdetak gila. Kalau Leanna melihat pria itu pagi ini, bisa-bisa jantungnya melompat keluar dari rongganya.Sebelum berangkat, Leanna sengaja menitipkan pesan pada Bu Tia supaya Kakek tidak menunggunya saat sarapan dan sekarang dia tengah memasuki ruang tim wardrobe stasiun TV VO-Channel.“Pagi, Leanna,” sapa Nindy yang tengah sibuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas besar untuk keperluan syuting.“Pagi juga. Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya dimasukkan ke dalam tas? Memangnya kita mau ke mana?”“Apa kamu lupa kalau mulai hari ini kita bertanggung jawab menyiapkan wardrobe untuk syuting drama. Drama kedokteran yang Arvian bintangi dengan Safira dan Soray
“Apa yang kamu lakukan, Safira? Sengaja membuatnya kesulitan?” tanya Reynald yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Leanna dengan raut wajah dingin. Pria itu sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan Safira yang terus membuat Leanna harus beberapa kali berlari keluar masuk parkiran-lobi untuk memenuhi permintaannya.“Loh kan, memang itu sudah jadi tugasnya? Memangnya aku salah?” balas Safira ketus.“Ini. Suruh saja asistenmu yang mengambilkannya!” kata Reynald sambil mengembalikan kunci mobil Safira. Kemudian pria itu menggandeng tangan Leanna pergi meninggalkan lobi dan membuat Safira semakin jengkel.“Hei, Dokter! Kita mau ke mana, sih? Aku kan, belum selesai kerja!” ucap Leanna berusaha menghentikan laju jalan Reynald yang nyaris membuatnya terseret.“Ini sudah jam dua siang. Sudah lewat jam makan siang dan kamu belum makan, kan? Mau penyakitmu kumat lagi?” ceramah Reynald dengan wajah tanpa ekspresi.“Tapi ....”“Yang lain juga pasti sedang istirahat makan siang. Ayo!” Mendengar k
“Kamu mau pulang?” tanya Reynald yang sudah berdiri di samping Leanna dengan wajah tanpa ekspresinya. “Iya. Tapi tunggu hujannya reda. Aku lupa bawa payung,” kata Leanna sambil tersenyum tipis. “Ayo kita pulang! Kakek bisa marah kalau tahu saya membiarkanmu kehujanan!” katanya sambil mengambil snellinya kemudian ditudungkannya di kepala Leanna hingga membuat wanita itu tak bisa berkata-kata dan hanya menatap pria di hadapannya heran. “Kenapa bengong? Kamu mau pulang tidak?” tanya Reynald lagi kemudian menarik lengan Leanna untuk mengikutinya ke parkiran. Leanna yang masih terkesima dengan sikap Reynald hanya bisa memandang punggung pria di hadapannya itu sambil menahan degup jantungnya agar tidak terdengar siapa pun. “Hari ini Dokter kenapa? Bukan karena salah makan, kan?” tanya Leanna sambil menatap pria di sampingnya yang serius menatap jalanan dari balik kemudi. “Kenapa? Kamu tidak suka pulang bersama saya?” “Bukan itu maksudnya. Aneh saja Dokter bersikap baik padaku. Biasanya
Dari meninggalkan parkiran rumah sakit sampai masuk ke dalam lobi, Reynald menggandeng tangan Leanna. Wanita itu bahkan nyaris terseret langkah lebar Reynald."Hei Dokter! Kamu mau menarikku ke mana? Safiranya kan sudah tidak ada," kata Leanna saat Reynald terus menariknya ke dalam rumah sakit hingga nyaris masuk ruangan IGD."Ah, ya benar. Kalau begitu, sampai nanti!" ucap Reynald canggung."Iya. Terima kasih ya Dok, untuk tumpangannya," kata Leanna sambil tersenyum manis dan dijawab dengan anggukan pelan dari Reynald yang kemudian pergi menuju IGD meninggalkan Leanna yang masih sibuk mengatur detak jantungnya."Hei! Kenapa melamun di sini?" Arvian menepuk pundak Leanna dan memamerkan senyum cerahnya. "Apa kamu sedang menungguku, ya?" kata Arvian penuh percaya diri sambil tersenyum amat manis di samping Leanna."Ah tidak ...." jawab Leanna sambil tersenyum tipis."Terus kenapa melamun? Sedang memikirkan apa? Memikirkanku, ya?" goda Arvian."Bukan.""Kenapa bukan? Justru aku ingin sel
Arvian tengah asik bercengkerama dengan Leanna di salah satu kursi ruang tunggu lobi rumah sakit sambil memakan bento yang dibelikan managernya. Sesekali Arvian menyuapkan makanannya ke mulut Leanna, hingga membuat gadis itu sering menggelengkan kepalanya. Leanna takut ada paparazi yang melihat mereka seperti itu. Takut ada gosip yang tak benar. Akan tetapi Arvian yang cuek tak memedulikan protes Leanna dan tetap menyuapi gadis itu makanan yang dipegangnya."Tanganmu kenapa? Sakit, ya?" tanya Arvian saat melihat lengan Leanna yang memerah."Ah, ini ... tersiram kopi panas. Tapi sudah tidak apa-apa kok. Tadi Reynald sudah mengobatinya.""Oh, begitu. Sepertinya kamu akrab sekali dengan dokter itu.""Akrab apanya? Dia itu pria paling dingin yang pernah aku kenal. Irit bicara dan sekalinya bicara ketus sekali. Mana bisa dibilang akrab!" protes Leanna."Dia dokter yang syuting di VO-Channel juga, kan?""Iya.""Kamu sudah kenal dia lama?""Belum. Baru semenjak aku kerja di VO-Channel saja."
Mungkin untuk sebagian orang, menikahi pria kaya dan tampan adalah sebuah kesempurnaan hidup. Namun Leanna tidak merasa seperti itu. Menikah dengan Reynald terasa seperti mengemban sebuah tugas yang berat, seperti apa yang Safira katakan sebelumnya. Anak di dalam kandungannya bahkan sudah mendapatkan tanggung jawab besar jauh sebelum dia dilahirkan.Awalnya mungkin Leanna tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun begitu membuka mata keesokan paginya, dia benar-benar menyadari kalau hidupnya tidak akan semudah itu. Baru saja membuka matanya dan raut wajah penuh kekhawatiran dapat terlihat jelas dari beberapa orang yang kini memenuhi ruang rawatnya.“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Kakek Antony. “Kenapa kamu membiarkan istrimu kelelahan?” kata Kakek Antony pada Reynald begitu melihat pria itu masuk ke dalam ruang rawatnya.“Kamu juga kenapa tidak mengatakan lebih awal kalau Leanna di rawat di sini?” kata Kakek Antony pada Fiona yang terlihat merengut tidak terima disalahkan.“Justru aku y
Setelah kepanikan dan kehebohan di sepanjang lorong menuju poli obstetri dan ginekologi tadi, Leanna akhirnya langsung dapat penanganan dari Dokter Vira. Setelah melakukan banyak pemeriksaan Leanna akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan untuk beristirahat selagi menunggu hasil pemeriksaan yang sudah dilakukannya barusan.Meskipun nyeri di perut Leanna sudah berkurang dan wanita itu pun kini sudah terlihat mulai nyaman berbaring di ranjangnya, tetapi Safira dan Fiona masih terlihat penuh kekhawatiran.“Benar sudah tidak sakit?” tanya Safira lagi. “Kalau memang masih sakit nanti kupanggilkan Dokter Vira lagi,” kata Safira.“Kamu belum makan, kan? Kamu mau makan apa biar kupesankan,” kata Fiona tak kalah paniknya.“Sebaiknya kalian juga duduk sebentar. Memangnya tidak lelah berlari-lari seperti tadi?” kata Leanna yang mulai pusing melihat kedua wanita cantik itu berjalan hilir mudik di depan ranjangnya.“Kalau perutmu masih terasa sakit, kamu tarik napas yang panjang saja, ya,” kata Safi
Sudah beberapa hari ini Fiona lebih sering berada di butik Leanna dengan setumpuk buku referensi pernikahan yang dibawanya. Menghabiskan hari sambil berceloteh tentang model gaun seperti apa yang cocok untuk gaun pengantinnya. Dekorasi seperti apa yang bagus untuk acara pernikahannya kelak, hingga jenis dan warna bunga yang bagaimana yang bagus digunakan untuk menghiasi ballroom tempat acaranya nanti. Leanna sampai pusing sendiri menanggapi semua celotehan Fiona tentang rencana pernikahannya tersebut. Belum lagi ketika Fiona bertanya beberapa pilihan konsep pernikahan yang ada di buku referensi tersebut. Leanna sampai bingung harus pilih yang seperti apa. Karena semua konsep yang Fiona usulkan semuanya memiliki keunikan tersendiri. “Kalian sedang apa?” tanya Safira yang tiba-tiba datang. Wanita itu membuka kacamata hitamnya kemudian ikut duduk di sebelah Fiona. “Merencanakan pernikahan,” jawab Leanna singkat. “Pernikahan siapa?” tanya Safira bingung. Leanna hanya melirik ke arah Fi
Tuan Darwin duduk di samping Kakek Antony kemudian kedua orang tua Kennard dan Kennard yang duduk persis di samping Fiona. Mereka semua saling menyapa dengan anggukan dan senyuman singkat kepada Kakek Antony. “Bukankah kamu yang meminta Kennard untuk membawa serta kami sekeluarga?” balas Tuan Darwin sambil menatap Kakek Antony tajam. Yang menurut Leanna seperti harimau yang sedang menakut-nakuti mangsanya. “Tentu, kalau cucumu itu ingin mendapatkan cucu perempuanku yang berharga.” “Kalau begitu, apakah kamu sudah bersedia menyerahkan cucu perempuanmu yang berharga itu pada cucuku?” tanya Tuan Darwin yang kali ini dengan senyuman tipis di bibirnya. “Mengingat sudah berapa lama kita berteman, seharusnya kamu tahu jelas apa jawabanku, kan, Win?” balas Kakek Antony lagi sambil menatap Tuan Darwin lekat-lekat. “Baiklah! Kita tidak perlu berbasa basi seperti ini lagi. Bagaimana kalau langsung menetapkan tanggal pernikahan untuk mereka saja?” kata Tuan Darwin yang saat ini raut wajahnya
Belaian lembut di pipi Leanna pun membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya. Sebuah kecupan bahkan mendarat di bibir Leanna saat wanita itu membuka mata. Reynald kemudian menatapnya dalam-dalam sambil merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi Leanna. “Pagi,” sapa Reynald saat Leanna sudah sadar sepenuhnya. “Hari ini sudah tidak ada seminar, tapi sepertinya kita harus lekas pulang,” kata Reynald dengan nada suara lembut. “Pulang?” “Hmm. Kamu lupa kalau nanti malam ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga Raharjo?” “Nanti malam? Ah, iya. Acaranya Fiona?” “Betul. Awalnya saya ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini, tapi tadi pagi sekali Fiona menelepon untuk mengingatkan saya tentang pertemuan keluarga ini.” “Ah, benar juga. Tidak mudah membuat Tuan Darwin mau datang mengurus masalah Fiona dan Kennard. Kita tidak boleh mengacaukannya.” “Tentu. Karena itu … ayo lekas bangun, Sayang,” kata Reynald sambil mengusap pipi Leanna kemudian tersenyum dan menatap is
“Memangnya kenapa?” tanya Reynald.“Jawab saja, Mas. Kita ini pasangan serasi atau bukan?”“Memangnya menurut kamu, kalau pasangan serasi itu seperti apa?” Reynald kembali balik bertanya.“Wajahnya cantik dan ganteng. Kelihatan sangat saling mencintai. Kompak dalam hal apa pun,” ucap Leanna menyebutkan isi salah satu artikel yang pernah di bacanya di media sosial.“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya.”“Apa?” Leanna justru bingung dengan jawaban yang diberikan Reynald.“Sudah jam 7, saya dan Steven harus kembali ke ruang seminar. Kalau kamu masih mau jalan-jalan lagi bersama Safira tidak apa-apa. Nanti minta Pak Sugio saja yang antarkan.”“Eh, tapi –”Reynald bangkit berdiri sambil mengusap puncak kepala Leanna dengan penuh rasa sayang kemudian tersenyum pada Leanna sebelum beranjak pergi. Begitu juga dengan Steven. Pria itu pun ikut bangkit berdiri menyusul Reynald.“Jangan lupa meneleponku kalau sudah selesai!” kata Safira sambil menatap Steven dengan tatapan tidak rela berpisah.“O
Usai berkeliling dari butik satu ke butik lainnya, Safira dan Leanna duduk berhadapan di salah satu café yang sedang hits di Dago. Beberapa tas belanjaan tergeletak di atas kursi di samping keduanya. Leanna sedang meminum jusnya, sedangkan Safira sibuk memeriksa ponselnya. “Mau sampai kapan kamu memandangi ponselmu begitu?” tanya Leanna yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Safira. “Seminar mereka baru akan selesai malam hari.” Safira mengangkat wajahnya dan fokus mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Leanna. “Seminar hari ini materinya lumayan padat. Mas Reynald bilang pasti akan malam sekali selesainya.” “Memangnya mereka selesai jam berapa?” tanyanya penasaran. “Sekitar jam 10 sampai jam 11 malam,” kata Leanna sambil mengingat-ingat daftar jadwal seminar yang diberikan Reynald padanya. “Semalam itu?” Safira terlihat mendesah kecewa. “Itu sih sama saja tidak bisa bertemu dengannya hari ini.” “Hmm … bisa saja sih bertemu dengannya pada saat jam makan malam. Biasanya mere
Reynald mengurai pelukan Leanna dan menatap wajah wanita kesayangannya itu. Masih sedikit tidak percaya Leanna menyusulnya ke hotel tempatnya menginap. “Aku tidak bisa tidur kalau tidak ada, Mas,” ucap Leanna pelan sambil menatap wajah suaminya yang kini sedang tersenyum tipis menatapnya. Leanna kembali mendekap Reynald dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Masih rindu dengan dekapan hangat dan aroma maskulin yang selalu bisa menenangkan jiwanya. Reynald membalas pelukan Leanna dan mengusap lembut punggungnya. Menyalurkan kedamaian dan kenyamanan yang selalu membuat Leanna ingin berada dalam pelukan hangat pria itu selamanya. “Peluknya nanti di sambung lagi. Sekarang kita ke kamar dulu, ya!” Reynald kemudian menggandeng Leanna memasuki lift yang membawa mereka ke lantai 5. Berhubung sudah tengah malam, Reynald tidak mungkin membiarkan Leanna berada lama-lama di lobi hotel. Reynald langsung membawa Leanna ke dalam kamarnya. Perjalanan panjang dari rumah mereka ke hot
Leanna terbangun dan wangi maskulin yang selama ini dia rindukan tercium kental dihidungnya. Leanna pun membuka mata dan menemukan dirinya sedang berada dalam dekapan pria yang beberapa waktu lalu membuatnya kesal.“Kapan Mas pulang? Katanya mau shift malam menggantikan teman Mas?” tanya Leanna sedikit terkejut mendapati suaminya itu mendekapnya erat.“Sstt … jangan bergerak!” Bukannya menjawab, Reynald justru mengetatkan pelukannya. “Kita tidur sebentar lagi, ya!” pinta pria itu dan kembali memejamkan matanya.Leanna hanya bisa menurut dan membiarkan suaminya itu memeluknya dan terlelap untuk beberapa saat. Namun suara perut Leanna yang kelaparan segera membangunkan Reynald. Sambil tersipu malu, Leanna menatap Reynald sedangkan pria itu justru tersenyum lembut.“Lapar, ya?” tanya Reynald dan Leanna mengangguk pelan. Memasuki trisemester kedua membuat perutnya menjadi lebih sering merasa lapar. “Mau makan apa?”“Bakso.”“Sepagi ini mana ada yang jual bakso, Leanna?”Leanna mengerucutk