*Happy reading*
Bianca mencibir ketika melihat Alvaro duduk di seberangnya. Padahal seharusnya cowok itu duduk di sebelahnya. Coz yang namanya perhatian totalitas itu, harusnya nggak ditunjukin sepotong-sepotong seperti ini.
Romantis dikit kek, kaya perlakuan si Bos sama Aika. Kan, Bianca juga pengen di perhatiin kek Aika gitu. Maklum Bianca lagi dalam mode iri, soalnya udah lama gak di bikin baper ma cowo.
Adanya, malah di bikin nyesek mulu. Lah, ngapa jadi curhat si Bianca?
"Pak, nggak duduk di sini?" tunjuk Bianca ke kursi sebelah setelah tidak bisa menahan diri lagi.
Ceritanya, Bianca ngarep, cuy!
"Kenapa juga saya harus duduk di situ? Biar kamu bisa modus pegangan sama saya terus manja-manjaan gitu?" jawab Alvaro dengan sinis.
Duh, tuh mulut pedes amat, ya? Cipok juga dah nih, lama-lama.
"Ck, Bapak ini curigaan banget, sih? Saya beneran takut naik pesawat ini. Bukan pura-pura seperti sangkaan Bapak!" balas Bianca dengan semangat.
Namun, alis Alvaro malah terangkat. Seakan meragukan pernyataan Bianca tersebut.
Memang itulah kenyataannya, Mana mungkin Alvaro bisa percaya perkataan cewek ini. Yang bilangnya sakit, tapi masih semangat banget ngegas buat nunjukin kalau dia takut. Jenis cewek seperti ini adalah yang paling berbahaya. Pokoknya, Alvaro harus hati-hati!
Waktu awal naik pesawat saja, Bianca terang-terangan mengagumi interior pesawat. Namun tiba-tiba, malah mabuk perjalanan.
Apa ini taktik gadis itu, agar bisa berduaan dengan dirinya? Mengingat posisi pentingnya di perusahaan, Alvaro yakin kalau otak Bianca sedang merencanakan sesuatu.
Huh! Jangan harap Alvaro akan termakan bujukan cewek matre ini. Gak akan pernah!
Alvaro pun mengabaikan Bianca, dan malah memilih mengulir layar ipadnya, sengaja menyibukan diri agar bisa menghindari rentetan pertanyaan Bianca.
Alvaro lega sekali, ketika melihat cewek itu mulai menguap lebar, seperti tak tahan dengan rasa kantuk yang tiba-tiba mendera.
Alvaro pun mengulas senyum diam-diam, karena obat tidur yang diberikannya, pasti sudah mulai bereaksi.
Yep, dia memang tidak memberikan obat anti mabuk, melainkan obat tidur. Agar nih cewek nggak banyak cincong saat perjalanan.
Alvaro malas sekali meladeni ucapan sepanjang rel kereta api.
Padahal, Alvaro sendiri akhirnya juga jatuh tertidur, karena kecapekan dengan tugasnya sepanjang hari ini. Dia pun baru bangun ketika pramugari menepuk bahunya.
Ah, rupanya sudah sampai. Kenapa rasanya sebentar sekali, ya?
Alvaro pun melirik Bianca di kursi depannya, yang ternyata masih setia memejamkan matanya.
"Bi, bangun. Bi!"
Alih-alih membangunkan Bianca dengan cara manusiawi. Menepuk atau menggoyang tubuhnya. Alvaro malah dengan sengaja menendang kaki Bianca dengan keras.
Namun hebatnya, Nih cewek tetap gak bangun juga. Luar biasa!
"Bu, bangun, Bu!" seru pramugari, ikut membantu Alvaro, membangunkan Bianca yang memang susah sekali di bangunkan dari tadi.
Nihil! Gadis itu benar-benar tak terganggu dengan tindakan dan seruan pramugari.
Ini Bianca yang kebo atau obatnya terlalu mujarab, sih? Kenapa cewek satu ini sama sekali tidak bangun.
Bahkan ketika Alvaro menggoncangkan bahunya dengan keras. Dia hanya mengulet, sambil menguap dan mengusap ujung bibirnya yang berair.
"Buset, cewek kok nggak ada jaim-jaimnya. Tutup tu mulut kalau menguap. Udah kaya kuda nil aja tuh mulut. Lebar bener," Sarkas Alvaro.
"Pak Al berisik, ih! Bianca ngantuk, nih. Entaran aja kalo mau ngajak ronde kedua," protes Bianca tanpa sadar. Membuat Alvaro langsung melotot horor.
Apaan? Ronde kedua?
Wah! Nih cewek ngimpi apa, coba?
Pramugari yang ada di samping Alvaro refleks menutup mulut, ketika tawanya tak lagi bisa ditahan. Alvaro sampai harus mengeluarkan tatapan setajam silet, agar pramugari itu mau menghentikan tawa.
"Ehm, saya permisi dulu, Pak, Bu," pamit pramugari itu akhirnya, yang mukanya sudah memerah.
Alvaro yakin, kalau tawa itu akan benar-benar pecah ketika pramugari itu sampai di belakang.
Masa bodoh, berhadapan dengan cewek seperti Bianca memang membuat urat malu jadi putus.
Akhirnya Alvaro pun berhasil membangunkan Bianca, dan memaksa Bianca untuk berjalan menuju ke mobil dengan cara menyeretnya seperti menjinjing anak kucing.
Cowok itu lalu membanting pintu keras-keras, setelah cewek itu masuk. Berharap kesadaran Bianca langsung pulih 100% seketika.
Namun, Bianca sama sekali tidak terpengaruh. Cewek itu langsung tertidur kembali, ketika menyandarkan diri di jok mobil.
Dasar pelor!
"Nanti kalo udah sampai depan gang kontrakan saya, bangunin ya, Pak! Kecuali Bapak mau ajak saya ke hotel atau rumah Bapak. Saya gak usah dibangunin, di gendong aja biar lebih romantis."
Gila! Wanita ini memberi titah, bahkan saat masih sambil memejamkan mata. Membuat Alvaro yakin tidak yakin, wanita ini sadar dengan ucapannya atau tidak.
Alvaro memilih tidak berkomentar. Terserah si Bianca mau bilang apa. Alvaro mulai terbiasa dengan tingkah ajaib gadis ini.
Alvaro pun menjalankan mobilnya dalam diam. Tanpa melirik wanita yang kini mulai mengorok lagi.
Namun, ketika mereka mendekati tempat tinggal Bianca. Cewek itu tiba-tiba bangun, dan duduk dengan tegak. Membuat alis Alvaro terangkat ketika melihat gelagat gugup Bianca.
Aneh sekali!
"Saya turun di ujung jalan saja, Pak. Rumah saya masuk gang, mobil nggak bisa masuk," ucapnya dengan cepat.
"Kamu yakin? Sepertinya gang ini gelap. Apa mau saya temani jalan sampai depan rumah?" ujar Alvaro ketika menghentikan mobil di tempat yang ditunjuk Bianca.
Alvaro bukannya peduli sama keselamatannya Bianca. Dia hanya merasa curiga dengan sikap Bianca yang terlihat gugup. Padahal biasanya cewek itu terlihat sangat percaya diri menantang Alvaro.
"Makasih ya, Pak. Saya bisa sendiri kok. Jalan ini aman," tutur Bianca yang membuka pintu mobil.
Cewek itu juga buru-buru mengambil koper, bahkan ketika bagasi belum sepenuhnya terbuka. Lambaian tangan Bianca yang terlalu bersemangat membuat Alvaro semakin curiga.
Alvaro berkali-kali melihat ke spion, untuk memperhatikan Bianca yang masih melambai padanya.
Kenapa Alvaro merasa Bianca sedang tertekan, ya?
Terlihat seorang cowok yang berlari menghampiri Bianca, dan merebut koper yang ada di depan cewek itu dengan kasar.
Hampir saja Alvaro menghentikan mobil dan menghambur keluar. Namun gerak tubuh Bianca yang melingkarkan tangan ke lengan cowok itu membuat Alvaro mengurungkan niatnya.
Apa itu pacarnya Bianca? Atau mungkin suaminya? Bukannya sekarang sedang ngetren untuk menyembunyikan status pernikahan seperti yang dilakukan Bosnya.
"Masa bodoh! Nggak penting!"
*Happy reading*Gara-gara batal ikut Bos ke Gemawang, cuti Alvaro pun dibatalkan secara sepihak.Pak Kairo menyuruhnya untuk mengawasi kantor, sementara beliau melakukan bulan madu bersama istrinya.Semua ini gara-gara Bianca!Dasar memang wanita pembawa sial! Awas saja, kalau ketemu Alvaro kutuk tuh cewek jadi ....Nah, panjang umur! Baru saja hendak dikutuk, eh cewek itu sudah nongol dengan gaya lenjehnya seperti biasa.Sok ngartis!Benar-benar memuakkan!Alvaro hanya diam ketika melihat wajah terkejut Bianca ketika mendapati dirinya ada di dalam lift.
*Happy reading*"Eh, eh, Gimana rasanya dekat-dekat dengan pak Alvaro, Bi? Duh, lutut gue pasti lemas banget, kalau bisa dekat kek lo tadi, sama cowok secakep itu."Selepas Alvaro pergi, setelah aksi heroiknya pada Bianca. Gadis itu pun langsung diserbu teman-teman kampret yang tadi mengisenginya."B aja tuh," jawab Bianca dengan acuh. Sambil duduk santai di kursi yang kali ini sudah dipastikan tak akan ditarik siapapun.Soalnya Bianca sudah memberi tatapan garang, pada teman di samping kanan dan kirinya, agar mereka tak berani berulah lagi.Huft ... akhirnya, bisa duduk juga!Bianca mendesah lega, sambil mengusap kedua pahanya diam-diam.
*Happy reading*"Maaf, Pak. Saya cari taksi saja."Dengan sigap, Alvaro mencekal tangan Bianca, saat gadis itu hendak melewatinya. Cowok itu menarik Bianca menuju sedan hitam mengkilat, yang terparkir di dekat mereka."Eh, Pak. Saya bilang, saya naik taksi saja, Pak. Masih ada perlu soalnya," tolak Bianca yang dengan konyolnya berpegangan pada tiang halte.Apaan sih, gadis ini?"Ck, Lepasin itu, Bianca! Jangan bikin malu!" Alvaro memelototi orang yang bisik-bisik sambil menunjuk mereka."Tapi, ta--""Kamu tadi sudah setuju, jadi sekarang saya tidak terima penolakan!" ucap Alvaro dengan suara menggelegar.
*Happy reading*"Sial! Sial! Sial!"Alvaro menepikan mobil ketika sudah di tempat sepi. Semua agar dia bisa melampiaskan kekesalannya, pada stir mobil yang tidak bersalah. Andaikan stir itu adalah lengan manusia, sekarang pasti sudah terlihat bekas cengkeraman Alvaro di sana."Sial!"Sekali lagi, Alvaro memaki sendiri, mengeluarkan perasaan tak nyamannya terhadap pemandangan yang tak sengaja dilihat tadi.Sekalipun dia berulang kali menekankan dalam hati. Jika itu bukanlah urusannya. Tetap saja, bayangan Bianca ditampar pacarnya benar-benar mengganggunya sekali.Dia merasa ... apa, ya? Iba, mungkin. Tapi lebih ke ... entahlah, Alvaro tak bisa menggambarkan dengan detail apa yang d
*Happy reading*"Selamat pagi, Pak," sapa Bianca yang terus menunduk ketika memasuki lift.Cewek itu masuk dari lobi, sedangkan Alvaro sudah naik dari basement. Mereka berdua tidak saling berbicara karena keadaan lift yang hampir penuh. Bianca segera turun ketika sudah sampai di lantai tempatnya bekerja.Bahunya bergerak naik perlahan kemudian turun dengan perlahan. Sebisa mungkin dia harus menghindari Alvaro. Ada dua alasan utama yang coba ditanamkan lekat-lekat ke pikiran. Yang pertama karena pacarnya cemburu buta, yang kedua karena perlahan-lahan perhatiannya mulai teralihkan pada Alvaro.Bianca berharap kalau Alvaro tidak menyaksikan apa yang sudah dilakukan pacarnya. Beruntung ada supir taxi yang menengahi, hingga cowoknya tidak jadi menyingkap jas yang terika
Babang 9*Happy Reading*"Sayang, makasih ya, buat hadiahnya. Aku suka banget."Entah sudah berapa kali Bianca mengucapkan kalimat itu, sambil terus menatap benda melingkar yang berkilau di lengannya.Senyumnya tak bisa luntur, tiap kali mengingat perlakuan manis Marcel, yang sangat jarang dia dapatkan.Bukan jarang sebenarnya, tapi lebih ke ... mahal.Ya. Mahal sekali. Karena perlakuan Marcel harus selalu di tukar kesakitannya."Iya, Sayang. Aku juga minta maaf buat kejadian kemarin, ya?" balas Marcel sambil mengusap rambut Bianca dengan lembut."Iya, gak papa kok. Aku ngerti."Bianca hanya tersenyum tipis, saat diingatkan kejadian yang sering terjadi dalam hubungan mereka.Saking seringnya, Bianca kini malah jadi terbiasa.Terbiasa disakiti, dan terbiasa dengan sikap Marcel yang seperti musim pancaroba. Bisa berganti hanya dalam hitungan detik."Habis ini mau kemana lagi, Sayang? Aku turuti. Mumpung
Babang 10*Happy Reading* "Eh, bener juga apa yang lo kata, ya?" gumam si Tante Betawi itu mengaminkan. "Ya, udah. Gue--" "Saya nggak jadi beli, deh. Biar Tante ini saja yang beli. Saya mau cari jas lain yang lebih baik," ucap wanita muda memotong ucapan Tante Betawi, sambil meninggalkan toko begitu saja. "Lah? Keduluan gue." Wanita tua itu melongo seketika. Lain hal Tante Betawi yang melongo, Bianca malah tersenyum penuh kemenangan melihat kejadian tadi. Karena itu berarti, saingannya dalam memperebutkan jas ini berkurang sudah. "Nah, Tante--" Ddrrttt ... ddrrtt ... dddrrtt .... Baru saja Bianca mau angkat bicara, ponselnya sudah berdering nyaring, dengan nama Marcel di layar depannya. Ck, ganggu aja! "Ya, udah ya, Tan. Saya duluan." Tahu akan watak pacarnya, Bianca pun buru-buru mengangkat panggilan Marcel, agar pria pemarah itu tidak ngamuk lagi. "Oh, iya. Maaf, Tan. Saya bohong soal kualit
*Happy Reading*Menyadari kehadiran Marcel. Bianca pun segera menjauhkan diri dari Alvaro, dan bergegas masuk ke mobil pacarnya, tanpa repot-repot berpamitan pada pria yang sebenarnya masih termasuk atasannya itu.Persetan dengan status Alvaro. Saat ini, Bianca lebih ketakutan pada tatapan nyalang Marcel, yang terus menatapnya dan Alvaro.Aduh! Mampus ini, mah! Marcel bisa salah paham lagi, dan ....Akh!Baru juga Bianca mendaratkan pantat di kursi samping kemudi, tangan Marcel sudah dengan cepat menjambak rambut Bianca kasar."Dasar jalang! Siapa lagi ya lo godain sekarang?" desis Marcel dengan suara dalam, membuat kuduk Bianca langsung meremang karena ketakutan."Yang, ka-kamu salah paham, Yang. I-itu tadi ... Bos aku. Dia--""Owh ... Bos elo. Pintar ya sekarang cari mangsanya?"Bianca sontak menelan salivanya kelat, saat melihat senyum miring Marcel."Bu-bukan begitu, Yang. Ak-aku dan dia gak ada hubungan
*Happy Reading*“Sok, sokan pakai mobil mahal buat jadi mobil pengantin. Bisa-bisanya kamu mau diporotin cewek macam ini?” sindir tante termuda Bianca ketika acara sudah usai dan mereka hendak meninggalkan tempat resepsi.“Itu hadiah dari saya dan istri. Bagaimanapun juga Alvaro adalah asisten pribadi saya yang setia. Tolong jaga mulut kalian karena Bianca juga termasuk orang penting di keluarga kami. Dia adalah sahabat dari istri saya. Kalau ada yang menyakiti Bianca, itu berarti secara tidak langsung sudah menyakiti istri saya,” sela Kairo yang berbicara tepat di belakang tante Bianca.Wanita itu terlihat menelan ludah dengan susah payah karena mulai mengerti arah pembicaraan ini. “Bukan seperti itu maksud saya--”Tangan Kairo terangkat untuk menghentikan wanita dengan make up menor itu. “Sebagai partner kerja group kami, kalian pasti tahu arti Aika bagi saya? Kalau ada yang membuatnya sedih, saya tidak segan-segan bertindak.”Alvaro melipat bibir demi menahan tawa ketika melihat se
Hari yang dinanti tiba juga. Rencananya pagi ini ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi di siang hari. Alvaro sengaja mengadakan ijab kabul di rumahnya. Agar dapat memastikan kehadiran keluarga Bianca yang masih belum mengetahui siapa dia sebenarnya. Rumah Mak Kanjeng yang sederhana pasti akan membuat mereka tenang dan tak membuat kekacauan yang berakhir menggagalkan pernikahan.Katakan Alvaro ini licik. Tetapi memang belum saatnya mereka tahu kebenaran soal dirinya. Sikap matre kakek dan neneknya pasti akan muncul jika tahu sekarang. Mereka akan memanfaatkan apa pun agar bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari pernikahan ini.“Ck, ck, ck. Rumah preman memang nggak jauh-jauh dari pasar. Pasti biar lancar urusan melakukan kejahatannya,” sindir paman Bianca sambil bergidik saat memasuki rumah yang terlihat kumuh di matanya. Padahal, rumah Alvaro tidak sekumuh itu. Hanya sederhana saja. Asri pula dan sedap di pandang mata. Karena Mak Kanjeng memang tidak suka rumah besar nan
*Happy Reading*“Al,” panggil Bianca dengan lirih.“Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggil hanya dengan nama saja. Kamu mau saya hukum?” ucap Alvaro dengan nada jutek yang seperti biasanya.Rona merah menjalar dari telinga hingga ke pipi mulus Bianca. Wanita itu pasti teringat dengan hukuman cium penuh semangat yang Alvaro lancarkan ketika memanggil nama saja. Tentu saja mereka sama-sama menikmati bentuk hukuman ini, tapi Alvaro juga melakukannya di depan umum. Itu pasti yang membuat Bianca merasa malu.“Eh, Bang,” ulang Bianca dengan lebih mantap.“Kenapa, Sayang.” Lagi-lagi Bianca tersipu.“Aku takut, gimana kalau Emak masih belum memaafkanku?”Tangan Alvaro bergerak untuk menggenggam tangan Bianca dan mengusapnya dengan lembut. “Emak pasti akan memaafkanmu. Jangan takut, aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama.”Mobil berhenti tepat di depan Emak, yang kebetulan hari itu sedang nongkrong di depan pager dengan Mpok Jubaedah. Biasalah, palingan juga lagi ghibah. "E
Selain menugaskan Alvaro, Kairo juga menugaskan Aika untuk mengalihkan perhatian Bianca sementara dia menyusup ke kantor. Karena itulah Aika datang dan mengajak Bianca jalan-jalan.Hari ini adalah saatnya Bianca masuk setelah mengambil cuti, jadi dia sengaja mengadakan rapat mendadak dan memberikan tugas untuk para staff. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Bianca.Suara nyaring Bianca ketika memasuki kantor bagaikan lonceng yang berdentang nyaring di telinga Alvaro. Hatinya yang memang sudah berdebar tak sabar menunggu kehadiran wanita itu, semakin kebat kebit tak karuan setelahnya. Ini saatnya dia melaksanakan rencananya.“Rapat hari ini cukup sampai di sini. Silakan langsung lakukan tugas masing-masing sesuai dengan arahan saya.” Alvaro menutup meeting pagi itu dengan santai. Berbanding terbalik dengan degup jantung yang benar-benar terasa akan meledak oleh buncahan rasa bahagia.Para staf buru-buru meninggalkan ruangan rapat, sehingga memungkinkan Alvaro untuk segera mengintip dari
Tuhan tahu betapa berat perjuangan Alvaro untuk mencari Bianca selama beberapa bulan ini. Dia secara teratur mengunjungi bagian HRD untuk menanyakan kemana Bianca dipindahkan, tapi ini malah membuatnya dapat surat teguran. Hampir saja Alvaro lepas kendali dan berniat untuk melemparkan surat itu ke muka kepala HRD, tapi demi Bianca, dia tidak boleh dipecat.Setelah beberapa hari merenung, Alvaro mengubah strategi. Dia kembali bekerja seperti biasa tanpa mengganggu bagian HRD. Dia bahkan bekerja lebih keras agar tidak ada tempat bagi otaknya untuk memikirkan Bianca.Namun, semakin kuat usahanya untuk menyingkirkan Bianca dari pikiran dan hatinya, semakin kuat kenangan Bianca menyerangnya. Walau sudah beberapa bulan berlalu, tapi kenangan Bianca sejelas ketika orangnya ada. Alvaro bahkan sering berhalusinasi melihat Bianca yang sedang terkekeh ketika mencuci piring. Betapa renyah suaranya ketika mereka mengobrol saat makan.Katakanlah Alvaro sudah gila. Ya! Dia memang sudah gila sepertin
***Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa sudah 6 bulan Bianca bekerja di kantor cabang. Tidak ada hal spesial yang harus Bianca bagi. Semua B aja. Hanya saja, mungkin sekarang Bianca sudah bisa berbaur dan enjoy dengan teman-teman barunya.Mereka baik, mereka juga asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda bersama di sela kesibukan. Membuat Bianca tidak terlalu jenuh dengan kegiatan hariannya yang itu-itu saja. Ngantor, pulang, tidur. Begitu saja terus tiap hari. Bianca yang sekarang benar-benar berubah. Tidak suka nongki dan menghamburkan uang. Meski begitu, komunikasi antara Bianca dan Aika tak pernah putus. Tiap malam selalu tak lupa bertelepon ria dan ghibah bareng. Apa yang di ghibahkan? Banyaklah! Namanya juga kaum hawa. Kalau ngobrol suka ngalor ngidul. Seakan tak ada habisnya bahan ghibahan mereka. Adaaa saja yang di bahas. Dari mulai harga cabe, tetangga julid, sinetron terbaru, gosip artis dan banyak lagi lainnya. Pokoknya kalau tidak ditegur Kairo, bisa telepo
Sesekali Bianca masih sempat melihat beberapa pasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya. Bianca hanya bisa menghela napas panjang di tempatnya. Wajar kalau mereka merasa curiga akan keberadaannya di sini yang terlalu tiba-tiba. Baru kemarin surat pemberitahuan muncul, hari ini dia sudah ada di sini. Mode express banget kan kek jodohnya si Aika.Namun, mengingat nama itu. Bianca pun ingin berterima kasih untuk bestinya yang selalu mendukung keinginannya itu. Meski pasti akan kangen sekali pada kegesrekan Aika. Bianca rasa ini memang yang terbaik untuknya. Mungkin dengan berada jauh dari Alvaro, pikirannya bisa sepenuhnya lupa akan kenangan indah yang sudah mereka jalani. Juga luka yang terlanjur tergores dalam. Bianca berharap bisa menjadi manusia baru di tempat baru bersama orang-orang baru pula. Bismillah. Yuk, bisa, yuukkk!Aika : [Bi, Alvaro tadi telepon buat nanyain keberadaan lo]Saat istirahat tiba. Bianca melihat ternyata ada chat dari bestie gesreknya. Hatinya seketika
Dua hari kemudian.Senyum lebar Alvaro terpasang ketika dia melangkah memasuki gedung tempat kerjanya. Dia tidak menghiraukan pandangan beberapa wanita yang ikut berbinar ketika melihatnya. Suara bisik-bisik yang samar-samar didengarnya tidak membuat senyumnya hilang.Terserah mereka mau bilang apa, yang penting hari ini dia akhirnya akan ketemu dengan Bianca. Mungkin sepulang kerja nanti, dia akan mengajukan lamaran. Tidak perlu ada pertunjukkan lamaran seperti yang ada di drama-drama karena dia sudah tidak sabar ingin segera bersama-sama Bianca untuk selamanya.“Selamat pagi, Bos,” sapa Alvaro ketika membuka pintu menuju ruangan Kairo.Namun, Bosnya itu hanya memandangnya sekilas kemudian berkutat kembali dengan pekerjaannya.Apa selama tiga hari cuti, kerjaan di kantor jadi semakin banyak? Sampai-sampai wajah si Bos horor begitu. Alvaro pun segera menghapus senyum dari wajahnya dan mulai bersikap seperti biasanya.Sepanjang hari disibukkan oleh pekerjaan membuat Alvaro sejenak melu
Mata Alvaro tertuju pada laki-laki yang sudah bau tanah di hadapannya. Pria itu mengamatinya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut, lalu berulang kembali. Senyum miring terlihat samar sebelum pria itu kembali menampilkan wajah datar.“Ada perlu apa kamu kesini?”“Lapor, Tuan. Orang ini menerobos masuk dan bilang mau melamar cucu Tuan,” ujar seorang satpam yang berdiri takut-takut di belakang Alvaro."Cucu?" beo pria itu lagi, kembali memindai tubuh Alvaro dengan seksama. Alisnya berjungkit antara bingung dan tak suka pada preman kumal di hadapannya saat ini. Cucu yang mana yang preman ini maksud? Cucu yang dia milik tak hanya satu orang. Keheranan bukan hanya terlihat dari raut pria tua itu, tetapi juga orang-orang di belakang tubuhnya. Itu adalah keluarga Bianca."Bianca, Tuan," bisik sang Satpam memberi clue. Sekaligus membuat mata tua itu melotot tak percaya. “Apa benar itu? Kau mau melamar dia, si Bianca.” Jari keriput itu menunjuk kearah muka Alvaro.Kalau saja tidak sedang be