*Happy Reading*
Menyadari kehadiran Marcel. Bianca pun segera menjauhkan diri dari Alvaro, dan bergegas masuk ke mobil pacarnya, tanpa repot-repot berpamitan pada pria yang sebenarnya masih termasuk atasannya itu.
Persetan dengan status Alvaro. Saat ini, Bianca lebih ketakutan pada tatapan nyalang Marcel, yang terus menatapnya dan Alvaro.
Aduh! Mampus ini, mah! Marcel bisa salah paham lagi, dan ....
Akh!
Baru juga Bianca mendaratkan pantat di kursi samping kemudi, tangan Marcel sudah dengan cepat menjambak rambut Bianca kasar.
"Dasar jalang! Siapa lagi ya lo godain sekarang?" desis Marcel dengan suara dalam, membuat kuduk Bianca langsung meremang karena ketakutan.
"Yang, ka-kamu salah paham, Yang. I-itu tadi ... Bos aku. Dia--"
"Owh ... Bos elo. Pintar ya sekarang cari mangsanya?"
Bianca sontak menelan salivanya kelat, saat melihat senyum miring Marcel.
"Bu-bukan begitu, Yang. Ak-aku dan dia gak ada hubungan
Babang 12*Happy Reading*"Hentikan!"Tiba-tiba saja Bianca menyusup di antara keduanya. Alvaro menyeringai ketika Bianca berdiri membelakanginya dengan kedua tangan terentang.Tak ayal, mata Marcel pun langsung menyalang ke arah keduanya. "Kamu membelanya, Bi?"Takut-takut, Bianca menurunkan kedua tangannya saat mendengar gelegar suara Marcel barusan, kemudian menoleh ragu-ragu ke belakang. Tubuhnya pun mulai gemetaran.Alvaro maju hingga tubuhnya menjulang di depan Bianca untuk menutupi pandangan Marcel. Namun, sebuah tinju menghantam perutnya saat belum sepenuhnya siap. Hingga Alvaro terbungkuk sambil menahan sakit.Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali Marcel melayangkan tinjunya. Tidak peduli Alvaro siap atau tidak, bisa atau tidak membalas. Marcel terus saja melayangkan pukulannya, seperti kesetanan.Bianca hanya bisa berteriak-teriak di tempatnya melihat hal itu. Dia ingin menolong, tapi tidak bisa. Tenaganya kalah telak p
"Halo," ucap Alvaro dengan senyum mengembang setelah menepikan mobil.Suara ramah yang dipadukan senyum manis membuat Bianca nyaris meneteskan air liur. Sungguh merupakan perpaduan maut yang bisa membuat cewek-cewek jatuh hati.Sayang pria ini terlalu pelit memperlihatkannya pada publik."Enggak, kok. Ini cuma mau mampir ke apartemen dulu, setelah itu Al meluncur ke situ."Bianca sekuat mungkin menahan diri untuk tidak menoleh ke arah Alvaro. Saat suara lembut itu terdengar rungunya.Meski sebenarnya dia sangat kepo sekali pada orang yang menelpon Alvaro, hingga mampu membuat cowok jutek ini berubah jadi seperti kucing manis seperti itu.Pasti pacarnya, gak salah lagi!
Bab 14*Happy Reading* Di sisi lain, Alvaro juga sudah memasuki lift. Langsung bersandar di dinding dinginnya. Alvaro memejamkan mata erat seraya meredakan debaran jantung yang seperti deburan ombak, kencang menghantam. Sialan! Gue kenapa, sih? Kenapa tadi itu …. "Argh .... Ingat, Al! Dia itu sahabatnya istri bos kamu, Aika. Kamu harus menjaganya. Bukan mengencaninya." Alvaro menggeram kesal setelahnya, sebelum menyugar rambut dengan kasar. Ini gila! Alvaro merasa mulai tak mengenali dirinya sendiri. Dia pun bergegas pergi saat pintu lift sudah sampai tujuannya, agar tidak berubah pikiran dan malah kembali masuk ke apartemen. Tidak boleh, Al. Dia bukan tipemu!' Batinnya kembali memperingatkan. Setengah jam kemudian, Alvaro baru sadar kalau sudah berhenti di depan rumah. Tuhan, Jadi, dari tadi dia nyetir sambil melamun? Alvaro meletakkan kepala di atas setir mobil. Menutup mata sejenak dan mengatur
*Happy Reading* Paginya, Bianca terbangun dengan perasaan lebih ringan. Otaknya terasa segar karena tidur yang nyenyak semalaman. Bahkan, sebenarnya untuk bangun pagi ini pun. Bianca malas sekali. Toh, dia juga sudah mendapat izin cuti kan? Jadi, bermalas-malasan sejenak rasanya tidak masalah. Betul! Bianca sudah berniat akan bermalasan seharian hari ini. Memanjakan diri dan berusaha tidak memikirkan hari esok. Istilah kerennya me time, gaes! Karena itulah, meski sebenarnya masih ingin bergumul di atas kasur. Bianca harus memaksakan bangun untuk bersiap pergi ke salon, karena ingin memulai hidup yang baru dengan penampilan yang baru pula. Kan, dia juga harus mencari mangsa baru. Jadi upgrade penampilan itu hukumnya wajib untuk Bianca saat ini. Mengingat hal itu, Bianca pun meregangkan tubuh dengan puas. Kemudian Berguling ke samping, mengangkat pantat sedikit tinggi dan .... Duuutttttt ...
*Happy Reading*Mereka berdua menuju ke swalayan dekat apartemen. Sesampainya di sana, Bianca langsung menarik troli besar, dan melenggang dengan riang sambil sesekali berdendang kecil.Tidak jelas apa yang sedang dia nyanyikan, yang jelas terlihat hanyalah wajah sumringah dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya.Jelas Bianca sumringa. Ini kan saatnya dia berbelanja dengan uang Alvaro. Kapan lagi yee, kan, bisa morotin asisten jutex ini?Bianca pun mulai memasukkan barang-barang tanpa melihat harganya, juga tentu saja tanpa meminta persetujuan Alvaro. Dia terbawa kebiasaan ketika bersama dengan Marcel.Tidak masalah, kan? Toh Alvaro tidak ada melarangnya, tuh!Pria itu masih mengikutinya dengan santai, tanpa satu pun kata yang terucap dari bibir seksinya. Berarti pria itu tidak keberatan dengan belanjaan Bianca, benar tidak?Namun, yang membuat wajah
*Happy Reading*"Pak! Kok tega banget sih? Saya gak bawa duit, nih! kan tadi bapak yang buru-buru ngajak belanja!" seru Bianca dengan lantang, takut benar-benar ditinggalkan Alvaro.Demi apa? Ternyata pria itu benar-benar raja tega! Beraninya dia mempermainkan Bianca seperti ini. Ugh ... tidak bisa dibiarkan!Sayangnya, Alvaro mengabaikan teriakan itu, membuat Bianca makin gusar, dan harus segera memutar otak pintarnya agar tidak malu sendirian.Okeh! Baiklah kalau itu maumu, Gustavo--eh salah, Alvaro! Lihat saja apa yang akan Bianca lakukan untuk membalas perlakukan licikmu?!"Sayang? Ayolah!" Bianca mengubah seruannya menjadi rengekan manja, seraya menarik lengan Alvaro dengan segera."Iya, iya, aku ngaku salah, deh. Emang ngidam ngidam aku tuh nyebelin hari ini, maunya dorong troli belanja sendiri. Kamu pasti khawatir, kan? Tapi jangan merajuk gini dong, Beb. Nggak malu apa sama anak yang ada di kandungan?" Bianca menambahkan dengan lugas
*Happy Reading*Alvaro segera mengikuti Bianca ke kamar, berniat untuk minta maaf. Tapi wanita itu membanting pintu di depannya. Membuat Alvaro menelan saliva kelat karenanya.Ingin memaksa masuk, tapi rasanya sungkan. Akhirnya tangannya yang hendak mengetuk, hanya terhenti di udara. Lalu pria itu pun memutuskan untuk memberi waktu bagi Bianca.Setelah wanita itu agak tenang, dia janji akan minta maaf.Sekali lagi Alvaro menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat, dengan perasaan yang tiba-tiba gelisah. Kemudian dia pun menuju ke ruang tamu. Untuk menenangkan diri juga.Entah kenapa? Hatinya benar-benar tidak nyaman melihat kesedihan yang membayangi wajah Bianca tadi. Alvaro merasa jadi orang jahat hari ini.Ah, mulutnya memang kadang tidak bisa di Rem.Menghela napas berat sekali lagi, Alvaro melirik ke arah pintu, tepatnya ke arah barang belanjaan, yang masih teronggok di dekat pintu. Akhirnya pria itu pun memutuskan untuk mera
"Nggak, nggak. Ga boleh balikan sama Marcel," gumam Bianca, sambil melempar ponsel sembarangan."Ah, tapi terjamin kalau sama Marcel," tambah Bianca yang mulai menggapai ponsel lagi."Eh, tapi ... Nggak enaknya, ntar babak belur lagi. Iya, kalau lain kali bisa selamat. Kalau koit, cemana?" Gadis itu masih bermonolog, menimang-nimang pilihan yang terbaik.Namun pada akhirnya, saat kewarasan merasuki. Bianca kemudian menghapus chat Marcel, agar tidak tergoda untuk membalas.Ngomong-ngomong soal godaan. Bianca teringat akan satu hal.Wanita itu lalu berlari ke ruang makan, dan mulai bersih-bersih. Pokoknya Jangan sampai Alvaro melihatnya sudah makan. Biar pria itu merasa bersalah dan nggak bisa tidur. Huh, Si
*Happy Reading*“Sok, sokan pakai mobil mahal buat jadi mobil pengantin. Bisa-bisanya kamu mau diporotin cewek macam ini?” sindir tante termuda Bianca ketika acara sudah usai dan mereka hendak meninggalkan tempat resepsi.“Itu hadiah dari saya dan istri. Bagaimanapun juga Alvaro adalah asisten pribadi saya yang setia. Tolong jaga mulut kalian karena Bianca juga termasuk orang penting di keluarga kami. Dia adalah sahabat dari istri saya. Kalau ada yang menyakiti Bianca, itu berarti secara tidak langsung sudah menyakiti istri saya,” sela Kairo yang berbicara tepat di belakang tante Bianca.Wanita itu terlihat menelan ludah dengan susah payah karena mulai mengerti arah pembicaraan ini. “Bukan seperti itu maksud saya--”Tangan Kairo terangkat untuk menghentikan wanita dengan make up menor itu. “Sebagai partner kerja group kami, kalian pasti tahu arti Aika bagi saya? Kalau ada yang membuatnya sedih, saya tidak segan-segan bertindak.”Alvaro melipat bibir demi menahan tawa ketika melihat se
Hari yang dinanti tiba juga. Rencananya pagi ini ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi di siang hari. Alvaro sengaja mengadakan ijab kabul di rumahnya. Agar dapat memastikan kehadiran keluarga Bianca yang masih belum mengetahui siapa dia sebenarnya. Rumah Mak Kanjeng yang sederhana pasti akan membuat mereka tenang dan tak membuat kekacauan yang berakhir menggagalkan pernikahan.Katakan Alvaro ini licik. Tetapi memang belum saatnya mereka tahu kebenaran soal dirinya. Sikap matre kakek dan neneknya pasti akan muncul jika tahu sekarang. Mereka akan memanfaatkan apa pun agar bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari pernikahan ini.“Ck, ck, ck. Rumah preman memang nggak jauh-jauh dari pasar. Pasti biar lancar urusan melakukan kejahatannya,” sindir paman Bianca sambil bergidik saat memasuki rumah yang terlihat kumuh di matanya. Padahal, rumah Alvaro tidak sekumuh itu. Hanya sederhana saja. Asri pula dan sedap di pandang mata. Karena Mak Kanjeng memang tidak suka rumah besar nan
*Happy Reading*“Al,” panggil Bianca dengan lirih.“Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggil hanya dengan nama saja. Kamu mau saya hukum?” ucap Alvaro dengan nada jutek yang seperti biasanya.Rona merah menjalar dari telinga hingga ke pipi mulus Bianca. Wanita itu pasti teringat dengan hukuman cium penuh semangat yang Alvaro lancarkan ketika memanggil nama saja. Tentu saja mereka sama-sama menikmati bentuk hukuman ini, tapi Alvaro juga melakukannya di depan umum. Itu pasti yang membuat Bianca merasa malu.“Eh, Bang,” ulang Bianca dengan lebih mantap.“Kenapa, Sayang.” Lagi-lagi Bianca tersipu.“Aku takut, gimana kalau Emak masih belum memaafkanku?”Tangan Alvaro bergerak untuk menggenggam tangan Bianca dan mengusapnya dengan lembut. “Emak pasti akan memaafkanmu. Jangan takut, aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama.”Mobil berhenti tepat di depan Emak, yang kebetulan hari itu sedang nongkrong di depan pager dengan Mpok Jubaedah. Biasalah, palingan juga lagi ghibah. "E
Selain menugaskan Alvaro, Kairo juga menugaskan Aika untuk mengalihkan perhatian Bianca sementara dia menyusup ke kantor. Karena itulah Aika datang dan mengajak Bianca jalan-jalan.Hari ini adalah saatnya Bianca masuk setelah mengambil cuti, jadi dia sengaja mengadakan rapat mendadak dan memberikan tugas untuk para staff. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Bianca.Suara nyaring Bianca ketika memasuki kantor bagaikan lonceng yang berdentang nyaring di telinga Alvaro. Hatinya yang memang sudah berdebar tak sabar menunggu kehadiran wanita itu, semakin kebat kebit tak karuan setelahnya. Ini saatnya dia melaksanakan rencananya.“Rapat hari ini cukup sampai di sini. Silakan langsung lakukan tugas masing-masing sesuai dengan arahan saya.” Alvaro menutup meeting pagi itu dengan santai. Berbanding terbalik dengan degup jantung yang benar-benar terasa akan meledak oleh buncahan rasa bahagia.Para staf buru-buru meninggalkan ruangan rapat, sehingga memungkinkan Alvaro untuk segera mengintip dari
Tuhan tahu betapa berat perjuangan Alvaro untuk mencari Bianca selama beberapa bulan ini. Dia secara teratur mengunjungi bagian HRD untuk menanyakan kemana Bianca dipindahkan, tapi ini malah membuatnya dapat surat teguran. Hampir saja Alvaro lepas kendali dan berniat untuk melemparkan surat itu ke muka kepala HRD, tapi demi Bianca, dia tidak boleh dipecat.Setelah beberapa hari merenung, Alvaro mengubah strategi. Dia kembali bekerja seperti biasa tanpa mengganggu bagian HRD. Dia bahkan bekerja lebih keras agar tidak ada tempat bagi otaknya untuk memikirkan Bianca.Namun, semakin kuat usahanya untuk menyingkirkan Bianca dari pikiran dan hatinya, semakin kuat kenangan Bianca menyerangnya. Walau sudah beberapa bulan berlalu, tapi kenangan Bianca sejelas ketika orangnya ada. Alvaro bahkan sering berhalusinasi melihat Bianca yang sedang terkekeh ketika mencuci piring. Betapa renyah suaranya ketika mereka mengobrol saat makan.Katakanlah Alvaro sudah gila. Ya! Dia memang sudah gila sepertin
***Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa sudah 6 bulan Bianca bekerja di kantor cabang. Tidak ada hal spesial yang harus Bianca bagi. Semua B aja. Hanya saja, mungkin sekarang Bianca sudah bisa berbaur dan enjoy dengan teman-teman barunya.Mereka baik, mereka juga asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda bersama di sela kesibukan. Membuat Bianca tidak terlalu jenuh dengan kegiatan hariannya yang itu-itu saja. Ngantor, pulang, tidur. Begitu saja terus tiap hari. Bianca yang sekarang benar-benar berubah. Tidak suka nongki dan menghamburkan uang. Meski begitu, komunikasi antara Bianca dan Aika tak pernah putus. Tiap malam selalu tak lupa bertelepon ria dan ghibah bareng. Apa yang di ghibahkan? Banyaklah! Namanya juga kaum hawa. Kalau ngobrol suka ngalor ngidul. Seakan tak ada habisnya bahan ghibahan mereka. Adaaa saja yang di bahas. Dari mulai harga cabe, tetangga julid, sinetron terbaru, gosip artis dan banyak lagi lainnya. Pokoknya kalau tidak ditegur Kairo, bisa telepo
Sesekali Bianca masih sempat melihat beberapa pasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya. Bianca hanya bisa menghela napas panjang di tempatnya. Wajar kalau mereka merasa curiga akan keberadaannya di sini yang terlalu tiba-tiba. Baru kemarin surat pemberitahuan muncul, hari ini dia sudah ada di sini. Mode express banget kan kek jodohnya si Aika.Namun, mengingat nama itu. Bianca pun ingin berterima kasih untuk bestinya yang selalu mendukung keinginannya itu. Meski pasti akan kangen sekali pada kegesrekan Aika. Bianca rasa ini memang yang terbaik untuknya. Mungkin dengan berada jauh dari Alvaro, pikirannya bisa sepenuhnya lupa akan kenangan indah yang sudah mereka jalani. Juga luka yang terlanjur tergores dalam. Bianca berharap bisa menjadi manusia baru di tempat baru bersama orang-orang baru pula. Bismillah. Yuk, bisa, yuukkk!Aika : [Bi, Alvaro tadi telepon buat nanyain keberadaan lo]Saat istirahat tiba. Bianca melihat ternyata ada chat dari bestie gesreknya. Hatinya seketika
Dua hari kemudian.Senyum lebar Alvaro terpasang ketika dia melangkah memasuki gedung tempat kerjanya. Dia tidak menghiraukan pandangan beberapa wanita yang ikut berbinar ketika melihatnya. Suara bisik-bisik yang samar-samar didengarnya tidak membuat senyumnya hilang.Terserah mereka mau bilang apa, yang penting hari ini dia akhirnya akan ketemu dengan Bianca. Mungkin sepulang kerja nanti, dia akan mengajukan lamaran. Tidak perlu ada pertunjukkan lamaran seperti yang ada di drama-drama karena dia sudah tidak sabar ingin segera bersama-sama Bianca untuk selamanya.“Selamat pagi, Bos,” sapa Alvaro ketika membuka pintu menuju ruangan Kairo.Namun, Bosnya itu hanya memandangnya sekilas kemudian berkutat kembali dengan pekerjaannya.Apa selama tiga hari cuti, kerjaan di kantor jadi semakin banyak? Sampai-sampai wajah si Bos horor begitu. Alvaro pun segera menghapus senyum dari wajahnya dan mulai bersikap seperti biasanya.Sepanjang hari disibukkan oleh pekerjaan membuat Alvaro sejenak melu
Mata Alvaro tertuju pada laki-laki yang sudah bau tanah di hadapannya. Pria itu mengamatinya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut, lalu berulang kembali. Senyum miring terlihat samar sebelum pria itu kembali menampilkan wajah datar.“Ada perlu apa kamu kesini?”“Lapor, Tuan. Orang ini menerobos masuk dan bilang mau melamar cucu Tuan,” ujar seorang satpam yang berdiri takut-takut di belakang Alvaro."Cucu?" beo pria itu lagi, kembali memindai tubuh Alvaro dengan seksama. Alisnya berjungkit antara bingung dan tak suka pada preman kumal di hadapannya saat ini. Cucu yang mana yang preman ini maksud? Cucu yang dia milik tak hanya satu orang. Keheranan bukan hanya terlihat dari raut pria tua itu, tetapi juga orang-orang di belakang tubuhnya. Itu adalah keluarga Bianca."Bianca, Tuan," bisik sang Satpam memberi clue. Sekaligus membuat mata tua itu melotot tak percaya. “Apa benar itu? Kau mau melamar dia, si Bianca.” Jari keriput itu menunjuk kearah muka Alvaro.Kalau saja tidak sedang be