*Happy reading*
"Selamat pagi, Pak," sapa Bianca yang terus menunduk ketika memasuki lift.
Cewek itu masuk dari lobi, sedangkan Alvaro sudah naik dari basement. Mereka berdua tidak saling berbicara karena keadaan lift yang hampir penuh. Bianca segera turun ketika sudah sampai di lantai tempatnya bekerja.
Bahunya bergerak naik perlahan kemudian turun dengan perlahan. Sebisa mungkin dia harus menghindari Alvaro. Ada dua alasan utama yang coba ditanamkan lekat-lekat ke pikiran. Yang pertama karena pacarnya cemburu buta, yang kedua karena perlahan-lahan perhatiannya mulai teralihkan pada Alvaro.
Bianca berharap kalau Alvaro tidak menyaksikan apa yang sudah dilakukan pacarnya. Beruntung ada supir taxi yang menengahi, hingga cowoknya tidak jadi menyingkap jas yang terikat di pinggang. Namun, cowoknya sempat melontarkan ancaman hendak mengusik Alvaro jika Bianca masih dekat-dekat atasannya itu.
"Kenapa kamu beli mobil ini, Sayang?"
Mata Bianca menyipit ketika melontarkan pertanyaan itu. Pasalnya, pacarnya mengajak ke dealer mobil untuk membeli sedan yang sama persis dengan milik Alvaro.
"Sebagai pengingat agar kamu nggak selingkuh. Kamu harus ingat kalau aku mampu memberikan apa yang orang lain bisa belikan ke kamu. Kamu itu cewek miskin yang nggak bisa bertahan kalau nggak ada aku. Kamu bisa cantik dan modis gini karena perhatianku," tutur cowok yang memegang dagu Bianca.
Lamunan Bianca terputus ketika telepon yang tergeletak di atas meja berdering. "Selamat siang dengan Bianca."
"..."
"Iya, Mbak. Baiklah, saya akan ke sana."
Bianca meraih dokumen yang baru saja selesai dicetak. Sebenarnya apa mau Pak Alvaro? Kenapa dia mau membaca dokumen yang harusnya dikoreksi atasannya. Apa benar Pak Kairo ingin cowok itu memeriksanya.
"Ini dokumen yang Bapak minta," ucap Bianca yang berdiri di tengah-tengah pintu.
"Masuk!"
Alvaro merasakan keengganan cewek itu ketika memenuhi perintahnya. Dokumen yang sebenarnya tidak dibutuhkan itu sudah diletakkan di meja kerjanya.
"Kenapa make up mu begitu berlebihan? Jadi seperti ondel-ondel," ejek Alvaro yang membuat dagu Bianca terangkat.
Terlihat kilat kemarahan yang sedang coba dikendalikan oleh cewek itu. Ini membuat Alvaro bisa mengamati wajah Bianca dengan lebih jelas.
Cewek itu memang ahli menutupi bekas luka hingga orang lain tidak akan menyadari. Namun, Alvaro sudah melihat kejadian kemarin, jadi tahu dengan persis keberadaan luka itu.
"Ini tuh sedang tren. Memangnya pacarnya Bapak nggak pernah pakai make up? Ups, maaf, Pak. Saya lupa kalau Bapak nggak punya pacar. Mana ada cewek yang berani dekat-dekat Bapak. Pasti takut dijutekin," balas Bianca dengan nada sinis maksimal.
"Maaf, maaf saja. Selera saya itu cukup tinggi. Saya lebih suka yang seperti manekin toko dari pada ondel-ondel. Bukannya saya tidak menyukai kebudayaan negeri sendiri, tapi dandananmu yang menor berpotensi membuat anak-anak lari ketakutan. Apa memang pacarmu suka tipe cewek yang dempulnya setebal tembok bendungan?"
"Pacaran saja sono sama manekin, jangan pacaran sama orang!"
Bianca menghentakkan kaki sebelum meninggalkan ruangan kantor. Sepeninggal Bianca, Alvaro memejam. Dia mengingat-ingat lagi posisi bekas lebam yang ada di wajah Bianca. Pacar cewek itu memang keterlaluan.
Kerjaannya selanjutnya adalah mondar-mandir di lantai yang menjadi tempat kerja Bianca. Inspeksi mendadak itu membuat dirinya mendapatkan tatapan tidak suka dari Bianca.
Dia butuh Kairo dan Aika kembali ke sini agar pikirannya kembali waras. Sekarang Alvaro tak ubahnya seperti penguntit pengecut yang selalu mengawasi cewek yang disukai.
Pulang kerja, Alvaro sengaja naik ojek online agar bisa dengan mudah membuntuti Bianca. Jangan sampai cewek itu kembali dipukuli oleh pacarnya.
"Tunggu di sini dulu, Pak," pinta Alvaro yang melompat turun agar tidak kehilangan jejak Bianca.
Cewek itu masuk ke dalam toko perhiasan. Alvaro melihat pacar Bianca menyambut dengan hangat. Bahkan mencium pipi Bianca yang membuat pipi cewek itu bersemu merah.
Tak berapa lama, sebuah gelang emas sudah melingkar di pergelangan tangan Bianca. Rasanya Alvaro hendak muntah melihat adegan Bianca yang menarik cowok itu mendekat untuk memberikan ciuman terima kasih. Dia sudah cukup sering terpaksa melihat kemesraan Boss dan istrinya, jangan sampai ditambah dengan kedua orang di hadapannya.
Alvaro sudah berada di boncengan Abang tukang ojek ketika Bianca masuk ke dalam sedan yang terlihat mirip dengan miliknya. Apa pacar Bianca sengaja membeli mobil yang sama karena cemburu?
Hasil penyelidikan Alvaro malah membuat makin geram. Kelakuan pacar Bianca mengingatkan akan dengan kehidupan pernikahan kedua orang tuanya. Bapak yang dengan mudah meminta maaf serta menghujani Emak dengan hadiah ketika kemarahan sudah surut. Namun, tak segan untuk menghajar sampai babak belur ketika amarah tersulut.
Matahari sudah terbenam ketika Alvaro memutuskan untuk pulang. Beberapa jam ini dia sudah mengetahui seperti apa sifat pacar Bianca.
"Dasar murahan!" sembur Alvaro setelah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.
"Bagaimana dia bisa dengan bodoh masih bertahan dalam hubungan toxic seperti itu? Apa karena harta pacarnya? Dasar Matre!"
"Nggak, nggak, nggak. Kali ini aku nggak boleh terlibat dalam urusan ini. Biar dia menyelesaikannya sendiri. Toh dia juga bahagia dengan hadiah mahal yang bisa dipamerkan," gerutu Alvaro, sambil memejamkan matanya, berusaha untuk abai pada apa pun hal yang menyangkut Bianca.
Namun nahasnya, saat dia menutup mata. Bayangan Bianca yang ditampar pacar gadis itu malah muncul tak tahu diri di benaknya.
Sontak saja matanya langsung terbuka, dengan hati yang kembali kacau. Pria itu pun lalu menggeram kesal setelahnya, sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
Sialan!
Kenapa Alvaro tidak bisa melupakan kejadian itu, dan kini malah kembali mengkhawatirkan Bianca?
Apa sebenarnya yang terjadi padanya?
Babang 9*Happy Reading*"Sayang, makasih ya, buat hadiahnya. Aku suka banget."Entah sudah berapa kali Bianca mengucapkan kalimat itu, sambil terus menatap benda melingkar yang berkilau di lengannya.Senyumnya tak bisa luntur, tiap kali mengingat perlakuan manis Marcel, yang sangat jarang dia dapatkan.Bukan jarang sebenarnya, tapi lebih ke ... mahal.Ya. Mahal sekali. Karena perlakuan Marcel harus selalu di tukar kesakitannya."Iya, Sayang. Aku juga minta maaf buat kejadian kemarin, ya?" balas Marcel sambil mengusap rambut Bianca dengan lembut."Iya, gak papa kok. Aku ngerti."Bianca hanya tersenyum tipis, saat diingatkan kejadian yang sering terjadi dalam hubungan mereka.Saking seringnya, Bianca kini malah jadi terbiasa.Terbiasa disakiti, dan terbiasa dengan sikap Marcel yang seperti musim pancaroba. Bisa berganti hanya dalam hitungan detik."Habis ini mau kemana lagi, Sayang? Aku turuti. Mumpung
Babang 10*Happy Reading* "Eh, bener juga apa yang lo kata, ya?" gumam si Tante Betawi itu mengaminkan. "Ya, udah. Gue--" "Saya nggak jadi beli, deh. Biar Tante ini saja yang beli. Saya mau cari jas lain yang lebih baik," ucap wanita muda memotong ucapan Tante Betawi, sambil meninggalkan toko begitu saja. "Lah? Keduluan gue." Wanita tua itu melongo seketika. Lain hal Tante Betawi yang melongo, Bianca malah tersenyum penuh kemenangan melihat kejadian tadi. Karena itu berarti, saingannya dalam memperebutkan jas ini berkurang sudah. "Nah, Tante--" Ddrrttt ... ddrrtt ... dddrrtt .... Baru saja Bianca mau angkat bicara, ponselnya sudah berdering nyaring, dengan nama Marcel di layar depannya. Ck, ganggu aja! "Ya, udah ya, Tan. Saya duluan." Tahu akan watak pacarnya, Bianca pun buru-buru mengangkat panggilan Marcel, agar pria pemarah itu tidak ngamuk lagi. "Oh, iya. Maaf, Tan. Saya bohong soal kualit
*Happy Reading*Menyadari kehadiran Marcel. Bianca pun segera menjauhkan diri dari Alvaro, dan bergegas masuk ke mobil pacarnya, tanpa repot-repot berpamitan pada pria yang sebenarnya masih termasuk atasannya itu.Persetan dengan status Alvaro. Saat ini, Bianca lebih ketakutan pada tatapan nyalang Marcel, yang terus menatapnya dan Alvaro.Aduh! Mampus ini, mah! Marcel bisa salah paham lagi, dan ....Akh!Baru juga Bianca mendaratkan pantat di kursi samping kemudi, tangan Marcel sudah dengan cepat menjambak rambut Bianca kasar."Dasar jalang! Siapa lagi ya lo godain sekarang?" desis Marcel dengan suara dalam, membuat kuduk Bianca langsung meremang karena ketakutan."Yang, ka-kamu salah paham, Yang. I-itu tadi ... Bos aku. Dia--""Owh ... Bos elo. Pintar ya sekarang cari mangsanya?"Bianca sontak menelan salivanya kelat, saat melihat senyum miring Marcel."Bu-bukan begitu, Yang. Ak-aku dan dia gak ada hubungan
Babang 12*Happy Reading*"Hentikan!"Tiba-tiba saja Bianca menyusup di antara keduanya. Alvaro menyeringai ketika Bianca berdiri membelakanginya dengan kedua tangan terentang.Tak ayal, mata Marcel pun langsung menyalang ke arah keduanya. "Kamu membelanya, Bi?"Takut-takut, Bianca menurunkan kedua tangannya saat mendengar gelegar suara Marcel barusan, kemudian menoleh ragu-ragu ke belakang. Tubuhnya pun mulai gemetaran.Alvaro maju hingga tubuhnya menjulang di depan Bianca untuk menutupi pandangan Marcel. Namun, sebuah tinju menghantam perutnya saat belum sepenuhnya siap. Hingga Alvaro terbungkuk sambil menahan sakit.Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali Marcel melayangkan tinjunya. Tidak peduli Alvaro siap atau tidak, bisa atau tidak membalas. Marcel terus saja melayangkan pukulannya, seperti kesetanan.Bianca hanya bisa berteriak-teriak di tempatnya melihat hal itu. Dia ingin menolong, tapi tidak bisa. Tenaganya kalah telak p
"Halo," ucap Alvaro dengan senyum mengembang setelah menepikan mobil.Suara ramah yang dipadukan senyum manis membuat Bianca nyaris meneteskan air liur. Sungguh merupakan perpaduan maut yang bisa membuat cewek-cewek jatuh hati.Sayang pria ini terlalu pelit memperlihatkannya pada publik."Enggak, kok. Ini cuma mau mampir ke apartemen dulu, setelah itu Al meluncur ke situ."Bianca sekuat mungkin menahan diri untuk tidak menoleh ke arah Alvaro. Saat suara lembut itu terdengar rungunya.Meski sebenarnya dia sangat kepo sekali pada orang yang menelpon Alvaro, hingga mampu membuat cowok jutek ini berubah jadi seperti kucing manis seperti itu.Pasti pacarnya, gak salah lagi!
Bab 14*Happy Reading* Di sisi lain, Alvaro juga sudah memasuki lift. Langsung bersandar di dinding dinginnya. Alvaro memejamkan mata erat seraya meredakan debaran jantung yang seperti deburan ombak, kencang menghantam. Sialan! Gue kenapa, sih? Kenapa tadi itu …. "Argh .... Ingat, Al! Dia itu sahabatnya istri bos kamu, Aika. Kamu harus menjaganya. Bukan mengencaninya." Alvaro menggeram kesal setelahnya, sebelum menyugar rambut dengan kasar. Ini gila! Alvaro merasa mulai tak mengenali dirinya sendiri. Dia pun bergegas pergi saat pintu lift sudah sampai tujuannya, agar tidak berubah pikiran dan malah kembali masuk ke apartemen. Tidak boleh, Al. Dia bukan tipemu!' Batinnya kembali memperingatkan. Setengah jam kemudian, Alvaro baru sadar kalau sudah berhenti di depan rumah. Tuhan, Jadi, dari tadi dia nyetir sambil melamun? Alvaro meletakkan kepala di atas setir mobil. Menutup mata sejenak dan mengatur
*Happy Reading* Paginya, Bianca terbangun dengan perasaan lebih ringan. Otaknya terasa segar karena tidur yang nyenyak semalaman. Bahkan, sebenarnya untuk bangun pagi ini pun. Bianca malas sekali. Toh, dia juga sudah mendapat izin cuti kan? Jadi, bermalas-malasan sejenak rasanya tidak masalah. Betul! Bianca sudah berniat akan bermalasan seharian hari ini. Memanjakan diri dan berusaha tidak memikirkan hari esok. Istilah kerennya me time, gaes! Karena itulah, meski sebenarnya masih ingin bergumul di atas kasur. Bianca harus memaksakan bangun untuk bersiap pergi ke salon, karena ingin memulai hidup yang baru dengan penampilan yang baru pula. Kan, dia juga harus mencari mangsa baru. Jadi upgrade penampilan itu hukumnya wajib untuk Bianca saat ini. Mengingat hal itu, Bianca pun meregangkan tubuh dengan puas. Kemudian Berguling ke samping, mengangkat pantat sedikit tinggi dan .... Duuutttttt ...
*Happy Reading*Mereka berdua menuju ke swalayan dekat apartemen. Sesampainya di sana, Bianca langsung menarik troli besar, dan melenggang dengan riang sambil sesekali berdendang kecil.Tidak jelas apa yang sedang dia nyanyikan, yang jelas terlihat hanyalah wajah sumringah dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya.Jelas Bianca sumringa. Ini kan saatnya dia berbelanja dengan uang Alvaro. Kapan lagi yee, kan, bisa morotin asisten jutex ini?Bianca pun mulai memasukkan barang-barang tanpa melihat harganya, juga tentu saja tanpa meminta persetujuan Alvaro. Dia terbawa kebiasaan ketika bersama dengan Marcel.Tidak masalah, kan? Toh Alvaro tidak ada melarangnya, tuh!Pria itu masih mengikutinya dengan santai, tanpa satu pun kata yang terucap dari bibir seksinya. Berarti pria itu tidak keberatan dengan belanjaan Bianca, benar tidak?Namun, yang membuat wajah
*Happy Reading*“Sok, sokan pakai mobil mahal buat jadi mobil pengantin. Bisa-bisanya kamu mau diporotin cewek macam ini?” sindir tante termuda Bianca ketika acara sudah usai dan mereka hendak meninggalkan tempat resepsi.“Itu hadiah dari saya dan istri. Bagaimanapun juga Alvaro adalah asisten pribadi saya yang setia. Tolong jaga mulut kalian karena Bianca juga termasuk orang penting di keluarga kami. Dia adalah sahabat dari istri saya. Kalau ada yang menyakiti Bianca, itu berarti secara tidak langsung sudah menyakiti istri saya,” sela Kairo yang berbicara tepat di belakang tante Bianca.Wanita itu terlihat menelan ludah dengan susah payah karena mulai mengerti arah pembicaraan ini. “Bukan seperti itu maksud saya--”Tangan Kairo terangkat untuk menghentikan wanita dengan make up menor itu. “Sebagai partner kerja group kami, kalian pasti tahu arti Aika bagi saya? Kalau ada yang membuatnya sedih, saya tidak segan-segan bertindak.”Alvaro melipat bibir demi menahan tawa ketika melihat se
Hari yang dinanti tiba juga. Rencananya pagi ini ijab kabul yang dilanjutkan dengan resepsi di siang hari. Alvaro sengaja mengadakan ijab kabul di rumahnya. Agar dapat memastikan kehadiran keluarga Bianca yang masih belum mengetahui siapa dia sebenarnya. Rumah Mak Kanjeng yang sederhana pasti akan membuat mereka tenang dan tak membuat kekacauan yang berakhir menggagalkan pernikahan.Katakan Alvaro ini licik. Tetapi memang belum saatnya mereka tahu kebenaran soal dirinya. Sikap matre kakek dan neneknya pasti akan muncul jika tahu sekarang. Mereka akan memanfaatkan apa pun agar bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari pernikahan ini.“Ck, ck, ck. Rumah preman memang nggak jauh-jauh dari pasar. Pasti biar lancar urusan melakukan kejahatannya,” sindir paman Bianca sambil bergidik saat memasuki rumah yang terlihat kumuh di matanya. Padahal, rumah Alvaro tidak sekumuh itu. Hanya sederhana saja. Asri pula dan sedap di pandang mata. Karena Mak Kanjeng memang tidak suka rumah besar nan
*Happy Reading*“Al,” panggil Bianca dengan lirih.“Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggil hanya dengan nama saja. Kamu mau saya hukum?” ucap Alvaro dengan nada jutek yang seperti biasanya.Rona merah menjalar dari telinga hingga ke pipi mulus Bianca. Wanita itu pasti teringat dengan hukuman cium penuh semangat yang Alvaro lancarkan ketika memanggil nama saja. Tentu saja mereka sama-sama menikmati bentuk hukuman ini, tapi Alvaro juga melakukannya di depan umum. Itu pasti yang membuat Bianca merasa malu.“Eh, Bang,” ulang Bianca dengan lebih mantap.“Kenapa, Sayang.” Lagi-lagi Bianca tersipu.“Aku takut, gimana kalau Emak masih belum memaafkanku?”Tangan Alvaro bergerak untuk menggenggam tangan Bianca dan mengusapnya dengan lembut. “Emak pasti akan memaafkanmu. Jangan takut, aku di sini untukmu. Kita hadapi ini bersama.”Mobil berhenti tepat di depan Emak, yang kebetulan hari itu sedang nongkrong di depan pager dengan Mpok Jubaedah. Biasalah, palingan juga lagi ghibah. "E
Selain menugaskan Alvaro, Kairo juga menugaskan Aika untuk mengalihkan perhatian Bianca sementara dia menyusup ke kantor. Karena itulah Aika datang dan mengajak Bianca jalan-jalan.Hari ini adalah saatnya Bianca masuk setelah mengambil cuti, jadi dia sengaja mengadakan rapat mendadak dan memberikan tugas untuk para staff. Tentu saja ini tanpa sepengetahuan Bianca.Suara nyaring Bianca ketika memasuki kantor bagaikan lonceng yang berdentang nyaring di telinga Alvaro. Hatinya yang memang sudah berdebar tak sabar menunggu kehadiran wanita itu, semakin kebat kebit tak karuan setelahnya. Ini saatnya dia melaksanakan rencananya.“Rapat hari ini cukup sampai di sini. Silakan langsung lakukan tugas masing-masing sesuai dengan arahan saya.” Alvaro menutup meeting pagi itu dengan santai. Berbanding terbalik dengan degup jantung yang benar-benar terasa akan meledak oleh buncahan rasa bahagia.Para staf buru-buru meninggalkan ruangan rapat, sehingga memungkinkan Alvaro untuk segera mengintip dari
Tuhan tahu betapa berat perjuangan Alvaro untuk mencari Bianca selama beberapa bulan ini. Dia secara teratur mengunjungi bagian HRD untuk menanyakan kemana Bianca dipindahkan, tapi ini malah membuatnya dapat surat teguran. Hampir saja Alvaro lepas kendali dan berniat untuk melemparkan surat itu ke muka kepala HRD, tapi demi Bianca, dia tidak boleh dipecat.Setelah beberapa hari merenung, Alvaro mengubah strategi. Dia kembali bekerja seperti biasa tanpa mengganggu bagian HRD. Dia bahkan bekerja lebih keras agar tidak ada tempat bagi otaknya untuk memikirkan Bianca.Namun, semakin kuat usahanya untuk menyingkirkan Bianca dari pikiran dan hatinya, semakin kuat kenangan Bianca menyerangnya. Walau sudah beberapa bulan berlalu, tapi kenangan Bianca sejelas ketika orangnya ada. Alvaro bahkan sering berhalusinasi melihat Bianca yang sedang terkekeh ketika mencuci piring. Betapa renyah suaranya ketika mereka mengobrol saat makan.Katakanlah Alvaro sudah gila. Ya! Dia memang sudah gila sepertin
***Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa sudah 6 bulan Bianca bekerja di kantor cabang. Tidak ada hal spesial yang harus Bianca bagi. Semua B aja. Hanya saja, mungkin sekarang Bianca sudah bisa berbaur dan enjoy dengan teman-teman barunya.Mereka baik, mereka juga asyik untuk diajak ngobrol dan bercanda bersama di sela kesibukan. Membuat Bianca tidak terlalu jenuh dengan kegiatan hariannya yang itu-itu saja. Ngantor, pulang, tidur. Begitu saja terus tiap hari. Bianca yang sekarang benar-benar berubah. Tidak suka nongki dan menghamburkan uang. Meski begitu, komunikasi antara Bianca dan Aika tak pernah putus. Tiap malam selalu tak lupa bertelepon ria dan ghibah bareng. Apa yang di ghibahkan? Banyaklah! Namanya juga kaum hawa. Kalau ngobrol suka ngalor ngidul. Seakan tak ada habisnya bahan ghibahan mereka. Adaaa saja yang di bahas. Dari mulai harga cabe, tetangga julid, sinetron terbaru, gosip artis dan banyak lagi lainnya. Pokoknya kalau tidak ditegur Kairo, bisa telepo
Sesekali Bianca masih sempat melihat beberapa pasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya. Bianca hanya bisa menghela napas panjang di tempatnya. Wajar kalau mereka merasa curiga akan keberadaannya di sini yang terlalu tiba-tiba. Baru kemarin surat pemberitahuan muncul, hari ini dia sudah ada di sini. Mode express banget kan kek jodohnya si Aika.Namun, mengingat nama itu. Bianca pun ingin berterima kasih untuk bestinya yang selalu mendukung keinginannya itu. Meski pasti akan kangen sekali pada kegesrekan Aika. Bianca rasa ini memang yang terbaik untuknya. Mungkin dengan berada jauh dari Alvaro, pikirannya bisa sepenuhnya lupa akan kenangan indah yang sudah mereka jalani. Juga luka yang terlanjur tergores dalam. Bianca berharap bisa menjadi manusia baru di tempat baru bersama orang-orang baru pula. Bismillah. Yuk, bisa, yuukkk!Aika : [Bi, Alvaro tadi telepon buat nanyain keberadaan lo]Saat istirahat tiba. Bianca melihat ternyata ada chat dari bestie gesreknya. Hatinya seketika
Dua hari kemudian.Senyum lebar Alvaro terpasang ketika dia melangkah memasuki gedung tempat kerjanya. Dia tidak menghiraukan pandangan beberapa wanita yang ikut berbinar ketika melihatnya. Suara bisik-bisik yang samar-samar didengarnya tidak membuat senyumnya hilang.Terserah mereka mau bilang apa, yang penting hari ini dia akhirnya akan ketemu dengan Bianca. Mungkin sepulang kerja nanti, dia akan mengajukan lamaran. Tidak perlu ada pertunjukkan lamaran seperti yang ada di drama-drama karena dia sudah tidak sabar ingin segera bersama-sama Bianca untuk selamanya.“Selamat pagi, Bos,” sapa Alvaro ketika membuka pintu menuju ruangan Kairo.Namun, Bosnya itu hanya memandangnya sekilas kemudian berkutat kembali dengan pekerjaannya.Apa selama tiga hari cuti, kerjaan di kantor jadi semakin banyak? Sampai-sampai wajah si Bos horor begitu. Alvaro pun segera menghapus senyum dari wajahnya dan mulai bersikap seperti biasanya.Sepanjang hari disibukkan oleh pekerjaan membuat Alvaro sejenak melu
Mata Alvaro tertuju pada laki-laki yang sudah bau tanah di hadapannya. Pria itu mengamatinya dari ujung kaki hingga ke ujung rambut, lalu berulang kembali. Senyum miring terlihat samar sebelum pria itu kembali menampilkan wajah datar.“Ada perlu apa kamu kesini?”“Lapor, Tuan. Orang ini menerobos masuk dan bilang mau melamar cucu Tuan,” ujar seorang satpam yang berdiri takut-takut di belakang Alvaro."Cucu?" beo pria itu lagi, kembali memindai tubuh Alvaro dengan seksama. Alisnya berjungkit antara bingung dan tak suka pada preman kumal di hadapannya saat ini. Cucu yang mana yang preman ini maksud? Cucu yang dia milik tak hanya satu orang. Keheranan bukan hanya terlihat dari raut pria tua itu, tetapi juga orang-orang di belakang tubuhnya. Itu adalah keluarga Bianca."Bianca, Tuan," bisik sang Satpam memberi clue. Sekaligus membuat mata tua itu melotot tak percaya. “Apa benar itu? Kau mau melamar dia, si Bianca.” Jari keriput itu menunjuk kearah muka Alvaro.Kalau saja tidak sedang be