**Sisa hari dalam masa-masa bulan madu itu Gavin lewatkan dengan sebaik-baiknya. Tidak membiarkan pekerjaan mengganggu intimate time bersama istri tercinta. Ia bahkan tidak peduli dengan banyaknya e-mail yang masuk. Lima hari ini akan menjadi kenangan yang ia ingat seumur hidup. Gavin melepas masa lajang agak sedikit terlambat, jadi saat ini ia puas-puaskan melakukan apa yang orang lain lakukan pada usia dua puluhan terkait kehidupan asmara.“Apa aku boleh belikan Aylin boneka yang baru?” Inara bertanya sesaat sebelum mereka bertolak ke bandara untuk kembali pulang ke tanah air. “Bisa saja beli di rumah, tapi mungkin rasanya akan beda kalau kita belikan dia satu yang dari sini. Satu saja, nggak apa-apa.”“Apa kamu bercanda, Inara?” Gavin mendekati perempuan yang sedang memakai jaketnya itu. Melingkarkan lengan di sekeliling pinggang ramping istrinya dan menyatukan kening keduanya. “Kamu bilang cuma mau beli satu boneka saja buat putriku?”“Ya, terus berapa banyak? Aylin satu saja sud
**Inara masih menatap lekat kepada wanita asing bermata biru cemerlang itu. Bergantian dengan sosok tinggi tegap dan berwibawa di sampingnya. Ia mencoba mengingat-ingat apakah benar dirinya tidak pernah berjumpa dengan kedua orang tua Aldo ini. Pasalnya, Inara benar-benar merasa familiar. Entah di mana ia pernah berjumpa. Atau barangkali kedua orang ini pernah menjadi donatur di panti asuhan tempatnya tinggal dulu?Merasa bahwa itu masuk akal, Inara kemudian memutuskan setuju dengan benaknya. Sepanjang membicarakan tentang bisnis, Inara hanya diam dan menyimak. Ia tidak paham tentang ini, jadi lebih senang menjadi pendengar saja.Barulah setelah pembicaraan bisnis berakhir, wanita bernama Eliza itu beralih kepada yang paling muda.“Bagaimana kamu bisa meluluhkan hati orang kaku ini, Inara?” tanya Eliza dengan hangat. “Kamu pasti punya kesabaran seluas samudera, aku tebak. Gavin adalah orang yang sangat sulit diatasi.”Inara hanya tersenyum mendengar itu, meski dalam hati ia sependap
**“Selamat pagi.”Inara menelan saliva. Perasaannya mendadak tidak nyaman saat melihat tamunya yang datang pagi ini. Ia mengernyit, masih terlalu pagi untuk bertamu, kalau menurut Inara.“Selamat pagi, Jessica.”Perempuan di depan pintu itu mengerutkan dahi. Tampak tidak suka dengan bagaimana cara Inara memanggilnya. Istri Gavin ini memanggilnya hanya dengan nama saja tanpa embel-embel nona sekarang? Dan ia berani tersenyum dengan dagu terangkat begitu? Mendadak saja Jessica merasa sangat kesal.“Ada apa, kamu datang sepagi ini?” Inara melanjutkan, tak peduli pada wajah kesal satu yang lain. Ia justru berkata dengan riang, “Mau sarapan bersama, Jess? Masuklah.”“Aku hanya butuh ketemu dengan Gavin segera setelah beberapa hari dia nggak masuk kantor,” tandas Jessica dengan angkuh. Ia memeluk MacBook, lagaknya seperti orang penting yang banyak pekerjaan. Tanpa menunggu Inara persilahkan lagi, ia menerobos masuk ke dalam rumah.“Di mana Gavin?”Inara yang mengikuti dari belakang hanya
**Jessica Freya memutuskan kembali ke kantor SR Corp sesudahnya. Berlama-lama berada di rumah Gavin membuat hatinya sesak tak karuan. Sungguh, tujuan awalnya datang ke sana adalah untuk membereskan dokumen yang harus Gavin tanda tangani –yah di samping juga karena rindu dengan pria itu– namun perlakuan yang ia terima justru seperti itu. Selalu menyakitkan hati.Gadis berusia dua puluh sembilan tahun itu lantas menuju ruang kerja, di mana sekretaris Gavin sebelumnya sedang berada. Perempuan bernama Laksmi yang sedang berada di dalam kubikelnya sendiri itu tersentak begitu Jessica datang dan menggebrak meja.“Apa kamu nggak punya muka sampai harus mencarinya dengan cara seperti itu?”Laksmi mengerutkan alis. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Inara katakan.“Mak-maksudnya, Nona–”“Maksudnya, maksudnya! Puas kamu bikin aku malu di hadapan Gavin, hah?” Jessica mendelik murka kepada perempuan yang lebih muda darinya itu. “Bagaimana aku harus menjelaskan kepadamu kalau posisi sekre
**“Halo?”Inara mengernyit saat suara suaminya mendadak menghilang dari pendengaran. Mengira bahwa sambungan teleponnya terputus, perempuan itu sampai mengecek layar ponselnya. Ternyata tidak, panggilannya dengan Gavin masih tetap tersambung.“Halo, Papa?”“Ah!” Suara Gavin terdengar tersentak di seberang sana. Membuat Inara ikut kaget. “Siapa tamunya? Apakah baru datang? Katakan, ada siapa di rumah, Inara?”“Udah agak tadi, kok. Maaf ya, aku nggak kasih tahu karena aku pikir kamu lagi sibuk kerja.”“Iya, siapa tamunya?”Inara bisa memaklumi jikalau suara suaminya terdengar sangat mendesak begitu. Hidup bersama selama nyaris satu tahun belakangan ini membuatnya paham sifat posesif sang suami kadang tak bisa dihindari. Benar, Inara sudah bisa memaklumi hal itu.“Ah, ini ada Bu Eliza di rumah.”“Apa? Ibunya Aldo?”“Ya, tapi–”“Sama Aldo? Aku pulang sekarang juga, Inara!”“Heh, enggak! Nggak sama Pak Aldo, Bu Eliza dateng sendirian. Udah nggak usah panik begitu, nggak ada laki-laki lain
**Inara sama sekali tidak berani memandang kepada Eliza sesudahnya. Ia menunduk, berharap secepatnya wanita cantik itu mengajaknya pulang saja. Inara sudah tahu semuanya pasti berakhir seperti ini. Seharusnya ia tidak pernah bersama Gavin saja. Seharusnya ia tidak perlu bertemu lagi dengan pria itu setelah lima tahun berhasil ia habiskan untuk membesarkan putrinya sendirian. Seharusnya–“Inara, Honey? Kenapa wajahnya jadi murung seperti itu? Apakah Mom melakukan kesalahan? Sorry, hm?”Perempuan itu nyaris tidak mempercayai pendengarannya. Ia mengangkat wajah pelan-pelan dan memberanikan diri memandang Eliza. Tanpa ia duga, wanita itu juga tengah memandang ke arahnya. Manik biru jernihnya masih menatap Inara penuh rasa sayang, sama seperti kemarin-kemarin sejak pertama bertemu.“M-Mom?”“Yes, Sweety? Ada apa? Kamu nggak nyaman sama sesuatu? Tell me.”Inara nyaris tidak bisa menahan tangis. Ia malu menanyakan hal ini, tapi ia juga sungguh ingin tahu alasan Eliza. “Ap-apa menurut Mom in
**Gavin tertegun selama beberapa detik setelah Inara berujar demikian. Selama ini, istrinya tidak pernah menyinggung-nyinggung perihal perlakuan Riani kepadanya, namun kali ini tidak demikian. Mungkin Inara sudah terlampau lelah hingga bisa berkata demikian?“Sayang ….” Pria itu berujar lirih sementara meraih telapak tangan wanitanya. “Aku benar-benar minta maaf dengan perlakuan Mami sama kamu. Apa saja yang dia katakan tadi? Dia bilang sesuatu sama Bu Eliza?”Gavin terlihat panik sendiri, namun Inara justru tersenyum. Ia membalas genggaman tangan sang suami.“Nggak apa-apa. Ya, seperti biasanya, lah. Rasanya aku sudah nggak kaget sama kata-kata ibu kamu. Lagian semua yang dia bilang memang kenyataan.”“Apapun yang melukai kamu, akan melukai aku juga, Inara. Aku akan bikin perhitungan sama Mami kalau dia berani bertindak lebih jauh. Karena di kantor tadi dia juga ngancam mau celakain kamu kalau aku nggak bersikap baik sama Jessica. Itulah mengapa aku khawatir banget pas kamu bilang a
**“Apa kita perlu pindah dulu dari sini untuk sementara waktu, sampai kamu tenang, Sayang?” Gavin menawarkan, ketika beberapa saat kemudian waktu berlalu. Inara sudah mendapatkan perawatan dari dokter keluarga. Ia terpaksa mendapat empat jahitan pada luka di telapak kakinya akibat pecahan kaca itu.“Nggak perlu sampai seperti itu, Pa,” jawab Inara dengan senyum kecil. “Aku baik-baik saja, sungguh.”Inara dan Gavin sedang duduk di ruang tamu saat itu, dan entah firasat atau apa, Joseph datang tak lama setelah kejadian itu berselang.“Nggak tampak apa-apa di rekaman CCTV. Gelap banget, bahkan bayangan orang aja nggak ada,” tutur Joseph yang baru saja masuk melalui pintu depan. Sebelumnya, pria itu sedang memeriksa rekaman kamera pengawas di pos sekuriti depan rumah.“Tapi daerah samping rumah yang kena lemparan batu itu memang agak sedikit tersembunyi dari jarak pandang kamera, sih,” lanjut Joseph, “apa nggak sebaiknya Inara sama Aylin dipindahkan di tempat yang aman dulu, Vin?”“Tadin