"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.
Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun."Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?""Kinanti, Bu.""Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?""Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti."Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain.""Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku disiksa dan diusir oleh ayahku sendiri. Dia sudah membuatku kehilangan masa depan karena putus sekolah. Dia juga membuatku menjadi gelandangan di jalanan." Kinanti menangis sejadi-jadinya mengingat nasibnya.Wanita itu memeluk Kinanti erat. Dia membiarkan Kinanti meluapkan perasaannya lewat tangisan. Sebelah tangan wanita itu membelai lembut punggung Kinanti."Aku gak mau bayi ini, Bu. Aku juga gak pernah berpikir untuk melakukan perbuatan itu sebelum nikah. Aku dipaksa, Bu," ucap Kinanti di antara tangisnya."Denger, Neng. Hidup memang kejam, tapi jangan pernah melampiaskan kekejaman hidup pada raga yang tak berdosa. Meski anak yang Neng kandung itu hasil dari perbuatan dosa, entah itu berzina atau diperkosa, tapi Tuhan sudah menitipkan anak itu pada Neng. Jangan menambah dosa dengan membunuhnya dan bunuh diri. Itu gak akan menyelesaikan masalah, Neng," ucap wanita itu saat tangis Kinanti mulai reda."Aku gak salah karena aku dipaksa, tapi kenapa aku yang menderita sementara dia tetap menjalani hidup bahagia?""Siapa yang sudah melakukan ini pada Neng? Kenapa Neng gak bilang pada keluarga kalau Neng dipaksa?""Mereka pasti gak akan percaya, Bu. Mereka juga pasti akan terpukul dan kecewa jika mengetahui siapa pelakunya.""Apa pelakunya orang yang dekat dengan keluarga Neng?"Kinanti mengangguk. "Dia sahabat kakakku yang sudah seperti anak oleh orang tuaku.""Di mana laki-laki itu? Kenapa Neng gak minta tanggung jawab padanya?""Dia kuliah di luar negeri, Bu. Sejak ketauan hamil dan diusir, aku gak bawa apa pun dari rumah, kecuali pakaian yang dilempar bapak saat mengusirku." Kinanti sesenggukan. "Dia mengatakan setelah kuliah akan menikahiku.""Apa dia mengatakan jika dia mencintai Neng?"Kinanti mengangguk. "Tapi ini bukan cara mencintai yang benar, Bu. Dia sudah menodaiku bahkan membuatku terhina seperti ini."" Ibu mengerti. Kamu yang sabar." Wanita itu mengusap kepala Kinanti.***"Ada apa, Evan?" tanya dosen yang sedang memberikan materi di kelas Evan."Maaf, Pak. Saya ke toilet sebentar," ucap Evan yang segera keluar kelas.Evan menuju toilet kampus. Dia membasuh wajah di wastafel toilet. Bayangan wajah Kinanti selalu terlintas dalam ingatan. Gadis itu juga selalu hadir dalam mimpinya."Tunggu aku pulang, Kinan," gumam Evan.Perut Evan kembali bergejolak. Setiap bangun tidur pagi dia pasti memuntahkan isi perutnya. Kali ini, dia pun muntah di toilet kampus. Dia merasa tersiksa selama beberapa bulan ini."Apa kau sakit?" tanya seorang pria yang mungkin dari kelas lain."Aku baik-baik saja," jawab Evan.***"Apa kamu sudah menemukan Kinan, Ken?" tanya Dewi saat Bram belum pulang.Dewi akan menanyakan tentang putrinya jika Bram sedang menarik angkot. Dia tidak ingin ada pertengkaran lagi di rumahnya karena menanyakan tentang Kinanti. Wanita itu hanya bisa berdoa agar putrinya baik-baik saja di luar sana."Belum, Bu. Sepertinya Kinan sudah meninggalkan ibu kota," jawab Kendra yang sudah mencari sang adik ke mana-mana."Ya Tuhan! Lindungi putriku," ucap Dewi dalam doa."Lusa aku mau mengantar Kayla ke Bogor, Bu.""Kamu gak kerja?""Hari itu aku libur, Bu.""Jangan lupa tengak-tengok di jalan! Siapa tau kamu liat Kinan," ucap Dewi berpesan."Iya, Bu."***"Kamu tuh sakit apa sih, Van?" tanya April.April mendatangi apartemen Evan setelah diberi tahu Mark. Dia mengompres kening Evan karena demam. Evan juga bolak-balik ke kamar mandi karena muntah-muntah.Evan pernah mengalami hal itu saat baru sebulan berada di Kanada. Namun, setelah periksa ke dokter, dia bisa menjalani hari seperti biasa. Hanya saja dia akan muntah setiap bangun tidur di pagi hari."Aku gak tau," jawab Evan tanpa membuka mata."Periksa ke dokter lagi, yuk!" ajak April yang khawatir."Nanti ajalah. Aku bener-bener pusing buat jalan," tolak Evan."Aku mau keluar, ada janji bareng temen-temen, Van. Kalau kamu gak mau periksa, aku gak tenang nanti," desak April."Kalau mau pergi, pergi aja. Aku gak apa-apa.""Ya udah, kamu hati-hati di sini ya."April berusaha mencium Evan, tetapi pria itu memalingkan wajah. Dia selalu menghindar setiap kali April ingin memeluk atau menciumnya. April akhirnya memilih pergi dengan perasaan kesal. Dia akan bersenang-senang bersama teman-temannya.Sejak dulu Evan tidak menyukai April. Sifat gadis itu yang suka pesta dan berfoya-foya membuat Evan semakin tidak menyukainya. Selama tinggal di Kanada, hampir setiap minggu April mengadakan pesta bersama teman-temannya. Tidak jarang gadis itu pulang dalam keadaan mabuk.Tengah malam Evan merasa sangat haus. Seharian dia berada di atas ranjang karena lemas. Dia keluar kamar karena tidak ada air di kamarnya. Dia mendengar suara orang meracau tidak jelas. Dia yakin jika itu adalah April yang pulang dalam keadaan mabuk.Awalnya Evan tidak tertarik untuk melihat, tetapi saat mendengar suara pria, diapun mengintip dari lubang pintu tempat untuk melihat siapa yang datang. Dia melihat April bersama Frank, teman kuliah April. Mereka berciuman sebelum masuk ke apartemen April."Mama ingin menjodohkanku dengan gadis seperti itu. Yang benar saja," oceh Evan seraya berlalu ke dapur.***Mentari pagi sudah menyapa insan di muka bumi. Pancaran sinarnya menerobos melewati celah gorden kamar. Kicau burung menjadi alunan musik yang indah di pagi hari.Seorang gadis menggeliat di dalam lilitan selimut lembut. Dia menguap lalu menoleh ke samping. Seorang pria masih terlelap di sampingnya. Gadis itu mencari keberadaan ponselnya untuk melihat jam. Matanya melebar seketika melihat angka yang tertera di layar ponselnya."Frank, bangun! Cepat pergi dari sini!" perintah gadis itu terkesan mengusir."Kenapa aku harus pergi? Aku masih ingin di sini. Kita ulangi lagi?" tanya pria bernama Frank."Tidak, Frank!" tolak gadis itu. "Sebentar lagi Evan pasti akan datang ke sini!" Gadis itu mulai panik. Dia mengabaikan keadaan tubuhnya yang tanpa penutup lalu berlari ke kamar mandi."Aku tidak peduli Evan akan datang ke sini atau tidak." Frank mengejar gadis itu lalu menariknya ke ranjang. "Ayolah, April!"April kembali pasrah di bawah tubuh Frank. Pasangan itu kembali mereguk nikmat di pagi hari setelah semalam melewati malam panjang bersama. Saat sedang berpacu dalam nikmat, April menahan gerakan Frank di atas tubuhnya.Mereka berdua saling pandang saat mendengar bunyi bel pintu apartemen April."Kau sembunyi di sana!" perintah April mendorong Frank ke kamar mandi."Kenapa aku harus sembunyi?" protes Frank."Kau tidak akan mengerti. Yang penting jangan sampai Evan melihatmu bermalam di sini."April segera memakai pakaiannya. Dia merapikan rambut yang acak-acakan. Gadis itu hanya memakai dress tanpa lengan. Saking terburu-burunya, April sampai lupa tidak memakai pakaian dalam."Ada apa, Van?" tanya April berusaha menyembunyikan napasnya yang memburu.Evan melihat April dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia melihat lelehan keringat pada pelipis dan leher gadis di depannya. Dia juga mengetahui jika tidak ada kain lain yang melapisi tubuh April selain dress yang dikenakan gadis itu."Aku ke kampus duluan," ucap Evan seraya berlalu dari depan apartemen April."Kenapa kamu gak nunggu aku?" tanya April ragu."Aku gak mau jadi orang bodoh yang menunggu orang yang sedang bercinta," tukas Evan tanpa menoleh."Apa maksud kamu, Evan?" April tidak berani mengejar Evan karena sadar kead
"Aku ....""Ini tempatku! Kalau kamu ingin tidur, cari tempat lain! Jangan menempati tempatku!" bentak seorang wanita berusia awal 40-an. "Maaf, Bu."Kinanti segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, kemudian melangkah tertatih mencari tempat lain. Perutnya terasa sakit setelah dia pukul beberapa kali. Gadis itu meringis memegangi perutnya. Kinanti memasuki pasar itu lebih dalam. Ternyata ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya, gelandangan. Dia melihat lorong antar-ruko yang kosong. Gadis itupun menggelar kardus yang dibawanya. Kinanti meringkuk di atas kardus. Dia menangis seraya memegangi perutnya. Gadis itu masih tetap menyalahkan janin yang ada di rahimnya atas apa yang dialaminya saat ini. Segala derita dan hinaan yang dia terima karena keberadaan janin itu.***"Van, gimana kalo nanti sore kita nonton?" tanya April. Mereka sedang duduk di kursi taman kampus."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa sih, Van? Kamu selalu nolak tiap aku ajak?" April tampak kesal
Kinanti hanya bisa menangis. Tidak mungkin baginya mengatakan kepada sang kakak siapa yang sudah menghamilinya. Kendra mungkin saja tidak percaya karena yang sudah melakukannya adalah sahabat baiknya. "Nan, kalau kamu diam terus seperti ini, Abang gak akan tau harus meminta pertanggungjawaban siapa," desak Kendra."Aku ingin istirahat, Bang," ucap Kinanti pelan.Kendra hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengerti, pasti selama ini Kinanti sangat kurang istirahat. Tidur di tempat terbuka dan hanya beralaskan kardus."Ya sudah, kamu istirahat, ya. Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak. Abang sudah membeli beberapa makanan dan pakaian buat kamu. Jika ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan Mbak Kayla," ucap Kendra.Kendra pergi dari kos-kosan Kayla dan Kinanti. Dia pulang larut malam. Dia harus berbohong pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya.***Kinanti terbangun saat matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Selama tiga bulan dia tidur di jalanan dan hanya beralaskan k
Amarah di hati Bram kembali menguar mengingat aib yang sudah ditorehkan putrinya. Dia hampir menangis karena rasa marah dan rindu bercampur menjadi satu. Putri yang sangat disayanginya pergi karena dia usir.Salah satu sudut hati Bram juga merasa bersalah. Dia tidak bisa menjaga putrinya dengan baik, sehingga dia harus menanggung aib. Dia merasa lalai saat diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga seorang putri."Ayo, Pak, jalan!"Seruan dari penumpang menyadarkan Bram. Dia segera memasukkan dompet ke saku celananya. Saat menoleh ke belakang, ternyata penumpang sudah penuh.Bram mulai melajukan angkotnya meninggalkan terminal. Dia harus fokus bekerja karena tidak hanya membawa nyawanya saja, tetapi juga nyawa banyak orang yang menjadi penumpangnya.***Kinanti memasak di kamar kos Kayla. Dia membuat oseng kangkung dan dadar telur untuk makan mereka berdua. Gadis itu sudah berpesan pada kekasih kakaknya untuk tidak membeli makan di luar.Selesai memasak, dia teringat jika belum me
Seorang ibu menarik bahu Kinanti kasar. Wajah ibu itu tampak sangat membenci Kinanti. Kinanti hanya diam, tidak menyahuti ibu itu."Kamu lagi bunting, ya?" tanya ibu yang menarik bahu Kinanti. "Kayaknya iya. Liat aja perutnya! Masa iya perutnya buncit, tapi badannya kurus kering kayak orang cacingan!" tuding ibu yang lain. "Cacingnya laki-laki kalau buncitnya begitu, Bu," sahut yang lainnya."Tapi kayaknya dia masih ingusan, kok bunting?" tanya ibu pertama."Ya mungkin kayak anak-anak jaman sekarang itu loh, Bu. Gara-gara suka nonton film," sahut ibu kedua. Ibu pertama mendekati Kinanti. "Kamu sudah nikah?" tanyanya."Nikah kayane belum, Bu. Tapi kawine uwes," cibir ibu kedua dengan dialek Jawa yang sangat khas. "Loh, loh, loh! Anak muda jaman saiki, wong tuone piye, toh?" tanya ibu ketiga yang juga berdialek Jawa."Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Jadi kagak sempet merhatiin anaknya," sahut ibu keempat. "Kamu itu masih bocah! Belum waktunya bikin anak! Mau dikasih makan apa ana
"Berapa kali bapak katakan, jangan jeluyuran pulang malam! Kamu itu sudah kelas tiga, beberapa bulan lagi kamu akan ujian! Kamu harus lebih rajin belajar agar bisa mendapatkan nilai yang bagus. Kamu harus contoh Kendra yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah," omel Bram saat anak perempuannya pulang setelah magrib."Kinan habis kerja kelompok, Pak. Ada tugas dari guru biologi," dalih Kinanti membela diri."Sudah, Pak. Ini waktu magrib, tidak enak pada tetangga." Dewi, ibu Kinanti, datang dari dapur melerai suami dan anak perempuannya. "Ini kopinya," ucapnya seraya menyajikan segelas kopi hitam di depan suaminya."Kinan beneran habis kerja kelompok, Bu. Kinan enggak bohong," ucap Kinanti."Ibu percaya anak ibu enggak bohong. Sekarang kamu mandi, solat lalu makan," ucap Dewi membelai rambut panjang Kinanti. Kinanti berlalu ke kamarnya."Kamu selalu membela anak-anakmu. Jangan terlalu percaya pada mereka karena bisa saja mereka sedang berbohong," omel Bram pada istrinya."Lalu, kita harus
Kinanti meringkuk di atas ranjang kecilnya. Gadis itu menangis tanpa suara. Bagian inti tubuhnya terasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Dia tidak menyangka, jika Evan tega berbuat keji padanya.Dia sudah menganggap Evan seperti kakaknya sendiri. Namun, pemuda itu sudah merenggut harta yang dia jaga selama ini. Harta yang selalu dia banggakan karena tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk melakukan hal itu sebelum menikah. Bagaimana nasibnya nanti? Apakah akan ada yang mau menikah dengan dirinya yang sudah tidak perawan?"Aku berjanji aku akan kembali setelah menyelesaikan kuliahku. Aku akan melamarmu dan menikahimu. Aku mencintaimu. Aku minta maaf karena sudah melakukannya, tapi percahalah jika aku akan kembali untukmu."Perkataan Evan sebelum keluar dari kamarnya masih terngiang di telinga. Kinanti tidak bisa memejamkan mata lagi setelah petaka itu. Suara kokok ayam sudah menyapa indera pendengarannya. Semburat kemerahan pun sudah tampak di ufuk timur."Kinan, kok belum b
"Wi, kamu kenapa? Masuk angin?" tanya Bram di depan pintu kamar mandi. "Dewi!""Ada apa, Bang? Kenapa kamu manggil aku di kamar mandi?" Bram berbalik saat mendengar suara isterinya dari belakang tubuh. Pria itu mengerutkan kening melihat istrinya mengambil gelas di rak. Dia lalu menoleh kembali ke kamar mandi. "Kamu dari mana?" tanyanya heran."Kehabisan gula pas mau bikin kopi buat Abang. Jadi, aku ke warung beli gula," jawab Dewi."Lalu, siapa yang di kamar mandi? Kinan?""Kinan tadi sudah ke kamar mandi.""Tapi ....""Huek! Huek! Huek!"Bram dan Dewi saling pandang. Suara yang didengar Bram kembali berbunyi. "Kinan?" Bram dan Dewi saling melempar tanya dengan tatapan heran. Kinanti keluar dari kamar mandi dengan wajah sembab. Gadis itu baru saja memuntahkan isi perutnya yang belum sarapan. Wajahnya pucat melihat kedua orang tuanya berada di depan pintu kamar mandi."Kamu kenapa, Nan?" tanya Dewi. Bram tidak mengajukan tanya, tetapi sorot matanya sangat tajam pada Kinanti."Sepert
Seorang ibu menarik bahu Kinanti kasar. Wajah ibu itu tampak sangat membenci Kinanti. Kinanti hanya diam, tidak menyahuti ibu itu."Kamu lagi bunting, ya?" tanya ibu yang menarik bahu Kinanti. "Kayaknya iya. Liat aja perutnya! Masa iya perutnya buncit, tapi badannya kurus kering kayak orang cacingan!" tuding ibu yang lain. "Cacingnya laki-laki kalau buncitnya begitu, Bu," sahut yang lainnya."Tapi kayaknya dia masih ingusan, kok bunting?" tanya ibu pertama."Ya mungkin kayak anak-anak jaman sekarang itu loh, Bu. Gara-gara suka nonton film," sahut ibu kedua. Ibu pertama mendekati Kinanti. "Kamu sudah nikah?" tanyanya."Nikah kayane belum, Bu. Tapi kawine uwes," cibir ibu kedua dengan dialek Jawa yang sangat khas. "Loh, loh, loh! Anak muda jaman saiki, wong tuone piye, toh?" tanya ibu ketiga yang juga berdialek Jawa."Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Jadi kagak sempet merhatiin anaknya," sahut ibu keempat. "Kamu itu masih bocah! Belum waktunya bikin anak! Mau dikasih makan apa ana
Amarah di hati Bram kembali menguar mengingat aib yang sudah ditorehkan putrinya. Dia hampir menangis karena rasa marah dan rindu bercampur menjadi satu. Putri yang sangat disayanginya pergi karena dia usir.Salah satu sudut hati Bram juga merasa bersalah. Dia tidak bisa menjaga putrinya dengan baik, sehingga dia harus menanggung aib. Dia merasa lalai saat diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga seorang putri."Ayo, Pak, jalan!"Seruan dari penumpang menyadarkan Bram. Dia segera memasukkan dompet ke saku celananya. Saat menoleh ke belakang, ternyata penumpang sudah penuh.Bram mulai melajukan angkotnya meninggalkan terminal. Dia harus fokus bekerja karena tidak hanya membawa nyawanya saja, tetapi juga nyawa banyak orang yang menjadi penumpangnya.***Kinanti memasak di kamar kos Kayla. Dia membuat oseng kangkung dan dadar telur untuk makan mereka berdua. Gadis itu sudah berpesan pada kekasih kakaknya untuk tidak membeli makan di luar.Selesai memasak, dia teringat jika belum me
Kinanti hanya bisa menangis. Tidak mungkin baginya mengatakan kepada sang kakak siapa yang sudah menghamilinya. Kendra mungkin saja tidak percaya karena yang sudah melakukannya adalah sahabat baiknya. "Nan, kalau kamu diam terus seperti ini, Abang gak akan tau harus meminta pertanggungjawaban siapa," desak Kendra."Aku ingin istirahat, Bang," ucap Kinanti pelan.Kendra hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengerti, pasti selama ini Kinanti sangat kurang istirahat. Tidur di tempat terbuka dan hanya beralaskan kardus."Ya sudah, kamu istirahat, ya. Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak. Abang sudah membeli beberapa makanan dan pakaian buat kamu. Jika ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan Mbak Kayla," ucap Kendra.Kendra pergi dari kos-kosan Kayla dan Kinanti. Dia pulang larut malam. Dia harus berbohong pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya.***Kinanti terbangun saat matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Selama tiga bulan dia tidur di jalanan dan hanya beralaskan k
"Aku ....""Ini tempatku! Kalau kamu ingin tidur, cari tempat lain! Jangan menempati tempatku!" bentak seorang wanita berusia awal 40-an. "Maaf, Bu."Kinanti segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, kemudian melangkah tertatih mencari tempat lain. Perutnya terasa sakit setelah dia pukul beberapa kali. Gadis itu meringis memegangi perutnya. Kinanti memasuki pasar itu lebih dalam. Ternyata ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya, gelandangan. Dia melihat lorong antar-ruko yang kosong. Gadis itupun menggelar kardus yang dibawanya. Kinanti meringkuk di atas kardus. Dia menangis seraya memegangi perutnya. Gadis itu masih tetap menyalahkan janin yang ada di rahimnya atas apa yang dialaminya saat ini. Segala derita dan hinaan yang dia terima karena keberadaan janin itu.***"Van, gimana kalo nanti sore kita nonton?" tanya April. Mereka sedang duduk di kursi taman kampus."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa sih, Van? Kamu selalu nolak tiap aku ajak?" April tampak kesal
"Kau sembunyi di sana!" perintah April mendorong Frank ke kamar mandi."Kenapa aku harus sembunyi?" protes Frank."Kau tidak akan mengerti. Yang penting jangan sampai Evan melihatmu bermalam di sini."April segera memakai pakaiannya. Dia merapikan rambut yang acak-acakan. Gadis itu hanya memakai dress tanpa lengan. Saking terburu-burunya, April sampai lupa tidak memakai pakaian dalam."Ada apa, Van?" tanya April berusaha menyembunyikan napasnya yang memburu.Evan melihat April dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia melihat lelehan keringat pada pelipis dan leher gadis di depannya. Dia juga mengetahui jika tidak ada kain lain yang melapisi tubuh April selain dress yang dikenakan gadis itu."Aku ke kampus duluan," ucap Evan seraya berlalu dari depan apartemen April."Kenapa kamu gak nunggu aku?" tanya April ragu."Aku gak mau jadi orang bodoh yang menunggu orang yang sedang bercinta," tukas Evan tanpa menoleh."Apa maksud kamu, Evan?" April tidak berani mengejar Evan karena sadar kead
"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun."Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?""Kinanti, Bu.""Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?""Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti."Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain.""Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku d
Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya."Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis. Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.***"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras."Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko
"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi."Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar."Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram."Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi."Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.***Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya."Keluar, yuk!" ajak April."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya. "Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan."Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual.""Namanya juga sakit.""Periksa dong, Van.""Kamu
Kinanti menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Gadis itu tidak berani menatap sang ibu yang tengah menatap tajam padanya. Air mata sudah tidak mampu dia bendung lagi. Bahu gadis itu berguncang dengan napas yang terasa sesak.Dewi berdiri dengan tatapan tajam pada putrinya. Bukan kemarahan yang sarat pada sorot mata wanita itu. Namun, kekecewaan dan rasa tidak percaya membuat hatinya terluka. Sebuah kalender meja berada dalam genggamannya.Kecurigaan Dewi membuat wanita itu memasuki kamar Kinanti saat putrinya sedang muntah di kamar mandi. Dia sangat terpukul melihat kalender meja di kamar Kinanti yang tidak ada lingkaran merah di bulan itu. Tanggal yang dilingkar merah bulan sebelumnya sudah terlewat dua minggu yang lalu."Apa artinya ini, Kinan?" tanya Dewi dengan suara bergetar seraya mengangkat tangan yang memegang kalender.Kinanti menjatuhkan diri di depan ibunya. Dia bersimpuh di kaki wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangis penyesalan tidak berhenti meski dia tahu tidak ada ar