"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi.
"Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar."Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram."Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi."Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.***Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya."Keluar, yuk!" ajak April."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya."Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan."Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual.""Namanya juga sakit.""Periksa dong, Van.""Kamu kalau mau pergi, pergi saja dengan teman yang lain."April mendengus kesal. Sejak tinggal di Toronto untuk kuliah, Evan sangat acuh padanya. Pemuda itu selalu menolak ajakannya untuk pergi berdua. Kalaupun mau, Evan pasti mengajak teman yang lain.***Kinanti melangkah gontai tak tentu arah. Matahari sedang terik-teriknya saat itu. Kepalanya terasa pening di bawah sengatan sinar matahari. Dia duduk di batang pohon yang ditebang. Keringat yang mengalir di pelipis dia seka dengan punggung tangannya.Kinanti mengibaskan tangan di depan wajah untuk mendapatkan sedikit angin. Rasa haus menyerang tenggorokannya. Perutnya pun mulai berbunyi minta diisi. Perlakuan sang ayah membuatnya sangat membenci benih yang tumbuh di rahimnya.Kinanti memukul perutnya beberapa kali, berharap janin itu akan gugur. "Kenapa kamu harus ada? Kamu sudah membuat aku disiksa dan diusir dari rumah!"Bukan sakit yang berlanjut pada keguguran, tetapi rasa lapar yang melanda. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari warung yang mungkin bisa dimintai tolong. Kinanti sendiri merasa heran, kenapa dia tidak keguguran. Dia sudah berusaha mengonsumsi jamu dan buah nanas yang dilarang untuk wanita hamil.Kinanti mendatangi sebuah warung nasi sederhana di pinggir jalan. Gadis itu menelan ludah melihat beberapa orang yang sedang makan dan minum di warung itu. Dia memberanikan diri mendekati penjual yang sedang melayani pembeli."Maaf, Bu. Apa boleh saya minta makan dan minum? Saya akan mencucikan piring di sini sebagai pengganti bayarnya," tanya Kinanti hati-hati.Penjual warung nasi menatap Kinanti dengan heran. Gadis manis itu hanya menunduk tanpa berkata-kata lagi. "Boleh, tapi hanya sekali ini saja," jawab penjual itu ketus."I-iya, Bu. Enggak apa-apa," balas Kinanti girang.Penjual itu menyodorkan sepiring nasi dengan hanya tahu dan tempe sebagai lauknya. "Minumnya ambil di sana!"Kinanti menoleh ke arah yang ditunjuk penjual nasi. "Makasih, Bu."Kinanti bergegas mengambil air minum dan segera duduk untuk menyantap makanannya. Dia makan dengan lahap bagai orang yang sudah berhari-hari tidak makan. Bagi gadis itu, yang penting dia tidak kelaparan.***Jam 3 sore Kendra baru pulang dari kampus. Dia melihat rumah sangat sepi. Keberadaan Bram di rumah membuat pemuda itu bertanya-tanya dalam hati. Biasanya sang ayah baru akan pulang saat hari sudah petang. Hatinya semakin bertanya-tanya saat melihat Dewi terisak dan sesekali menyeka air matanya."Ada apa, Pak? Bu? Di mana Kinan?" tanya pemuda itu mencari keberadaan sang adik."Jangan tanyakan dia lagi!" sahut Bram dengan nada garang. Pria itu duduk menonton televisi, meski sebenarnya dia tidak menikmati tontonan itu."Kenapa, Pak? Ada apa?" Kendra seperti orang linglung. Bram duduk dengan tatapan lurus dan tampak garang. Dewi sendiri masih terisak hingga matanya merah dan membengkak."Adik kamu sudah mencoreng muka bapak! Dia sudah menaruh kotoran pada wajah bapak!""Apa yang sebenarnya terjadi, Bu? Pak?"Bram melempar kalender meja yang dipegangnya ke depan kaki Kendra. Kendra mengambil benda itu perlahan. Dia melihat hingga membolak-balik kalender itu. "Ini ... maksudnya apa, Pak?""Adik kamu tidak bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita! Adik kamu sudah membuat aib pada keluarga kita! Dia sudah kehilangan kehormatan dan harga dirinya! Dia hamil!"Deg!Dada Kendra bagai dihantam palu besar. Dia tidak menyangka jika Kinanti hamil. Adik perempuannya itu tidak pernah dekat dengan murid laki-laki di sekolah ataupun pria di luar sekolah. Kinanti gadis yang baik dan ramah. Ini benar-benar di luar dugaannya."Tidak mungkin, Pak. Kinanti tidak mungkin melakukan itu," ucap Kendra seraya menggeleng kepala."Tapi nyatanya itu benar! Adik kamu sudah menumpahkan kotoran di wajah bapak!" murka Bram."Lalu, di mana Kinanti?" tanya Kendra."Dia sudah bapak usir dari rumah! Anak durhaka yang sudah membuat malu keluarga itu tidak boleh tinggal di sini! Bapak tidak sudi rumah bapak diinjak oleh orang yang sudah berbuat zina!" berang Bram."Tapi, Pak, bagaimana Kinan di luar sana? Dia masih kecil, Pak," tanya Kendra."Jika dia masih kecil, harusnya dia tidak melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah!""Kasian Kinan, Pak. Dia juga sebentar lagi akan menghadapi ujian." Kendra bergegas akan mencari adiknya."Berani kamu melangkah keluar dari rumah ini, maka kamu tidak akan bisa masuk kembali!" ancam Bram lantang.Kendra menghentikan langkahnya menuju pintu. Ancaman ayahnya membuat nyali pemuda itu ciut. Jika dia tidak tinggal di rumah, dia akan tinggal di mana?Meski dia bekerja paruh waktu untuk meringankan biaya yang dikeluarkan orang tuanya, tetapi dia tidak ingin membuat ayahnya semakin marah. Dia tidak ingin dicap sebagai anak durhaka dan membuat kedua orang tuanya semakin terluka. Dia akan mencari Kinanti di lain hari.***Hari sudah gelap dan Kinanti masih berada di jalanan tanpa tujuan. Gadis itu tidak tahu harus ke mana. Saat sedang berjalan, perutnya terasa mual. Dia memuntahkan semua isi perutnya. Gadis itu menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Dia mengambil botol air mineral pemberian penjual nasi campur lalu menenggaknya.Kakinya terus melangkah tak tentu arah. Dia kini berada di area pasar yang gelap. Kinanti memeluk tubuhnya sendiri. Sebenarnya dia takut berada di tempat itu, tetapi kakinya sudah sangat lelah berjalan. Malam juga semakin larut dan kelam.Kinanti melangkahkan kakinya ke ruko yang ada di pasar. Beberapa orang sedang terlelap di lantai pasar yang kotor hanya beralaskan kardus. Matanya bergerilya ke sana kemari. Mata bening itu menangkap sebuah kardus yang sudah terbuka di sudut sebuah ruko.Kinanti berjalan ke depan ruko itu. Dia menggelar kardus itu lalu menjadikannya alas tidur. Tas yang dibawanya dia jadikan bantal. Gadis itu berbaring meringkuk di atas kardus. Dia terisak meratapi nasib yang tidak berpihak. Dia diusir dari rumah sementara pelakunya hidup normal seperti biasa bahkan hidup mewah.Gadis itu memukuli perutnya, berharap janin yang sangat tidak diharapkannya itu gugur. Beberapa kali dia melakukan itu. Dia sangat berharap jika janin itu akan keluar hingga berhenti menyiksanya."Ahk!"Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya."Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis. Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.***"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras."Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko
"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun."Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?""Kinanti, Bu.""Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?""Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti."Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain.""Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku d
"Kau sembunyi di sana!" perintah April mendorong Frank ke kamar mandi."Kenapa aku harus sembunyi?" protes Frank."Kau tidak akan mengerti. Yang penting jangan sampai Evan melihatmu bermalam di sini."April segera memakai pakaiannya. Dia merapikan rambut yang acak-acakan. Gadis itu hanya memakai dress tanpa lengan. Saking terburu-burunya, April sampai lupa tidak memakai pakaian dalam."Ada apa, Van?" tanya April berusaha menyembunyikan napasnya yang memburu.Evan melihat April dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia melihat lelehan keringat pada pelipis dan leher gadis di depannya. Dia juga mengetahui jika tidak ada kain lain yang melapisi tubuh April selain dress yang dikenakan gadis itu."Aku ke kampus duluan," ucap Evan seraya berlalu dari depan apartemen April."Kenapa kamu gak nunggu aku?" tanya April ragu."Aku gak mau jadi orang bodoh yang menunggu orang yang sedang bercinta," tukas Evan tanpa menoleh."Apa maksud kamu, Evan?" April tidak berani mengejar Evan karena sadar kead
"Aku ....""Ini tempatku! Kalau kamu ingin tidur, cari tempat lain! Jangan menempati tempatku!" bentak seorang wanita berusia awal 40-an. "Maaf, Bu."Kinanti segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, kemudian melangkah tertatih mencari tempat lain. Perutnya terasa sakit setelah dia pukul beberapa kali. Gadis itu meringis memegangi perutnya. Kinanti memasuki pasar itu lebih dalam. Ternyata ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya, gelandangan. Dia melihat lorong antar-ruko yang kosong. Gadis itupun menggelar kardus yang dibawanya. Kinanti meringkuk di atas kardus. Dia menangis seraya memegangi perutnya. Gadis itu masih tetap menyalahkan janin yang ada di rahimnya atas apa yang dialaminya saat ini. Segala derita dan hinaan yang dia terima karena keberadaan janin itu.***"Van, gimana kalo nanti sore kita nonton?" tanya April. Mereka sedang duduk di kursi taman kampus."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa sih, Van? Kamu selalu nolak tiap aku ajak?" April tampak kesal
Kinanti hanya bisa menangis. Tidak mungkin baginya mengatakan kepada sang kakak siapa yang sudah menghamilinya. Kendra mungkin saja tidak percaya karena yang sudah melakukannya adalah sahabat baiknya. "Nan, kalau kamu diam terus seperti ini, Abang gak akan tau harus meminta pertanggungjawaban siapa," desak Kendra."Aku ingin istirahat, Bang," ucap Kinanti pelan.Kendra hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengerti, pasti selama ini Kinanti sangat kurang istirahat. Tidur di tempat terbuka dan hanya beralaskan kardus."Ya sudah, kamu istirahat, ya. Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak. Abang sudah membeli beberapa makanan dan pakaian buat kamu. Jika ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan Mbak Kayla," ucap Kendra.Kendra pergi dari kos-kosan Kayla dan Kinanti. Dia pulang larut malam. Dia harus berbohong pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya.***Kinanti terbangun saat matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Selama tiga bulan dia tidur di jalanan dan hanya beralaskan k
Amarah di hati Bram kembali menguar mengingat aib yang sudah ditorehkan putrinya. Dia hampir menangis karena rasa marah dan rindu bercampur menjadi satu. Putri yang sangat disayanginya pergi karena dia usir.Salah satu sudut hati Bram juga merasa bersalah. Dia tidak bisa menjaga putrinya dengan baik, sehingga dia harus menanggung aib. Dia merasa lalai saat diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga seorang putri."Ayo, Pak, jalan!"Seruan dari penumpang menyadarkan Bram. Dia segera memasukkan dompet ke saku celananya. Saat menoleh ke belakang, ternyata penumpang sudah penuh.Bram mulai melajukan angkotnya meninggalkan terminal. Dia harus fokus bekerja karena tidak hanya membawa nyawanya saja, tetapi juga nyawa banyak orang yang menjadi penumpangnya.***Kinanti memasak di kamar kos Kayla. Dia membuat oseng kangkung dan dadar telur untuk makan mereka berdua. Gadis itu sudah berpesan pada kekasih kakaknya untuk tidak membeli makan di luar.Selesai memasak, dia teringat jika belum me
Seorang ibu menarik bahu Kinanti kasar. Wajah ibu itu tampak sangat membenci Kinanti. Kinanti hanya diam, tidak menyahuti ibu itu."Kamu lagi bunting, ya?" tanya ibu yang menarik bahu Kinanti. "Kayaknya iya. Liat aja perutnya! Masa iya perutnya buncit, tapi badannya kurus kering kayak orang cacingan!" tuding ibu yang lain. "Cacingnya laki-laki kalau buncitnya begitu, Bu," sahut yang lainnya."Tapi kayaknya dia masih ingusan, kok bunting?" tanya ibu pertama."Ya mungkin kayak anak-anak jaman sekarang itu loh, Bu. Gara-gara suka nonton film," sahut ibu kedua. Ibu pertama mendekati Kinanti. "Kamu sudah nikah?" tanyanya."Nikah kayane belum, Bu. Tapi kawine uwes," cibir ibu kedua dengan dialek Jawa yang sangat khas. "Loh, loh, loh! Anak muda jaman saiki, wong tuone piye, toh?" tanya ibu ketiga yang juga berdialek Jawa."Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Jadi kagak sempet merhatiin anaknya," sahut ibu keempat. "Kamu itu masih bocah! Belum waktunya bikin anak! Mau dikasih makan apa ana
"Berapa kali bapak katakan, jangan jeluyuran pulang malam! Kamu itu sudah kelas tiga, beberapa bulan lagi kamu akan ujian! Kamu harus lebih rajin belajar agar bisa mendapatkan nilai yang bagus. Kamu harus contoh Kendra yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah," omel Bram saat anak perempuannya pulang setelah magrib."Kinan habis kerja kelompok, Pak. Ada tugas dari guru biologi," dalih Kinanti membela diri."Sudah, Pak. Ini waktu magrib, tidak enak pada tetangga." Dewi, ibu Kinanti, datang dari dapur melerai suami dan anak perempuannya. "Ini kopinya," ucapnya seraya menyajikan segelas kopi hitam di depan suaminya."Kinan beneran habis kerja kelompok, Bu. Kinan enggak bohong," ucap Kinanti."Ibu percaya anak ibu enggak bohong. Sekarang kamu mandi, solat lalu makan," ucap Dewi membelai rambut panjang Kinanti. Kinanti berlalu ke kamarnya."Kamu selalu membela anak-anakmu. Jangan terlalu percaya pada mereka karena bisa saja mereka sedang berbohong," omel Bram pada istrinya."Lalu, kita harus
Seorang ibu menarik bahu Kinanti kasar. Wajah ibu itu tampak sangat membenci Kinanti. Kinanti hanya diam, tidak menyahuti ibu itu."Kamu lagi bunting, ya?" tanya ibu yang menarik bahu Kinanti. "Kayaknya iya. Liat aja perutnya! Masa iya perutnya buncit, tapi badannya kurus kering kayak orang cacingan!" tuding ibu yang lain. "Cacingnya laki-laki kalau buncitnya begitu, Bu," sahut yang lainnya."Tapi kayaknya dia masih ingusan, kok bunting?" tanya ibu pertama."Ya mungkin kayak anak-anak jaman sekarang itu loh, Bu. Gara-gara suka nonton film," sahut ibu kedua. Ibu pertama mendekati Kinanti. "Kamu sudah nikah?" tanyanya."Nikah kayane belum, Bu. Tapi kawine uwes," cibir ibu kedua dengan dialek Jawa yang sangat khas. "Loh, loh, loh! Anak muda jaman saiki, wong tuone piye, toh?" tanya ibu ketiga yang juga berdialek Jawa."Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Jadi kagak sempet merhatiin anaknya," sahut ibu keempat. "Kamu itu masih bocah! Belum waktunya bikin anak! Mau dikasih makan apa ana
Amarah di hati Bram kembali menguar mengingat aib yang sudah ditorehkan putrinya. Dia hampir menangis karena rasa marah dan rindu bercampur menjadi satu. Putri yang sangat disayanginya pergi karena dia usir.Salah satu sudut hati Bram juga merasa bersalah. Dia tidak bisa menjaga putrinya dengan baik, sehingga dia harus menanggung aib. Dia merasa lalai saat diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga seorang putri."Ayo, Pak, jalan!"Seruan dari penumpang menyadarkan Bram. Dia segera memasukkan dompet ke saku celananya. Saat menoleh ke belakang, ternyata penumpang sudah penuh.Bram mulai melajukan angkotnya meninggalkan terminal. Dia harus fokus bekerja karena tidak hanya membawa nyawanya saja, tetapi juga nyawa banyak orang yang menjadi penumpangnya.***Kinanti memasak di kamar kos Kayla. Dia membuat oseng kangkung dan dadar telur untuk makan mereka berdua. Gadis itu sudah berpesan pada kekasih kakaknya untuk tidak membeli makan di luar.Selesai memasak, dia teringat jika belum me
Kinanti hanya bisa menangis. Tidak mungkin baginya mengatakan kepada sang kakak siapa yang sudah menghamilinya. Kendra mungkin saja tidak percaya karena yang sudah melakukannya adalah sahabat baiknya. "Nan, kalau kamu diam terus seperti ini, Abang gak akan tau harus meminta pertanggungjawaban siapa," desak Kendra."Aku ingin istirahat, Bang," ucap Kinanti pelan.Kendra hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengerti, pasti selama ini Kinanti sangat kurang istirahat. Tidur di tempat terbuka dan hanya beralaskan kardus."Ya sudah, kamu istirahat, ya. Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak. Abang sudah membeli beberapa makanan dan pakaian buat kamu. Jika ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan Mbak Kayla," ucap Kendra.Kendra pergi dari kos-kosan Kayla dan Kinanti. Dia pulang larut malam. Dia harus berbohong pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya.***Kinanti terbangun saat matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Selama tiga bulan dia tidur di jalanan dan hanya beralaskan k
"Aku ....""Ini tempatku! Kalau kamu ingin tidur, cari tempat lain! Jangan menempati tempatku!" bentak seorang wanita berusia awal 40-an. "Maaf, Bu."Kinanti segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, kemudian melangkah tertatih mencari tempat lain. Perutnya terasa sakit setelah dia pukul beberapa kali. Gadis itu meringis memegangi perutnya. Kinanti memasuki pasar itu lebih dalam. Ternyata ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya, gelandangan. Dia melihat lorong antar-ruko yang kosong. Gadis itupun menggelar kardus yang dibawanya. Kinanti meringkuk di atas kardus. Dia menangis seraya memegangi perutnya. Gadis itu masih tetap menyalahkan janin yang ada di rahimnya atas apa yang dialaminya saat ini. Segala derita dan hinaan yang dia terima karena keberadaan janin itu.***"Van, gimana kalo nanti sore kita nonton?" tanya April. Mereka sedang duduk di kursi taman kampus."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa sih, Van? Kamu selalu nolak tiap aku ajak?" April tampak kesal
"Kau sembunyi di sana!" perintah April mendorong Frank ke kamar mandi."Kenapa aku harus sembunyi?" protes Frank."Kau tidak akan mengerti. Yang penting jangan sampai Evan melihatmu bermalam di sini."April segera memakai pakaiannya. Dia merapikan rambut yang acak-acakan. Gadis itu hanya memakai dress tanpa lengan. Saking terburu-burunya, April sampai lupa tidak memakai pakaian dalam."Ada apa, Van?" tanya April berusaha menyembunyikan napasnya yang memburu.Evan melihat April dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia melihat lelehan keringat pada pelipis dan leher gadis di depannya. Dia juga mengetahui jika tidak ada kain lain yang melapisi tubuh April selain dress yang dikenakan gadis itu."Aku ke kampus duluan," ucap Evan seraya berlalu dari depan apartemen April."Kenapa kamu gak nunggu aku?" tanya April ragu."Aku gak mau jadi orang bodoh yang menunggu orang yang sedang bercinta," tukas Evan tanpa menoleh."Apa maksud kamu, Evan?" April tidak berani mengejar Evan karena sadar kead
"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun."Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?""Kinanti, Bu.""Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?""Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti."Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain.""Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku d
Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya."Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis. Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.***"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras."Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko
"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi."Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar."Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram."Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi."Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.***Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya."Keluar, yuk!" ajak April."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya. "Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan."Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual.""Namanya juga sakit.""Periksa dong, Van.""Kamu
Kinanti menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Gadis itu tidak berani menatap sang ibu yang tengah menatap tajam padanya. Air mata sudah tidak mampu dia bendung lagi. Bahu gadis itu berguncang dengan napas yang terasa sesak.Dewi berdiri dengan tatapan tajam pada putrinya. Bukan kemarahan yang sarat pada sorot mata wanita itu. Namun, kekecewaan dan rasa tidak percaya membuat hatinya terluka. Sebuah kalender meja berada dalam genggamannya.Kecurigaan Dewi membuat wanita itu memasuki kamar Kinanti saat putrinya sedang muntah di kamar mandi. Dia sangat terpukul melihat kalender meja di kamar Kinanti yang tidak ada lingkaran merah di bulan itu. Tanggal yang dilingkar merah bulan sebelumnya sudah terlewat dua minggu yang lalu."Apa artinya ini, Kinan?" tanya Dewi dengan suara bergetar seraya mengangkat tangan yang memegang kalender.Kinanti menjatuhkan diri di depan ibunya. Dia bersimpuh di kaki wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangis penyesalan tidak berhenti meski dia tahu tidak ada ar