Kinanti meringkuk di atas ranjang kecilnya. Gadis itu menangis tanpa suara. Bagian inti tubuhnya terasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Dia tidak menyangka, jika Evan tega berbuat keji padanya.
Dia sudah menganggap Evan seperti kakaknya sendiri. Namun, pemuda itu sudah merenggut harta yang dia jaga selama ini. Harta yang selalu dia banggakan karena tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk melakukan hal itu sebelum menikah. Bagaimana nasibnya nanti? Apakah akan ada yang mau menikah dengan dirinya yang sudah tidak perawan?"Aku berjanji aku akan kembali setelah menyelesaikan kuliahku. Aku akan melamarmu dan menikahimu. Aku mencintaimu. Aku minta maaf karena sudah melakukannya, tapi percahalah jika aku akan kembali untukmu."Perkataan Evan sebelum keluar dari kamarnya masih terngiang di telinga. Kinanti tidak bisa memejamkan mata lagi setelah petaka itu. Suara kokok ayam sudah menyapa indera pendengarannya. Semburat kemerahan pun sudah tampak di ufuk timur."Kinan, kok belum bangun? Bangun, Nan!" seru Dewi dari depan pintu kamar putrinya.Kinanti tidak menjawab, dia terkejut saat mendengar suara ibunya. 'Kapan ibu pulang? Kenapa aku tidak mendengar ibu pulang?' Kinanti bertanya-tanya dalam hati.Gadis itu perlahan beranjak dari ranjang. Dia berusaha menahan rasa sakit di area pribadinya. Dengan langkah pelan dia keluar kamar lalu mandi. Saat itu Dewi sedang sibuk membuat nasi goreng untuk sarapan hingga tidak memperhatikan bagaimana Kinanti berjalan.Semua sudah duduk mengitari meja makan, kecuali Kinanti. Setelah mandi, gadis itu belum keluar kamar lagi. Dewi sedang menyajikan nasi goreng di piring. Tempe tepung dan bakwan menjadi teman sarapan pagi ini."Ken, panggil Kinan suruh sarapan!" perintah Dewi pada anak laki-lakinya.Kendra segera beranjak ke kamar adiknya. Dia mengetuk pintu kamar Kinanti pelan. "Kinan, sarapan dulu!" serunya di depan pintu kamar Kinanti.Pintu kamar Kinanti terbuka. Gadis itu keluar dari kamar dan menyusul Kendra yang sudah melangkah lebih dulu. Sekuat tenaga dia menahan rasa sakit dan mencoba berjalan normal seperti biasa. Beruntung ini hari minggu sehingga dia tidak perlu melakukan banyak aktifitas.Kinanti duduk di samping ibunya. Dia berhadapan dengan Kendra. Melihat sang kakak, dia teringat kembali kelakuan sahabat kakaknya. Ingin sekali dia menangis di depan keluarganya."Kenapa nasi gorengnya cuma diaduk-aduk, Nan? Apa rasanya enggak enak?" tanya Dewi."Enggak kok, Bu. Masakan Ibu paling enak," jawab Kinanti tidak bersemangat.Kinanti tidak berselera makan. Bayangan saat Evan menyentuhnya selalu melintas. Ingin sekali dia menggosok kulitnya untuk menghilangkan jejak dari pria itu. Setelah memakan tiga sendok nasi goreng, dia memilih masuk ke kamarnya."Kinan, ibu mau ke pasar. Mau sekalian ikut angkot Bapak!" seru Dewi dari depan pintu kamar Kinanti. "Kamu jaga rumah dulu!""Iya, Bu," sahut Kinanti tanpa membuka pintu.Setelah kepergian orang tuanya, Kinanti memanfaatkan waktu dengan mencuci seprai. Dia mengucek noda darah di seprai itu hingga hilang. Dia tidak ingin kedua orang tuanya melihat noda merah itu. Hatinya pilu saat mengucek kain pelapis kasur itu.Kinanti menjerit tertahan di tempat cuci baju. Dia menangis tersedu mengingat kejadian semalam. Air matanya bercampur dengan air cucian. Gadis itu meratapi nasibnya yang nahas.***"Untuk apa sih kamu menginap di sana? Apa yang membuat kamu betah di rumah itu, Evan?" tanya Sita dengan nada tinggi. "Rumah mereka pasti kecil dan ranjangnya juga sempit.""Tapi rumah itu penuh cinta, Ma. Om Bram dan Tante Dewi sangat memperhatikan anak-anak mereka." Evan membalas ucapan ibunya dengan nada datar. Namun, kalimat yang terlontar dari mulutnya membuat emosi Sita naik ke permukaan."Jadi, kamu nyindir mama? Kamu pikir mama kerja untuk siapa? Untuk kamu!" bentak Sita. "Ibu teman kamu tidak bekerja itu karena dia tidak punya pendidikan! Mama dan Papa bekerja untuk memberikan semua yang terbaik buat kamu!"Evan tidak ingin berdebat pagi-pagi dengan ibunya. Dia menaiki tangga menuju ke kamar. Pemuda itu memilih membereskan barang yang akan dibawa ke Toronto. Dia tidak mengatakan jika sebenarnya dia tidak menginap di rumah Kendra. Dia tidur di dalam mobil yang dia parkir di taman kota."Kamu itu anak mama dan Papa satu-satunya, Van. Kamu harapan kami satu-satunya. Jadi, jangan hancurkan harapan kami hanya karena mereka," tukas Sita. Wanita itu menyusul Evan ke kamar."Mama tidak perlu khawatir. Kendra dan keluarganya enggak akan ganggu pendidikan aku. Aku tidak akan pulang sebelum aku meraih gelar sarjana," balas Evan.***"Udah siap, Van?" tanya April, gadis yang diharapkan Sita menjadi istri Evan. Dia juga akan kuliah di tempat yang sama dengan Evan.Evan tidak menjawab pertanyaan April. Mereka bertemu di bandara karena orang tua mereka sudah merencanakan keberangkatan mereka sejak awal. Evan masih sibuk dengan ponselnya. Pemuda itu sedang berkirim pesan dengan Kendra.Evan juga mengirim pesan pada nomor Kinanti yang dia tahu dari Kendra. 'Aku minta maaf atas kejadian semalam, Kinan. Tapi aku benar-benar mencintaimu. Setelah aku kembali, aku akan melamarmu.'Panggilan suara pihak bandara untuk para penumpang pesawat tujuan Toronto mengumandang. Dua keluarga itu segera berdiri dan berpelukan melepas kepergian anak mereka. Evan memeluk kedua orang tuanya sebelum memasuki pintu khusus penumpang."Jika kamu bisa meraih predikat cumlaude, papa akan menuruti apa pun yang kamu inginkan," ucap Deni saat memeluk putranya.Evan tersenyum penuh arti pada ayahnya. Setelah berpamitan dan berpelukan dengan kedua orang tua, Evan dan April memasuki pintu khusus penumpang pesawat. Keluarga mereka baru meninggalkan bandara setelah pesawat yang ditumpangi Evan dan April lepas landas.***Waktu terus berlalu, hari demi hari dilewati Kinanti dengan berat. Gadis yang dulu ceria dan murah senyum itu kini berubah pendiam dan murung. Dewi sudah sering menanyakan pada putrinya apa yang membuat gadis itu berubah. Namun, Kinanti selalu memberikan alasan lain yang sekiranya bisa menutupi alasan sebenarnya.Kendra dan Bram pun sudah mendesak Kinanti, tetapi gadis itu tetap bungkam. Kinanti berusaha meyakinkan keluarganya jika dia baik-baik saja. Dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya. Dia mengabaikan pesan yang sempat dikirim Evan untuknya.Semester gasal sudah berakhir, bahkan buku raport pun sudah dibagikan. Kinanti yang biasa menempati ranking 1, kini harus rela berada di posisi 5. Lala, sahabat Kinanti, pun heran dengan perubahan gadis itu."Apa ini, Kinan?" tanya Bram saat membuka rapot Kinanti. Pria itu tampak emosi dan membanting buku penilaian semester itu. Kinanti hanya diam, tidak menjawab pertanyaan bapaknya."Ada apa, Pak?" tanya Dewi yang satang dengan segelas kopi hitam."Lihat, Bu! Nilai Kinanti semuanya turun. Dia sekarang rangking 5! Ini pasti karena kamu sering pulanng terlambat. Main terus!"Kinanti tidak menjawab untuk membela diri. Dia memilih masuk kamar dan mengurung diri. Dia tidak akan bisa menegakkan wajah kembali.***Lima minggu telah terlewati begitu saja. Kinanti kini sudah masuk sekolah kembali setelah liburan akhir tahun. Lebih kurang empat bulan lagi dia akan ujian nasional..Pagi itu Bram ke dapur untuk sarapan dan minum kopi yang biasa disajikan isterinya. Namun, pria itu tidak menemukan sosok Dewi di dapur pagi itu. Dia mengerutkan alis saat mendengar suara dari kamar mandi, mengira jika itu isterinya."Huek! Huek! Huek!""Wi, kamu kenapa? Masuk angin?" tanya Bram di depan pintu kamar mandi. "Dewi!""Ada apa, Bang? Kenapa kamu manggil aku di kamar mandi?" Bram berbalik saat mendengar suara isterinya dari belakang tubuh. Pria itu mengerutkan kening melihat istrinya mengambil gelas di rak. Dia lalu menoleh kembali ke kamar mandi. "Kamu dari mana?" tanyanya heran."Kehabisan gula pas mau bikin kopi buat Abang. Jadi, aku ke warung beli gula," jawab Dewi."Lalu, siapa yang di kamar mandi? Kinan?""Kinan tadi sudah ke kamar mandi.""Tapi ....""Huek! Huek! Huek!"Bram dan Dewi saling pandang. Suara yang didengar Bram kembali berbunyi. "Kinan?" Bram dan Dewi saling melempar tanya dengan tatapan heran. Kinanti keluar dari kamar mandi dengan wajah sembab. Gadis itu baru saja memuntahkan isi perutnya yang belum sarapan. Wajahnya pucat melihat kedua orang tuanya berada di depan pintu kamar mandi."Kamu kenapa, Nan?" tanya Dewi. Bram tidak mengajukan tanya, tetapi sorot matanya sangat tajam pada Kinanti."Sepert
Kinanti menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Gadis itu tidak berani menatap sang ibu yang tengah menatap tajam padanya. Air mata sudah tidak mampu dia bendung lagi. Bahu gadis itu berguncang dengan napas yang terasa sesak.Dewi berdiri dengan tatapan tajam pada putrinya. Bukan kemarahan yang sarat pada sorot mata wanita itu. Namun, kekecewaan dan rasa tidak percaya membuat hatinya terluka. Sebuah kalender meja berada dalam genggamannya.Kecurigaan Dewi membuat wanita itu memasuki kamar Kinanti saat putrinya sedang muntah di kamar mandi. Dia sangat terpukul melihat kalender meja di kamar Kinanti yang tidak ada lingkaran merah di bulan itu. Tanggal yang dilingkar merah bulan sebelumnya sudah terlewat dua minggu yang lalu."Apa artinya ini, Kinan?" tanya Dewi dengan suara bergetar seraya mengangkat tangan yang memegang kalender.Kinanti menjatuhkan diri di depan ibunya. Dia bersimpuh di kaki wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangis penyesalan tidak berhenti meski dia tahu tidak ada ar
"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi."Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar."Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram."Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi."Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.***Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya."Keluar, yuk!" ajak April."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya. "Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan."Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual.""Namanya juga sakit.""Periksa dong, Van.""Kamu
Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya."Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis. Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.***"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras."Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko
"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun."Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?""Kinanti, Bu.""Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?""Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti."Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain.""Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku d
"Kau sembunyi di sana!" perintah April mendorong Frank ke kamar mandi."Kenapa aku harus sembunyi?" protes Frank."Kau tidak akan mengerti. Yang penting jangan sampai Evan melihatmu bermalam di sini."April segera memakai pakaiannya. Dia merapikan rambut yang acak-acakan. Gadis itu hanya memakai dress tanpa lengan. Saking terburu-burunya, April sampai lupa tidak memakai pakaian dalam."Ada apa, Van?" tanya April berusaha menyembunyikan napasnya yang memburu.Evan melihat April dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia melihat lelehan keringat pada pelipis dan leher gadis di depannya. Dia juga mengetahui jika tidak ada kain lain yang melapisi tubuh April selain dress yang dikenakan gadis itu."Aku ke kampus duluan," ucap Evan seraya berlalu dari depan apartemen April."Kenapa kamu gak nunggu aku?" tanya April ragu."Aku gak mau jadi orang bodoh yang menunggu orang yang sedang bercinta," tukas Evan tanpa menoleh."Apa maksud kamu, Evan?" April tidak berani mengejar Evan karena sadar kead
"Aku ....""Ini tempatku! Kalau kamu ingin tidur, cari tempat lain! Jangan menempati tempatku!" bentak seorang wanita berusia awal 40-an. "Maaf, Bu."Kinanti segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, kemudian melangkah tertatih mencari tempat lain. Perutnya terasa sakit setelah dia pukul beberapa kali. Gadis itu meringis memegangi perutnya. Kinanti memasuki pasar itu lebih dalam. Ternyata ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya, gelandangan. Dia melihat lorong antar-ruko yang kosong. Gadis itupun menggelar kardus yang dibawanya. Kinanti meringkuk di atas kardus. Dia menangis seraya memegangi perutnya. Gadis itu masih tetap menyalahkan janin yang ada di rahimnya atas apa yang dialaminya saat ini. Segala derita dan hinaan yang dia terima karena keberadaan janin itu.***"Van, gimana kalo nanti sore kita nonton?" tanya April. Mereka sedang duduk di kursi taman kampus."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa sih, Van? Kamu selalu nolak tiap aku ajak?" April tampak kesal
Kinanti hanya bisa menangis. Tidak mungkin baginya mengatakan kepada sang kakak siapa yang sudah menghamilinya. Kendra mungkin saja tidak percaya karena yang sudah melakukannya adalah sahabat baiknya. "Nan, kalau kamu diam terus seperti ini, Abang gak akan tau harus meminta pertanggungjawaban siapa," desak Kendra."Aku ingin istirahat, Bang," ucap Kinanti pelan.Kendra hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengerti, pasti selama ini Kinanti sangat kurang istirahat. Tidur di tempat terbuka dan hanya beralaskan kardus."Ya sudah, kamu istirahat, ya. Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak. Abang sudah membeli beberapa makanan dan pakaian buat kamu. Jika ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan Mbak Kayla," ucap Kendra.Kendra pergi dari kos-kosan Kayla dan Kinanti. Dia pulang larut malam. Dia harus berbohong pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya.***Kinanti terbangun saat matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Selama tiga bulan dia tidur di jalanan dan hanya beralaskan k
Seorang ibu menarik bahu Kinanti kasar. Wajah ibu itu tampak sangat membenci Kinanti. Kinanti hanya diam, tidak menyahuti ibu itu."Kamu lagi bunting, ya?" tanya ibu yang menarik bahu Kinanti. "Kayaknya iya. Liat aja perutnya! Masa iya perutnya buncit, tapi badannya kurus kering kayak orang cacingan!" tuding ibu yang lain. "Cacingnya laki-laki kalau buncitnya begitu, Bu," sahut yang lainnya."Tapi kayaknya dia masih ingusan, kok bunting?" tanya ibu pertama."Ya mungkin kayak anak-anak jaman sekarang itu loh, Bu. Gara-gara suka nonton film," sahut ibu kedua. Ibu pertama mendekati Kinanti. "Kamu sudah nikah?" tanyanya."Nikah kayane belum, Bu. Tapi kawine uwes," cibir ibu kedua dengan dialek Jawa yang sangat khas. "Loh, loh, loh! Anak muda jaman saiki, wong tuone piye, toh?" tanya ibu ketiga yang juga berdialek Jawa."Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Jadi kagak sempet merhatiin anaknya," sahut ibu keempat. "Kamu itu masih bocah! Belum waktunya bikin anak! Mau dikasih makan apa ana
Amarah di hati Bram kembali menguar mengingat aib yang sudah ditorehkan putrinya. Dia hampir menangis karena rasa marah dan rindu bercampur menjadi satu. Putri yang sangat disayanginya pergi karena dia usir.Salah satu sudut hati Bram juga merasa bersalah. Dia tidak bisa menjaga putrinya dengan baik, sehingga dia harus menanggung aib. Dia merasa lalai saat diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga seorang putri."Ayo, Pak, jalan!"Seruan dari penumpang menyadarkan Bram. Dia segera memasukkan dompet ke saku celananya. Saat menoleh ke belakang, ternyata penumpang sudah penuh.Bram mulai melajukan angkotnya meninggalkan terminal. Dia harus fokus bekerja karena tidak hanya membawa nyawanya saja, tetapi juga nyawa banyak orang yang menjadi penumpangnya.***Kinanti memasak di kamar kos Kayla. Dia membuat oseng kangkung dan dadar telur untuk makan mereka berdua. Gadis itu sudah berpesan pada kekasih kakaknya untuk tidak membeli makan di luar.Selesai memasak, dia teringat jika belum me
Kinanti hanya bisa menangis. Tidak mungkin baginya mengatakan kepada sang kakak siapa yang sudah menghamilinya. Kendra mungkin saja tidak percaya karena yang sudah melakukannya adalah sahabat baiknya. "Nan, kalau kamu diam terus seperti ini, Abang gak akan tau harus meminta pertanggungjawaban siapa," desak Kendra."Aku ingin istirahat, Bang," ucap Kinanti pelan.Kendra hanya bisa menarik napas dalam. Dia mengerti, pasti selama ini Kinanti sangat kurang istirahat. Tidur di tempat terbuka dan hanya beralaskan kardus."Ya sudah, kamu istirahat, ya. Tidur yang nyenyak dan makan yang banyak. Abang sudah membeli beberapa makanan dan pakaian buat kamu. Jika ada apa-apa, kamu bisa minta bantuan Mbak Kayla," ucap Kendra.Kendra pergi dari kos-kosan Kayla dan Kinanti. Dia pulang larut malam. Dia harus berbohong pada kedua orang tuanya tentang kepergiannya.***Kinanti terbangun saat matahari sudah mengintip dari balik tirai jendela. Selama tiga bulan dia tidur di jalanan dan hanya beralaskan k
"Aku ....""Ini tempatku! Kalau kamu ingin tidur, cari tempat lain! Jangan menempati tempatku!" bentak seorang wanita berusia awal 40-an. "Maaf, Bu."Kinanti segera bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas, kemudian melangkah tertatih mencari tempat lain. Perutnya terasa sakit setelah dia pukul beberapa kali. Gadis itu meringis memegangi perutnya. Kinanti memasuki pasar itu lebih dalam. Ternyata ada banyak orang yang bernasib sama seperti dirinya, gelandangan. Dia melihat lorong antar-ruko yang kosong. Gadis itupun menggelar kardus yang dibawanya. Kinanti meringkuk di atas kardus. Dia menangis seraya memegangi perutnya. Gadis itu masih tetap menyalahkan janin yang ada di rahimnya atas apa yang dialaminya saat ini. Segala derita dan hinaan yang dia terima karena keberadaan janin itu.***"Van, gimana kalo nanti sore kita nonton?" tanya April. Mereka sedang duduk di kursi taman kampus."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa sih, Van? Kamu selalu nolak tiap aku ajak?" April tampak kesal
"Kau sembunyi di sana!" perintah April mendorong Frank ke kamar mandi."Kenapa aku harus sembunyi?" protes Frank."Kau tidak akan mengerti. Yang penting jangan sampai Evan melihatmu bermalam di sini."April segera memakai pakaiannya. Dia merapikan rambut yang acak-acakan. Gadis itu hanya memakai dress tanpa lengan. Saking terburu-burunya, April sampai lupa tidak memakai pakaian dalam."Ada apa, Van?" tanya April berusaha menyembunyikan napasnya yang memburu.Evan melihat April dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia melihat lelehan keringat pada pelipis dan leher gadis di depannya. Dia juga mengetahui jika tidak ada kain lain yang melapisi tubuh April selain dress yang dikenakan gadis itu."Aku ke kampus duluan," ucap Evan seraya berlalu dari depan apartemen April."Kenapa kamu gak nunggu aku?" tanya April ragu."Aku gak mau jadi orang bodoh yang menunggu orang yang sedang bercinta," tukas Evan tanpa menoleh."Apa maksud kamu, Evan?" April tidak berani mengejar Evan karena sadar kead
"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun."Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?""Kinanti, Bu.""Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?""Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti."Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain.""Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku d
Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya."Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis. Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.***"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras."Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko
"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi."Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar."Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram."Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi."Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.***Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya."Keluar, yuk!" ajak April."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya. "Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan."Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual.""Namanya juga sakit.""Periksa dong, Van.""Kamu
Kinanti menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Gadis itu tidak berani menatap sang ibu yang tengah menatap tajam padanya. Air mata sudah tidak mampu dia bendung lagi. Bahu gadis itu berguncang dengan napas yang terasa sesak.Dewi berdiri dengan tatapan tajam pada putrinya. Bukan kemarahan yang sarat pada sorot mata wanita itu. Namun, kekecewaan dan rasa tidak percaya membuat hatinya terluka. Sebuah kalender meja berada dalam genggamannya.Kecurigaan Dewi membuat wanita itu memasuki kamar Kinanti saat putrinya sedang muntah di kamar mandi. Dia sangat terpukul melihat kalender meja di kamar Kinanti yang tidak ada lingkaran merah di bulan itu. Tanggal yang dilingkar merah bulan sebelumnya sudah terlewat dua minggu yang lalu."Apa artinya ini, Kinan?" tanya Dewi dengan suara bergetar seraya mengangkat tangan yang memegang kalender.Kinanti menjatuhkan diri di depan ibunya. Dia bersimpuh di kaki wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangis penyesalan tidak berhenti meski dia tahu tidak ada ar