Langkah Sherena terhenti saat terdengar suara ponsel dari arah lift. Mahanta kembali mengintip dari balik pilar dan memfokuskan matanya melihat sosok yang baru muncul dari dalam lift.“Jay? Oh, rupanya mereka masih berhubungan.” Mahanta menatap dingin pada Jay yang merangkul pinggang Sherena dan berjalan menuju mobil pria itu.“Mereka mau kemana ya? Apa harus kuikuti?”Mahanta mengurungkan niatnya untuk mengikuti Sherena dan Jay dengan resiko ketahuan. Pria itu berjalan cepat menuju lift setelah mobil Jay keluar dari basement apartemen. Di dalam lift, Mahanta mencoba menghubungi Lintang.“Suruh orang mengikuti mobil Jay sekarang. Dia baru keluar dari basement apartemen,” titah Mahanta setelah terdengar suara Lintang dari seberang sana.[“Memangnya dia bikin ulah apalagi?”] tanya Lintang sambil mengirimkan chat pada orang kepercayaannya dengan ponsel satunya.“Dia keluar sama Sherena. Feelingku mengatakan ada sesuatu yang menarik.”[“Kamu cemburu?”]“Hei! Aku hanya ingin menyingkirkan
“Selamat pagi, Bu Hannah. Maaf mengganggu.”“Iya, Pak. Silakan. Maaf sedikit berantakan.” Hannah sedikit bingung dimana bisa menerima tamu itu sedangkan meja makannya sedang berantakan.“Kak, mereka...”“Tenang, Na. Kakak sudah siapkan uangnya. Kamu bikinin kopi dulu ya.”Ziana menatap ragu ke arah Hannah yang sudah mendekati petugas dari bank tempatnya meminjam uang atas jaminan rumah mereka. Kekhawatiran Ziana membuat Mahanta ikut menatap ke arah Hannah lalu bertanya padanya.“Siapa mereka, sayang?”“Petugas bank. Kak Hannah terpaksa meminjam uang untuk modal berjualan kue dan membiayai kuliahku. Seingatku jatuh temponya masih lama, tapi kemarin ada petugas bank itu bilang kalau kak Hannah harus melunasi hutang itu secepatnya.”“Lintang, bantu Bu Hannah. Cepat selesaikan,” titah Mahanta sebelum Ziana bisa mencegahnya.“Baik, Bos.”“Pak Lintang, jangan kesana. Maha, biarin kak Hannah yang... KAK HANNAH!”Ziana menjerit syok ketika melihat Hannah terdorong ke samping oleh petugas bank
“Sherena? Apa maksudmu?”Mahanta menoleh kaget mendengar suara Ziana yang sudah berdiri di belakangnya. Ekspresi perempuan itu sangat dingin, tapi menuntut sebuah penjelasan.“Apa yang dia lakukan? Aku tidak suka dibohongi lagi, Maha. Jawab aku.”Mutlak menuntut jawaban. Tidak ada kesempatan bagi Mahanta untuk berkilah kali ini. Pria itu harus mengatakan yang sebenarnya.“Maafkan aku, Na. Kita bicarakan setelah Lintang kembali ya. Jangan sampai Bu Hannah dengar.”Ziana menahan segala keingintahuannya dan memilih kembali ke tempat duduknya. Rasa mualnya kini berganti menjadi rasa kesal yang teramat sangat pada Mahanta. Lagi-lagi Sherena menjadi alasan Mahanta mengulur waktu.Kepercayaan Ziana pada Mahanta kini berada di ambang krisis lagi. Tidak menutup kemungkinan Mahanta hanya menggunakan Lintang dan Hannah untuk memikirkan alasan lain untuk menutupi kebenaran. Disaat seperti ini, Ziana masih tidak tegas jika berhubungan dengan Hannah.“...Na? Ziana?” panggil Hannah sambil mengguncan
“Malam itu masih sama seperti saat pertama kita, Ziana. Aku masih bisa mendengar suaramu, begitu merdu seperti nyanyian surga. Kulitmu yang lembut, rambutmu yang tergerai berantakan, dan nafasmu membuatku gila, Ziana.”“Maha... jangan bicara omong kosong,” sahut Ziana sambil memutar bola matanya malas.“Buahahahaha!”Ziana dan Mahanta sama-sama menoleh kearah sumber suara yang tiba-tiba tertawa kencang di dekat pintu apartemen. Lintang yang langsung masuk setelah tiba di apartemen Ziana, hampir mengira sedang ada adegan romantis di hadapannya. Nyatanya gombalan Mahanta justru tidak dianggap oleh Ziana.“Sialan! Sejak kapan kamu disini?!”“Sorry, bos. Sejak ‘malam itu masih sama’, bos. Aku pikir nggak akan pernah mendengar kata-kata romantis begitu darimu. Tahunya bisa bucin juga ya.”Padam dan panas, itu yang Mahanta rasakan saat ini. Wajahnya merona sampai telinganya juga ikut membara. Tak ubahnya seperti warna vas bunga yang menjadi saksi bisu kekhilafan yang mungkin akan terjadi ka
Di sofa ruang tengah apartemennya, Ziana sedang membayangkan sebuah pesta mewah yang dihadiri orang-orang penting saja. Mereka yang datang akan memakai pakaian mewah dan berpenampilan elegan. Sudah pasti aroma parfum mahal akan memenuhi ruangan pesta itu.“Sepertinya aku tidak akan bisa bertahan,” gumamnya pelan.“Kenapa? Ada yang salah, sayang?”Mahanta yang baru kembali dari kamar mandi, mendengar kegelisahan Ziana. Setelah Lintang memberitahu tentang undangan pesta ulang tahun Hasan, pria itu pamit pulang. Kini mereka hanya tinggal berdua saja di apartemen itu.“Aku takut mual dan muntahku ini akan membuatmu malu di pesta nanti.”“Tapi kamu harus datang, sayang. Begini saja, kamu bisa muncul belakangan. Aku yang akan menjemputmu saat waktunya papa tiup lilin. Bagaimana?”Ziana mengangguk setuju dengan usulan Mahanta. Diliriknya penampilan pria itu yang lebih segar dengan rambut setengah basah. Melihat tatapan Ziana padanya, Mahanta menyentuh punggung tangan wanita itu lalu menatapn
Setelah membersihkan tubuhnya, Ziana keluar kamar mandi lebih dulu. Tubuhnya sedikit bergidik menggigil lantaran suhu ruangan yang sangat dingin. Perempuan itu segera membuka lemari dan menarik piyama panjang untuk menutupi tubuhnya. Suara yang berasal dari ponsel Mahanta menarik perhatian Ziana. Perempuan itu melongok dari balik lemari dan memanggil Mahanta. “Maha, handphonemu bunyi terus.” “Angkat aja, sayang,” sahut Mahanta yang masih mengeringkan tubuhnya. Ziana mendekati meja sofa dan melihat layar ponsel Mahanta yang menyala terang. Ekspresinya sedikit berubah sinis saat membaca nama Sherena disana. Entah apa maksud wanita itu menghubungi Mahanta via video call. “Boleh kuangkat ‘kan?” tanya Ziana pada dirinya sendiri. Toh, Mahanta juga sudah mengijinkannya. Ziana sengaja menutup kamera ponsel itu dengan jarinya sebelum menekan icon hijau untuk menerima panggilan video dari Sherena. Pemandangan pertama yang dilihatnya membuat Ziana nyaris menjerit kaget. Bukan wajah Sherena
Mahanta menghela nafas panjang, merasa sedikit kesal karena Ziana mengalihkan pembicaraan mereka. Tapi pria itu berusaha maklum karena ulahnya juga yang membuat hati Ziana terluka dan mungkin tidak mudah percaya lagi pada ucapannya.“Maafkan aku sudah menjadi pria brengsek yang menidurimu karena taruhan. Tapi itu dulu. Sekarang aku sangat mencintaimu, Ziana. Mau kamu percaya atau tidak, aku tetap mencintaimu.”Ziana mengangguk lalu menarik kedua sudut bibirnya sambil menatap Mahanta. Tiba-tiba Ziana terpekik kaget dengan kelakuan Mahanta yang kembali memeluknya tanpa aba-aba. Pria itu menggesekkan hidungnya ke perut Ziana lagi, sebelum mendongak menatap Ziana.“Aku nggak kuat. Senyummu manis banget, sayang.”“Dih! Gombal banget.”“Aku serius, dikatain gombal. Sayang, kamu laper nggak? Mau makan apa?”Ziana melirik jendela apartemen yang memperlihatkan keindahan langit yang entah sejak kapan mulai menghitam. Bintang-bintang bermunculan memperindah langit gelap bak hamparan berudru hita
Mahanta melepaskan pitingannya dari kedua sahabatnya lalu ganti memeluk Ziana yang masih kebingungan. Ditariknya paksa tubuh perempuan itu masuk kembali ke dalam kamar tanpa memperdulikan bagaimana kedua tamunya.“Apa-apaan kamu?” sentak Ziana agar Mahanta melepaskan pelukannya.“Gila ya kamu! Ngapain kamu keluar nggak pakai daleman gini?!” bentak Mahanta balik.“Siapa yang nggak pakai daleman?!”Tanpa bisa dicegah, Mahanta menyentuh seluruh tubuh Ziana untuk memastikan sendiri kalau perempuan itu memang sudah memakai pakaian dalamnya sebelum keluar kamar. Sentuhan Mahanta tidak berhenti meskipun pria itu sudah merasakan pakaian dalam Ziana dibalik piyama tebal yang dipakainya. Menyentuh Ziana seperti ini membuat bagian intinya menegang lagi.“Maha, berhenti... ja-jangan,” lirih Ziana kegelian.“Sebentar saja, sayang. Aku tegang,” bisik Mahanta lalu menciumi leher Ziana dengan brutal.“Ekhem! Kalau mau main, minimal pintunya ditutup dong!” seru Arjuna dari luar kamar. Pria itu sengaja
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti