“Baik. Pak Jay apa kabar? Sedang apa disini?” Ziana benar-benar hanya ingin berbasa-basi sambil menunggu Rianti kembali. Posisinya saat ini sangat aman karena berada di lobby rumah sakit yang terdapat perawat dan sekuriti. Jadi kecil kemungkinannya kali Jay ingin melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi tetap saja hati Ziana tidak bisa tenang. “Kamu masih saja formal ya, Na. Kamu boleh kok panggil aku Jay seperti Maha memanggilku.”“Saya tidak enak, Pak. Sudah kebiasaan. Biarlah tetap begitu.”Jay mengangguk lalu beralih menatap Zaidan di gendongan Ziana. “Kamu ngapain disini, Na? Sendirian?”“Nggak, Pak. Saya sama Rianti, pengasuhnya Zaidan. Sebentar lagi dia akan kembali ke sini. Saya baru selesai imunisasi Zaidan. Sejak lahir, dia belum diimunisasi.”Jay menghela nafas panjang lalu tersenyum pada Ziana. “Maafkan Sherena ya. Kecemburuan dan ambisi membuatnya buta. Aku sangat bersyukur karena Zaidan baik-baik saja dan segera ditemukan saat itu.”“Saya memang sudah memaafkan Sh
Rianti buru-buru berdiri dan melepaskan dirinya dari pelukan Arjuna. Wanita itu menatap Arjuna dengan sorot mata yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Begitu pula dengan Arjuna yang tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Rianti. Pria itu memindai wanita cantik di hadapannya seolah Rianti adalah benda seni yang dipajang di museum. “Arjuna, syukurlah kamu sudah datang. Ayo cepat kita pulang. Zaidan mulai rewel,” ucap Ziana yang buru-buru mendekati Arjuna. Tidak ada tanggapan dari Arjuna membuatnya menoleh menatap Rianti dan Arjuna bergantian. Jiwa keponya meronta-ronta ingin tahu apa yang suda terjadi diantara mereka berdua. “Kalian berdua saling kenal?” “Tidak.” “Iya.” Keduanya kompak menjawab bersamaan tapi dengan jawaban yang tidak sinkron. Rianti menjawab ‘tidak’, sedangkan Arjuna menjawab ‘iya’. “Apa? Jadi yang benar yang mana? Riantia, kamu kenal Arjuna?” tanya Ziana sambil menatap Rianti yang sedikit pucat. “Jelas kenal ‘lah. Kami dulu__” “Nona, sebaiknya ki
“Lepasin!” pinta Rianti tertahan. Wanita itu khawatir ada orang yang akan memergoki mereka sekarang. Saat Rianti mencoba melepaskan pelukan Arjuna, pria itu justru mempererat pelukannya. “Aku tidak mau balikan dengan pria brengsek sepertimu. Arjuna, lepasin aku. Kita sudah berakhir. Pergi!” “Tidak. Kau pikir berapa lama aku menunggu saat seperti ini, babe. Kau hutang banyak penjelasan padaku,” bisik Arjuna membuat Rianti semakin meronta. Tiba-tiba terdengar suara dari ujung lorong yang mereka berada saat ini. Rianti mulai panik dan wajahnya terlihat pucat. Dia benar-benar tidak ingin siapapun memergoki mereka. Rianti tidak ingin pekerjaannya terusik hanya karena hubungan masa lalunya dengan Arjuna. “Arjuna, aku peringatkan kamu. Lepasin aku. Ada orang kesini,” pinta Rianti cemas. “Kenapa? Biar mereka semua tahu, kau milikku, Rianti.”“Jangan gila.”Rianti tidak punya pilihan ketika suara-suara itu semakin mendekat. Sebentar lagi seseorang akan muncul di belokan lorong dekat kamar
“Kami tidak melakukan apa-apa, nyonya. Percayalah. Saya sedang da …. mmmpphh!”Rianti tidak bisa bicara lagi lantaran Arjuna sudah membekap mulutnya. Wanita itu mencoba memberontak, tapi Arjuna lebih kuat darinya. “Jangan dengarkan dia, tante. Rianti hanya malu. Iya ‘kan, babe.”Juwita menghela nafas panjang. “Kalian ini. Lebih baik kalian menikah saja. Mau sekalian dengan pernikahan Hannah dan Lintang?”Rianti mencoba menggeleng, tapi Arjuna lebih dulu menjawabnya. ”Kalau boleh, mau banget, tante. Nanti saya bicarakan dengan Lintang juga. Makasih, tante.”Juwita kembali menatap Rianti yang masih dibekap tanpa ada kesempatan untuk bicara. Rianti mencoba menggeleng tapi bekapan Arjuna terlalu kuat. Belum lagi sakit perutnya yang bertambah parah dengan sesuatu yang semakin banyak keluar dari bagian intinya. “Ya, sudah. Tante ke depan dulu. Rianti, kamu istirahat saja sampai … ehem.” Juwita berdehem demi bisa melanjutkan bicaranya. “... bisa jalan lagi ya. Saya akan bilang pada Ziana ka
“Mas, kamu sudah pulang?” sapa Ziana sembari tersenyum lebar. Mahanta mendekat lalu mengecup kening Ziana dengan lembut. Pria itu tersenyum menatap wajah putranya yang tertidur lelap dengan mulut sedikit terbuka. Ziana menyadari Zaidan sudah melepaskan sumber makanannya, lalu segera menarik penutup dadanya lagi. “Yah, kok ditutup,” protesnya membuat Ziana menepuk lengannya pelan. “Aku ‘kan sudah bilang mau langsung pulang setelah selesai meeting. Gimana imunisasinya tadi? Zaidan nangis nggak?” “Nangis sebentar, habis itu tidur lagi. Dia kuat banget, mas.”“Jelas ‘lah siapa dulu mamanya. Mama Ziana, wanita paling kuat dan tegar yang pernah kukenal.”Ziana tersipu malu mendengar pujian Mahanta. Dia tidak pernah membayangkan hidupnya akan dimanjakan seperti putri dan ratu oleh orang tua angkat dan suaminya sendiri. Bahkan Ziana tidak pernah memintanya, tapi Mahanta selalu mengerti bagaimana dirinya. “Aduh, bunda jadi malu nih. Jadi paham rasanya jadi obat nyamuk,” ucap Juwita pura-pu
“Benarkah?”Ziana menyodorkan handuk pada Mahanta yang terus bercerita sambil membersihkan tubuhnya. Perempuan itu membantu mengeringkan rambut Mahanta sebelum mereka pindah ke depan wastafel. “Aku mendengar kabarnya ketika Arjuna masuk rumah sakit karena asam lambung. Herannya, sudah sakit seperti itu, dia masih bisa ikut ujian. Apa nggak gila?”“Berarti Arjuna itu pintar banget ya?”“Lebih ke bulol nggak sih?” sambar Mahanta. “Iya juga ya. Sekarang setelah tahu Rianti ada disini, apa Arjuna akan serius dan menikahinya?”Mahanta mengangkat kedua bahunya. “Mana kutahu? Mungkin iya. Mungkin juga tidak.”“Kenapa? Kan Arjuna masih mencintai Rianti. Memangnya nggak mau berjuang?”“Hubungan mereka rumit, sayang. Penyebab putusnya juga karena Arjuna yang selingkuh. Kasarnya seperti itu. Jadi kecil kemungkinannya kalau Rianti mau kembali pada Arjuna, kecuali…”Ziana berbinar menanti ucapan Mahanta selanjutnya, “Kecuali apa?”“Kecuali mereka DP dulu, baru nikah. Seperti kita.”Ziana memukul
Semua orang di meja makan melotot kaget mendengar ucapan Arjuna. Bahkan Mahanta dan Lintang sampai menjatuhkan peralatan makan yang dipegangnya. Tomo dan Juwita nyaris tersedak makanan yang sedang mereka kunyah. Bergantian semua orang menatap Arjuna dan Lintang dengan tatapan tidak percaya. “Apa kamu sudah gila, Arjuna?” tanya Mahanta yang lebih dulu menguasai emosinya. “Hah? Apa maksudmu? Aku nggak gila.”“Kamu bilang apa tadi? Kamu dan Lintang akan menikah. Apa itu nggak gila namanya?”Arjuna terdiam sejenak sebelum nyengir lebar, “Maksudku, kami akan menikah di hari yang sama. Tentunya dengan pasangan masing-masing.”“Hampir saja aku mengira kau sudah belok,” tungkas Mahanta. “Enak saja. Aku masih normal. Dimataku hanya Rianti yang paling cantik.”“Kayak Rianti mau saja nikah sama kamu.”Arjuna membulatkan matanya melotot pada Mahanta, sebelum tubuhnya lemas kembali. “Iya juga ya. Sampai detik ini saja, dia masih belum mau memaafkanku. Ada yang bisa menolongku nggak?”Mahanta dan
“Teman-temanku disekolah, om. Mereka bilang gitu. Beneran, om?”Lintang membersihkan tangannya sebelum menatap Rania dengan hangat. “Rania sayang ‘kan sudah punya papa Renan. Tapi Rania boleh manggil om, ayah, kalau Rania mau.”Hannah tersenyum sendu mendengar jawaban Lintang. Kedua matanya langsung berkaca-kaca karena Lintang masih menganggap Renan sebagai papa kandung Rania. Lintang juga bisa menempatkan dirinya hingga Rania merasa nyaman. “Ayah Lintang, gitu, om?” tanyanya lagi.“Iya, sayang. Mau nggak?”Rania terlihat ragu sejenak sebelum melirik ke arah Hannah. Merasa Rania meminta pendapatnya, Hannah menunduk mendekatkan wajahnya. “Rania mau?” “Boleh, mah?” tanyanya ragu. “Iya, sayang. Rania boleh panggil om Lintang dengan panggilan ayah Lintang.”“Ayah Lintang. Yeay!” Semua orang di meja makan terkekeh geli melihat tingkah lucu Rania yang sangat senang. Sekali lagi Lintang tersenyum pada Hannah yang balas tersenyum padanya. “Kesayangan buna senang ya?” tanya Ziana ikut m
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti