“Aku masih takut. Aku nggak bisa percaya sama siapapun saat ini kecuali pada Tuhanku!” jawabnya dan sekali lagi membuat hati Evan tersentuh secara batin.
“Oke. Aku ngerti yang kamu rasain, karena memang kamu udah banyak mengalami hal yang buruk selama ini. Tapi, aku benar-benar nggak akan melakukan hal buruk atau keji sama kamu. Jadi, kamu bisa tetap tenang di kamar ini tanpa takut ayahmu atau Darius datang memintamu melayaninya. Kamu mau tinggal di kamar ini atau mau keluar aja?” tanya Evan dengan sengaja membuat Susan bingung.
Dia tahu, Susan tidak mungkin memilih untuk keluar dan itu artinya dia sama saja mencari mati untuk dirinya sendiri. Karena di luar sudah menunggu ayahnya yang siap untuk menerima bayaran dari Darius. Atau ada Darius yang tadi tampak sudah sangat bersemangat ingin menyentuhnya.
“A-aku ... aku nggak tau, Om. Mungkin, di dalam dan di luar sana sama aja,” jawab Susan ragu.
“Sama dalam hal apa?”
“Aku di sini atau keluar, akan sama-sama masuk dalam mulut buaya.”
“Kamu bilang aku buaya?” tanya Evan dan menaikkan sebelah alisnya pada Susan.
Gadis itu tidak berani menjawab karena memang masih dilanda ketakutan yang mendalam. Dia tidak pernah tahu pria seperti apa yang sedang berada di hadapannya saat ini. Akan tetapi, Susan berusaha untuk terlihat kuat dan berani agar tidak terlalu mudah diintimidasi atau dilecehkan oleh Evan.
Evan bisa memahami situasi yang dialami oleh Susan saat ini jika dilihat dari gerak gerik dan juga mimik wajahnya. Meskipun Susan menunjukkan aksi beraninya di depan Evan, tetap saja pria itu tahu saat ini Susan sedang ketakutan dan berusaha melindungi dirinya.
Namun, Evan bukanlah pria bejat seperti yang ada di dalam pikiran Susan sejak awal. Dia membawa Susan ke dalam kamarnya dengan paksa seperti tadi hanya untuk semata-mata menyelematkan Susan dari kemesuman Darius. Hal itu dia pertimbangkan dari ketakutan Susan saat mereka masih berada di restoran bawah tadi.
“Tenanglah. Aku nggak akan menyakiti kamu dan aku bukan pria yang suka tidur dengan wanita sembarangan. Aku cukup setia dengan istriku,” ungkap Evan jujur kepada Susan meski dia tahu Susan tidak akan langsung percaya padanya.
“Kalau begitu, tolong aku kali ini, Om. Kalau Om benar-benar adalah pria yang setia, tolong selamatkan aku dari ayahku. Aku akan sangat berhutang budi sama Om dan pasti akan menebusnya suatu saat nanti,” ungkap Susan yang entah muncul dari mana keberaniannya itu.
“Maksudmu bagaimana, Susan? Dan ... tolong jangan panggil aku dengan sebutan om. Itu nggak enak banget didengar, dan sepertinya aku nggak setua itu sampai kamu harus panggil aku om-om segala,” ucap Evan yang memang kesal dengan sebutan Susan kepadanya sejak awal.
“Lalu, aku harus panggil apa sama Om?” tanya Susan yang polos dan menatap Evan dari sudut dinding yang dekat dengan pintu toilet.
“Terserah, asal sopan dan bukan Om!”
“Gimana kalau Bapak?”
“Ya ampun! Bapak lebih menyebalkan dari pada Om, asal kamu tau aja!”
Susan sungguh tidak tahu apa yang harus dia sebut untuk memanggil Evan dengan sopan. Jadi, dia menggigit bibir bagian bawahnya dengan wajah tertunduk. Evan yang merasa bahwa mungkin dia sudah terlalu keras dan kasar kepada wanita itu, lantas menjadi sedikit merasa bersalah.
“Oke. Nggak usah panggil Om atau Bapak. Cukup panggil Mas aja. Namaku Evan Setiawan!”
“Oke kalau gitu, Mas Evan.”
“Giliran aku yang mikir, langsung semangat ngejawab,” gerutu Evan dan kemudian berjalan mendekat ke arah Susan.
Hal itu membuat Susan kembali memasang wajah takut dan juga terlihat sangat hati-hati. Dia tidak bisa memprediksi hal apa yang akan dilakukan oleh Evan kepadanya nanti. Jadi, dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria yang baru saja dikenalnya itu.
Ternyata, Evan hanya mengambil sebuah handuk kecil tergantung pada bagian samping tempat Susan berdiri sekarang. Dia harus menyeka keringat yang tidak berbau sama sekali dari wajah dan lehernya. Dia baru saja menemani Darius minum, meskipun dia tidak ikut minum karena Evan memang tidak suka minum alkohol.
“Santai aja nggak usah tegang gitu. Aku carikan sweeterku dan kamu bisa pakai untuk menutupi tubuhmu itu,” ucap Evan dan langsung membongkar kopernya.
Susan menunggu dengan sabar dan mulai terlihat rileks karena sedikit banyaknya perlakuan dan ucapan Evan mampu membuatnya merasa tenang. Susan tidak lagi tampak takut dan awas pada Evan. Saat Evan menemukan benda yang dia cari, dia langsung melemparnya ke arah Susan dan sebuah celana panjang training juga dia serahkan pada Susan.
“Pakai itu sampai besok pagi. Besok aku akan membelikan kamu baju baru sebelum berangkat,” ucap Evan pada Susan dengan maksud yang ternyata ditanggapi berbeda pula oleh Susan.
“Mas Evan mau bawa aku ke mana memangnya? A-aku nggak punya uang untuk ongkos kalau harus kabur dari ayah.” Susan berkata dengan takut.
“Kamu memangnya berharap aku bawa ke mana? Aku nggak akan bawa kamu ke mana-mana kok. Besok pagi aku harus berangkat ke Jakarta karena istriku udah menunggu. Aku nggak tinggal di sini dan aku akan segera pulang dengan pesawat paling pagi. Jadi, tenanglah malam ini di kamar ini supaya aku bisa tidur dengan nyenyak!” terang Evan panjang lebar kepada Susan.
“Pergi? Jadi, Mas Evan nggak tinggal di sini?” tanya Susan seperti heran.
“Nggak. Aku ke sini untuk urusan pekerjaan dan aku tinggal di Jakarta.”
Susan tampak berpikir sejenak, dan sebuah ide terlintas di benaknya saat itu juga. Akan tetapi, dia ragu jika Evan mau mengabulkan permintaannya itu. Meskipun begitu, Susan tetap berniat untuk mencoba dan berusaha.
Evan juga sudah menemukan satu setel pakaian santai yang akan dia kenakan untuk mengganti pakaian formalnya saat ini. Tidak mungkin dia tidur dengan menggunakan kemeja lengan panjang dan juga celana dasar seperti orang yang masih kerja. Jadi, dia mengeluarkan baju kaos oblong berwarna hitam dan juga celana pendek selutut dengan warna senada.
“Kalau kamu belum mau ganti baju, aku duluan yang akan ganti baju. Coba minggir dulu dari depan pintu toiletnya,” titah Evan dan Susan langsung menurut begitu saja.
“Apa yang aku pikirkan? Mana mungkin dia mau membawaku pergi dari sini? Aku bahkan nggak melayaninya, jadi mana mungkin dia memberikan aku uang atau membayarkan tiket pesawat untukku,” batin Susan berkata saat Evan sudah masuk ke dalam kamar mandi.
Pakaian yang diberikan Evan kepadanya masih dia pegang dan menunggu pria itu keluar dari dalam kamar mandi. Di kamar itu hanya ada satu kasur berukuran king dan tidak mungkin rasanya jika mereka tidur di atas satu kasur dan Susan tidak bisa menjamin kalau Evan tidak akan melakukan hal apapun padanya saat nanti mereka berada di satu ranjang yang sama.
Sampai saat ini untungnya Susan masih perawan dan itu adalah harta yang paling dia jaga sejak dulu. Susan selalu berharap dan bermimpi bahwa akan ada seorang pangeran yang melamarnya dan menjadikannya istri. Kemudian membawanya pergi jauh dari kehidupannya yang kelam serta mencekik diri siang dan malam itu.
“Ganti pakaianmu dan tidur di kasur. Aku akan tidur di sofa itu,” ucap Evan dan menunjuk sebuah kursi busa di depan ranjang dengan panjang tak sampai dua meter.
“I-iya.” Susan patuh dan masuk ke kamar mandi.
Susan dengan cepat sudah berganti pakaian dan berdiri kembali di tempat yang sejak tadi dia huni. Evan sungguh tidak mengerti lagi bagaimana harus meyakinkan Susan bahwa dia bukanlah pria yang jahat dan mesum seperti yang dibayangkan atau dipikirkan oleh gadis itu.“Berhentilah menatapku dengan tatapan seolah aku adalah seorang pria mesum atau penjahat kelamin seperti itu, Susan!” hardik Evan yang langsung membuat Susan tersentak.“Mas, tolong bawa aku pergi dari sini,” pinta Susan tiba-tiba saja dan membuat Evan yang baru saja akan berbaring di sofa menatapnya dengan heran.“Maksud kamu keluar dari hotel ini?” tanya Evan yang masih merasa ambigu dengan permintaan Susan.“Nggak! Bawa aku ke mana Mas pergi dan semua itu pasti bisa menyelamatkan hidupku,” jawab Susan dengan keyakinan penuh dan mata berkaca-kaca.Evan sungguh tidak percaya mendengar permintaan yang terlontar dari rongga mulut Susan saat ini. Apalagi, wanita itu meminta dan memohon kepadanya seolah dirinya adalah sang dew
Pada akhirnya di sinilah sekarang Evan dan Susan berada. Mereka sudah mendarat dengan selamat karena Evan sudah membayarkan tiket untuk Susan. Dia hanya bercanda dengan menanyakan uang gadis itu, dan bagaimanapun Evan masih manusia biasa. Evan tidak tega jika Susan menjadi korban atau budak untuk memenuhi kebutuhan seks pria yang membelinya. Saat mereka sudah sampai di dalam bandara, dari kejauhan Evan melihat Renata melambaikan tangan padanya dengan senyuman yang sangat manis. Memang seperti itulah istrinya sejak dulu, selalu membuatnya dan memperlakukan dirinya bak seorang raja. Tidak pernah sekali pun Renata mengeluh tentang apapun yang Evan lakukan. Kekurangan Renata memang hanya masalah anak atau keturunan yang tidak akan pernah bisa dia berikan lagi kepada Evan. “Sayang ... aku kangen banget.” Renata bersorak dan berlari kecil ke arah Evan. Dengan gayanya yang khas dan sangat manja tentu saja. “Kamu pikir, kamu doang yang kangen? Aku juga kangen banget sama kamu,” balas Evan
“Nggak ada bantahan lagi, Sayang. Kita pulang bertiga ke rumah sekarang juga. Kamu mau anterin kami atau kami pulang pake taksi aja nih?” tanya Renata yang jelas adalah sebuah ancaman secara tidak langsung kepada Evan. “Oke, kita pulang sekarang.” Evan menyerah. “Nah, gitu dong. Baru namanya suamiku tersayang dan paling pengertian.” Renata semakin melebarkan senyumannya saat ini dan kemudian menggandeng tangan Susan untuk ikut bersamanya. Kini, Renata berada di tengah antara Susan dan juga Evan – suaminya, tanpa dia tahu kebenaran kenapa Susan bisa datang bersama dengan Evan saat ini. Sebagai orang yang juga sangat mengenal Renata, tentu saja Evan tahu kalau sekarang bukanlah waktu yang pas. Mereka bertiga sampai di mobil dan saat ini Renata bersikeras meminta Susan duduk di depan bersanding dengan Evan yang akan menyetir mobilnya pulang. Namun, Susan cukup tahu diri dan tentu saja dia menolak permintaan Renata itu. Pada akhirnya, Renata tetap adalah orang yang duduk di samping Ev
Setelah kepergian Evan yang menyusul istrinya itu, tentu saja Susan menjadi kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Akan tetapi, dia teringat bahwa Evan sudah mengizinkannya dan memberikan hak padanya untuk menggunakan kamar tamu serta pakaian yang ada di dalam lemari. “Aku udah gerah banget memang. Ya udah deh, aku mandi dan segera ganti baju aja dulu. Mudah-mudahan ada yang cocok sama aku bajunya,” gumam Susan dan langsung membuka pintu kamar tamu dengan perlahan lahan. Susan tampak sedikit takut saat dia memasuki ruangan yang disebut oleh Evan sebagai kamar tamu itu. “Ya ampun, luas banget sih ruangannya? Ini beneran kamar untuk tamu? Trus kamar utamanya pasti lebih besar dari ini kan?” tanyanya seorang diri. Susan lalu menuju ke ranjang yang terlihat sangat empuk dan nyaman untuk ditiduri, dengan alas berwarna biru muda dan juga ruangan itu terasa sejuk karena dilengkapi dengan pendingin udara yang selalu menyala. Perlahan, Susan duduk di sisi ranjang dan beronj
“Itu sih memang udah kodratnya tamu, Mba. Tamu adalah raja kalau di rumah ini, Mba.”“Tapi, aku tetap akan bantu Mbok Nah. Aku nggak tau lagi harus ngapain, Mbok Nah. Aku udah biasa kerja setiap bangun tidur subuh hari dan kalau nggak kerja saat pagi, aku akan merasa lemas sepanjang hari,” jelas Susan yang sebanarnya hanyalah kebohongan saja agar dia diberikan izin untuk ikut membantu di dapur pagi ini oleh mbok Minah. Siapa sangka, triknya itu sangat berhasil kali ini.“Benarkah begitu, Nak? Kalau begitu, kamu harus bekerja agar tubuhmu tetap sehat dan bugar.”“Tentu saja, Mbok Nah. Terima kasih karena sudah memahamiku.”“Sama-sama. Apa yang ingin Mbak Susan lakukan?”“Mbok Nah panggil aku Susan aja deh, nggak usah panggil pake mba gitu. Aku justru senang saat tadi Mbok Nah manggil aku dengan kata ‘nak’.” Susan berkata dengan jujur.Mbok Minah melihat jelas raut kejujuran di wajah Susan saat ini dan sepertinya wanita itu berasal dari kelurga yang tidak harmonis atau kurang kasih saya
“Yang masak sarapan hari ini tuh Susan, Mas, Mba.” Mbok Minah berkata dengan suara kecil.Renata jelas mendengarnya dan dia mencuri pandang pada kunyahan suaminya yang melambat. Seperti baru saja menyadari ada hal yang tak biasa yang bisa dilakukan Susan. Ternyata, hal itu tidak membuat hati Renata sakit sama sekali.“Susan, sini duduk sarapan bareng sama kita,” ajak Renata dengan senyum tulus.“I-iya, Mba. Tapi, nanti aja deh. Aku masih kotor dari dapur, belum mandi. Aku nanti aja sarapannya,” tolak Susan dengan malu-malu.“Nggak apa-apa kok. Keringat pagi itu sehat dan makanan harus dimakan selagi masih hangat begini. Selesai makan, duduk bentar, baru deh kamu mandi biar segar dan tenang pikirannya,” terang Renata dengan nada yang sangat lembut dan bijaksana.Susan tidak berani mengiyakan permintaan Renata karena masih teringat dengan pertengkaran suami istri itu semalam karena kedatangannya ke rumah ini. Walaupun Susan tidak datang sebagai wanita kedua dalam rumah tangga mereka, ta
Susan masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar dari mulut Evan. Betapa mudahnya pertanyaan penting seperti itu keluar dari mulut pria yang sudah beristri. Terlebih lagi, istrinya duduk di samping dirinya saat ini. Hal yang sangat tidak bisa dipercaya oleh Susan, bahkan Renata sendiri tidak merasa terkejut dan marah mendengar suaminya bertanya seperti itu pada wanita lain. Selain itu, Susan juga adalah wanita yang baru saja hadir dalam hidup mereka berdua. Bukan sengaja hadir sebagai orang ketiga, tapi mungkin takdir yang membuat mereka bertiga akhirnya bertemu saat ini. “Maaf, Mas Evan! Aku bukan perempuan seperti itu. Aku nggak akan merusak rumah tangga wanita lain hanya untuk membalas budi. Aku tau, Mas Evan udah menyelematkan aku dari lembah hitam yang selama ini menjerat kaki dan tubuhku, tapi bukan seperti ini juga caranya aku membalas kebaikan yang udah Mas Evan lakukan untukku,” cecar Susan dengan emosi yang meluap dan air mata yang menggenang di bola matanya yang
“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mba Renata itu? Kenapa dia dengan mudahnya bicara seperti itu?” tanya Susan yang sudah kembali lagi ke dalam kamar tamu.Tadinya, dia ingin meminta maaf pada Renata karena sudah bicara terlalu kasar. Padahal, saat ini pun posisinya sedang menumpang di rumah wanita itu. Namun, belum sampai langkah kaki Susan ke meja makan, dia sudah mendengar semua yang diucapkan oleh Renata kepada mbok Minah tadi.Di meja makan, Renata masih tersedu sedu karena merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia sudah merasakan titik terendah dalam hidupnya sebagai seorang wanita. Berharap pada wanita lain untuk bisa mengandung anak suaminya. Semuanya itu tentu saja tidak lah mudah, tapi dia terus mencoba untuk menanggung sakitnya sendiri dan hanya ingin memperlihatkan senyumannya.“Mbok Nah, aku ke kamar dulu. Aku mau bicara lagi sama mas Evan.”“Nanti aja, Mba. Sepertinya mas Evan juga lagi dalam suasana hati yang nggak baik sekarang. Nggak usah membahas ha
Sarah baru sadar bahwa Renata ada di sana dan membuatnya menjadi sedikit canggung. Renata hanya tersenyum kaku saat ditatap tak enak hati oleh Sarah. Begitu pula dengan Evan yang merasa bahwa ibunya itu sudah menyakiti hati dan perasaan Renata secara tidak sengaja.“Maafkan Mami, ya Sayang. Mami nggak bermaksud menyinggung kamu dan mengabaikan kamu. Mami hanya kasian sama Susan, dia kan senndirian sekarang dan kondisinya juga sedang hamil seperti kamu. Jadi, kita keluarganya sekarang supaya dia tetap semangat,” jelas Sarah kepada Renata dan memang terlihat sedikit gurat perasaan bersalah di wajah wanita paruh baya itu.“Nggak apa-apa kok, Mi. Aku juga udah bilang seperti itu sebelumnya sama Susan. Dia boleh anggap kami semua ini sebagai keluarganya.” Renata berkata dengan bijak dan tidak marah sama sekali.“Iya, Nak. Bagus kalau kamu mempunyai pemikiran seperti itu dan memang biasanya kalau wanita hamil akan peka terhadap perasaan wanita hamil lainnya. Jadi, Mami salut banget sama pem
“Baru trimester pertama, Bu.” Susan menjawab dengan singkat dan senyuman yang canggung.“Oh gitu, ya. Berarti sama dengan usia kehamilan Renata,” ucap Sarah lagi dan berusaha menepis perasaan aneh atau curiganya saat tadi menyentuh perut Susan.“Iya, Bu. Memang usia kehamilan kami sepertinya sama,” kata Susan dengan senyum canggung.“Nggak usah takut dan malu-malu sama saya. Saya ini maminya Evan dan kamu boleh panggil mami juga sama saya. Nggak usah panggil ibu lagi, ya.” Sarah berkata dengan sangat ramahnya kepada Susan dan hal itu tentu saja membuat Renata sedikit cemburu.Walaupun pada dasarnya dia memang ingin mencurikan simpati Sarah untuk Susan, agar Sarah tidak terlalu fokus pada kehamilan palsunya itu. Namun, tetap saja saat semua terjadi di depan mata kepalanya sendiri Renat merasa cemburu akan hal itu.Evan sudah bisa melihat gelagat cemburu dari istrinya itu dan mulai bergerak ke kursi tempat di mana Renata duduk bersama dengan Sarah saat ini. Akan tetapi, saat Sarah melih
“Oh dia ... dia istri temannya mas Evan, Ma. Dan sekarang dia udah jadi janda ...,” ucap Renata menjawab pertanyaan Sarah dengan membawa ekspresi sedih yang dibuat-buat.“Hah? Teman Evan yang mana? Kamu punya teman yang udah meninggal, Van? Kok Mami nggak tau?” tanya Sarah pula beralih kepada Evan yang berada di sisi Renata.“Eh, i-iya, Ma. Teman aku waktu masih SMA dulu dan dia memilih untuk jadi abdi negara. Tapi, sayangnya dia gugur di medan pertempuran dan sekarang istrinya menjanda dan juga lagi hamil, sama seperti Rena.” Evan untuk pertama kalinya bicara panjang lebar untuk menjelaskan semua hal yang tentu saja adalah kebohongan itu kepada SarahSelama ini Evan terkenal dengan sebutan pria yang bersikap dingin dan tidak banyak bicara. Memang seperti itulah Evan, dan dia tidak terlalu suka banyak bicara dalam hal apapun. Sarah sangat hafal dengan sikap dan kebiasaan putranya itu.Jadi, saat dia mendengar Evan berbicara seperti tadi tentu saja membuat Sarah tahu bahwa putranya jug
“Mami! Kenapa nanya gitu sama Renata? Mami melukai hati istriku!” tegur Evan lagi dan kini berpindah ke sisi Renata.Dia merangkul tubuh istrinya yang tampak sedih dan mata Renata bahkan sudah berkaca-kaca. Walaupun dia berpura-pura hamil saat ini di depan Sarah, tetap saja sebenarnya dia tidak akan pernah bisa mengandung lagi. Jadi, pertanyaan yang dilemparkan Sarah kepadanya itu terasa begitu menyakitkan dan juga mengoyak ngoyak perasaannya saat ini.“Sayang ... nggak usah diambil hati, ya ucapan mami. Mami hanya kaget dan merasa syok, soalnya kan selama ini kita udah berjuang keras untuk bisa mendapatkan keturunan.” Evan berusaha untuk menghibur hati dan perasaan Renata yang sudah jelas merasa kacau berat sekarang ini.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok kalau Mami masih nggak percaya sama kehamilan aku ini. Mudah-mudahan nanti anak ini lahir mirip banget sama kamu, ya Mas. Jadi, Mami nggak meragukan lagi bayi dalam kandunganku ini,” ungkap Renata dengan nada sedih di depan Sarah.
Setelah memberikan arahan kepada Susan, Renata pun turun ke bawah dan mempersiapkan jamuan untuk ibu mertuanya yang akan datang dan menginap. Tentu saja mbok Minah sudah membantunya membersihkan rumah yang memang selalu sudah dalam keadaan rapi dan bersih.“Mbok Nah udah masak apa di dapur?” tanya Renata yang duduk di ruang keluarga, di atas sebuah sofa empuk berwarna merah hati.“Mbok Nah lagi bikin sambalado tanak gitu, Mba. Soalnya bu Sarah kan suka itu banget dari dulu.”“Oh iya. Apa kebetulan semua bahan ada di kulkas, ya Mbo?” tanya Renata lagi.“Iya, Mba. Kebetulan semua bahan ada karena kemarin kan mas Evan abis belanja online juga sama yang biasa nganter ke rumah. Tapi, tadi Mbok Nah tambahin telor puyuh aja biar enak dan ada lauknya selain campuran teri dan kawan-kawannya di sana.” Mbok Minah menjelaskan hal itu kepada Renata dengan sangat detail.Renata tidak mendapatkan info dari Evan bahwa ibunya akan datang dan menginap. Sebenarnya, Renata merasa kesal kepada Evan karena
“Bu Sarah itu maminya mas Evan, berarti itu mertuanya Nak Susan juga sekarang. Tapi ... tetap nggak boleh dikasih tau, ya.” Mbok Minah berkata dengan wajah yang sendu setelah sempat bersemangat.“Maminya mas Evan? Jadi, dia mau datang ke sini, Mbok Nah?” tanya Susan yang jujur saja merasa kaget dengan kabar kedatangan ibu mertua Renata itu.“Iya, Nak. Beliau udah ada di Bandara sekarang. Biasanya kalau datang, beliau akan menginap seminggu paling lama di sini,” jelas mbok Minah kepada Susan pula.“Menginap seminggu di sini? Terus, aku gimana, dong Mbok Nah? Apa aku harus sembunyi selama seminggu sampai maminya mas Evan pulang?”“Itu yang Mbok Nah belum tau, Nak. Gimana kalau kita tunggu aja keputusan dari mba Renata atau mas Evan? Biar lebih jelas dan nggak salah ambil langkah.”“Mbok Nah benar. Aku siap kalau harus pergi dulu dari rumah ini selama maminya mas Evan menginap. Kalau sembunyi di dalam rumah doang selama seminggu, aku nggak mau, Mbok!”Susan terus terang saja kepada mbok
“Oke kalau gitu, Mba. Aku pegang janji Mba dan aku pasti akan tagih saat waktunya tiba nanti,” kata Susan dengan suara yang terdengar penuh tekad.Renata tidak menanggapinya terlalu serius karena dia tahu tidak ada yang lebih diinginkan seorang wanita dengan kehidupan miris seperti Susan itu kecuali uang. Bukan maksud hati Renata untuk merendahkan derajat Susan, tapi kebanyakan wanita yang dia temui memang mengidolak uang dan uang di atas segala-galanya untuk dijadikan sebagai permintaan atau persyaratan utama.Jadi, untuk saat ini pun dia sudah bisa menebak apa yang akan diminta Susan ketika anak dalam kandungannya itu sudah lahir. Susan pasti butuh biaya dan juga banyak sekali uang untuk pergi dari hidupnya dan Evan. Gadis dengan latar belakang keluarga tidak mampu itu tentu butuh modal banyak untuk bisa terus melanjutkan hidupnya setelah pergi dan keluar dari keluarga Evan.“Sekarang, kamu ikuti aturan mainnya dan lakukan semua dengan baik. Bisa?” tanya Renata dengan suara pelan ta
Renata tertegun mendengar pertanyaan dari Evan dan tidak menduga kalau pria itu akan bertanya seperti itu. Bagi Renata, dia sudah melakukan semua yang terbaik sejak awal dan sekarang mereka sudah mendapatkan hasil yang diinginkan.“Aku juga akan bantu merawat dia, Mas. Dia kan tinggal di sini, jadi nggak mungkin aku cuek aja sama dia.” Renata menjawab dengan senyum ramah.“Merawat dia bagaimana?” tanya Evan sekali lagi.“Aku akan membantu meringankan tugas kamu sebagai seorang suami lah, Mas. Kamu kan juga harus kerja dan nggak bisa selalu ada untuk Susan. Makanya aku yang akan gantiin kamu selama kamu bekerja.”“Terus, kalau aku udah pulang kerja gimana?”“Saatnya kamu yang mengurus dia dan memenuhi semua yang dia mau, Sayang. Kita harus kerja sama karena anak itu nantinya juga akan menjadi anak kita.”“Kamu yakin itu akan jadi anak kita nantinya? Gimana kalau tiba-tiba aja nanti Susan nggak mau menyerahkan anak itu untuk kita?” tanya Evan yang terdengar tidak terlalu serius bertanya
“Kamu ngomong apa sih, Sayang? Aku nggak ada maksud untuk membawa serius pernikahan dengan Susan saat ini!” tegas Evan kepada Renata.“Kita nggak ada bisa menebak apa yang akan dan bisa terjadi di kemudian hari, Mas.”“Maksudnya, kamu berharap kalau perasaanku ke Susan berubah jadi sungguhan, begitu?” tanya Evan dengan nada penuh penekanan di akhir kalimatnya itu.Renata tidak bisa menjawab lagi karena sebenarnya dia tidak pernah mengharapkan hal itu sama sekali. Hanya saja, dari cara dan sikap Evan yang tampak aneh itu jelas bisa dibaca oleh Renata. Namun, tetap dia tidak ingin mempertegasnya terlalu cepat karena bagaimanapun juga saat ini Renata masih teramat sangat mencintai suaminya itu.Hal yang nekad dan begitu menguji keimanan, kesabaran, keikhlasan, dan juga ketabahan ini harus dia jalani karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap Evan pada awalnya. Renata tidak ingin bercerai dan berpisah dari pria yang sudah sepuluh tahun menjadi suaminya itu.Semua hal yang dia takutka