“Nggak ada bantahan lagi, Sayang. Kita pulang bertiga ke rumah sekarang juga. Kamu mau anterin kami atau kami pulang pake taksi aja nih?” tanya Renata yang jelas adalah sebuah ancaman secara tidak langsung kepada Evan.
“Oke, kita pulang sekarang.” Evan menyerah.
“Nah, gitu dong. Baru namanya suamiku tersayang dan paling pengertian.”
Renata semakin melebarkan senyumannya saat ini dan kemudian menggandeng tangan Susan untuk ikut bersamanya. Kini, Renata berada di tengah antara Susan dan juga Evan – suaminya, tanpa dia tahu kebenaran kenapa Susan bisa datang bersama dengan Evan saat ini. Sebagai orang yang juga sangat mengenal Renata, tentu saja Evan tahu kalau sekarang bukanlah waktu yang pas.
Mereka bertiga sampai di mobil dan saat ini Renata bersikeras meminta Susan duduk di depan bersanding dengan Evan yang akan menyetir mobilnya pulang. Namun, Susan cukup tahu diri dan tentu saja dia menolak permintaan Renata itu. Pada akhirnya, Renata tetap adalah orang yang duduk di samping Evan.
“Ini rumahnya Mba Rena sama Mas Evan?” tanya Susan dengan nada takjub saat mobil sudah masuk dalam pekarangan yang sungguh dan mungkin teramat luas bagi Susan.
“Iya, San. Sekarang ini juga akan jadi rumah kamu, karena kamu akan tinggal di sini sama kami,” jawab Renata dengan sangat elegant.
“Tapi, kenapa? Aku kan ke sini hanya ingin ....”
Renata berpikir jika Susan hanya akan mengatakan bahwa dirinya datang ke sini hanya ingin mengandung dan melahirkan anak untuk mereka. Namun, tidak tinggal di sini seperti yang sudah dipikirkan oleh Renata sejak lama. Dia ingin merasakan bagaimana menjadi wanita hamil, meski itu harus melalui orang lain.
“Kamu nggak usah bahas masalah itu lagi, San. Mba mau semuanya mengalir aja, ya.”
Kehamilan palsu pun tidak menjadi masalah baginya dan tentu saja Renata tidak akan pernah menyia-nyiakan semua yang sudah ada di depan matanya. Menurut Renata, suaminya itu sudah sangat lelah menolak dan itu sebabnya mencari wanita yang bisa atau mengandung benih dari Evan. Namun, selama kehamilannya itu berlangsung, Renata juga akan berpura-pura hamil karena dia dan Evan akan mengambil anak itu ketika lahir dari rahim sang ibu kandung.
Bukan tanpa syarat yang jelas tentunya, mereka akan mengambil anak itu dari ibu kandungnya. Renata dan Evan harus mendapatkan orang yang sungguh mau bekerja sama dan saling menguntungkan. Sebagai bayarannya, mereka tidak akan menghitung berapa saja uang yang diminta oleh wanita itu pada mereka.
“Kamu sementara tidur di kamar tamu dulu, ya San. Nggak apa-apa kan, San? Nanti aku akan panggilkan orang yang biasanya bersihin rumah. Kamar kamu bebas mau pilih yang mana nantinya.”
“Nggak usah repot-repot, Mba. Aku tidur di mana aja juga nggak jadi masalah. Udah nggak jadi hal tabu lagi tidur di mana aja, Mba!” ungkap Susan dengan jujur kepada Renata dan juga Evan.
“Nggak bisa gitu, dong. Mulai sekarang kan kamu bagian dari keluarga ini, jadi kamu juga akan diperlakukan sama dengan aku.”
“Diperlakukan sama dengan Mba? Ke-kenapa begitu, Mba? Maaf, Mba. Aku benar-benar nggak ngerti dengan yang Mba katakan itu.”
Renata mendekati Susan yang dia sangka akan menjadi madunya itu. Dia mengusap wajah Susan dengan lembut sambil tersenyum. “Sepertinya, kamu masih sangat muda, ya. Kamu bisa jadi adik yang baik untukku, dan aku berjanji akan jadi kakak yang baik juga. Lalu, Evan pasti akan menjadi suami yang baik untukmu sampai anak kita dilahirkan,” ungkap Renata dengan nada yang sangat lembut.
Namun, semua yang Renata katakan itu semakin membuat bingung dan tak mengerti sama sekali. Ke mana arah pembicaraan Renata saat ini, Susan sungguh tidak mengerti sama sekali. Sementara Evan sudah tidak bisa lagi diam sekarang. Dia harus segera memberitahukan kebenaran itu kepada Renata.
Meskipun pada akhirnya Renata akan kecewa karena tetap saja Evan tidak mengabulkan keinginannya. Evan tidak akan mau menerima wanita mana pun menjadi istri sirinya dan mengandung anaknya. Tidak pernah terpikirkan apalagi dibayangkan oleh Evan bahwa dia akan meniduri wanita lain selain Renata.
“Sayang ... tunggu sebentar biar aku jelaskan. Kamu udah salah paham tentang Susan sejak awal. Aku nggak bisa ngomong karena kamu udah berpikir kalau Susan adalah wanita yang kamu minta aku cari,” ungkap Evan pada Renata yang kini ditariknya lembut ke belakang dan sejajar dengan posisinya berdiri saat ini.
“A-apa maksud kamu, Sayang? Susan bukan calon istri yang aku suruh cari untuk kamu?” tanya Renata dengan kening berkerut dan telunjuknya mengarah pada Susan.
“Hah? Calon istri? Mba minta mas Evan cari istri lagi?” tanya Susan yang tentu saja sangat terkejut mendengar pertanyaan Renata kepada Evan.
“Dan ... tunggu dulu. Aku bukan siapa-siapa, Mba. Aku hanya orang yang dibantu oleh mas Evan dan diselamatkannya. Aku kabur ke sini dari kota Jambi karena aku nggak tahan lagi diperlakukan sebagai budak di sana, Mba. Tolong, jangan salah paham dengan aku,” sambung Susan yang ingin lebih memperjelas lagi siapa dirinya kepada Renata.
“Mas! Apa benar yang Susan katakan?” tanya Renata pada Evan.
“Iya, Sayang. Susan itu hanya tamu di tempat aku rapat kemarin. Dia hampir aja dilecehkan kalau aku nggak bawa dia pergi dengan cepat. Lalu, dia juga minta aku untuk tolong dia kabur dari tempat itu karena udah nggak tahan lagi disiksa terus oleh ayah kandungnya,” terang Evan menjelaskan semuanya kepada Renata.
“Jadi, kamu ...?”
“Maaf, Sayang. Aku nggak akan pernah setuju untuk mengikuti ide gila kamu itu!”
“Tapi, Mas ....”
“Cukup, Ren! Aku nggak akan mengubah keputusanku! Sampai tua dan mati pun, aku nggak akan pernah ragu untuk terus mencintai satu wanita meski itu hanya kamu dan kita nggak punya anak. Bukan anak untuk mengukur kebahagiaan kita, Sayang. Kamu tau kan? Aku menikahi kamu bukan karena aku ingin punya anak. Tapi, karena aku memang mencintai kamu dan ingin hidup bersamamu sampai tua dan maut memisahkan kita.”
“Kamu nggak butuh anak. Tapi, aku butuh, Mas! Aku malu di depan keluarga kamu yang terus menuntut kamu untuk punya keturunan. Apa aku harus kasih tau sama mereka semua kalau aku udah angkat rahim? Benar-benar nggak bisa mengandung dan melahirkan lagi selamanya, sampai mati?” tanya Renata yang tak kalah emosionalnya.
Mendengar hal itu, tentu saja Evan langsung merasa tidak sampai hati. Dia tahu kalau saat ini Renata mengatakannya dengan hati yang benar-benar hancur dan terluka. Wanita itu hanya kuat di depan Evan saja, padahal dia sering menangis diam-diam dan mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa memberikan Evan keturunan. Namun, bagi Evan memang semua itu bukanlah sebuah masalah besar.
“Oke. Aku kasih tau aja semuanya di group keluarga, biar mereka mulai bergerak mencarikan kamu istri kedua dan setelah itu memaksa kamu untuk menceraikan aku. Aku yakin, apapun yang terjadi pada akhirnya kita tetap akan berpisah, Mas! Aku atau kamu, nggak akan ada yang bisa melawan keluarga besar kamu yang berkuasa atas segalanya itu.” Renata mengatakan hal itu dan lalu pergi begitu saja meninggalkan Evan dan Susan yang masih menganga tak percaya mendengar pertengkaran hebat suami dan istri itu.
“Ya Tuhan! Sepertinya aku sudah salah datang ke tempat ini. Tapi, kasian banget mba Renata yang nggak bisa hamil dan melahirkan lagi. Mas Evan juga adalah suami yang setia sih sebenarnya. Mba Renata udah kuat banget itu minta mas Evan buat nyari istri lagi,” batin Susan berkata dengan perasaan yang sangat iba dan merasa bersalah pada keduanya. Menurut Susan, karena kehadirannya saat inilah yang menjadi pemicu perkelahian antara Evan dan istrinya – Renata.
“Kamu istirahat di kamar tamu itu aja dulu, ya. Pakai aja baju yang ada di lemari dan di sana ada kamar mandinya. Mandi dan setelah itu makan aja langsung di dapur. Aku mau istirahat dan membujuk Renata. Maaf, udah buat kamu nggak nyaman!” ungkap Evan dengan nada lembut pada Susan dan kemudian dia pergi sebelum Susan sempat memberikan jawabannya.
Setelah kepergian Evan yang menyusul istrinya itu, tentu saja Susan menjadi kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Akan tetapi, dia teringat bahwa Evan sudah mengizinkannya dan memberikan hak padanya untuk menggunakan kamar tamu serta pakaian yang ada di dalam lemari. “Aku udah gerah banget memang. Ya udah deh, aku mandi dan segera ganti baju aja dulu. Mudah-mudahan ada yang cocok sama aku bajunya,” gumam Susan dan langsung membuka pintu kamar tamu dengan perlahan lahan. Susan tampak sedikit takut saat dia memasuki ruangan yang disebut oleh Evan sebagai kamar tamu itu. “Ya ampun, luas banget sih ruangannya? Ini beneran kamar untuk tamu? Trus kamar utamanya pasti lebih besar dari ini kan?” tanyanya seorang diri. Susan lalu menuju ke ranjang yang terlihat sangat empuk dan nyaman untuk ditiduri, dengan alas berwarna biru muda dan juga ruangan itu terasa sejuk karena dilengkapi dengan pendingin udara yang selalu menyala. Perlahan, Susan duduk di sisi ranjang dan beronj
“Itu sih memang udah kodratnya tamu, Mba. Tamu adalah raja kalau di rumah ini, Mba.”“Tapi, aku tetap akan bantu Mbok Nah. Aku nggak tau lagi harus ngapain, Mbok Nah. Aku udah biasa kerja setiap bangun tidur subuh hari dan kalau nggak kerja saat pagi, aku akan merasa lemas sepanjang hari,” jelas Susan yang sebanarnya hanyalah kebohongan saja agar dia diberikan izin untuk ikut membantu di dapur pagi ini oleh mbok Minah. Siapa sangka, triknya itu sangat berhasil kali ini.“Benarkah begitu, Nak? Kalau begitu, kamu harus bekerja agar tubuhmu tetap sehat dan bugar.”“Tentu saja, Mbok Nah. Terima kasih karena sudah memahamiku.”“Sama-sama. Apa yang ingin Mbak Susan lakukan?”“Mbok Nah panggil aku Susan aja deh, nggak usah panggil pake mba gitu. Aku justru senang saat tadi Mbok Nah manggil aku dengan kata ‘nak’.” Susan berkata dengan jujur.Mbok Minah melihat jelas raut kejujuran di wajah Susan saat ini dan sepertinya wanita itu berasal dari kelurga yang tidak harmonis atau kurang kasih saya
“Yang masak sarapan hari ini tuh Susan, Mas, Mba.” Mbok Minah berkata dengan suara kecil.Renata jelas mendengarnya dan dia mencuri pandang pada kunyahan suaminya yang melambat. Seperti baru saja menyadari ada hal yang tak biasa yang bisa dilakukan Susan. Ternyata, hal itu tidak membuat hati Renata sakit sama sekali.“Susan, sini duduk sarapan bareng sama kita,” ajak Renata dengan senyum tulus.“I-iya, Mba. Tapi, nanti aja deh. Aku masih kotor dari dapur, belum mandi. Aku nanti aja sarapannya,” tolak Susan dengan malu-malu.“Nggak apa-apa kok. Keringat pagi itu sehat dan makanan harus dimakan selagi masih hangat begini. Selesai makan, duduk bentar, baru deh kamu mandi biar segar dan tenang pikirannya,” terang Renata dengan nada yang sangat lembut dan bijaksana.Susan tidak berani mengiyakan permintaan Renata karena masih teringat dengan pertengkaran suami istri itu semalam karena kedatangannya ke rumah ini. Walaupun Susan tidak datang sebagai wanita kedua dalam rumah tangga mereka, ta
Susan masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar dari mulut Evan. Betapa mudahnya pertanyaan penting seperti itu keluar dari mulut pria yang sudah beristri. Terlebih lagi, istrinya duduk di samping dirinya saat ini. Hal yang sangat tidak bisa dipercaya oleh Susan, bahkan Renata sendiri tidak merasa terkejut dan marah mendengar suaminya bertanya seperti itu pada wanita lain. Selain itu, Susan juga adalah wanita yang baru saja hadir dalam hidup mereka berdua. Bukan sengaja hadir sebagai orang ketiga, tapi mungkin takdir yang membuat mereka bertiga akhirnya bertemu saat ini. “Maaf, Mas Evan! Aku bukan perempuan seperti itu. Aku nggak akan merusak rumah tangga wanita lain hanya untuk membalas budi. Aku tau, Mas Evan udah menyelematkan aku dari lembah hitam yang selama ini menjerat kaki dan tubuhku, tapi bukan seperti ini juga caranya aku membalas kebaikan yang udah Mas Evan lakukan untukku,” cecar Susan dengan emosi yang meluap dan air mata yang menggenang di bola matanya yang
“Ya Tuhan! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran mba Renata itu? Kenapa dia dengan mudahnya bicara seperti itu?” tanya Susan yang sudah kembali lagi ke dalam kamar tamu.Tadinya, dia ingin meminta maaf pada Renata karena sudah bicara terlalu kasar. Padahal, saat ini pun posisinya sedang menumpang di rumah wanita itu. Namun, belum sampai langkah kaki Susan ke meja makan, dia sudah mendengar semua yang diucapkan oleh Renata kepada mbok Minah tadi.Di meja makan, Renata masih tersedu sedu karena merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia sudah merasakan titik terendah dalam hidupnya sebagai seorang wanita. Berharap pada wanita lain untuk bisa mengandung anak suaminya. Semuanya itu tentu saja tidak lah mudah, tapi dia terus mencoba untuk menanggung sakitnya sendiri dan hanya ingin memperlihatkan senyumannya.“Mbok Nah, aku ke kamar dulu. Aku mau bicara lagi sama mas Evan.”“Nanti aja, Mba. Sepertinya mas Evan juga lagi dalam suasana hati yang nggak baik sekarang. Nggak usah membahas ha
Satu hari setelah kepergian Renata ke Bali dan untuk pertama kalinya dia tidak bersama dengan Evan. Sudah bisa dipastikan bahwa akan banyak pertanyaan dan juga gosip menyebar di kalangan para sahabat dan kolega bisnisnya. Selama ini Renata dan Evan selalu terlibat bersama dalam acara apapun dan tidak pernah hanya hadir seorang diri.Di rumah, Evan sudah bersiap untuk pergi bekerja dan tidak menemukan dasi yang biasa dia gunakan di dalam kamarnya. Evan merasa Renata sengaja tidak mempersiapkan pakaian kerjanya seperti biasa dan itu membuatnya kesal.“Mbok ... bisa bantu aku carikan dasi warna maroon yang biasa aku pakai itu nggak? Aku nggak nemu di kamar, mungkin masih ada di laundry room.” Evan berkata dengan pasrah sambil memasang kancing kemejanya di depan wanita tua itu.“Duh, gimana ini, Mas? Mbok Nah lagi goreng ini, takutnya gosong. Tapi, di ruang menyetrika ada Susan yang lagi bantu-bantu juga. Coba Mas Evan tanya sama dia aja, mungkin dia bisa bantu,” jelas mbok Minah yang mem
Evan melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang biasa dipakai untuk menyetrika dan di sampingnya ada mesin cuci otomatis seperti yang biasa dipakai oleh tukang laundry di luaran sana. Terdengar oleh Evan senandung indah dari dalam ruangan itu, pertanda memang ada sesesorang di dalam sana.“Suaranya bagus juga kalau nyanyi.” Evan berkata dengan sangat pelan dan mengetuk pintu ruangan itu.Tidak ada sahutan dari dalam dan tetap hanya ada suara seorang wanita yang sedang bernyanyi lagu sedih. Evan merasa bahwa sepertinya Susan menyanyikan lagu itu untuk mengungkapkan perasaannya saat ini.Evan melirik jarum jam di tangan kirinya dan sudah jam tujuh lewat tiga puluh menit. Biasanya, jam segini Evan sudah selesai sarapan dan bersiap untuk pergi ke kantor. Namun, hari ini bahkan dasi saja dia belum memakainya dan masih harus mencarinya. Perlahan, Evan menarik kenop pintu dan mendorong pintu itu ke dalam.Terlihat seorang gadis berpakaian daster kensi yang berdiri membelakanginya dan ma
Susan menatap Evan dengan lekat dan tak berkedip sama sekali, karena tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh pria itu selanjutnya. Terlebih lagi, Susan teringat dengan pertengkaran antara Evan dan Renata tempo hari dan melibatkan dirinya juga. Jadi, Susan tidak punya keberanian untuk bertanya hal apa yang bisa dia lakukan untuk membalas jasanya kepada Evan.“Apa dasinya udah ketemu, Mas Evan?” tanya mbok Minah yang mendadak datang dan menepis kecanggungan antara Susan dan Evan.Evan menoleh ke arah pintu masuk dan melihat mbok Minah yang juga menjadi serba salah seperti sudah memergoki sepasang kekasih dan tidak sepantasnya dilihat. Namun, Evan dengan cepat membuat jarak pada Susan dengan mengayunkan langkah ke arah pintu masuk itu.“Udah, Mbok Nah. Udah rapi belum? Aku sarapan dulu, ya Mbok Nah.” Evan berkata dengan sedikit canggung dan hal itu bisa ditangkap dengan jelas oleh mbok Minah.“Iya, Mas. Sarapannya udah Mbok Nah siapin sejak tadi. Buruan gih, udah mau jam delapan. Mas Eva
Sarah baru sadar bahwa Renata ada di sana dan membuatnya menjadi sedikit canggung. Renata hanya tersenyum kaku saat ditatap tak enak hati oleh Sarah. Begitu pula dengan Evan yang merasa bahwa ibunya itu sudah menyakiti hati dan perasaan Renata secara tidak sengaja.“Maafkan Mami, ya Sayang. Mami nggak bermaksud menyinggung kamu dan mengabaikan kamu. Mami hanya kasian sama Susan, dia kan senndirian sekarang dan kondisinya juga sedang hamil seperti kamu. Jadi, kita keluarganya sekarang supaya dia tetap semangat,” jelas Sarah kepada Renata dan memang terlihat sedikit gurat perasaan bersalah di wajah wanita paruh baya itu.“Nggak apa-apa kok, Mi. Aku juga udah bilang seperti itu sebelumnya sama Susan. Dia boleh anggap kami semua ini sebagai keluarganya.” Renata berkata dengan bijak dan tidak marah sama sekali.“Iya, Nak. Bagus kalau kamu mempunyai pemikiran seperti itu dan memang biasanya kalau wanita hamil akan peka terhadap perasaan wanita hamil lainnya. Jadi, Mami salut banget sama pem
“Baru trimester pertama, Bu.” Susan menjawab dengan singkat dan senyuman yang canggung.“Oh gitu, ya. Berarti sama dengan usia kehamilan Renata,” ucap Sarah lagi dan berusaha menepis perasaan aneh atau curiganya saat tadi menyentuh perut Susan.“Iya, Bu. Memang usia kehamilan kami sepertinya sama,” kata Susan dengan senyum canggung.“Nggak usah takut dan malu-malu sama saya. Saya ini maminya Evan dan kamu boleh panggil mami juga sama saya. Nggak usah panggil ibu lagi, ya.” Sarah berkata dengan sangat ramahnya kepada Susan dan hal itu tentu saja membuat Renata sedikit cemburu.Walaupun pada dasarnya dia memang ingin mencurikan simpati Sarah untuk Susan, agar Sarah tidak terlalu fokus pada kehamilan palsunya itu. Namun, tetap saja saat semua terjadi di depan mata kepalanya sendiri Renat merasa cemburu akan hal itu.Evan sudah bisa melihat gelagat cemburu dari istrinya itu dan mulai bergerak ke kursi tempat di mana Renata duduk bersama dengan Sarah saat ini. Akan tetapi, saat Sarah melih
“Oh dia ... dia istri temannya mas Evan, Ma. Dan sekarang dia udah jadi janda ...,” ucap Renata menjawab pertanyaan Sarah dengan membawa ekspresi sedih yang dibuat-buat.“Hah? Teman Evan yang mana? Kamu punya teman yang udah meninggal, Van? Kok Mami nggak tau?” tanya Sarah pula beralih kepada Evan yang berada di sisi Renata.“Eh, i-iya, Ma. Teman aku waktu masih SMA dulu dan dia memilih untuk jadi abdi negara. Tapi, sayangnya dia gugur di medan pertempuran dan sekarang istrinya menjanda dan juga lagi hamil, sama seperti Rena.” Evan untuk pertama kalinya bicara panjang lebar untuk menjelaskan semua hal yang tentu saja adalah kebohongan itu kepada SarahSelama ini Evan terkenal dengan sebutan pria yang bersikap dingin dan tidak banyak bicara. Memang seperti itulah Evan, dan dia tidak terlalu suka banyak bicara dalam hal apapun. Sarah sangat hafal dengan sikap dan kebiasaan putranya itu.Jadi, saat dia mendengar Evan berbicara seperti tadi tentu saja membuat Sarah tahu bahwa putranya jug
“Mami! Kenapa nanya gitu sama Renata? Mami melukai hati istriku!” tegur Evan lagi dan kini berpindah ke sisi Renata.Dia merangkul tubuh istrinya yang tampak sedih dan mata Renata bahkan sudah berkaca-kaca. Walaupun dia berpura-pura hamil saat ini di depan Sarah, tetap saja sebenarnya dia tidak akan pernah bisa mengandung lagi. Jadi, pertanyaan yang dilemparkan Sarah kepadanya itu terasa begitu menyakitkan dan juga mengoyak ngoyak perasaannya saat ini.“Sayang ... nggak usah diambil hati, ya ucapan mami. Mami hanya kaget dan merasa syok, soalnya kan selama ini kita udah berjuang keras untuk bisa mendapatkan keturunan.” Evan berusaha untuk menghibur hati dan perasaan Renata yang sudah jelas merasa kacau berat sekarang ini.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok kalau Mami masih nggak percaya sama kehamilan aku ini. Mudah-mudahan nanti anak ini lahir mirip banget sama kamu, ya Mas. Jadi, Mami nggak meragukan lagi bayi dalam kandunganku ini,” ungkap Renata dengan nada sedih di depan Sarah.
Setelah memberikan arahan kepada Susan, Renata pun turun ke bawah dan mempersiapkan jamuan untuk ibu mertuanya yang akan datang dan menginap. Tentu saja mbok Minah sudah membantunya membersihkan rumah yang memang selalu sudah dalam keadaan rapi dan bersih.“Mbok Nah udah masak apa di dapur?” tanya Renata yang duduk di ruang keluarga, di atas sebuah sofa empuk berwarna merah hati.“Mbok Nah lagi bikin sambalado tanak gitu, Mba. Soalnya bu Sarah kan suka itu banget dari dulu.”“Oh iya. Apa kebetulan semua bahan ada di kulkas, ya Mbo?” tanya Renata lagi.“Iya, Mba. Kebetulan semua bahan ada karena kemarin kan mas Evan abis belanja online juga sama yang biasa nganter ke rumah. Tapi, tadi Mbok Nah tambahin telor puyuh aja biar enak dan ada lauknya selain campuran teri dan kawan-kawannya di sana.” Mbok Minah menjelaskan hal itu kepada Renata dengan sangat detail.Renata tidak mendapatkan info dari Evan bahwa ibunya akan datang dan menginap. Sebenarnya, Renata merasa kesal kepada Evan karena
“Bu Sarah itu maminya mas Evan, berarti itu mertuanya Nak Susan juga sekarang. Tapi ... tetap nggak boleh dikasih tau, ya.” Mbok Minah berkata dengan wajah yang sendu setelah sempat bersemangat.“Maminya mas Evan? Jadi, dia mau datang ke sini, Mbok Nah?” tanya Susan yang jujur saja merasa kaget dengan kabar kedatangan ibu mertua Renata itu.“Iya, Nak. Beliau udah ada di Bandara sekarang. Biasanya kalau datang, beliau akan menginap seminggu paling lama di sini,” jelas mbok Minah kepada Susan pula.“Menginap seminggu di sini? Terus, aku gimana, dong Mbok Nah? Apa aku harus sembunyi selama seminggu sampai maminya mas Evan pulang?”“Itu yang Mbok Nah belum tau, Nak. Gimana kalau kita tunggu aja keputusan dari mba Renata atau mas Evan? Biar lebih jelas dan nggak salah ambil langkah.”“Mbok Nah benar. Aku siap kalau harus pergi dulu dari rumah ini selama maminya mas Evan menginap. Kalau sembunyi di dalam rumah doang selama seminggu, aku nggak mau, Mbok!”Susan terus terang saja kepada mbok
“Oke kalau gitu, Mba. Aku pegang janji Mba dan aku pasti akan tagih saat waktunya tiba nanti,” kata Susan dengan suara yang terdengar penuh tekad.Renata tidak menanggapinya terlalu serius karena dia tahu tidak ada yang lebih diinginkan seorang wanita dengan kehidupan miris seperti Susan itu kecuali uang. Bukan maksud hati Renata untuk merendahkan derajat Susan, tapi kebanyakan wanita yang dia temui memang mengidolak uang dan uang di atas segala-galanya untuk dijadikan sebagai permintaan atau persyaratan utama.Jadi, untuk saat ini pun dia sudah bisa menebak apa yang akan diminta Susan ketika anak dalam kandungannya itu sudah lahir. Susan pasti butuh biaya dan juga banyak sekali uang untuk pergi dari hidupnya dan Evan. Gadis dengan latar belakang keluarga tidak mampu itu tentu butuh modal banyak untuk bisa terus melanjutkan hidupnya setelah pergi dan keluar dari keluarga Evan.“Sekarang, kamu ikuti aturan mainnya dan lakukan semua dengan baik. Bisa?” tanya Renata dengan suara pelan ta
Renata tertegun mendengar pertanyaan dari Evan dan tidak menduga kalau pria itu akan bertanya seperti itu. Bagi Renata, dia sudah melakukan semua yang terbaik sejak awal dan sekarang mereka sudah mendapatkan hasil yang diinginkan.“Aku juga akan bantu merawat dia, Mas. Dia kan tinggal di sini, jadi nggak mungkin aku cuek aja sama dia.” Renata menjawab dengan senyum ramah.“Merawat dia bagaimana?” tanya Evan sekali lagi.“Aku akan membantu meringankan tugas kamu sebagai seorang suami lah, Mas. Kamu kan juga harus kerja dan nggak bisa selalu ada untuk Susan. Makanya aku yang akan gantiin kamu selama kamu bekerja.”“Terus, kalau aku udah pulang kerja gimana?”“Saatnya kamu yang mengurus dia dan memenuhi semua yang dia mau, Sayang. Kita harus kerja sama karena anak itu nantinya juga akan menjadi anak kita.”“Kamu yakin itu akan jadi anak kita nantinya? Gimana kalau tiba-tiba aja nanti Susan nggak mau menyerahkan anak itu untuk kita?” tanya Evan yang terdengar tidak terlalu serius bertanya
“Kamu ngomong apa sih, Sayang? Aku nggak ada maksud untuk membawa serius pernikahan dengan Susan saat ini!” tegas Evan kepada Renata.“Kita nggak ada bisa menebak apa yang akan dan bisa terjadi di kemudian hari, Mas.”“Maksudnya, kamu berharap kalau perasaanku ke Susan berubah jadi sungguhan, begitu?” tanya Evan dengan nada penuh penekanan di akhir kalimatnya itu.Renata tidak bisa menjawab lagi karena sebenarnya dia tidak pernah mengharapkan hal itu sama sekali. Hanya saja, dari cara dan sikap Evan yang tampak aneh itu jelas bisa dibaca oleh Renata. Namun, tetap dia tidak ingin mempertegasnya terlalu cepat karena bagaimanapun juga saat ini Renata masih teramat sangat mencintai suaminya itu.Hal yang nekad dan begitu menguji keimanan, kesabaran, keikhlasan, dan juga ketabahan ini harus dia jalani karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap Evan pada awalnya. Renata tidak ingin bercerai dan berpisah dari pria yang sudah sepuluh tahun menjadi suaminya itu.Semua hal yang dia takutka