"Apa di rumah sakit? Sa-saya akan segera kesana ..."Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mazaya menutup panggilan tersebut .Sebelumnya Mazaya mendapatkan informasi jika putranya terjatuh di anakan tangga hingga dilarikan ke rumah sakit.Tanpa menunda waktu lagi, Mazaya segera menghubungi Devan. Pria tersebut harus tahu apa yang terjadi dengan putra mereka itu."Halo, Mas. Kamu di mana sekarang? Aska, Mas ...." Mazaya menelepon sambil berjalan menuju ke lift. Ia harus pergi segera mungkin ke rumah sakit."Aku di jalan di dalam mobil. Ada apa?"Terdengar suara Devan yang panik di ujung panggilan karena Mazaya menyebutkan nama Askara, jelas baginya saat ini mendengar suara Mazaya yang bergetar."Aska dibawa ke rumah sakit, Mas. Aku mau kesana sekarang. Aku sudah minta izin Bu Erina," ungkap Mazaya."Berikan alamat rumah sakitnya. Nanti aku akan kesana," balas Devan."Iya, Mas. Aku tutup dulu kalau gitu." Mazaya mengakhiri panggilan tersebut, lalu dengan langkah cepat keluar dari lift yan
"Alhamdulilah, cuman lecet sedikit aja. Tapi, Ibu tetap cemas, Aska. Tunggu sebentar ya, kata dokter harus diperiksa sekali lagi."Mazaya berusaha menenangkan putranya yang tampak ingin segera pergi dari rumah sakit. Padahal seingatnya Askara tidak pernah serewel saat ini, jika dibawa ke rumah sakit. Berbeda dengan sekarang ya entah kenapa tidak mau berlama-lama di tempat tersebut."Aka mau pulang, Bu. Di cini celem dan nanti aku bakalan dicuntik doktel," ungkap Askara yang pada akhirnya mengutarakan isi hatinya kepada sang ibu saat ini.Mazaya untuk sesaat tersenyum getir karena tidak pernah tahu apa sebenarnya yang diinginkan oleh Askara atau seperti sekarang ini tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran putranya itu. Ia bahkan sudah menyadari bahwa selama ini dirinya terlalu keras dan memaksakan keinginannya yang terdalam kepada Askara. "Iya, sayang. Nanti dokternya ke sini sebentar. Lalu kita akan pulang." Mazaya kembali menenangkan putranya itu seorang diri. Itu karena dua asist
"Ke-kenapa, apa ada yang sakit? Aku putar balik ke rumah sakit kalau begitu."Devan yang setengah panik itu hendak memutar balik laju kendaraannya, begitu melihat Mazaya yang tampak kesakitan di sisinya saat ini.Namun, Mazaya malah menggelengkan kepala sambil meraih tangan Devan agar tetap melaju ke tujuan awal mereka yaitu pulang ke rumah."Jangan, Mas. Kita ke rumah aja, kalau boleh aku mau istirahat sebentar di rumah dan gak ke kantor lagi siang ini," pinta Mazaya dengan wajah memelas di hadapan Devan saat ini.Devan belum menjawab permintaannya Mazaya dan memilih meminggirkan mobilnya terlebih dahulu agar tidak mengganggu pengguna jalan lainnya."Tapi, kamu kesakitan seperti itu dan--""Aku gak apa-apa, Mas," sela Mazaya. "Ini sepertinya efek aku lagi datang bulan. Kita pulang ke rumah aja," pintanya sambil menahan perutnya yang terasa kesakitan.Devan tampak gusar karena tidak mungkin membiarkan Mazaya kesakitan seperti itu tanpa dirawat di rumah sakit."Mas, ayo pulang aja," pi
"Saya harus kembali ke kantor, Nyonya. Pak Devan pasti akan curiga jika saya terlalu lama di sini."William tampak turun dari ranjang dan memakai kembali pakaiannya yang berceceran di lantai."Kenapa harus buru-buru, Will. Lagipula Devan gak akan curiga ini kamu ada di mana sekarang." Nasuha pun turun dari ranjang dengan hanya memakai lingerie yang melekat di tubuhnya. Kemudian memeluk William dari arah belakang. "Tidak, Nyonya. Saya harus kembali. Kita bisa bertemu malam nanti kalau anda mau. Saya mohon anda mengerti bagaimana posisi saya saat ini." William secara tidak langsung menolak permintaan Nasuha yang satu ini karena menyangkut pekerjaan. Terlebih lagi tidak ingin membuat masalah sekecil apapun.Nasuha menghela nafasnya panjang. Andai saja Wiliam sekaya Devan, mungkin ia memilih untuk bersama pria simpanannya tersebut dibandingkan suaminya sendiri.Bagaimana tidak, Wiliam satu-satunya pria yang selama ini menemani kesepiannya dan mau mendengarkan isi curahan hatinya. Bahkan
"Mas, apa yang Mas Devan lakukan?! Kenapa menampar William seperti itu? Apa kesalahan dia, Mas?! Sampai diperlakukan seperti ini?!"Nasuha memekik dan menyorot tajam kepada Devan ketika melihat William yang ditampar oleh suaminya tersebut. Ia bahkan tanpa sadar berlari menuju William dan memasang badan untuk sekretaris suaminya itu.Melihat sikap Nasuha saat ini, Devan dibuat tertawa di dalam hati karena sangat jelas bahwa istri pertamanya itu begitu mempedulikan William, lebih dari perkiraannya selama ini."Lihat ternyata kamu sangat begitu perhatian dengan pria itu, Suha? Apa sepenting itukah Wiliam bagi kamu? Oh tentu, itu karena dia adalah selingkuhan kamu selama ini!" ucapnya dengan nada sinis. Ia bukanlah cemburu, melainkan merasa kesal karena dipermainkan oleh dua orang yang berada di dekatnya selama ini dan dan mereka malah tertawa di atas penderitaannya.Nasuha tersadar bahwa apa yang dilakukan olehnya Itu adalah sebuah kesalahan besar. Ia tidak boleh menunjukkan perhatiannya
"Berhenti, Suha! Jangan melakukan hal yang akan membuatmu kamu menyesal!"Devan berusaha mencegah perbuatan konyol yang akan dilakukan oleh Nasuha.Begitu juga dengan William yang sama paniknya saat ini, melihat bagaimana Nasuha yang segitu putus asanya tidak ingin diceraikan oleh Devan."Nyonya tolong hentikan! Sadarlah, ada janin yang harus anda lindungi saat ini. Aku mohon hentikan dan simpan pisaunya kembali." ucapnya sambil berjalan pelan untuk menghampiri Nasuha.Sementara Nasuha menggelengkan kepala dengan derai air matanya. Ia tidak mau berpisah dengan Devan apapun yang terjadi. Bahkan, jika harus menggugurkan kandungannya demi suaminya itu mau menerimanya kembali, maka akan dilakukannya dengan sukarela. Itu karena sejak awal kehamilan itu bertujuan agar Devan tetap di sisinya. Tapi, keadaan malah berbalik saat ini."Gak mau! Aku gak mau cerai sama kamu, Mas. Tolong tarik kata-kata kamu tadi. Aku gak mau hidup lagi kalau kamu ceraikan aku," ucapnya lirih.Devan menghela nafas
"Ada apa, Mas? Apa terjadi sesuatu? Siapa yang nelpon?" Mazaya bertanya kepada Devan karena sang suami tampak memasang wajah cemas."Mas, ada apa?" ulang Mazaya sambil menepuk pundak Devan karena tak kunjung menjawab pertanyaannya.Devan terdengar menghela nafasnya panjang. Ada rona penyesalan di sana dan rasa bersalah menggelayutinya saat ini."Rendra mengalami kecepatan. Aku harus segera ke sana untuk memastikan keadaannya. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal?" ucapnya yang terdengar seperti meminta izin Mazaya apakah diperbolehkan untuk pergi atau tidak.Sontak saja Mazaya dibuat terkejut mendengar penuturan Devan. Pasalnya mereka beberapa saat yang lalu bertemu dan sempat berdebat. Lalu kini tiba-tiba mendengar pria tersebut kecelakaan. Ada setitik rasa bersalah yang menyerang hatinya saat ini."Iya, Mas. Gak apa-apa. Kamu pergi aja sekarang. Kamu juga pasti khawatir sama keadaan dia saat ini. Aku udah lebih baik sekarang kok," tuturnya yang tidak mungkin mencegah Devan untuk pergi
"Benar-benar harum, apa kamu juga pakai shampoo, Yaya." Devan yang seperti terbius oleh aroma sabun dan shampo dari tubuh Mazaya, karena menyeruak di kamar tersebut, hingga sampailah ke indera penciumannya."Tentu pakai shampo karena habis mandi, Mas. Mas Devan sendiri kapan mau mandinya? Kan hari ini harus masuk kerja." Mazaya dengan santainya berbicara seperti itu sambil mengambil pakaian di dalam lemari, seakan tidak peka apa sebenarnya yang diinginkannya oleh Devan saat ini."Iya, ini juga mau ke kamar mandi, mau mandi. Tapi, gak mau mandi bersama? Siapa tahu bisa kasih adik buat Aska," ungkap Devan sembari menahan senyumnya agar tidak terlalu kentara bahwa, ia memang dirinya memang menginginkan Mazaya saat ini.Dan Mazaya sendiri bisa menebak ke arah mana ucapan Devan yang mana ia memang sudah tidak memberikan hak sang suami."Nanti aja, Mas. Gimana kalau kita check in di hotel pulang dari kantor dan sampai malam terus pulang buat makan malam, gimana? ... Lagian kan nanti mau pe