"Hentikan, Pak. Saya Yaya--"
Mazaya meronta sekuat tenaga dari kungkungan seorang pria di atas tubuhnya. Melawan cekalan tangan pria tersebut yang saat ini dan bahkan sedang menyusuri bagian leher serta hendak meraup bibirnya dengan paksa."Hentikan, Pak Devan. Sadar, Pak? Lepasin!"Mazaya dengan sekuat tenaga berhasil mendorong tubuh Devan yang jauh lebih besar dan tinggi darinya itu. Lalu dengan langkah cepat menuju ke pintu agar bisa keluar dari kamar tersebut.Sialnya, langkah gadis berusia dua puluh tahun tahun itu kalah cepat dengan langkah Devan dan berhasil meraih pinggangnya hingga dibawa kembali ke atas ranjang."Pak Devan. Hentikan! Eling, Pak," pekik Mazaya yang kembali meronta. Tapi, tenaganya yang tak seberapa itu, tidak bisa mengimbangi tenaga Devan yang semakin liar dari sebelumnya."Diam!!" desis Devan yang semakin erat mencekal kedua lengan Mazaya ke atas kepala gadis tersebut.Pria itu adalah -Devan Mahardika yang merupakan dosen killer di kampus dan sekaligus calon kakak ipar yang akan dijodohkan dengan kakaknya. Mazaya sendiri baru tahu perjodohan itu dari satu bulan yang lalu.Devan kini tanpa ampun melucuti pakaian Mazaya dan gadis itu pun semakin menjerit dengan apa yang dilakukan oleh pria tersebut.Bersamaan terdengar suara nyaring kembang api di luar kamar hotel tersebut dan meredam teriakan pilu Mazaya di saat kesuciannya yang direnggut paksa oleh calon kakak iparnya sendiri.Devan yang tampak kelelahan terbaring di atas ranjang yang dan mulai terlelap tidur.Sementara Mazaya meringkuk di sudut ranjang dengan memegangi lututnya, rambut hitam panjangnya yang berantakan dan terus saja terisak menangis.Tubuhnya pun bergetar dan mata yang semakin sembab karena terus-menerus mengeluarkan air matanya sejak tadi.Bersamaan ia melirik ke arah punggung polos Devan yang ada di sampingnya. Tatapannya saat ini dipenuhi dengan kebencian dan juga amarah.Keesokan harinya.KringKringTerdengar suara dering ponsel milik Mazaya dan Hal itu membuat Mazaya tercekat dan mencari-cari di mana ponselnya berada.Rupanya ada di bawah ranjang. Ia pun segera menjawab panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo--""Yaya, kamu di mana sih? Aku telpon gak diangkat. Kamu gak apa-apa 'kan?"Cecaran pertanyaan dari sang sahabat membuat Mazaya tidak tahu harus berkata apa lagi."Nanti aku jelasin, Nad. Aku tutup dulu telponnya.""Tapi, Yaya--"Mazaya segera mematikan panggilan tersebut, lalu melirik ke arah Devan yang tampaknya tertidur.Masih dengan air mata yang mengalir di pipi dan sakit di bagian selangkangannya, Mazaya turun dari atas ranjang. Kemudian memunguti pakaian yang berceceran di lantai.Mazaya dengan langkah tertatih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Namun, ia dibuat terkejut karena ada banyak sekali tanda merah di sekitar area bagian atas tubuhnya."Apa-apaan ini," lirihnya.Dengan sekuat tenaga, tangan Mazaya menggosok-gosok tanda merah itu dengan air dan sabun serta berharap hilang dari tubuhnya. Tapi, tentu saja itu tidak akan hilang begitu saja. Meskipun ia melakukan usaha sekeras mungkin saat ini.Ingatan Mazaya pun melayang di mana sebelumnya ia mendapatkan permintaan pesanan jasa titip makanan ke sebuah hotel. Lalu ia tanpa sengaja melihat Devan di lorong hotel dalam keadaan wajahnya tampak pucat , hingga hampir terjatuh. Tanpa pikir panjang dirinya pun membantu Devan.Akan tetapi, begitu Mazaya membawa masuk Devan ke kamar pria tersebut. Ia malah ditarik paksa dan mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya. Kehormatannya telah direnggut paksa.Mazaya masih tidak mengerti ada apa dengan Devan karena tidak menghirup aroma alkohol yang kuat dari mulut pria tersebut. Tapi, kenapa Devan yang selama ini bersikap dingin kepada semua orang dan termasuk dirinya yang merupakan calon adik iparnya sendiri, malah bersikap liar seperti beberapa saat yang lalu?Semua pertanyaan itu berputar di dalam kepala Mazaya saat ini. Tapi, ia tidak mendapatkan jawabannya. Itu karena semuanya sudah terlanjur terjadi dan hanya menyisakan rasa kecewa, marah dan sakit hatinya secara bersamaan.Mazaya mengelap cepat air mata yang masih membasahi wajahnya. Ia secepat mungkin membersihkan dirinya, lalu setelahnya keluar dari kamar mandi dan akan membangunkan Devan. Setidaknya mereka harus bicara empat mata atas apa yang terjadi.Ketika Mazaya baru saja keluar dari kamar mandi dan menutup pintu, di saat yang sama Devan pun terbangun.Devan tampak memegangi kepalanya yang terasa begitu berat dan terasa mual bersamaan. Tapi, ia tampak tidak terkejut dengan keadaannya yang sedang bertelanjang dada di balik selimutnya. Itu karena dirinya sudah terbiasa tidur tanpa memakai pakaian dan hanya memakai celana pendek saja. Selain itu kamarnya itu pun khusus untuk dirinya sendiri.Namun, hal yang membuat Devan lebih terkejut adalah ada seorang wanita di kamarnya dan saat ini tengah memunggunginya."Kamu siapa?"Mazaya masih berdiri dan membelakangi Devan, ia mengusap wajahnya agar tidak tampak menunjukkan wajah sedihnya. Kemudian memutar punggungnya dan memberanikan diri menatap ke arah pria tersebut.Bersamaan mata Devan melebar ketika melihat seorang gadis muda yang ternyata calon adik iparnya sendiri."Bukannya kamu Mazaya adiknya Nasuha?! Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Devan heran. Ia memang mengenal Mazaya yang selain calon adik iparnya, tapi juga merupakan salah satu anak kuliahan atau mahasiswinya di kampus. Meskipun begitu, tapi apa maksudnya Mazaya ada di kamarnya saat ini? Tidak mungkin kan Mazaya diam-diam menyukainya dan datang ke kamarnya?Mazaya menarik nafasnya dalam-dalam dan sebisa mungkin membendung air mata yang ternyata kian berdesakan ingin keluar."Apa Pak Devan gak ingat apa yang terjadi di antara kita?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.Pria berumur tiga puluh lima tahun itu mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi di antara mereka. Yang ia ingat adalah dirinya sedang bersama beberapa dosen menikmati makan malam di restoran hotel itu dan memang berencana menginap di sana. Tapi, mendadak kepalanya pusing dan kembali ke kamarnya. Setelahnya ia tidur di kamarnya. Meskipun begitu entah kenapa ia merasa bermimpi aneh."Saya gak ingat. Emangnya apa yang terjadi sampai kamu ada di sini?"Devan bertanya seraya turun dari atas ranjang dengan tubuhnya setengah telanjang itu.Bersamaan Mazaya mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menggigit bibir bawahnya. Itu karena ia semakin ragu untuk mengatakan jika mereka telah tidur bersama dan pria di depannya itu sudah mengambil kehormatannya. Apakah mungkin Devan akan percaya kepadanya?"Apa Pak Devan bener-bener gak ingat sama sekali apa yang terjadi di antara kita sekitar dua jam yang lalu?" tanya Mazaya kembali.Devan malah menarik ujung sudut bibirnya sambil menatap Mazaya dengan tatapan sinis."Saya udah bilang 'kan, saya gak ingat! Tapi, tunggu dulu, gimana kamu bisa masuk ke kamar ini? Jangan bilang kamu sengaja datang buat menggoda saya?" tuduhnya.Di saat yang sama Mazaya mendelikkan matanya atas tuduhan Devan."Maksud Pak Devan apa, menggoda? Itu benar-benar keterlaluan!" ucap Mazaya tidak terima. "Saya tadi nolongin Pak Devan yang hampir jatuh di lorong hotel. Tapi, Pak Devan malah buat yang--" Ucapan Mazaya tersekat dan lidahnya terasa begitu kelu karena rasanya ia tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya, di mana mengingatkannya dengan lembaran ingatan semalam yang membuatnya hampir tidak bisa bernafas.Sementara Devan menaikkan sebelah alisnya melihat sikap Mazaya saat ini yang baginya seperti sedang bersandiwara. Ia sudah bertemu dengan berbagai wanita seperti Mazaya yang tampak polos dari luar tapi nyatanya tidak demikian. Di mana bersikap layaknya korban, tapi sebenarnya merekalah penjahat yang sebenarnya. Terlebih lagi di saat para wanita itu tahu tentang latar belakang keluarganya yang merupakan keturunan konglomerat."Apa kamu mau bilang kalau saya meniduri kamu dan kamu mau saya bertanggungjawab?! Kamu lupa kalau saya akan menikah sama kakak kamu," ucapnya dengan angkuh seray
Mata Mazaya membola sempurna di saat melihat sang kekasih dan seorang wanita yang dikenalnya, berada dalam selimut yang sama dalam keadaan setengah telanjang."Jadi, selama ini yang kalian lakukan di belakangku?" cicit Mazaya sembari menutup mulutnya dengan telapak tangannya.Hal yang membuat Mazaya sakit hati dan sekaligus kecewa adalah wanita yang bersama sang kekasihnya itu adalah sahabatnya sendiri. Padahal sebelumnya begitu mengkhawatirkanya di telpon. Tapi, siapa sangka malah menusuknya dari belakang."Ya-Yaya ...."Pria yang merupakan kekasih Mazaya itu baru menyadari keberadaan sang kekasih di dekat pintu yang sedikit terbuka tersebut.Namun, Mazaya bukannya menanggapi atau menggila karena dikhianati oleh dua orang terdekatnya. Tapi, ia langsung berbalik. Lalu dengan langkah cepat keluar dari apartemen tersebut dengan air matanya yang kian berderai.Mazaya tahu dirinya pun salah telah tidur dengan Devan. Tapi, sejak kapan hubungan sang kekasih dan sahabatnya dimulai? Apa selama
"Saya yakin kamu juga gak mau 'kan masa depan kamu jadi hancur karena hamil di luar--""Cukup, Pak Devan!!" Untuk kesekian kalinya Mazaya menyela ucapan Devan. Tapi, kali ini hatinya rasanya sudah remuk redam, tapi air matanya sudah tidak mampu lagi untuk keluar.Bagaimana tidak. Ia pikir Devan setidaknya mengatakan kata menyesal dan ingin bertanggungjawab meskipun tidak sampai menikahinya. Tapi, sampai akhir pun pria itu sama sekali tidak ingin bertanggungjawab ataupun sampai ada masalah jika dirinya hamil dan akan menuntut. Lalu apa lagi yang diharapkannya dari pria yang tidak punya hati seperti Devan? Tidak ada!"Itu gak akan terjadi karena kita gak pernah melakukan apapun, Pak. Saya mohon apa bisa saya keluar sekarang?Saya mau pulang dan istirahat," ucapnya dengan memaksakan tenggorokannya yang begitu sulit untuk berbicara.Devan masih sedikit ragu apa yang dikatakan oleh Mazaya itu benar. Tapi, wanita itu sama sekali tidak menuntut apapun darinya saat ini dan mungkin saja memang
"Gak apa-apa, Mbak. Aku yakin semuanya akan baik-baik aja. Aku juga masih punya sedikit tabungan. Jadi, Mbak jangan khawatir lagi," ucap Mazaya seraya memeluk sang kakak.Kakak dan adik itu saling berpelukan dengan erat. Mereka seakan saling menguatkan satu sama lainnya saat ini. Di masa mendatang akan lebih sulit bagi mereka untuk menjalani hidup yang serba kesusahan.Usai sang kakak merasa lebih tenang, Mazaya pun memberitahukan pihak rumah sakit agar mengurus jenazah sang ayah.Prosesi pemakaman pun berjalan dengan lancar. Meskipun Nasuha kembali histeris di tanah kuburan sang ayah dan Mazaya lagi-lagi harus menenangkan kakaknya itu. Terlebih lagi selama ini tubuh kakaknya itu lemah dan sering sakit-sakitan.Di saat yang sama, keluarga Devan datang melayat dan mengucapkan belasungkawa kepada Nasuha dan Mazaya."Kamu jangan khawatir, Suha. Tante dan Om akan tetap tepati janji buat menikahkan kamu sama Devan," ucap Puspita- Ibunya Devan."Iya benar. Sebaiknya pernikahannya dipercepat
"Yaya, kamu kerja di sini?" sapa Nasuha dengan wajah semringah dan bergelayut manja di lengan Devan.Tampak Nasuha masuk menyusul Devan ke toko bunga tersebut. Kakaknya itu kian cantik dan terawat. Ia yakin kehidupan rumah tangga sang kakak dilimpahi kebahagiaan."I-iya, Kak. Gimana kabar Kak Suha?" balas Mazaya yang memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Alhamdulillah baik, kalau kamu gimana? Maaf ya, kakak lagi sibuk urus rumah sama suami belakangan ini. Jadi, gak sempet telpon kamu, tapi kamu baik-baik aja 'kan?" ucap Nasuha yang terdengar seperti menyesal telah mengabaikan Mazaya, padahal kenyataannya memang seperti itu."Gak apa-apa, Kak. Alhamdulillah aku baik-baik aja kok," balas Mazaya dengan senyuman yang sama terpaksa seperti sebelumnya."Aku mau pesan buket bunga mawar putih ukuran besar," ucap Devan tiba-tiba memecah pembicaraan dua kakak beradik itu, tapi ia seolah-olah tidak mengenal Mazaya dan bersikap dingin."Baik," jawab Mazaya dengan mengulas senyumannya. Ia sebisa m
"Ini gak mungkin kan? Aku tadi pasti salah dengar! Aku yakin kalau mereka baik-baik saja."Mazaya sebisa mungkin menepis atas apa yang didengarnya beberapa saat yang lalu. Hal itu juga tidak akan merubah apapun bagi dirinya. Sekalipun ia akan menuntut demi anaknya? Itu sama saja seperti menyerahkan sukarela anaknya itu pada mereka."Nggak! Nggak boleh! Aku gak bisa hancurkan rumah tangga Kak Nasuha. Dia pasti kecewa dan benci sama aku kan," gumam Mazaya lirih.Dengan langkah kaki yang berat, Mazaya pun pergi dari tempat tersebut. "Yaya, kenapa kamu ada sini?" panggil seseorang dari arah belakang.Mazaya mengenal betul suara yang memanggilnya tersebut. Ia tidak lain adalah mantan sahabat nya - Nadia. Meskipun enggan untuk bertemu, tapi pada akhirnya dirinya menyahut sapaan wanita tersebut."Hei, Nad. Apa kabar?" sapanya dengan memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Kabarnya gak terlalu baik sih .... Eh, tapi, kamu kemana aja sih, Yaya? Kamu udah gak kuliah lagi dan aku khawatir sama kam
"Apa saya bisa lihat perjanjian kerjanya dulu, Bu Erina?" ucap Mazaya yang sedikit ragu sebenarnya. Tapi, tidak ada salahnya untuk memastikan terlebih dahulu kontrak kerjanya."Silahkan, Mbak," ucap Erina menyerahkan beberapa lembaran kertas di atas meja yang ada di depan mereka.Mazaya pun membaca apa yang tertulis di lembaran kertas di tangannya itu, lalu yang membuatnya tercengang adalah nominal gaji yang ditawarkan benar-benar besar. Bahkan ada beberapa bonus tunjangan yang nilainya tidak sedikit."Apa ini gak salah, Bu. Gaji yang saya terima senilai sepuluh juta perbulan. Itu sudah dua kali lipat dari gaji gardener yang saya tahu," ucapnya heran."Itu karena mall kami sudah standar internasional dan tempat itu sering dikunjungi wisatawan asing serta para petinggi atau keluarga Kerajaan dari luar negeri. Selain itu ada satu hotel kami yang memakai jasa anda," terang Erina. "Anda juga akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan kendaraan pribadi, jika bersedia menerima tawaran ini
"Mazaya? Kamu Mazaya 'kan? Apa dia anak kamu? Kapan kamu menikah?" Dengan rasa penasaran di hatinya, Devan bertanya pada Mazaya tentang anak yang saat ini digendong oleh wanita di depannya itu. Terlebih lagi wajah bocah laki-laki yang ada di depannya tanpa begitu mirip dengan dirinya. Hal itu seakan membuatnya merasa memiliki ikatan dengan anak tersebut Raut wajah Mazaya semakin pucat pasi karena karena tatapan Devan mengarah ke putranya. Hal itu membuatnya tidak nyaman, sekaligus khawatir seperti yang selama ini dicemaskannya."Yaya," ulang Devan karena Mazaya malah terdiam di tempatnya. Wanita di depannya kini lebih cantik, dewasa dan matang dari kali terakhir mereka bertemu."Ibu, ayo mamamnya. Aku lapel nih." Askara meronta dalam gendongan ibunya, entah karena lelah atau mungkin memang rasa lapar mengundang perutnya dan meminta untuk segera diisi."Iya, kita pergi sekarang," balas Mazaya yang berusaha menenangkan putranya.Kemudian Mazaya menghirup udara di sekitarnya dengan be
"Mas, kita harus bagaimana menghadapi Patricia? Pasti dia akan cari cara buat bisa nikah sama Mas Devan. Selain itu juga aku khawatir Askara sekolah dengan guru TK seperti dia."Mazaya mengeluarkan uneg-uneg yang ada di kepalanya saat ini, di saat minum teh di balkon kamar karena hari itu waktu libur kerja mereka.Devan menghela nafasnya panjang. Ia pun sama gelisah dan khawatir seperti Mazaya. Tapi, ia tidak akan tinggal diam saja. Itu karena dirinya sudah diam-diam menyewa detektif swasta untuk mengikuti dan mengawasi PatriciaDan siapa sangka usaha Devan itu membuahkan hasil. Di mana Patricia pada akhirnya ditangkap, hingga kabar tentang penangkapannya segera menyebar luas.Ternyata Patricia selama ini menjadi duri bagi Devan dan Mazaya itu telah melakukan penipuan kepada beberapa orang, hingga akhirnya aparat kepolisian berhasil menangkapnya karena laporan beberapa korbannya. Di balik jeruji besi, Patricia harus merasakan kepedihan hati dan penyesalan.Devan dan Mazaya yang menden
"Apa ini sebenarnya? Sejak kapan aku menulis ini semua?"Devan membaca surat perjanjian yang ada di tangannya dengan perasaan tidak percaya. Kata-kata dalam surat tersebut terasa seperti cambuk yang menghantam hatinya. Semakin ia membaca, semakin sulit baginya untuk menahan ketakutan yang melanda dirinya, menyadari bahwa isinya bisa menyeretnya ke dalam jeruji besi penjara. Meskipun begitu dirinya tidak menunjukkan langsung bagaimana raut wajahnya saat ini di depan Patricia.Sementara itu, di sudut ruangan tersebut, Patricia menatap Devan dengan senyuman licik yang tersungging di bibirnya. Ia menikmati melihat bagaimana raut wajah Devan berubah-ubah, mulai dari penasaran, kemarahan, hingga ketakutan yang tergambar jelas. Matanya terus mengikuti gerak-gerik Devan, seakan ingin memastikan bahwa pria itu benar-benar merasa terpojok.Tangan Devan bergetar saat dirinya mencoba menahan amarah yang membara. Ia menggenggam surat perjanjian itu dengan erat, seolah mencoba menemukan kekuatan u
"Bercerai? Apa aku gak salah dengar, Mas? Bukannya dia waktu itu ngotot dan gak mau pisah sama kamu?"Mazaya hampir saja tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Devan, mengenai permintaan Nasuha yang ingin berpisah. Padahal jelas-jelas semalam kakak angkatnya itu dengan tegas mengatakan tidak mau bercerai apapun alasannya"Bukannya kamu senang kalau dia minta bercerai? Itu kan yang kamu mau, Yaya?" Devan balik bertanya."Iya sih, Mas. Tapi, kok aku ngerasa ada yang aneh aja. Kenapa dia tiba-tiba minta pisah gitu aja. Apa Mas Devan gak ngerasa curiga apapun gitu," ungkap Mazaya yang merasa harus waspada untuk hal-hal yang tidak diinginkan."Aku juga sama, makanya aku ingin menemuinya langsung dan mungkin saja ada hal yang bisa ketahui nanti," ungkap Devan yang saat ini memiliki pikiran yang sama dengan istrinya tersebut.Mazaya manggut-manggut tanda mengerti apa yang dikatakan oleh Devan."Memang harus seperti itu, Mas. Syukur-syukur kalau dia memiliki niatnya untuk berubah, ta
"Ini maksudnya apa ya? Saya calon istri dari mana, Pak? Pak Malvin jangan seenaknya gitu dong! Saya gak terima diperlakukan seperti ini!"Melinda langsung melayangkan protes kepada Malvin karena pria tersebut malah bersikap seenaknya, mengatakan dirinya itu adalah calon istri dari pria tersebut. Terlebih lagi dirinya sudah mempunyai kekasih dan apa jadinya sampai menimbulkan kesalahpahaman nantinya.Malvin nyatanya tanpa sadar mengatakan hal tersebut sebagai refleknya agar mantan tunangannya itu menjaga sikap. Ia sama sekali tidak memikirkan bagaimana tanggapan Melinda akibat perbuatannya tersebut."Maaf, tadi aku salah bicara, Linda. Aku tidak bermaksud lain," ucapnya yang tidak ingin memperpanjang masalah yang ada di depan matanya saat ini. Belum sempat Melinda menanggapi ucapan Malvin, tapi pria tersebut malah bergegas pergi dengan membawa Vivian dari hadapan mereka."Kita harus bicara di tempat lain, Vivian?!" Malvin dengan nada tegas."Oke, ayo," jawab Vivian yang memang ingin
Tiga puluh menit sebelumnya.Patricia, yang mengenakan pakaian serba hitam dan berkacamata gelap, melirik Mazaya dengan tatapan tajam. Ia berjalan mendekati Mazaya dan Devan dengan langkah pasti dan pura-pura bertanya, "Permisi, apakah anda tahu dimana toilet di tempat ini?" Patricia pura-pura tersenyum ramah pada Mazaya.Mazaya menoleh, awalnya tersenyum ramah sambil menjawab, "Oh, itu tinggal mengikuti jalur ini saja, Mbak pasti akan sampai di sana."Namun, tidak lama setelah itu raut wajah Mazaya berubah dingin, dan ia mulai berbicara dengan nada lebih tegas."Sebenarnya, apa mau kamu di sini, Mbak?" tanya Mazaya dengan curiga dan setengah berbisik.Devan pun ingin mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh istrinya tersebut. Tapi, ia harus bertemu dengan beberapa kliennya yang datang ke acara tersebut."Sayang, aku ke sana dulu sebentar. Gak apa-apa kan?" tanyanya memastikan terlebih dahulu."Iya, Mas," jawab Mazaya. Ia lebih dari mampu menghadapi Patricia seorang diri
"Om aku mau es krim yang rasa blueberry. Yang ukurannya besar ya. Terus nanti beli popcorn juga."Askara tampak membuat Malvin dibuat pusing tujuh keliling dengan permintaan bocah laki-laki tersebut yang ternyata begitu banyak ini dan itunya.Berbanding terbalik dengan Melinda saat ini, ia malah senang dengan kata-kata yang keluar dari wajah menggemaskan bocah laki-laki di depan itu dan sama sekali tidak menunjukkan lewat wajah kekesalan atau merasa dibuat pusing dengan tingkah Askara saat ini. Seakan wanita tersebut sudah terbiasa menghadapi yang namanya anak kecil."Hmm, boleh. Boleh banget Aska mau es krim, popcorn atau permen dan bahkan coklat. Tapi ada satu syarat yang harus dilakukan sama Aska," ucapnya yang bernegosiasi dengan Askara saat ini."Apa syaratnya, Tante?" Askara langsung menanggapi ucapan Melinda dan tampak begitu antusias.Dan Melinda pun tak kalah antusiasnya saat ini. "Hmm, syaratnya mudah kok. Askara harus mau makan makanan berat dulu sebelum makan eskrim, mau
[ Aku akan ke rumah sakit nanti untuk membicarakan keputusan kamu itu, Suha ][ Baik, aku tunggu, Mas ]Devan membalas pesan Nasuha secara singkat, lalu langsung dibalas oleh Nasuha di waktu yang sama.Devan memang harus memastikan sendiri dengan menemui istri pertamanya itu di rumah sakit. Selain itu juga ia harus berbicara dengan William untuk memastikan sesuatu. Meskipun pria tersebut sudah mengkhianatinya, tapi dirinya juga harus mengorek informasi dari mantan sekretarisnya."Ada apa, Mas?" Mazaya menghampiri Devan karena suaminya tersebut malah fokus ke layar ponselnya dan tampak begitu serius. Padahal jarang-jarang Devan bersikap seperti itu dengan benda pipih tersebut, kecuali memang ada hal yang begitu penting.Devan menoleh, lalu menyimpan ponselnya itu ke saku jasnya kembali."Oh tadi ada beberapa laporan dari divisi lain, mengenai acara yang sebentar lagi dilangsungkannya," jawab Devan yang terpaksa berdusta kepada Mazaya, ia akan membicarakan tentang Nasuha usai acara di m
Mazaya menghela nafasnya panjang karena Devan tak kunjung mengatakan, hal yang paling diinginkannya.Bukan tanpa alasan, sang suami malah mendadak sakit perut dan katanya harus ke toilet. Lalu Mazaya bisa apa saat ini, selain menunggu Devan selesai dengan urusannya."Jangan lama-lama ya, Mas. Aku tinggal tidur nanti," seru Mazaya dari balik pintu kamar mandi. Ia bahkan saat ini sudah berganti pakaian tidur, itu karena merasa tidak nyaman dengan memakai lingerie dan khawatir sewaktu-waktu Askara terbangun dan mengetuk pintu kamar mereka"Iya, gak akan lama. Ini sebentar lagi selesai kok," sahut Devan dari dalam kamar mandi.Sambil menunggu Devan, Mazaya memutuskan membuka laptopnya untuk memeriksa jadwal kegiatan di kantor besok. Di mana akan diadakan event peragaan busana di mall dengan tujuan untuk amal, meskipun sempat terjadi insiden. Tapi, acaranya masih harus berlangsung sesuai dengan jadwal."Oke, gak ada masalah kayaknya. Semuanya juga sudah lapor di bagiannya masing-masing ...
Patricia baru saja keluar dari ruangan Nasuha dirawat dengan senyuman tipis, lalu melanjutkan perjalannya sambil menghubungi seseorang melalui ponselnya."Iya, ini aku Patricia. Aku baru saja bertemu dengan Nasuha, sesuai dengan permintaan kamu. Sebaiknya kamu secepatnya ke sini dan bawa dia pulang."Usai berbicara dengan seseorang di telepon, Patricia menutup panggilan tersebut. Kemudian kembali tersenyum tipis dan melangkah kakinya keluar dari rumah sakit tersebut.Patricia teringat pertemuannya dengan Nasuha, yang mana wanita tersebut adalah istri pertama dari Devan. Ia sudah mengetahui banyak tentang Nasuha selama ini."Siapa kamu dan apa maksud tujuan kamu ke sini?" Itulah hal pertama yang dikatakan oleh Nasuha, ketika bertemu pertama kali dengan Patricia. Ia sama sekali tidak mengenali wanita tersebut dan tiba-tiba datang menjenguknya.Patricia mengulas senyumnya. Ia sudah menebak, jika sikap Nasuha memang tidak akan seramah yang diharapkannya."Aku Patricia. Dulu aku pacarnya De