"Aku ke sini cuma mau ngambil cincin." Duta bisa melihat sebuah rencana yang terselubung di balik senyum Rindu. Karena itu dia menekankan lebih awal.
"Bukan berarti nggak mau masuk, dong. Cincinnya di dalam. Yuk!" Rindu mengedikkan kepala, lalu beranjak ke dalam lebih dulu, meski Duta tampak benar-benar tidak berminat untuk berlama-lama.Tadinya Duta mengira dia akan dibawa ke dalam rumah, tahu-tahunya malah ke halaman samping. Duta disambut oleh ketiga teman Rindu. Mereka berbaris rapi seperti anak SD yang sedang periksa kuku sebelum masuk ke kelas.Melihat aura-aura penjajah di wajah mereka, perasaan Duta jadi tidak enak."Mas Duta, kasihanilah aku ini. Cicilan mobilku masih panjang, malu banget kalau sampai disita," ujar Tasya sambil memasang tampang memelas dibuat-buat."Mas Duta, adikku pengin banget jadi dokter, sementara kedua orangtuaku tidak sanggup membiayainya. Karena itu aku banting tulang siang dan malam." Devi berucap begitu sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada."Bro, aku punya banyak kucing. Mereka nggak mau makan nasi, harus Whiskas."Usai mengucapkan kalimat itu, Beni langsung mendapatkan pelototan dari ketiga temannya. Bahkan, Devi yang berada tepat di sampingnya, refleks menginjak kaki cowok bertubuh ceking itu. Dari sekian banyak hal yang bisa dijadikan alasan, kenapa harus kucing?"Maksud kalian ngomong itu ke aku, apa?" Duta menatap serius ketiga orang di depannya. "Sama sekali nggak ada hubungannya sama aku, kan?""Ta, kami butuh banget bantuan kamu." Rindu mengambil alih. "Kalau nggak, kami akan kehilangan semua yang udah kami perjuangkan selama ini.""Lalu, aku harus prihatin gitu?" Duta masih berusaha bersikap bodo amat."Tuhan nggak mungkin salah menempatkan seseorang. Itulah mengapa kamu yang tiba-tiba ada di taman kemarin." Tatapan Rindu memohon dengan sangat."Kami yakin, kamu orangnya nggak tegaan," komentar Tasya."Kami melihat kamu seperti malaikat penolong kiriman Tuhan." Devi menambahkan."Kami—" Beni ingin ikut menyumbangkan suara, tapi Devi lebih sigap menyubit pinggangnya. Lebih baik jangan daripada aneh-aneh lagi. Kamerawan mereka itu memang jago mengambil gambar, tapi tidak untuk urusan menyusun kalimat."Aku—""Please ...." Mereka berempat kompak mencegat kalimat Duta.Duta pun menghela napas panjang sambil berdecak samar. "Oke. Asal jangan lama-lama.""Kita cuma bikin video ala-ala kejutan ulang tahun, kok, bukan sinetron ratusan episode." Beni berkomentar juga akhirnya.Devi langsung menyikut perut cowok itu karena lagi-lagi omongannya keluar jalur.Tasya buru-buru mengambil alih, sebelum Duta berubah pikiran. "Ya udah, supaya cepat, kamu langsung bersiap di posisi, ya." Dia menunjuk sofa dan menyuruh Rindu ke sana. "Ta, kita mulai dari sana," katanya lagi sambil menggamit lengan Duta dan menunjuk ujung sebuah tembok. Dia menggiring cowok bertubuh tegap itu ke sana sambil menjelaskan beberapa hal secara garis besar, singkat, dan dengan bahasa yang paling mudah dipahami.Sesekali Duta terlihat manggut-manggut pertanda paham.Setelah persiapan singkat dan dadakan itu dirasa cukup, pengambilan gambar pun dimulai. Tasya sebisa mungkin tidak teriak "cut" meski beberapa bagian kurang sesuai keinginannya. Dia berusaha menjaga mood Duta. Sebagai gantinya, cerewetnya beralih ke Beni, agar cowok itu lebih peka harus nge-shoot dari sudut mana.Duta melakukannya nyaris sebaik tadi sore. Yang ini hanya terlihat agak kaku karena mengharuskannya lebih banyak bergerak. Tidak ada adegan pelukan tiba-tiba kali ini, tapi interaksi mereka saat bertukar senyum tampak cukup meyakinkan."Cut!" Tasya pun meneriakkan kata itu setelah dirasa cukup. Sisanya akan jadi tugas Devi sebagai editor. Dia pasti punya banyak cara agar video mentah itu bisa jadi konten yang berbobot."Duh, thanks banget, ya, Ta," kata Tasya sambil menghampiri Duta, setelah Beni mematikan kameranya.Duta hanya membalasnya dengan gumaman."Ya udah, kami tinggal dulu, ya. Mau ngeracik videonya agar siap tayang besok, sambil merundingkan beberapa hal. Kalau kamu masih ada urusan sama Rindu, silakan diselesaikan." Tasya dan yang lain pun masuk ke rumah lebih dulu.Ditinggal berduaan, Rindu sempat bingung harus bersikap seperti apa."Mereka tinggal di sini juga?" Untungnya Duta berinisiatif membuka suara lebih dulu."Begitulah. Tapi mereka masih sering pulang, kok. Mereka asli Jakarta dan punya keluarga masing-masing.""Kamu sendiri?""Eh?""Keluarga kamu masih di Jakarta juga?"Raut wajah Rindu seketika berubah, seolah tidak siap dengan pertanyaan semacam itu. "Ta, duduk dulu, yuk. Masa ngobrol sambil berdiri gini?" alihnya kemudian, lalu beranjak duduk lebih dulu."Nih, kuenya boleh dimakan. Daripada tinggal doang," kata Rindu lagi sambil menyodorkan kue tart berukuran sedang—bekas properti video tadi, setelah Duta duduk di sampingnya."Jadi gini cara seorang youtuber rayain ulang tahun?"Gerakan tangan Rindu yang sedang memotong kue terhenti sejenak mendengar pertanyaan bernada sumbang itu. "Gini gimana maksud kamu?" Dia balik bertanya sambil menoleh sekilas."Ya gini. Semuanya serba settingan. Kado dan kuenya juga palsu." Duta melirik kado bohongan di atas meja, yang seolah-olah itu dari dia."Kadonya emang nggak ada isinya, sih. Tapi kuenya beneran, kok. Cobain, deh." Rindu menyodorkan sepotong tart yang diwadahi piring kertas."Maksud aku ... harusnya ada seseorang yang benar-benar menyiapkan semua ini. Asli. Bukan settingan," ujar Duta seraya menerima kuenya.Kalimat itu membuat Rindu menghela napas panjang. Cewek berisi itu mengempaskan punggungnya di sandaran sofa. Tatapan kosongnya menerawang jauh, seolah sedang berusaha menemukan pijakan."Harusnya ada, sih, Ta. Tapi, ya ... nyatanya malah begini." Rindu mengedik lemah, berusaha terlihat santai. "Cewek yang bentuknya kayak aku ini barangkali memang tidak ditakdirkan untuk benar-benar bahagia."Meski samar, Duta bisa menangkap getaran di ujung-ujung kalimat Rindu."Bentuk yang kayak gimana maksud kamu?""Ya begini." Rindu menunduk untuk melihat tubuhnya sendiri. Saat duduk begini lipatan lemak di perutnya terlihat jelas.Duta memilih untuk tidak mengomentari hal itu. Dia mencicipi kuenya beberapa sendok, lalu meletakkannya ke meja. Harusnya tadi dia bisa langsung meminta cincinnya dan pamit setelah syutingnya selesai, tapi entah kenapa malah terlibat obrolan sejauh ini."Tapi ada untungnya juga, sih. Berkat tubuh kayak gini orang-orang jadi suka sama videoku. Cocok gitu sama image rakus yang kubangun selama ini.""Rakus?""Iya. Makanya, nontonlah videoku sesekali. Kamu akan lihat bagaimana anjing laut ini melahap makanan berporsi-porsi."Duta sontak terkekeh. "Nggak anjing laut juga kali.""Lalu apa?"Alih-alih menjawab, Duta malah mengeluarkan kotak persegi panjang seukuran telunjuk dari saku celananya, lalu menyodorkannya ke Rindu."Apa ini?" Rindu menatap benda itu dan mata Duta bergantian."Ini hari ulang tahun kamu. Masa iya, aku datang dengan tangan kosong."Rindu melongo sekian detik. "Maksudnya, ini hadiah buat aku?" Wajar jika dia merasa perlu memperjelas, karena perkenalan mereka yang terbilang absurd itu baru berlangsung tadi siang. Dan lagi, dari interaksi mereka yang terkesan serba terpaksa sejauh ini, rasanya cukup ajaib jika Duta mau repot-repot menyiapkan hal semacam ini."Sekalian untuk jawab pertanyaan kamu tadi. Dan ini hadiah asli. Bukan settingan."Rindu berkaca-kaca. Tangannya sampai gemetar saat akan menerima kado mungil itu.***[Bersambung]Wah wah wah ....Kira-kira apa, ya, isi kadonya? 🤩Sudah terlalu sering Rindu dimodusin cowok, wajar jika hal itu membuatnya agak sangsi dengan kado dari Duta—yang entah kenapa kehadirannya ini masih terasa ajaib. Namun, di sisi lain dia juga penasaran setengah mati apa isinya."Tapi maaf, ya, hadiahnya ala kadarnya banget. Nggak sempat dibungkus cantik pula. Tadi belinya juga buru-buru. Untung tiba-tiba kepikiran."Rindu makin penasaran. "Boleh dibuka sekarang?" tanyanya dengan wajah ceria.Duta mengangguk.Rindu pun membuka tutup kotak mungil itu. Ternyata isinya gantungan kunci Winnie the Pooh. Rindu mengeluarkannya, menatapnya larut-larut dengan perasaan yang menghangat. Benda itu jadi terasa sangat berharga karena datangnya dari seseorang yang tidak diduga-duga. Dan tampaknya memang tidak ada modus di baliknya."Jadi menurut kamu, aku ini kayak beruang?" tanya Rindu kemudian dengan nada kekehan.Duta mengangguk sambil menahan tawa.Karena sudah sering dihadapkan dengan kepalsuan, kejujuran Duta ini malah membuat hati Rindu terasa
Bahkan setelah tiba di tempat tujuan, Duta masih belum mengerti kenapa tiba-tiba dia merasa perlu mengajak Rindu keluar. Dibilang kasihan, Rindu bukan tipe orang yang benar-benar perlu dikasihani. Secara materi dia cukup melimpah. Dari luar, kehidupannya jenis kehidupan yang diidam-idamkan generasi zaman now. Namun, di balik semua itu ada satu hal yang tak luput dari radar Duta. Dia bisa merasakan kesepian akut melingkupi cewek itu.Rindu tidak menyangka Duta akan mengajaknya ke angkringan. Tempat semacam ini mengingatkannya terhadap sekelumit kenangan beberapa tahun silam. Namun, sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak perlu merapuh. Ini hari spesialnya, dan seseorang yang tiba-tiba masuk ke hidupnya tengah mengupayakan bahagia. Dia tidak boleh merusaknya sepihak."Wah, udah pada datang rupanya," sahut Duta sambil mendekat ke arah teman-temannya. Ada delapan orang yang kompak duduk lesehan melingkar beralaskan tikar. Mereka teman-teman kosan Duta, juga sesama pekerja bangunan."Ud
Dalam perjalanan pulang, Rindu kembali berpegangan di pinggang Duta, tapi tidak lagi sekaku tadi."Thanks banget, ya, Ta. Ini salah satu malam ulang tahun paling berkesan di hidupku."Alih-alih membalas dengan satu dua kata, Duta malah menambah kecepatan vespanya.Rindu refleks mengencangkan pegangannya. "Pelan-pelan, Ta!" katanya setengah teriak.Duta seolah tidak menggubris. Dia malah teriak-teriak tidak jelas kayak anak kecil.Rindu menepuk punggung cowok itu. "Apaan, sih, Ta? Malu dilihatin orang.""Motoran sambil teriak gini seru kali," ujar Duta sambil menoleh sekilas. Lalu, dia teriak lagi kayak Tarzan lagi manggil kawan-kawannya.Duta yang teriak, Rindu yang malu.Duta menoleh lagi. "Cobain, deh.""Jangan keseringan lihat ke belakang, ntar nabrak loh." Rindu serius ngeri. Duta melajukan vespanya dengan kecepatan di atas rata-rata, tapi sikapnya pecicilan begitu.Akhirnya Duta pun kembali fokus ke jalanan. Sepertinya Rindu bukan tipe cewek yang gampang dipancing untuk gila-gila
"Maksudnya, aku ngajak dia nikah?" Agak terbata, Rindu memperjelas."Mau nggak mau, kan?" Devi berkata begitu sambil mengangkat sedikit pundaknya."Aku setuju, sih." Tasya menambahkan. "Hitung-hitung tenagaku juga nggak terbuang percuma. Karena konsep konten ala-ala pasutri muda yang tadinya udah aku siapin buat kamu dan Ari jadi bisa dipakai lagi." Cewek bertubuh mungil itu senyum-senyum sendiri. Belum apa-apa konsep untuk video-video lainnya sudah tergambar jelas di benaknya.Rindu mengangkat kedua tangannya, menekan udara dengan gerakan pelan, menahan sedini mungkin agar pikiran kedua temannya ini tidak semakin ke mana-mana. "Aku emang udah setengah waras gara-gara masalah ini, tapi jangan sampai gila beneran, dong." Dia menatap serius kedua temannya bergantian. "Kalian pikir ngajak orang nikah segampang ngajakin makan bakso? Ini Duta, loh. Cowok modelan kayak dia tiba-tiba diajak nikah ...?" Rindu menggeleng samar. "Nggak kebayang pokoknya. Kecuali kalau aku ini cantik, langsing,
Gagal menemukan jawaban di tempat kerja, Rindu bergegas ke rumah Ari. Dia semakin yakin ada yang tidak beres. Dia harus tahu ada apa di balik semua ini. Namun, setibanya di rumah yang berlokasi di kawasan perumahan kelas menengah itu, Rindu tidak mendapati siapa pun di sana. Pintu rumahnya tertutup rapat. Sampah-sampah plastik berserakan di halamannya, seolah rumah itu sudah lama tidak ditinggali.Tidak ingin bingung sendiri, Rindu pun bertanya ke tetangga yang kebetulan sedang mengangkat cucian yang sudah kering. Dia merapat ke sisi pagar seraya mengembangkan senyum."Permisi, Bu. Mau numpang tanya," ujarnya sopan sambil mengangguk ringan."Ya, Mbak." Ibu berdaster merah terang itu menghentikan sejenak aktivitasnya."Pak Rahmat sama keluarganya ke mana, ya?"Ibu itu mengernyit. "Pak Rahmat?""Iya, yang tinggal di sini." Rindu menunjuk dengan jempol rumah di belakangnya tanpa menoleh."Maksud Mbak keluarga yang cuma ngontrak beberapa hari itu?""Cuma beberapa hari?" Kening Rindu berke
Duta lekas membantu Rindu berdiri, sebelum anak buah Juragan Dante menemukannya. Untungnya Rindu tidak mengalami luka serius, hanya goresan kecil di telapak tangannya."Duh, sori banget, ya." Duta meraih tangan Rindu dan memperhatikan luka itu."Emang ada apa, sih, sampai lari-larian segala?" tanya Rindu sambil meringis menahan rasa perih. Kemudian dia celingukan mencari sesuatu. "Vespamu mana?""Itu dia!" Teriakan itu diiringi gemuruh alas sepatu yang beradu dengan aspal.Melihat kemunculan orang-orang itu, Duta gelagapan. "Aku harus pergi sekarang!" katanya sambil ancang-ancang untuk lari.Namun, Rindu malah menahannya. "Masuk!" katanya sambil membuka pintu mobil.Tidak ada waktu untuk berpikir. Duta pun bergegas masuk. Begitu juga dengan Rindu, buru-buru menyalakan mobil dan bergegas pergi dari sana.Orang-orang itu masih berusaha mengejar, sampai akhirnya capek sendiri dan menyerah."Ada apa, sih? Siapa mereka? Ngapain ngejar kamu?" cecar Rindu setelah keluar ke jalan utama.Duta
Saking semangatnya ingin ketemu Duta, Rindu datang tiga puluh menit lebih awal. Kali ini dia yang memilih tempat, sebuah kafe bernuansa retro dengan iringan live akustikan. Perpaduan yang cukup hangat.Rindu menyiapkan penampilannya kali ini sedari sore. Entahlah, dia belum pernah sepenuh pertimbangan begini saat memilih pakaian. Dia sampai bertanya ke Mbah Google segala tips berpakaian untuk cewek berisi seperti dirinya.Sambil menunggu, Rindu melihat-lihat kolom komentar video-videonya di YouTube. Dia membubuhkan tanda hati di komentar-komentar yang bernada positif. Puas di sana, dia beralih ke Instagram. Ternyata Bams mengirim pesan beberapa jam yang lalu. Isinya masih lanjutan pertanyaan-pertanyaannya di angkringan kemarin. Rindu pun membalasnya, merincikan sebisanya.Melihat antusias Bams, Rindu seperti melihat dirinya bertahun-tahun silam saat baru akan memulai channel-nya. Dan di masa-masa seperti itu, rasanya sangat menyenangkan jika bertemu seseorang yang tidak pelit ilmu.Se
Bermenit-menit setelah Duta pergi, Rindu masih terpaku di kursinya. Dia merasa bersalah dan takut di saat bersamaan. Dia tidak bisa menahan Duta, terlebih memaksanya. Karena jika dia yang berada di posisi cowok itu, mungkin juga akan bertindak yang sama.Wajar kalau Duta marah. Wajar kalau Duta tersinggung. Atau apa pun yang dia rasakan setelah mendengar tawaran Rindu, semuanya wajar. Manusiawi. Satu-satunya yang tidak wajar di sini adalah Rindu dan obsesinya."Gimana, Rin?" tanya Tasya begitu Rindu tiba di rumah.Ketiga temannya sedang berkumpul di ruang tengah, seolah memang sedang menunggu kepulangan Rindu.Bahu Rindu merosot perlahan. "Ternyata nggak segampang yang kita kira.""Duta nggak mau?" Devi mulai cemas."Masa, sih, dia nolak bayaran sebanyak itu?" Beni ikut menimpali, sambil mengelus-elus kepala kucing kesayangannya."Dia bahkan pergi sebelum aku rincikan soal bayarannya.""Ya Tuhan." Tasya menyugar rambutnya ke belakang. "Jadi nasib kita gimana?""Mending dari sekarang k
Ketika menerima pesan dari Rindu yang mengajak bertemu di salah satu taman kota, Duta bingung harus senang atau bagaimana. Mengingat bagaimana reaksi perempuan itu di makan malam kemarin, Duta takut menerka-nerka.Duta tiba 15 menit lebih awal dari jam janjian, tapi ternyata Rindu sudah lebih dulu ada sana."Maaf, aku telat," ujar Duta setibanya di samping perempuan itu. Sekadar basa-basi, karena saat turun dari taksi tadi, dia sempat mengecek jam dan tahu betul ini belum memasuki jam yang ditentukan."Duduk."Respons berupa satu kata itu sempat membuat Duta bergidik. Kesannya sangat dingin, meski nadanya datar-datar saja.Setelah duduk, malah hening. Duta sungguh bingung harus ngomong apa. Masa yang kemarin harus diulang lagi? Daripada kayak patung, akhirnya Duta memindai suasana taman yang sangat sejuk itu. Setapaknya dipagari pohon maple."Ini tempat pertama yang aku kunjungi sendirian di Korea," ujar Rindu akhirnya.Duta mengerjap berkali-kali. Pasalnya, kalimat barusan, nadanya j
Sejak pulang dari Seomyeon Underground Shopping Center, Rindu tidak pernah keluar kamar. Bahkan saat Mama memanggilnya untuk minum teh bersama di sore hari, dia beralasan agak kurang enak badan sehabis jalan. Saat ini lebih menyenangkan rebahan daripada minum teh, katanya.Rasanya masih seperti mimpi tiba-tiba Rindu bertemu Duta hari ini. Sesengaja itukah Tuhan menghadirkan hal yang dihindarinya hingga rela pergi sejauh ini?Kenapa?Tadi, Rindu memilih buru-buru pergi sebelum bertindak konyol. Karena sejujurnya, hampir saja dia menubruk lelaki itu dan membakar gulungan rindu dalam satu dekapan. Untungnya dia masih bisa menahan diri. Meski tetap saja hatinya belum punya ruang untuk memulai episode baru bersama lelaki itu. Dipikir berapa kali pun, rasanya memang lebih baik jika mereka mengakhiri pernikahan settingan itu sesuai ketentuan, sebelum semakin banyak luka yang tercipta.Malamnya, Mama mengetuk pintu kamar Rindu lagi untuk mengajaknya makan malam. Kali ini Rindu tidak mungkin m
"Kok malah bengong?" Duta mencoba untuk nyengir, meski tarikan sudut bibirnya sungguh sangat kaku. "Padahal aku udah berharap kamu akan membalas pakai bahasa Korea juga, biar nggak sia-sia aku hafalinnya.""Apa menurutmu sekarang waktu yang pas untuk bercanda?"Irama luka di kalimat Rindu seketika memadamkan senyum Duta. Kalimat-kalimat yang sudah dipersiapkannya raib entah ke mana. Dari tempatnya berdiri, Duta bisa melihat sepasang manik perempuan di hadapannya—yang semoga masih bisa disebut istrinya—pelan-pelan dihiasi genangan tipis."Kenapa kamu tiba-tiba muncul?"Duta tidak yakin itu jenis pertanyaan yang benar-benar perlu dijawab."Kamu pikir semudah itu aku ke sini?" Rindu menunduk, menatap ujung sepatunya. Dan tanpa sadar, setetes bening jatuh dari sudut matanya. "Aku menerjang banyak hal sendirian. Cuma aku yang paham sakitnya. Aku kalah di tengah pertarungan rasa yang kuciptakan sendiri. Aku benci kenapa tidak bisa baik-baik saja di tempat yang ada kamunya. Dan sekarang, saa
Busan, Korea SelatanDua bulan kemudian ....Mungkin bagi orang-orang di luar sana, Rindu sesantai itu melepas channel-nya. Karena sama sekali tidak ada klarifikasi lanjutan, atau minimal merespons pertanyaan penggemar yang menumpuk di inbox-nya. Namun siapa sangka, dia pernah menangis semalaman diam-diam. Bukan karena menyesal, tapi dia benar-benar kayak merasa kehilangan separuh nyawanya.Keputusan menghapus channel Rindu anggap sebagai langkah pergi pertama. Dan benar, itu belum cukup. Ternyata dia butuh langkah lainnya yang benar-benar membawanya pergi jauh. Maka, seketika saja pikiran untuk ke Korea terlintas. Karena dia memang pernah berjanji untuk mengunjungi Mama suatu hari nanti.Saidah sangat terpukul ketika Rindu menceritakan semuanya. Dia merasa gagal menjadi ibu. Bahkan, pernikahan Rindu yang ternyata berjangka itu, juga pelariannya ke sini, dia anggap turunan darinya, yang juga gagal di pernikahan pertama. Namun, Rindu berusaha menyakinkan bahwa ini murni kesalahannya pr
Penerbangan Jakarta-Makassar memakan waktu sekitar dua jam. Duta mendapatkan kursi di dekat jendela. Dia menatap kerumunan awan dari atas larut-larut, sambil mengenang kembali awal cerita perantauannya hingga takdirnya terpaut dengan Rindu dengan cara yang tidak biasa. Dia berusaha melapangkan dada, meski beberapa hal berjalan tidak sesuai rencana.Ternyata ibu kota jauh lebih keras dari bayangannya selama ini.Bahkan setelah setengah perjalanan, Duta masih belum paham motif kepulangannya kali ini. Pelarian? Penebusan? Penyembuhan? Atau apa? Namun, yang pasti Duta harus lekas menyusun rencana kalau memang berniat menetap kali ini. Dia tidak ingin pulang hanya untuk menyusahkan Ibu. Untuk urusan di Jakarta dia anggap semuanya sudah beres, setidaknya untuk sementara. Kepada ayah mertuanya, Duta pamit pulang ke Makassar sampai Rindu kembali dari Korea. Dan entah kenapa Duta yakin ini akan menjadi jeda yang lama di hubungan tidak jelas mereka, atau malah akhir sekalian. Karena, sama seper
Makan malam dengan anggota KKN yang lengkap berlangsung cukup hangat. Mereka sengaja memilih restoran pinggir kota yang tidak terlalu ramai, tapi dari segi kualitas makanan tetap juara."Sekali lagi makasih, ya, Bams," ujar Duta di sela-sela makan. "Berkat video kamu, prosesku dipermudah."Bams berhenti mengunyah dan tersenyum ke arah Duta. "Sama-sama, Bang.""Aku doain semoga kamu bisa jadi youtuber yang sukses. Soalnya, belum jadi aja videomu udah sangat bermanfaat.""Amin. Makasih, Bang."Yang lain menyimak obrolan itu sambil tetap makan. Sesekali tawa ringan akan meningkahi denting sendok yang bersahutan."Oh ya, Bang, kenapa Kak Rindu tiba-tiba menghapus channel-nya?" Sebenarnya dari tadi sore Bams ingin menanyakan hal ini, tapi kelupaan. "Apa nggak sayang, tuh? Kan, nggak gampang ngumpulin subscribers sebanyak itu."Duta bingung harus jawab apa. Karena pertanyaan serupa pun sedang mendekam di benaknya. Dan sepertinya Bams dan yang lain belum tahu soal kepergian Rindu. Duta menah
Setelah tahu Rindu pergi, Duta merasa tidak pantas lagi pulang ke rumah ini. Namun, dia tidak mungkin menyuruh ayah mertuanya mengantarnya ke tempat lain. Tanpa Rindu, rumah ini tak lebih dari sekadar ruang-ruang beku yang seketika membuat Duta sadar akan satu hal. Di awal-awal mereka kenal, Rindu pernah cerita tentang hidupnya yang lumayan timpang dengan apa yang orang-orang lihat di channel YouTube-nya. Dan hari ini, Duta bisa merasakan salah satu ketimpangan itu, sudut-sudut sepi yang sejatinya tak pernah terjamah.Selama ini Rindu berusaha menghibur orang-orang dengan pembawaan ceria yang khas, meski di fase-fase tertentu dia adalah sosok yang paling kesepian. Duta mengutuk dirinya dalam hati. Bahkan di posisi ini, dia tidak bisa membuat kondisi cewek itu lebih baik, malah memperburuk. Harusnya, sebagai suami—meskipun cuma sementara—dia bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk berbagi cerita dengan Rindu."Loh, Ta?"Sapaan itu memutus pandangan Duta dari sofa tunggal di ruang teng
Video pamit Rindu seketika booming. View-nya mencapai 10 juta dalam waktu kurang dari 24 jam. Kolom komentar dibanjiri emoticon menangis. Semuanya tidak rela kehilangan Rindu. Sebagian berkomentar lebih bijak, mendukung apa pun keputusan Rindu dan mendoakan semoga sukses di rencana selanjutnya.Pagi-pagi Devi sudah heboh. Dengan tampang tercengang-cengang dia menujukkan hastag #RinduJanganPergi yang langsung trending satu di Twitter. Ribuan akun memosting potongan video terakhir Rindu dan membubuhkan caption berupa pendapat masing-masing. Akun-akun gosip di Instagram juga berlomba-lomba membagikan kabar mengejutkan ini.Kotak masuk Rindu di semua sosial media tak kalah penuh. Semua orang seolah dibikin penasaran, kenapa Rindu tiba-tiba ingin menghapus channel-nya."Gila, gila!" Devi berdecak sambil terus men-scroll berita tentang Rindu. "Seheboh ini, loh. Kamu yakin bakal ninggalin mereka?"Rindu yang sedang menikmati roti panggang, atau lebih tepatnya hanya menusuk-nusuknya dengan pi
Duta sama sekali tidak mengira akan berhadapan dengan Rindu di ruang besuk ini. Pertama, istri kontraknya itu sedang sakit. Kedua, bagaimana terakhir mereka berselisih. Mengingat marahnya kemarin, serta sorot kekecewaan di matanya, rasa-rasanya pemakluman, maaf, atau apa pun itu tidak akan turun secepat ini.Namun, kini mereka sedang berbagi udara di ruang yang sama. Hal ini membuat Duta teringat dengan perkataan Devi; "Rindu cinta sama kamu.". Benarkah cinta yang membawanya ke sini?Dalam tundukannya yang kian senyap, Rindu seolah sedang menyembunyikan sesuatu, atau berusaha merangkai kalimat yang bisa meleburkan kekakuan di antara mereka. Andai Devi ikut masuk, mungkin suasananya akan beda. Namun, temannya itu malah memilih menunggu di luar. Katanya, untuk saat ini berdua lebih baik daripada bertiga.Di tengah laju waktu yang terus bergulir, Duta setia menelisik setiap pergerakan Rindu, sekecil apa pun itu. Sama, dia juga tengah berjuang menemukan sesuatu untuk membuka suara lebih d