Sudah terlalu sering Rindu dimodusin cowok, wajar jika hal itu membuatnya agak sangsi dengan kado dari Duta—yang entah kenapa kehadirannya ini masih terasa ajaib. Namun, di sisi lain dia juga penasaran setengah mati apa isinya.
"Tapi maaf, ya, hadiahnya ala kadarnya banget. Nggak sempat dibungkus cantik pula. Tadi belinya juga buru-buru. Untung tiba-tiba kepikiran."Rindu makin penasaran. "Boleh dibuka sekarang?" tanyanya dengan wajah ceria.Duta mengangguk.Rindu pun membuka tutup kotak mungil itu. Ternyata isinya gantungan kunci Winnie the Pooh. Rindu mengeluarkannya, menatapnya larut-larut dengan perasaan yang menghangat. Benda itu jadi terasa sangat berharga karena datangnya dari seseorang yang tidak diduga-duga. Dan tampaknya memang tidak ada modus di baliknya."Jadi menurut kamu, aku ini kayak beruang?" tanya Rindu kemudian dengan nada kekehan.Duta mengangguk sambil menahan tawa.Karena sudah sering dihadapkan dengan kepalsuan, kejujuran Duta ini malah membuat hati Rindu terasa tentram."Tapi beruang yang lucu, imut, dan menggemaskan." Duta memperjelas.Kalimat yang mungkin hanya dimaksudkan untuk melucu itu malah membuat detak jantung Rindu meningkat. Sungguh, dia imut dan menggemaskan di mata Duta?"Tapi, kok, Winnie the Pooh, sih?" tanya Rindu sambil memainkan gantungan kunci itu. "Dia ini, kan, beruang jantan.""Padahal aslinya Winnie itu beruang betina, loh. Penciptanya terinspirasi dari kisah beruang sungguhan""Oh ya?""Coba, deh, dipikir-pikir, Winnie, kan, cocoknya emang untuk nama cewek."Rindu benar-benar tampak berpikir. "Iya, sih.""Tapi entah gimana ceritanya, sejak awal perilisan orang-orang malah mengira kalau Winnie itu cowok. Mungkin karena nggak dikasih tetek."Rindu sontak terpingkal-pingkal. "Anjir. Kalau ada teteknya nanti malah kayak tante-tante, dong." Dia sampai memegangi perutnya."Lalu kata penciptanya, terserah, deh, orang-orang mau nganggap Winnie jantan atau betina, yang penting mereka mencintainya." Duta melanjutkan tanpa diminta, seolah-olah topik tentang Winnie the Pooh memang sangat menarik untuknya."Kok, kayaknya kamu tahu banyak?""Winnie the Pooh kartun favorit aku saat kecil. Tapi aku juga baru tahu kalau ternyata dia itu betina saat udah kuliah. Aku nggak sengaja nemu artikelnya pas lagi nyari bahan tugas.""Sesuka itu, ya, sampai dijadiin foto profil WA?""Kalau itu semacam ... apa, ya?" Duta tampak berpikir sejenak. "Pengingat aja, sih. Bahwa kita pernah punya masa kecil yang sederhana tapi menyenangkan. Masa di mana kita sama sekali belum kepikiran akan menjalani peran dewasa serumit ini."Rindu mengangguk samar seolah setuju. "Andai bisa, ya, balik ke masa kecil lagi. Aku pengin menetap di sana aja selamanya.""Emang, kamu pernah kecil juga, ya?" seloroh Duta."Dutaaa ...." Rindu langsung menoyor lengan cowok itu.Duta tertawa renyah. "Kirain pas lahir langsung segede ini."Rindu mengerucutkan bibir.Setelah tawanya reda, Duta menengadahkan tangan."Apa?" tanya Rindu, masih dengan nada pura-pura sewot."Cincinnya." Duta menunjuk ke jari manis Rindu dengan kedikan dagu."Eh, sampai lupa." Rindu jadi tidak enak. Dia buru-buru melepasnya."Berarti urusan kita udah selesai," kata Duta setelah menerima cincinnya. Cowok bermata teduh itu pun bangkit dan beranjak pergi.Susah dijelaskan, tapi ada semacam ketidakrelaan di sisi Rindu. Dia jarang bisa mengobrol dengan cair dan tertawa serenyah tadi dengan orang asing. Dia tidak rela momen itu berakhir secepat ini. Namun, entah harus dengan cara apa menahan Duta. Rasanya sudah cukup menjajah cowok itu.Setelah beberapa meter, langkah Duta tiba-tiba terhenti dan kembali berbalik. "Kamu mau nggak rayain malam pergantian usia kamu ini bareng aku?" tanyanya kemudian dengan nada yang cukup lantang. "Bareng teman-temanku juga, deh. Rame-rame kayaknya lebih seru," imbuh Duta beberapa detik kemudian.Semesta kadang memang punya cara tersendiri untuk mewujudkan harapan, bahkan yang tidak benar-benar dilangitkan sekalipun.Rindu malah membeku di tempatnya. Dia tidak salah dengar, kan?"Ya udah kalau nggak mau." Duta ingin melanjutkan langkahnya, tapi Rindu buru-buru menyahut."Mau, kok." Dia berdiri sambil menjulurkan sebelah tangan, seolah sedang menahan agar Duta tidak beranjak sedikit pun."Kalau gitu, ayo!" Kepala Duta mengentak lemah.Rindu buru-buru menyusul cowok itu. Perasaannya masih campur aduk.Saat Rindu berbelok ke arah garasi, Duta buru-buru mencegatnya."Eh, kita naik vespaku aja.""Yakin?" tanya cewek berbobot itu dengan sebelah alis menukik."Kamu pasti jarang, kan, menikmati angin malam Jakarta? Meskipun berpolusi, sensasinya lumayan, loh, buat nyegerin kepala yang lagi penat."Rindu masih tampak sangsi. Bukannya apa, gimana kalau ban vespa Duta malah kempes setelah dia naiki? Malunya pasti sampai ke tulang."Kamu punya helm, kan?""Beni punya.""Ambil gih, sebelum masa berlaku tawaran ini berakhir."Kalimat bercanda itu justru berhasil mengomando Rindu untuk lekas bergerak. Namun, baru beberapa langkah dia kembali berbalik."Aku perlu ganti baju dulu nggak?" tanyanya sambil merentangkan sedikit kedua tangannya."Nggak usah. Yang itu udah oke."Rindu pun lekas melanjutkan langkahnya ke dalam. Dia juga tidak paham, kenapa jadinya harus buru-buru begini?Tanpa sadar, Duta senyum-senyum sendiri melihat tingkah cewek gendut itu.Di dalam, Rindu disambut tatapan heran dari teman-temannya yang sedang merundingkan hasil video tadi di ruang tengah."Ada apa lari-larian gitu, Rin?" tanya Tasya.Rindu tidak menggubris. Dia malah bertanya ke Beni. "Helmmu mana?""Di tempat biasa, di samping rak sepatu," jawab Beni setengah melongo."Pinjam, ya!" ujar Rindu sambil lalu."Kok, tumben banget dia nyari helm?" Beni melayangkan tatapan heran ke kedua temannya."Mau ikutan balap liar kali," sahut Tasya sekenanya.Sementara Devi hanya mengedik lemah, lalu kembali fokus ke laptopnya. Vlog tadi harus tayang besok pagi tanpa cacat sedikit pun.Rindu kembali ke hadapan Duta dengan helm yang sudah terpasang di kepalanya, yang ternyata kegedean. Dia terlihat makin lucu."Yuk!" Duta melangkah lebih dulu, menghampiri vespanya yang terparkir di depan pintu gerbang.Setelah duduk di boncengan vespa Duta, diam-diam Rindu mengalunkan doa dalam hati. Bukan doa keselamatan perjalanan, melainkan doa agar ban yang menopang berat tubuhnya kuat dan tabah hingga pulang nanti."Udah siap?" tanya Duta setelah menyalakan vespanya."Ini pegangannya di mana?" Rindu balik bertanya dengan tatapan mencari-cari.Duta pun meraih tangan cewek itu, lalu menuntunnya untuk berpegangan di pinggangnya. "Di sini aja.""Eh?""Tapi jangan digelitik, ya. Nanti malah belok otomatis ke got."Mereka tertawa.Vespa itu pun melaju membelah hiruk pikuk Kota Jakarta.Sebenarnya Rindu agak kikuk, tapi normalnya orang dibonceng memang berpegangan seperti ini. Lebih baik menurut dan jangan banyak goyang. Tidak lucu kalau sampai dia menggelinding di tengah jalan.Rindu menahan diri untuk tidak bertanya ke mana tujuan mereka. Rasanya seperti diculik, tapi menyenangkan. Belum seberapa jauh dia pun sudah membenarkan omongan Duta. Terpaan angin malam ternyata benar-benar bisa membuat kepalanya terasa lebih enteng. Masalah seolah terbawa angin satu per satu. Dan lagi-lagi jantungnya bekerja lebih cepat.***[Bersambung]Mau ke mana, ya? 🤔🤔🤔Bahkan setelah tiba di tempat tujuan, Duta masih belum mengerti kenapa tiba-tiba dia merasa perlu mengajak Rindu keluar. Dibilang kasihan, Rindu bukan tipe orang yang benar-benar perlu dikasihani. Secara materi dia cukup melimpah. Dari luar, kehidupannya jenis kehidupan yang diidam-idamkan generasi zaman now. Namun, di balik semua itu ada satu hal yang tak luput dari radar Duta. Dia bisa merasakan kesepian akut melingkupi cewek itu.Rindu tidak menyangka Duta akan mengajaknya ke angkringan. Tempat semacam ini mengingatkannya terhadap sekelumit kenangan beberapa tahun silam. Namun, sebisa mungkin dia menahan diri agar tidak perlu merapuh. Ini hari spesialnya, dan seseorang yang tiba-tiba masuk ke hidupnya tengah mengupayakan bahagia. Dia tidak boleh merusaknya sepihak."Wah, udah pada datang rupanya," sahut Duta sambil mendekat ke arah teman-temannya. Ada delapan orang yang kompak duduk lesehan melingkar beralaskan tikar. Mereka teman-teman kosan Duta, juga sesama pekerja bangunan."Ud
Dalam perjalanan pulang, Rindu kembali berpegangan di pinggang Duta, tapi tidak lagi sekaku tadi."Thanks banget, ya, Ta. Ini salah satu malam ulang tahun paling berkesan di hidupku."Alih-alih membalas dengan satu dua kata, Duta malah menambah kecepatan vespanya.Rindu refleks mengencangkan pegangannya. "Pelan-pelan, Ta!" katanya setengah teriak.Duta seolah tidak menggubris. Dia malah teriak-teriak tidak jelas kayak anak kecil.Rindu menepuk punggung cowok itu. "Apaan, sih, Ta? Malu dilihatin orang.""Motoran sambil teriak gini seru kali," ujar Duta sambil menoleh sekilas. Lalu, dia teriak lagi kayak Tarzan lagi manggil kawan-kawannya.Duta yang teriak, Rindu yang malu.Duta menoleh lagi. "Cobain, deh.""Jangan keseringan lihat ke belakang, ntar nabrak loh." Rindu serius ngeri. Duta melajukan vespanya dengan kecepatan di atas rata-rata, tapi sikapnya pecicilan begitu.Akhirnya Duta pun kembali fokus ke jalanan. Sepertinya Rindu bukan tipe cewek yang gampang dipancing untuk gila-gila
"Maksudnya, aku ngajak dia nikah?" Agak terbata, Rindu memperjelas."Mau nggak mau, kan?" Devi berkata begitu sambil mengangkat sedikit pundaknya."Aku setuju, sih." Tasya menambahkan. "Hitung-hitung tenagaku juga nggak terbuang percuma. Karena konsep konten ala-ala pasutri muda yang tadinya udah aku siapin buat kamu dan Ari jadi bisa dipakai lagi." Cewek bertubuh mungil itu senyum-senyum sendiri. Belum apa-apa konsep untuk video-video lainnya sudah tergambar jelas di benaknya.Rindu mengangkat kedua tangannya, menekan udara dengan gerakan pelan, menahan sedini mungkin agar pikiran kedua temannya ini tidak semakin ke mana-mana. "Aku emang udah setengah waras gara-gara masalah ini, tapi jangan sampai gila beneran, dong." Dia menatap serius kedua temannya bergantian. "Kalian pikir ngajak orang nikah segampang ngajakin makan bakso? Ini Duta, loh. Cowok modelan kayak dia tiba-tiba diajak nikah ...?" Rindu menggeleng samar. "Nggak kebayang pokoknya. Kecuali kalau aku ini cantik, langsing,
Gagal menemukan jawaban di tempat kerja, Rindu bergegas ke rumah Ari. Dia semakin yakin ada yang tidak beres. Dia harus tahu ada apa di balik semua ini. Namun, setibanya di rumah yang berlokasi di kawasan perumahan kelas menengah itu, Rindu tidak mendapati siapa pun di sana. Pintu rumahnya tertutup rapat. Sampah-sampah plastik berserakan di halamannya, seolah rumah itu sudah lama tidak ditinggali.Tidak ingin bingung sendiri, Rindu pun bertanya ke tetangga yang kebetulan sedang mengangkat cucian yang sudah kering. Dia merapat ke sisi pagar seraya mengembangkan senyum."Permisi, Bu. Mau numpang tanya," ujarnya sopan sambil mengangguk ringan."Ya, Mbak." Ibu berdaster merah terang itu menghentikan sejenak aktivitasnya."Pak Rahmat sama keluarganya ke mana, ya?"Ibu itu mengernyit. "Pak Rahmat?""Iya, yang tinggal di sini." Rindu menunjuk dengan jempol rumah di belakangnya tanpa menoleh."Maksud Mbak keluarga yang cuma ngontrak beberapa hari itu?""Cuma beberapa hari?" Kening Rindu berke
Duta lekas membantu Rindu berdiri, sebelum anak buah Juragan Dante menemukannya. Untungnya Rindu tidak mengalami luka serius, hanya goresan kecil di telapak tangannya."Duh, sori banget, ya." Duta meraih tangan Rindu dan memperhatikan luka itu."Emang ada apa, sih, sampai lari-larian segala?" tanya Rindu sambil meringis menahan rasa perih. Kemudian dia celingukan mencari sesuatu. "Vespamu mana?""Itu dia!" Teriakan itu diiringi gemuruh alas sepatu yang beradu dengan aspal.Melihat kemunculan orang-orang itu, Duta gelagapan. "Aku harus pergi sekarang!" katanya sambil ancang-ancang untuk lari.Namun, Rindu malah menahannya. "Masuk!" katanya sambil membuka pintu mobil.Tidak ada waktu untuk berpikir. Duta pun bergegas masuk. Begitu juga dengan Rindu, buru-buru menyalakan mobil dan bergegas pergi dari sana.Orang-orang itu masih berusaha mengejar, sampai akhirnya capek sendiri dan menyerah."Ada apa, sih? Siapa mereka? Ngapain ngejar kamu?" cecar Rindu setelah keluar ke jalan utama.Duta
Saking semangatnya ingin ketemu Duta, Rindu datang tiga puluh menit lebih awal. Kali ini dia yang memilih tempat, sebuah kafe bernuansa retro dengan iringan live akustikan. Perpaduan yang cukup hangat.Rindu menyiapkan penampilannya kali ini sedari sore. Entahlah, dia belum pernah sepenuh pertimbangan begini saat memilih pakaian. Dia sampai bertanya ke Mbah Google segala tips berpakaian untuk cewek berisi seperti dirinya.Sambil menunggu, Rindu melihat-lihat kolom komentar video-videonya di YouTube. Dia membubuhkan tanda hati di komentar-komentar yang bernada positif. Puas di sana, dia beralih ke Instagram. Ternyata Bams mengirim pesan beberapa jam yang lalu. Isinya masih lanjutan pertanyaan-pertanyaannya di angkringan kemarin. Rindu pun membalasnya, merincikan sebisanya.Melihat antusias Bams, Rindu seperti melihat dirinya bertahun-tahun silam saat baru akan memulai channel-nya. Dan di masa-masa seperti itu, rasanya sangat menyenangkan jika bertemu seseorang yang tidak pelit ilmu.Se
Bermenit-menit setelah Duta pergi, Rindu masih terpaku di kursinya. Dia merasa bersalah dan takut di saat bersamaan. Dia tidak bisa menahan Duta, terlebih memaksanya. Karena jika dia yang berada di posisi cowok itu, mungkin juga akan bertindak yang sama.Wajar kalau Duta marah. Wajar kalau Duta tersinggung. Atau apa pun yang dia rasakan setelah mendengar tawaran Rindu, semuanya wajar. Manusiawi. Satu-satunya yang tidak wajar di sini adalah Rindu dan obsesinya."Gimana, Rin?" tanya Tasya begitu Rindu tiba di rumah.Ketiga temannya sedang berkumpul di ruang tengah, seolah memang sedang menunggu kepulangan Rindu.Bahu Rindu merosot perlahan. "Ternyata nggak segampang yang kita kira.""Duta nggak mau?" Devi mulai cemas."Masa, sih, dia nolak bayaran sebanyak itu?" Beni ikut menimpali, sambil mengelus-elus kepala kucing kesayangannya."Dia bahkan pergi sebelum aku rincikan soal bayarannya.""Ya Tuhan." Tasya menyugar rambutnya ke belakang. "Jadi nasib kita gimana?""Mending dari sekarang k
Pagi-pagi sekali Rindu sudah sibuk merancang strategi yang harus dilakukan kalau sampai channel-nya yang sekarang benar-benar harus dihapus dan terpaksa mulai dari nol lagi. Dia bahkan belum mandi. Dia harus bersiap menyambut hal terburuk sedini mungkin. Mengharapkan Duta sepertinya tidak mungkin lagi, mencari cowok lain pun sama saja mempermalukan diri sendiri. Bisa-bisa dia malah dihujat karena terlalu drama.Di tengah kebingungan Rindu, suara tanda pesan masuk menginterupsi. Ternyata dari Duta. Rindu buru-buru membukanya.Duta Sang Penolong: Tawaran nikah kontrak masih berlaku?Se-to the point itu. Rindu langsung terbelalak. Dia tidak salah baca, kan?Rindu sengaja mendiamkan pesan itu, meski tangannya sudah gatal ingin membalas. Siapa tahu Duta hanya berniat mengerjainya dan akan menarik kembali pesan itu, atau mengaku salah kirim, salah ketik, atau apa pun itu. Karena pesan itu sungguh sulit dipercaya.Namun, hingga sepuluh menit berlalu, Duta tak kunjung menarik pesannya. Rindu