Setiap kali Tasya dan Devi menginap, pagi-pagi sekali mereka akan membantu Rindu menyiapkan sarapan. Meskipun keseringan hanya menyiapkan roti, susu atau jus, telur mata sapi, dan menu sarapan praktis lainnya. Di antara mereka memang tidak ada yang terbiasa sarapan berat-berat.Membiasakan diri melakukan aktivitas kecil secara bersama-sama salah satu cara yang ditempuh Rindu agar timnya tetap kompak. Tasya dan Devi pernah menyarankan agar mereka mempekerjakan ART, tapi Rindu tidak pernah mau.Kali ini, dan mungkin untuk seterusnya, Rindu tak lupa menyiapkan nasi goreng. Meskipun Duta hanya suami sementaranya, dia sama sekali tidak keberatan kalau harus memperhatikan kebutuhan cowok itu."Cieee ... ada yang menikmati peran jadi istri, nih," goda Tasya yang sedang mengambil beberapa buah apel di kulkas."Biar cepat terbiasa, biar kamu nggak capek-capek ngarahin," kilah Rindu tanpa mengalihkan fokus dari pekerjaannya."Good job!" Tasya menepuk pundak Rindu sambil terkekeh.Beberapa saat
"Yakin nggak ada yang ketinggalan lagi?" tanya Rindu sambil menghampiri Duta yang sedang sibuk menyusun barang-barangnya. Hari ini dia resmi pindah ke rumah Rindu. Duta sudah meninggalkan kosan KKN, tapi tidak akan sudi didepak dari grup. Padahal jelas-jelas sekarang statusnya tidak bujang lagi.Duta mengedarkan pandangan sejenak, lalu menggeleng. "Kayaknya nggak ada lagi, deh.""Kalau butuh tambahan lemari atau perabot lain, bilang aja, ya. Jangan sungkan.""Siap." Duta tersenyum lebar, senyum yang mulai Rindu hafal setiap lekuknya.Jika Duta memang ujian untuk hidup Rindu, bisa dipastikan dia sudah gagal. Gagal total malah. Setelah Tristan dan Ari, seharusnya dia bisa lebih hati-hati menyikapi cowok. Namun, untuk seorang Duta, dia mengaku kalah. Anehnya, cowok itu tidak pernah terlihat terang-terangan tebar pesona, tapi tetap saja Rindu terjerat."Eh, biar aku aja," cegah Duta saat melihat Rindu menyemplungkan diri di antara tumpukan pakaian dan mulai melipatnya satu per satu untuk
Pukul 03.25, Rindu dan timnya baru siap. Sesuai dugaan, Beni susah banget dibangunin. Sudah begitu pintu kamarnya pakai dikunci segala. Tasya dan Devi bergantian meneleponnya, tapi tidak digubris. Dia baru bangun setelah Duta menggedor-gedor pintu kamarnya."Ya Tuhan, beramal harus gini banget, ya?" keluh Beni setelah masuk ke mobil. Tentu saja dia tidak mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi. Karena nyawanya belum terkumpul, kali ini urusan menyetir dia serahkan ke Duta."Sekalinya beramal malah perhitungan banget," sindir Tasya yang duduk tepat di belakangnya."Ini bukan perhitungan, Sya, tapi menyangkut kelangsungan hidup. Kan, kita mau ngasih makan orang, tapi aku aja lagi butuh tabung oksigen ini."Yang lain serentak tertawa.Karena sudah molor dari waktu yang dijadwalkan, Duta lekas melajukan mobil ke warung tempat mereka memesan makanan. Beni masih melanjutkan ceramahnya. Tasya pun begitu semangat menanggapi. Untuk urusan debat mereka memang jagonya.Sesampainya di warung, untun
"Terus, videonya mau diapain?" tanya Duta setelah Rindu selesai mengeluarkan semua unek-uneknya soal kedua orangtua palsu Ari. Padahal sejak di mobil tadi juga sudah misuh-misuh, hanya saja Duta tidak begitu paham duduk perkaranya. Tadi dia tidak ikut turun karena merasa masalah itu bukan sesuatu yang harus dia campuri.Saat ini Duta hanya berduaan dengan Rindu di meja makan. Setibanya tadi, yang lain langsung masuk lagi ke kamar masing-masing. Karena Duta harus tetap kerja hari ini, proses bagi-bagi makanannya sengaja dipercepat. Sekarang dia sedang sarapan terlebih dahulu."Mau aku sebarinlah!" Amarah Rindu belum juga reda seutuhnya. Kalau saja saat ini di depannya ada Ari atau Tristan, pasti sudah dia penyet."Supaya?""Ya supaya orang-orang tahu kebusukannya.""Kalau sudah gitu, apa untungnya buat kamu?"Mulut Rindu langsung terbuka, tapi kemudian malah bingung harus berkata apa."Kamu pernah mikir gini, nggak? Ketika kamu mengangkat bangkai untuk ditunjukkan ke orang-orang, mau t
Matahari semakin turun. Angin sore menerbangkan debu-debu di lokasi proyek. Pekerjaan hari ini akan rampung sesaat lagi. Duta istirahat sebentar sekadar mengelap peluh dan melepas dahaga. Usai menenggak air mineralnya hingga setengah, Duta mengecek ponselnya sebentar sebelum lanjut bekerja. Namun, dia malah mendapati panggilan tidak terjawab dari Tiwi secara beruntun.Ada angin apa tiba-tiba cewek itu menghubunginya lagi? Padahal sejak Duta menyatakan perasaannya, mereka pelan-pelan menjadi asing kembali. Bukan sengaja, tapi topik receh yang selama ini selalu mampu menghidupkan segala suasana, sekarang terasa kaku.Karena penasaran, Duta pun menelepon balik mantan gebetannya itu."Halo, Ta ...." Suara Tiwi terdengar lirih dan sesak. Hal itu membuat Duta khawatir. Sepertinya sesuatu sedang terjadi."Ada apa, Wi?""Tolong aku, Ta." Kali ini suara Tiwi malah diselingi isak."Kamu kenapa?" Suara Duta meninggi. Tanpa sadar dia mulai mondar-mandir sambil sebelah tangan memijat kening."Aku
"Tapi, aku udah pindah dari kontrakan lama.""Tahu, kok." Tiwi menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Setelah nikah emang harus serumah sama, kan?"Tadinya Duta pikir Tiwi belum tahu soal pernikahannya."Meskipun nggak diundang, aku tahu, kok soal pernikahan kalian. Rindu itu udah sekelas selebriti nasional, beritanya ada di mana-mana.""Sori, ya, bukannya nggak mau ngundang, tapi—"Tiwi angkat tangan untuk mencegat omongan Duta. "Aku ngerti, kok." Dia tersenyum lemah. "Sori juga, kalau sikapku waktu itu bikin kamu tersinggung. Harusnya aku bisa memberikan sedikit penjelasan, bukan main pergi gitu aja.""Sudahlah ... semuanya udah kejadian."Tiwi menelan ludah kelat. Dia menyia-nyiakan cowok sebaik Duta hanya untuk lelaki yang ternyata sudah punya istri."Jadi, boleh, kan, malam ini aku ikut kamu?" Tiwi sadar, ini permintaan yang agak memberatkan, tapi untuk saat ini dia benar-benar tidak bisa sendiri dulu.Setelah menimbang sebentar, akhirnya Duta mengangguk. "Tapi nanti tergan
"Yang tadi malam bukan dosa, kan?"Bahkan setelah berjam-jam berlalu, Rindu masih menggumamkan pertanyaan itu dalam kepalanya. Sekarang dia sedang menyiapkan sarapan, tapi kenakalannya tadi malam terus saja terbayang. Sesekali dia senyum-senyum sendiri. Kalau saat ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Duta, dia belum pernah sejatuh ini sebelumnya.Namun, perasaan itu mendadak lesap jika teringat, bahwa saat ini, di salah satu kamar rumah ini, ada seorang cewek yang Duta bawa pulang dengan alasan entah."Tadi malam habis dari mana, sih?" Suara Duta tiba-tiba hadir. Rindu agak kaget. "Sampai aku tidur, kayaknya kamu belum pulang, deh." Duta melanjutkan ucapannya sambil melangkah ke arah kulkas. Dia mengeluarkan sebotol air mineral, lalu membawanya ke meja makan. Dia duduk di sana sambil menunggu jawaban Rindu."Mm ...." Rindu bingung harus jawab apa. "Itu, ada sedikit selisih paham dengan salah seorang pemilik restoran yang pernah kuajak kerjasama. Emang agak ribet, sih. Jadi lumayan l
"Emang menurut kamu ... selama ini kita apa?"Terdengar helaan napas sebelum Tiwi bertanya balik. "Apa masih penting dipertanyakan?" Dia menatap Duta lebih serius dari sebelumnya. "Apa pun jawabanku, nggak akan mengubah keadaan, kan?"Seketika tenggorokan Duta semacam tersumpal sesuatu. Dia juga tidak tahu kenapa pertanyaan sesensitif itu tiba-tiba tergelincir dari lidahnya.Hening cukup lama. Kata-kata tiba-tiba sulit terangkai."Andai aku ketemu kamu lebih dulu, Ta."Duta tidak ingin terjebak di situasi semacam ini. Harusnya dia bisa keluar dari kamar itu dan membiarkan semuanya kembali lesap bersama angin. Jangan ada yang menjelma tunas-tunas kenangan. Namun, nyatanya dia malah bertahan di samping Tiwi, seolah teramat penasaran dengan apa-apa yang akan dikatakan cewek itu selanjutnya."Kita ketemu dan tiba-tiba merasa cocok di saat aku sudah bersama dia. Aku sengaja nggak pernah cerita karena ...." Tiwi tampak ragu dengan apa yang akan diucapkannya. "Karena selama ini, setiap kali
Ketika menerima pesan dari Rindu yang mengajak bertemu di salah satu taman kota, Duta bingung harus senang atau bagaimana. Mengingat bagaimana reaksi perempuan itu di makan malam kemarin, Duta takut menerka-nerka.Duta tiba 15 menit lebih awal dari jam janjian, tapi ternyata Rindu sudah lebih dulu ada sana."Maaf, aku telat," ujar Duta setibanya di samping perempuan itu. Sekadar basa-basi, karena saat turun dari taksi tadi, dia sempat mengecek jam dan tahu betul ini belum memasuki jam yang ditentukan."Duduk."Respons berupa satu kata itu sempat membuat Duta bergidik. Kesannya sangat dingin, meski nadanya datar-datar saja.Setelah duduk, malah hening. Duta sungguh bingung harus ngomong apa. Masa yang kemarin harus diulang lagi? Daripada kayak patung, akhirnya Duta memindai suasana taman yang sangat sejuk itu. Setapaknya dipagari pohon maple."Ini tempat pertama yang aku kunjungi sendirian di Korea," ujar Rindu akhirnya.Duta mengerjap berkali-kali. Pasalnya, kalimat barusan, nadanya j
Sejak pulang dari Seomyeon Underground Shopping Center, Rindu tidak pernah keluar kamar. Bahkan saat Mama memanggilnya untuk minum teh bersama di sore hari, dia beralasan agak kurang enak badan sehabis jalan. Saat ini lebih menyenangkan rebahan daripada minum teh, katanya.Rasanya masih seperti mimpi tiba-tiba Rindu bertemu Duta hari ini. Sesengaja itukah Tuhan menghadirkan hal yang dihindarinya hingga rela pergi sejauh ini?Kenapa?Tadi, Rindu memilih buru-buru pergi sebelum bertindak konyol. Karena sejujurnya, hampir saja dia menubruk lelaki itu dan membakar gulungan rindu dalam satu dekapan. Untungnya dia masih bisa menahan diri. Meski tetap saja hatinya belum punya ruang untuk memulai episode baru bersama lelaki itu. Dipikir berapa kali pun, rasanya memang lebih baik jika mereka mengakhiri pernikahan settingan itu sesuai ketentuan, sebelum semakin banyak luka yang tercipta.Malamnya, Mama mengetuk pintu kamar Rindu lagi untuk mengajaknya makan malam. Kali ini Rindu tidak mungkin m
"Kok malah bengong?" Duta mencoba untuk nyengir, meski tarikan sudut bibirnya sungguh sangat kaku. "Padahal aku udah berharap kamu akan membalas pakai bahasa Korea juga, biar nggak sia-sia aku hafalinnya.""Apa menurutmu sekarang waktu yang pas untuk bercanda?"Irama luka di kalimat Rindu seketika memadamkan senyum Duta. Kalimat-kalimat yang sudah dipersiapkannya raib entah ke mana. Dari tempatnya berdiri, Duta bisa melihat sepasang manik perempuan di hadapannya—yang semoga masih bisa disebut istrinya—pelan-pelan dihiasi genangan tipis."Kenapa kamu tiba-tiba muncul?"Duta tidak yakin itu jenis pertanyaan yang benar-benar perlu dijawab."Kamu pikir semudah itu aku ke sini?" Rindu menunduk, menatap ujung sepatunya. Dan tanpa sadar, setetes bening jatuh dari sudut matanya. "Aku menerjang banyak hal sendirian. Cuma aku yang paham sakitnya. Aku kalah di tengah pertarungan rasa yang kuciptakan sendiri. Aku benci kenapa tidak bisa baik-baik saja di tempat yang ada kamunya. Dan sekarang, saa
Busan, Korea SelatanDua bulan kemudian ....Mungkin bagi orang-orang di luar sana, Rindu sesantai itu melepas channel-nya. Karena sama sekali tidak ada klarifikasi lanjutan, atau minimal merespons pertanyaan penggemar yang menumpuk di inbox-nya. Namun siapa sangka, dia pernah menangis semalaman diam-diam. Bukan karena menyesal, tapi dia benar-benar kayak merasa kehilangan separuh nyawanya.Keputusan menghapus channel Rindu anggap sebagai langkah pergi pertama. Dan benar, itu belum cukup. Ternyata dia butuh langkah lainnya yang benar-benar membawanya pergi jauh. Maka, seketika saja pikiran untuk ke Korea terlintas. Karena dia memang pernah berjanji untuk mengunjungi Mama suatu hari nanti.Saidah sangat terpukul ketika Rindu menceritakan semuanya. Dia merasa gagal menjadi ibu. Bahkan, pernikahan Rindu yang ternyata berjangka itu, juga pelariannya ke sini, dia anggap turunan darinya, yang juga gagal di pernikahan pertama. Namun, Rindu berusaha menyakinkan bahwa ini murni kesalahannya pr
Penerbangan Jakarta-Makassar memakan waktu sekitar dua jam. Duta mendapatkan kursi di dekat jendela. Dia menatap kerumunan awan dari atas larut-larut, sambil mengenang kembali awal cerita perantauannya hingga takdirnya terpaut dengan Rindu dengan cara yang tidak biasa. Dia berusaha melapangkan dada, meski beberapa hal berjalan tidak sesuai rencana.Ternyata ibu kota jauh lebih keras dari bayangannya selama ini.Bahkan setelah setengah perjalanan, Duta masih belum paham motif kepulangannya kali ini. Pelarian? Penebusan? Penyembuhan? Atau apa? Namun, yang pasti Duta harus lekas menyusun rencana kalau memang berniat menetap kali ini. Dia tidak ingin pulang hanya untuk menyusahkan Ibu. Untuk urusan di Jakarta dia anggap semuanya sudah beres, setidaknya untuk sementara. Kepada ayah mertuanya, Duta pamit pulang ke Makassar sampai Rindu kembali dari Korea. Dan entah kenapa Duta yakin ini akan menjadi jeda yang lama di hubungan tidak jelas mereka, atau malah akhir sekalian. Karena, sama seper
Makan malam dengan anggota KKN yang lengkap berlangsung cukup hangat. Mereka sengaja memilih restoran pinggir kota yang tidak terlalu ramai, tapi dari segi kualitas makanan tetap juara."Sekali lagi makasih, ya, Bams," ujar Duta di sela-sela makan. "Berkat video kamu, prosesku dipermudah."Bams berhenti mengunyah dan tersenyum ke arah Duta. "Sama-sama, Bang.""Aku doain semoga kamu bisa jadi youtuber yang sukses. Soalnya, belum jadi aja videomu udah sangat bermanfaat.""Amin. Makasih, Bang."Yang lain menyimak obrolan itu sambil tetap makan. Sesekali tawa ringan akan meningkahi denting sendok yang bersahutan."Oh ya, Bang, kenapa Kak Rindu tiba-tiba menghapus channel-nya?" Sebenarnya dari tadi sore Bams ingin menanyakan hal ini, tapi kelupaan. "Apa nggak sayang, tuh? Kan, nggak gampang ngumpulin subscribers sebanyak itu."Duta bingung harus jawab apa. Karena pertanyaan serupa pun sedang mendekam di benaknya. Dan sepertinya Bams dan yang lain belum tahu soal kepergian Rindu. Duta menah
Setelah tahu Rindu pergi, Duta merasa tidak pantas lagi pulang ke rumah ini. Namun, dia tidak mungkin menyuruh ayah mertuanya mengantarnya ke tempat lain. Tanpa Rindu, rumah ini tak lebih dari sekadar ruang-ruang beku yang seketika membuat Duta sadar akan satu hal. Di awal-awal mereka kenal, Rindu pernah cerita tentang hidupnya yang lumayan timpang dengan apa yang orang-orang lihat di channel YouTube-nya. Dan hari ini, Duta bisa merasakan salah satu ketimpangan itu, sudut-sudut sepi yang sejatinya tak pernah terjamah.Selama ini Rindu berusaha menghibur orang-orang dengan pembawaan ceria yang khas, meski di fase-fase tertentu dia adalah sosok yang paling kesepian. Duta mengutuk dirinya dalam hati. Bahkan di posisi ini, dia tidak bisa membuat kondisi cewek itu lebih baik, malah memperburuk. Harusnya, sebagai suami—meskipun cuma sementara—dia bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk berbagi cerita dengan Rindu."Loh, Ta?"Sapaan itu memutus pandangan Duta dari sofa tunggal di ruang teng
Video pamit Rindu seketika booming. View-nya mencapai 10 juta dalam waktu kurang dari 24 jam. Kolom komentar dibanjiri emoticon menangis. Semuanya tidak rela kehilangan Rindu. Sebagian berkomentar lebih bijak, mendukung apa pun keputusan Rindu dan mendoakan semoga sukses di rencana selanjutnya.Pagi-pagi Devi sudah heboh. Dengan tampang tercengang-cengang dia menujukkan hastag #RinduJanganPergi yang langsung trending satu di Twitter. Ribuan akun memosting potongan video terakhir Rindu dan membubuhkan caption berupa pendapat masing-masing. Akun-akun gosip di Instagram juga berlomba-lomba membagikan kabar mengejutkan ini.Kotak masuk Rindu di semua sosial media tak kalah penuh. Semua orang seolah dibikin penasaran, kenapa Rindu tiba-tiba ingin menghapus channel-nya."Gila, gila!" Devi berdecak sambil terus men-scroll berita tentang Rindu. "Seheboh ini, loh. Kamu yakin bakal ninggalin mereka?"Rindu yang sedang menikmati roti panggang, atau lebih tepatnya hanya menusuk-nusuknya dengan pi
Duta sama sekali tidak mengira akan berhadapan dengan Rindu di ruang besuk ini. Pertama, istri kontraknya itu sedang sakit. Kedua, bagaimana terakhir mereka berselisih. Mengingat marahnya kemarin, serta sorot kekecewaan di matanya, rasa-rasanya pemakluman, maaf, atau apa pun itu tidak akan turun secepat ini.Namun, kini mereka sedang berbagi udara di ruang yang sama. Hal ini membuat Duta teringat dengan perkataan Devi; "Rindu cinta sama kamu.". Benarkah cinta yang membawanya ke sini?Dalam tundukannya yang kian senyap, Rindu seolah sedang menyembunyikan sesuatu, atau berusaha merangkai kalimat yang bisa meleburkan kekakuan di antara mereka. Andai Devi ikut masuk, mungkin suasananya akan beda. Namun, temannya itu malah memilih menunggu di luar. Katanya, untuk saat ini berdua lebih baik daripada bertiga.Di tengah laju waktu yang terus bergulir, Duta setia menelisik setiap pergerakan Rindu, sekecil apa pun itu. Sama, dia juga tengah berjuang menemukan sesuatu untuk membuka suara lebih d