Sehari setelah pulang dari Makassar, Rindu menggelar rapat dengan timnya. Jadwal mereka mulai keteteran karena banyak hal yang terjadi di luar dugaan. Beberapa pemilik brand mulai melayangkan komplain karena sudah mengirimkan sampel produk dalam partai besar tapi tak kunjung dibuatkan video campaign. Tentu saja hal itu meresahkan. Sesegera mungkin Rindu dan timnya harus berbenah agar segala sesuatunya bisa kembali kondusif."Jadi, harus menyelesaikan yang mana dulu, nih?" Devi melayangkan pertanyaan di tengah-tengah diskusi."Kalau menurutku, mending kita selesaikan dulu semua yang sistemnya ngirim produk ke kita. Kan, itu bisa dibabat sekaligus sekali waktu tanpa harus ke mana-mana. Setelah itu baru kita cicil restoran-restoran di Jabodetabek. Yang tempatnya jauh kita garap terakhir. Nanti tinggal kita kirimi surat permohonan maaf atas kemunduran waktunya. Gimana menurut kalian?" Tasya menatap teman-temannya satu per satu."Aku setuju," sahut Devi."Kamu bisa handle soal surat permin
Setiap kali Tasya dan Devi menginap, pagi-pagi sekali mereka akan membantu Rindu menyiapkan sarapan. Meskipun keseringan hanya menyiapkan roti, susu atau jus, telur mata sapi, dan menu sarapan praktis lainnya. Di antara mereka memang tidak ada yang terbiasa sarapan berat-berat.Membiasakan diri melakukan aktivitas kecil secara bersama-sama salah satu cara yang ditempuh Rindu agar timnya tetap kompak. Tasya dan Devi pernah menyarankan agar mereka mempekerjakan ART, tapi Rindu tidak pernah mau.Kali ini, dan mungkin untuk seterusnya, Rindu tak lupa menyiapkan nasi goreng. Meskipun Duta hanya suami sementaranya, dia sama sekali tidak keberatan kalau harus memperhatikan kebutuhan cowok itu."Cieee ... ada yang menikmati peran jadi istri, nih," goda Tasya yang sedang mengambil beberapa buah apel di kulkas."Biar cepat terbiasa, biar kamu nggak capek-capek ngarahin," kilah Rindu tanpa mengalihkan fokus dari pekerjaannya."Good job!" Tasya menepuk pundak Rindu sambil terkekeh.Beberapa saat
"Yakin nggak ada yang ketinggalan lagi?" tanya Rindu sambil menghampiri Duta yang sedang sibuk menyusun barang-barangnya. Hari ini dia resmi pindah ke rumah Rindu. Duta sudah meninggalkan kosan KKN, tapi tidak akan sudi didepak dari grup. Padahal jelas-jelas sekarang statusnya tidak bujang lagi.Duta mengedarkan pandangan sejenak, lalu menggeleng. "Kayaknya nggak ada lagi, deh.""Kalau butuh tambahan lemari atau perabot lain, bilang aja, ya. Jangan sungkan.""Siap." Duta tersenyum lebar, senyum yang mulai Rindu hafal setiap lekuknya.Jika Duta memang ujian untuk hidup Rindu, bisa dipastikan dia sudah gagal. Gagal total malah. Setelah Tristan dan Ari, seharusnya dia bisa lebih hati-hati menyikapi cowok. Namun, untuk seorang Duta, dia mengaku kalah. Anehnya, cowok itu tidak pernah terlihat terang-terangan tebar pesona, tapi tetap saja Rindu terjerat."Eh, biar aku aja," cegah Duta saat melihat Rindu menyemplungkan diri di antara tumpukan pakaian dan mulai melipatnya satu per satu untuk
Pukul 03.25, Rindu dan timnya baru siap. Sesuai dugaan, Beni susah banget dibangunin. Sudah begitu pintu kamarnya pakai dikunci segala. Tasya dan Devi bergantian meneleponnya, tapi tidak digubris. Dia baru bangun setelah Duta menggedor-gedor pintu kamarnya."Ya Tuhan, beramal harus gini banget, ya?" keluh Beni setelah masuk ke mobil. Tentu saja dia tidak mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi. Karena nyawanya belum terkumpul, kali ini urusan menyetir dia serahkan ke Duta."Sekalinya beramal malah perhitungan banget," sindir Tasya yang duduk tepat di belakangnya."Ini bukan perhitungan, Sya, tapi menyangkut kelangsungan hidup. Kan, kita mau ngasih makan orang, tapi aku aja lagi butuh tabung oksigen ini."Yang lain serentak tertawa.Karena sudah molor dari waktu yang dijadwalkan, Duta lekas melajukan mobil ke warung tempat mereka memesan makanan. Beni masih melanjutkan ceramahnya. Tasya pun begitu semangat menanggapi. Untuk urusan debat mereka memang jagonya.Sesampainya di warung, untun
"Terus, videonya mau diapain?" tanya Duta setelah Rindu selesai mengeluarkan semua unek-uneknya soal kedua orangtua palsu Ari. Padahal sejak di mobil tadi juga sudah misuh-misuh, hanya saja Duta tidak begitu paham duduk perkaranya. Tadi dia tidak ikut turun karena merasa masalah itu bukan sesuatu yang harus dia campuri.Saat ini Duta hanya berduaan dengan Rindu di meja makan. Setibanya tadi, yang lain langsung masuk lagi ke kamar masing-masing. Karena Duta harus tetap kerja hari ini, proses bagi-bagi makanannya sengaja dipercepat. Sekarang dia sedang sarapan terlebih dahulu."Mau aku sebarinlah!" Amarah Rindu belum juga reda seutuhnya. Kalau saja saat ini di depannya ada Ari atau Tristan, pasti sudah dia penyet."Supaya?""Ya supaya orang-orang tahu kebusukannya.""Kalau sudah gitu, apa untungnya buat kamu?"Mulut Rindu langsung terbuka, tapi kemudian malah bingung harus berkata apa."Kamu pernah mikir gini, nggak? Ketika kamu mengangkat bangkai untuk ditunjukkan ke orang-orang, mau t
Matahari semakin turun. Angin sore menerbangkan debu-debu di lokasi proyek. Pekerjaan hari ini akan rampung sesaat lagi. Duta istirahat sebentar sekadar mengelap peluh dan melepas dahaga. Usai menenggak air mineralnya hingga setengah, Duta mengecek ponselnya sebentar sebelum lanjut bekerja. Namun, dia malah mendapati panggilan tidak terjawab dari Tiwi secara beruntun.Ada angin apa tiba-tiba cewek itu menghubunginya lagi? Padahal sejak Duta menyatakan perasaannya, mereka pelan-pelan menjadi asing kembali. Bukan sengaja, tapi topik receh yang selama ini selalu mampu menghidupkan segala suasana, sekarang terasa kaku.Karena penasaran, Duta pun menelepon balik mantan gebetannya itu."Halo, Ta ...." Suara Tiwi terdengar lirih dan sesak. Hal itu membuat Duta khawatir. Sepertinya sesuatu sedang terjadi."Ada apa, Wi?""Tolong aku, Ta." Kali ini suara Tiwi malah diselingi isak."Kamu kenapa?" Suara Duta meninggi. Tanpa sadar dia mulai mondar-mandir sambil sebelah tangan memijat kening."Aku
"Tapi, aku udah pindah dari kontrakan lama.""Tahu, kok." Tiwi menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Setelah nikah emang harus serumah sama, kan?"Tadinya Duta pikir Tiwi belum tahu soal pernikahannya."Meskipun nggak diundang, aku tahu, kok soal pernikahan kalian. Rindu itu udah sekelas selebriti nasional, beritanya ada di mana-mana.""Sori, ya, bukannya nggak mau ngundang, tapi—"Tiwi angkat tangan untuk mencegat omongan Duta. "Aku ngerti, kok." Dia tersenyum lemah. "Sori juga, kalau sikapku waktu itu bikin kamu tersinggung. Harusnya aku bisa memberikan sedikit penjelasan, bukan main pergi gitu aja.""Sudahlah ... semuanya udah kejadian."Tiwi menelan ludah kelat. Dia menyia-nyiakan cowok sebaik Duta hanya untuk lelaki yang ternyata sudah punya istri."Jadi, boleh, kan, malam ini aku ikut kamu?" Tiwi sadar, ini permintaan yang agak memberatkan, tapi untuk saat ini dia benar-benar tidak bisa sendiri dulu.Setelah menimbang sebentar, akhirnya Duta mengangguk. "Tapi nanti tergan
"Yang tadi malam bukan dosa, kan?"Bahkan setelah berjam-jam berlalu, Rindu masih menggumamkan pertanyaan itu dalam kepalanya. Sekarang dia sedang menyiapkan sarapan, tapi kenakalannya tadi malam terus saja terbayang. Sesekali dia senyum-senyum sendiri. Kalau saat ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Duta, dia belum pernah sejatuh ini sebelumnya.Namun, perasaan itu mendadak lesap jika teringat, bahwa saat ini, di salah satu kamar rumah ini, ada seorang cewek yang Duta bawa pulang dengan alasan entah."Tadi malam habis dari mana, sih?" Suara Duta tiba-tiba hadir. Rindu agak kaget. "Sampai aku tidur, kayaknya kamu belum pulang, deh." Duta melanjutkan ucapannya sambil melangkah ke arah kulkas. Dia mengeluarkan sebotol air mineral, lalu membawanya ke meja makan. Dia duduk di sana sambil menunggu jawaban Rindu."Mm ...." Rindu bingung harus jawab apa. "Itu, ada sedikit selisih paham dengan salah seorang pemilik restoran yang pernah kuajak kerjasama. Emang agak ribet, sih. Jadi lumayan l