Marshel tiba dirumahnya, ia terkejut ketika ada mobil polisi yang terparkir dihalaman rumahnya. Dadanya kembali sakit, ia mencengkeram kuat dadanya berharap mengurangi kesakitannya.
"Bunda," serunya yang bergegas masuk kedalam rumahnya.
Baru saja ia tiba, tiga orang polisi kini sudah ada dihadapannya. Ketiganya datang entah dengan tujuan apa namun Marshel merasa tak ingin mendengar apapun dari mereka. Marshel masuk dan mengabaikan ketiga polisi tersebut, kini ia hanya ingin melihat kondisi bundanya.
"Bunda," serunya yang melihat Lena tengah menangis diruang tengah.
"Ada apa ini, kenapa bunda bisa menangis dan kenapa ada polisi diluar," tanya Marshel beruntun pada pelayan rumahnya.
"I-itu tuan, ehm sebaiknya tuan bertanya sendiri kepada para polisi tersebut. Kamu nggak bisa tuan," ucap salah satu pelayannya dengan berlinang air mata.
Jantung Marshel semakin bergemuruh, rasa takutnya semakin besar menghantuinya saat melihat mereka semua menang
Marshel berdiri ditepu jurang tersebut, ada jejak mobil ayahnya sebelum akhirnya jatuh kedalamnya. Bahkan bangkai mobil yang terbakar masih terlihat jejak apinya dibawah sana."Gimana, ayah ketemu," tanya Nio yang baru saja datang bersama Alex juga Darma.Marshel tak menyahutinya, pandangannya kini hanya menatap bangkai mobil yang masih memercikkan api dibawah sana. Darma paham kondisinya, ia melangkah maju dan membawa Marshel dalam pelukannya."Kita cari kebenarannya, belum tentu ayahmu ada didalam sana," ucap Darma."Ayah om," tangis Marshel memeluk Darma.Nio menepuk punggung Marshel untuk menguatkannya, Alex mulai bergerak. Ia mulai menyisir semua tempat kejadian, ia merasa jika ada yang janggal dalam kecelakaan yang tuan Rizal alami ini."Apa yang kamu temukan," tanya Nio dengan suara pelannya."Lihat ini tuan, "menunjukkan bekas ban mobil yang tertinggal pada jalanan."Maksud kamu?""Benar tuan, sepertinya mobilnya
Kini sudah lewat dari satu minggu selepas kecelakaan yang Rizal alami, hari ini Sabrina juga sudah diijinkan untuk pulang dengan pemantauan langsung dokter Abel. Namun masalah antar keduanya ternyata masih tak kunjung selesai, Sabrina masih betah mendiamkan sang suami yang setia menemaninya."Apa semua sudah siap," tanya Nio setelah menyelesaikan pembayaran administrasinya."Sudah, kamu dorong istri kamu biar mami yang bawa barang-barangnya.""Mami, boleh tolong dorongin Sabrina nggak," pintanya menatap Bulan.Bulan hanya bisa menghela nafasnya, ia tersenyum lalu mendorong kursi roda menantunya itu keluar dari rumah sakit. Bulan hanya bisa berharap agar masalah keduanya segera terselesaikan."Mami, aku mau mampir kerumah bunda sama ayah dulu boleh nggak," tanya Sabrina.Nio juga Bulan terdiam dan saling melepar pandangannya, keduanya sampai saat ini masih menyembunyikan tentang kejadian yang menimpa Rizal dari Sabrina."Ehm, kita pula
Syan mulai bersikat tegas, ia tak ingin perusahaannya itu gulung tikar hanya karena seorang wanita. Ia memikirkan semua cara untuk mendapat hak mutlak atas departemen keuangan, selain menjadi direktur keuangan ia juga harus bisa masuk kedalam team audit yang dikelola oleh para pemegang saham."Tapi buk-"Tanpa terkecuali, mau pak Max sekalipun yang meminta uang kalian harus tetap mendapat persetujuan dari saya.""Baik, kami akan lakukan sesuai dengan perintah anda.""Satu lagi, tolong kalian atur pertemuan saya dengan para pemegang saham."Kedua orang anak buah itu hanya bisa saling pandang, setelah mendeklarasikan diri sebagai direktur keuangan lalu apa lagi yang akan dilakukan atasannya itu menemui para pemegang saham."Maaf buk, kalau boleh tahu apa yang harus kami katakan pada mereka," tanyanya."Panggil pemegang saham yang mengendalikan audit keuangan, beri tahu mereka saya menunggu mereka di cafe XX."
Syan kini bukan hanya menjabat sebagai direktur keuangan, ia kini juga telah resmi bergabung dengan team audit para pemegang saham. Hari ini para team audit tiba-tiba datang dan meminta semua data keuangan perusahaan, Max gugup sebab ia belum sempat menyiapkan data palsu untuk diserahkannya."Brengsek, kenapa bisa tiba-tiba gini."Ia benar-benar tak habis fikir dengan kedatangan para audit itu dengan begitu mendadak. Fikirannya kini buntu, Max sama sekali tak bisa memikirkan cara apapun untuk mengatasi ini.Sedang diruang meeting terlihat Syan tengah tersenyum dengan begitu manis diantara para team audit, Max yang baru saja melangkah masuk begitu terkejut dengan kehadiran putrinya ditengah-tengah team audit perusahaannya."Syan, ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu. Sebaiknya kamu keluar," seru Max.Syan hanya tersenyum melihat wajah gugup papanya tersebut, bahkan kini Max mulai berkeringat diruang yang begitu dingin tersebut."Maafk
Lena jatuh sakit setelah bertahan selama beberapa hari, tubuhnya bertambah kurus dengan wajah yang begitu pucat. Marshel begitu terluka dengan apa yang sedang terjadi, belum sembuh luka kehilangan ayahnya kini ia juga harus bertambah luka dengan keadaan bundanya."Marshel mohon bun, bunda harus kuat," gumamnya menggenggam tangan bundanya."Bunda bertahan bun, Marshel yakin ayah pasti pulang," gumamnya.Marshel tak punya tempat untuknya berbagi, ia tak mungkin berbagi dengan adiknya yang saat ini butuh pengawasan ekstra. Ia juga tak mungkin membebani Nio dengan semua keluh kesahnya, ia tahu apa yang sedang dihadapi adik iparnya itu dan ia tak ingin menambah beban baginya."Marshel butuh bunda, Marshel nggak punya siapa-siapa bun. Marshel mohon bangun bun," tangisnya pun akhirnya pecah. Marshel menangis dalam kesendiriannya, Marshel menangis dalam kesepiannya. Ia ingin sebuah bahu untuknya bertahan, namun nyatanya kini ia hanya seorang diri ta
Setelah kejadian diperusahaan tempo lalu, kini hubungan Max dengan Syan semakin menjauh. Max begitu murka hingga memukul Syan sepulang putrinya bekeja, ia tak bisa menahan semua kemarahan lagi.Dan pagi ini adalah pagi dimana Syan datang kekantor dengan wajah lebamnya, sengaja ia tak menutupi bekas pukulan papanya karena ia ingin menunjukka kepada semua orang siapa Max Taulin sesungguhnya.Semua orang terkejut melihat penampilan Syan yang serba hitam berhias lebam, semua orang bergunjing dibelakang Syan membicarakan semua luka lebamnya. Itulah yang Syan inginkan, ia ingin merekalah yang menyerang Max dan bukan dirinya, ia ingin orang lain yang menjatuhkan papanya tanpa harus menggunakan tangannya sendiri."Sis, kamu siapin semua dokumen keuangan perusahaan kita. Para pemegang saham berencana meninjau semua proses keuangan kita," perintahnya pada sekrtarisnya."Baik buk, ehm apa perlu saya ambilkan obat dulu buk. Luka ibuk perlu diobatin dulu," cemas
Syan lari, ia lari ketakutan dengan apa yang terlihat dan terdengar olehnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi seperti habis bertemu hantu. Bibirnya kering seperti lama tak pernah terjamah air."Apa ini benar, apa semuanya benar," gumamnya dengan tubuh tak seimbangnya.Tubuh Syan begitu sempoyongan, tangannya terus gemetar tak karuan. Siska yang melihat atasannya begitu pucat segera menghampirinya, ia begitu panik saat melihat kondisinya."Apa ibuk baik-baik saja, apa perlu kita ke dokter saja," paniknya.Syan menolaknya, ia mengangkat tangannya. Syan menarik nafas panjangnya, ia mencoba menenangkan dirinya."Tolong kamu kosongkan jadwal saya hari ini, saya ingin pulang dan istirahat," ucapnya."Baik buk, tolong berhati-hati saat mengemudi mobilnya," pesan Siska pada atasannya.Hari ini Sasa begitu bahagia, sepanjang jam pelajaran ia selalu riang dan begitu aktif tak seperti biasanya. Sasa bahkan menceritakan kebahagiannya itu pad
Berat bagi Syan saat mengatakan fakta tentang kejahatan kedua orang tuanya, hatinya sakit mengetahui kejahatan mamanya yang begitu sempurna dimatanya.Alex terdiam, ia masih mencerma maksud dari kata-kata Syan barusan. Orang terpenjara, kata-kata begitu membingungkan bagi Alex."Nona Syan, bisa anda jelaskan maksud anda barusan," tanya Alex."Saya menemukan ruang rahasia dibalik ruang kerja papa saya, saat saya masuk samar-samar saya mendengar suara orang sedang berbicara.""Lalu?""Lalu saya tanpa sengaja terjatuh dan menemukan bukti itu, hingga sebuah rintihan suara meminta tolong membuat saya begitu ketakutan," jelasnya."Apa nona bisa membawa saya kesana?""Bisa, tapi tidak sekarang. Saya harus membuat papa saya pergi bersama wanita itu agar kita aman.""Baiklah, saya akan menunggu kabar dari nona anda."Hingga akhirnya Alex mengantarkan Syan pulang karena merasa waktu sudah sore, keduanya sama-sama terdiam dalam per