Berat bagi Syan saat mengatakan fakta tentang kejahatan kedua orang tuanya, hatinya sakit mengetahui kejahatan mamanya yang begitu sempurna dimatanya.
Alex terdiam, ia masih mencerma maksud dari kata-kata Syan barusan. Orang terpenjara, kata-kata begitu membingungkan bagi Alex.
"Nona Syan, bisa anda jelaskan maksud anda barusan," tanya Alex.
"Saya menemukan ruang rahasia dibalik ruang kerja papa saya, saat saya masuk samar-samar saya mendengar suara orang sedang berbicara."
"Lalu?"
"Lalu saya tanpa sengaja terjatuh dan menemukan bukti itu, hingga sebuah rintihan suara meminta tolong membuat saya begitu ketakutan," jelasnya.
"Apa nona bisa membawa saya kesana?"
"Bisa, tapi tidak sekarang. Saya harus membuat papa saya pergi bersama wanita itu agar kita aman."
"Baiklah, saya akan menunggu kabar dari nona anda."
Hingga akhirnya Alex mengantarkan Syan pulang karena merasa waktu sudah sore, keduanya sama-sama terdiam dalam per
Sabrina terkejut saat melihat mobil suaminya sudah terparkir dirumah bundanya, lebih terkejut lagi saat tanpa sengaja ia datang dan mendengar percakapan mereka."Apa yang nggak boleh aku tahu bun," tanya Sabrina.Semua orang terkejut melihat kedatangan Sabrina, semua orang panik dan tak tahu harus bagaimana. Lena melangkah mendekat, ia memeluk tubuh putrinya dan berbicara seolah tak terjadi apapun."Jangan berusaha mengalihkan pertanyaan bun, ada apa ini," melonggarkan pelukan bundanya.Semua terdiam, semua membisu. Sabrina merasakan kecemasan yang begitu menakutinya, tangannya tiba-tiba saja gemetar tak terkendali."Dimana ayah, dimana ayahku," tanyanya sekali lagi.Tak ada yang menjawab, tak ada suara dan semua hening seketika. Sabrina mulai marah, tak ada seorangpun yang menjawab pertanyaannya."Ayah, ayah dimana. Ayah," teriaknya masuk kedalam rumahnya berteriak mencari sang ayah.Sabrina menangis, dia terus mem
Alex mencoba menghubungi Nio namun tak satupun panggilannya mendapat respon dari tuannya. Alex ingin sekali mengabarkan tentang fakta yang baru saja Syan temukan juga keberadaan orang terpenjara."Dimana tuan ini, nggak biasanya kayak gini," cemasnya.Alex mencoba kembali menghubungi, namun masih sama dan tak ada jawaban. Alex memutuskan mengambil keputusan sendiri dalam masalah ini, dan ia memutuskan untuk ikut Syan kembali masuk kedalam ruang rahasia milik Max Taulin.Pagi itu Syan berhasil membuat Max serta Irma keluar kota dengan tipuan meetingnya, tak hanya itu saja bahkan ia mendapat bantuan dari Alex untuk membuat kedua orang itu tak bisa pulang seharian ini.Dan disinilah mereka saat ini, didepan ruang kerja Max. Ada perasaan gugup saat Syan akan kembali masuk, Alex paham dengan perasaan Syan dan ia mencoba menenangkan Syan dengan menggenggam tangannya."Semua akan baik-baik saja, nona Syan percaya saja dengan saya," seru Alex meyakinkan Sy
Tak ada hal yang lebih menyakitkan dari apa yang saat ini terjadi, Sabrina marah namun juga kecewa disaat bersamaan. Max ternyata begitu tega melukai ia sedalam ini, tangannya yang selalu dianggap bersih ternyata terlalu kotor bersimbah darah."Jadi itu," gugup Nio yang tak habis fikir mendengar apa yang baru saja diceritakan istirnya."Iya, itulah organisasi yang dibangun olehnya. Organisasi berkedok kemanusiaan yang nyatanya mencelakai sesama manusia," mehan kemarahannya."Awww," pekiknya kesakitan dengan tiba-tiba.Nio panik melihat istrinya merintih kesakitan memegangi perutnya, ia mencoba menenangkan Sabrina untuk mengontrol emosinya. Keringat semakin membasahi wajah Sabrina, tangannya mencengkram kuat bahu suaminya."My twins, tenang ya didalam. Kasian mama kesakitan nak, papa mohon tenang ya," bujuk Nio sembari membelai perut Sabrina.Bagai sebuah mantra, kata-kata yang baru saja Nio ucapkan benar-benar ampuh nyatanya. Rasa saki
Betapa terlukanya Syan diperlakukan kasar oleh papa kandungnya sendiri, dipasung seperti orang gila dan ditempatkan ditempat yang bahkan tak layak bagi seekor binatang. Hatinya sakit, tubuhnya penuh luka akibat perbuatan papanya."Lepasin! Lepasin gue, kalian binatang," makinya dengan suara lantang.Syan hanya bisa terus menangis dan berharap sebuah bantuan datang kepadanya, ruangan itu begitu pengap hingga membuatnya begitu sesak. Bau tak sedap menyeruak dari berbagai sudut, banyak tikus serta serangga lainnya yang mulai berdatangan."Pergi kalian, jangan mendekatiku," teriaknya ketika melihat banyak tikus serta kecoa mendekat padanya.Namun apa daya Syan, kakinya terpasung dalam belenggu kayu itu hingga membatasi semua gerakannya. Rasa jijik rasa takut bercampur menjadi satu dalam sebuah tangisan, Syan kini hanya bisa pasrah dengan keadaannya."Mama, mama dimana. Tolongin Syan ma," gumamnya sebelum semuanya menjadi gelap.Lili tahu a
Max begitu marah, ia murka begitu melihat ruang rahasianya terbuka begitu saja. Tak hanya itu, dua tahanannya lepas entah kemana, dan sekarang rahasianya sedang diambang kemunculan. Max bertekat menemukan kedua orang tersebut, namun hingga malam ini tak ada satupun kabar dari anak buahnya."Akhh! Brengsek, kemana mereka kaburnya," murkanya."Tenanglah, marah nggak akan menguntungkan. Lebih baik kamu siksa anak cantikmu itu, paksa dia bicara kemana dia membawa dua tahanan itu," ucap Irma.Max keluar dari dalam kamarnya, ia berjalan menuju ruangan Syan berada. Max berjalan dan mengambil sebuah cambuk yang bertengger menghiasai dinding rumahnya selama ini."Untuk apa lagi kalian datang," seru Syan melihat kedatangan Max dengan istrinya."Katakan, dimana kamu menyembunyikan mereka?""Hhhaha jadi karena ini tuan Max mendatangi saya, perlu anda tahu apapun yang anda lakukan saya tidak akan pernah mengatakan apapun.""Jangan memaksaku berbua
Sabrina mengantarkan Sasa pergi kesekolah dengan pengawalan dari anak buah Nio, ia tak ingin masalah saat ini membuat Sasa merasa diabaikan. Lepas dari sekolah, Sabrina memutuskan untuk menemui bunda juga kakaknya.Sabrina merasa bersalah dengan apa yang pernah ia ucapkan dahulu, ia tahu jika mungkin kata-kata itu melukai hati bundanya."Bunda," panggil Sabrina masuk kedalam rumah.Lena terkejut mendengar suara putrinya, ia berlari buru-buru menghampiri putrinya. Senyumnya merekah tatkala ia melihat Sabrina sedang menatapnya dengan senyuman diwajahnya."Putriku," lirih Lena memeluk tubuh Sabrina._"Apa yang membuatmu datang kesini, dimana Nio? Kenapa kamu sendirian," tanya Marshel bertubi pada adiknya."Kak, suami aku juga lagi kerja. Aku kesini nggak sendiri kok, ada 5 bodyguard didepan rumah yang nganterin aku tadi."Marshel terkejut kagum dengan penjagaan yang Nio berikan pada adiknya, ia tak menyangka jika Nio akan seperfect
"Lepaskan dia."Lili bernafas lega sesaat setelah melihat siapa yang sedang berteriak, Sabrina tentu saja ia tak terima saat melihat ada wanita yang diperlakukan seenaknya oleh sesamanya. Ia marah terlebih itu adalah Lili kawannya.Para bodyguard membereskan mereka yang berlaku kasar pada Lili sebelum Sabrina membawa Lili bersamanya. Lili menangis, ia menceritakan semua yang tengah terjadi. Ia mengadu tentang apa yang sedang terjadi, ia mengadu bagaimana Irma menangkapnya dan ingin membungkamnya."Brengsek! Berani sekali tangan kotornya menyentuh kakakku," geramnya.Para bodyguard sudah mulai gelisah dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh nonanya, dan benar saja ketakutan mereka. Sabrina memerintahkan mereka mengikuti dirinya menerobos masuk kediaman Max Taulin."Nona, hal ini kami perlu persetujuan tuan muda terlebih dahulu.""Baik, kalian silahkan meminta ijin. Setelahnya kalian baru menyusul saya kerumah itu."Semua terkejut d
Irma tertawa dengan begitu kerasanya, suara tembakan itu mengalun tak henti hingga hapir lima kali dentuman. Irma merasa menjadi pemenangnya, ia begitu gembira dengan kemenangan semunya itu. Namun apa yang didapatkannya saat ia berbalik?"Nggak mungkin."Nio sudah mengetahui posisi saat ini istrinya, ia dengan beberapa anak buah mulai melumpuhkan beberapa penjaga yang Irma siapkan sedang Alex mengatur posisi yang lainnya.Ternyata pesiapan Irma hampir sempurna, hampir semua sudut ruangan diberinya penjagaan namun itu masih tak bisa mengalahkan Nio. Dari luar sudah terdengar gelak tawa Irma yang begitu membahana, Nio mengepalkan tangannya menahan semua kemarahannya."Bunuh mereka semua.""Masuk, habisi semua anak buahnya."dorrdorrdorrdorrdorrBetapa indahnya suara itu bagi Irma saat ini, setiap dentuman adalah rasa bahagianya yang menyeruak menghiasi wajahnya."Nggak mungkin.""Apanya yang tidak m
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam
Marshel terus mencari keberadaan Ica di dalam rumah, namun sudah semua tempat ia periksa masih juga tak bisa menemukan calon istrinya itu. Tak mungkin jika Ica pergi bersama Bunda, sebab Bunda sedang berada di rumah sakit untuk terapi ayah."Kemana lagi itu anak keluar nggak bilang-bilang," gerutunya.Berkali-kali ia mencoba menghubungi Ica namun tak satupun panggilan atau pesan yang mendepat respon dari lawannya. Semakin geram saat Marshel memikirkan ide Ica lalu untuk membalas kelakuan Selly."Jangan-jangan?"Rasa panik segera menyelimutinya, ia meraih kunci mobil yang ada di dekatnya. Namun baru saja akan melangkah, orang yang sedari tadi di carinya tiba-tiba muncul dengan senyum merekah di wajahnya."Loh, mau kemana?" tanya Ica dengan polosnya."Kenapa sih? Orang nanya itu di jawab, bukannya di pelototin gitu," omelnya.Tak habis fikir Marshel dengan jalan fikiran wanita di depannya itu, bisa-bisanya tak mengerti dengan ke k
Sudah satu bulan sejak lahirnya kedua bayi mungil itu di tengah-tengah mereka, hari-hari Sabrina juga begitu sibuk dengan ketiga bayinya termasuk sang suami yang menjadi bayi kembali diantara anak-anaknya."Hubby ayo buruan, kasian stev udah dingin ini." teriak Sabrina dari dalam kamar mandi.Benar saja, keduanya bersama-sama merawat kedua bayi itu tanpa bantuan suster sebab Sabrina merasa masih sanggup mengurus buah hati mereka. Masih ada mami juga bunda yang setiap harinya selalu membantu menjaga kedua bayi lincah itu.Pagi ini penuh dengan teriakan Sabrina karena merasa kesal dengan suaminya, tugas melepas baju Stevi si bayi cantik itu hanya memakan waktu 10 menitan namun di tangan Nio itu bisa memakan waktu lebih dari 30 menit."Hubby buruan atau keluar dari kamar," teriaknya lagi dengan seluruh kekesalannya."Iya mama, kami datang." serunya dengan rasa tak bersalahnya.Kini keduanya duduk berhadapan dengan masing-masing bayi di tanganny
Deru mobil mulai terdengar, semua orang bersiap dengan berbagai hal di tangannya masing-masing. Terlihat Syan bersama Lili membawa sebuah gulungan berdua, entah apa itu isinya. Dan,"Surprise," teriak semua orang bersamaan.Jantung Sabrina terasa berdetak begitu cepat karena rasa terkejutnya, beruntung si kembar tak mendengar teriakan menggema tersebut.Mata Sabrina berkaca-kaca ketika menatap semua orang di depannya, dengan takjub ia melihat rumah yang ternyata sudah di dekor dengan begitu indahnya demi menyambut ke datangannya. Sabrina tak dapat menahan air mata harunya, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya."Terima kasih semua," ucapnya dengan sesegukan dalam pelukan sang suami."Mana cucu kami?""Ada di bekang, ayah tunggu aja nanti juga masuk si kembar," seru Antonio.Mata Sabrina memicing melihat sebuat tulisan yang di bentangkan Lili bersama Syan. Dengan penasaran ia mencoba mendorong sendiri kursi rodanya unt