"Memangnya kenapa? Aku sudah melihat semuanya semalam."Mata Dinda seketika membulat mendengar pernyataan sang dokter. Ia juga baru sadar kalau rambut panjangnya sekarang terbuka. "Melihat semua?" "Iya. Semalam kamu pingsan dengan baju yang basah. Jadi aku menggantinya dengan piyama ku." Dinda meneguk salivanya. Ia tak tahu harus menjawab apa, hanya bisa membayangkan seperti apa saat sang dokter melihat semuanya. Dan bayangan itu membuatnya sangat malu. Dengan pipi yang memerah ia menutup dadanya dengan bantal.Andra tersenyum melihat ekspresi itu. "Kenapa? Apa ada yang tidak boleh kulihat?"Dinda menggeleng. Karena memang tak ada yang tak boleh dilihat laki-laki itu darinya. "Mulai sekarang, di dalam rumah tidak perlu pakai hijab, ya? Aku suka melihat rambutmu."Dinda meraba rambutnya. Lalu mengangguk. "Aku beruntung sekali menjadi laki-laki yang pertama kali melihat rambut indah mu."Pipi Dinda semakin merona. Ini memang pertama kalinya ia membuka hijab di hadapan seorang le
Bab 59Setelah mengetahui keberadaan Bingo di kamar ke-tiga, Dinda tak lagi merasa sendirian saat Andra belum kembali dari rumah sakit. Ia kerap kali membawa Bingo keluar dari kamar dan menutup semua jendela. Awalnya, kucing itu tampak enggan dekat dengan gadis yang baru dilihatnya. Namun kelembutan Dinda dan aroma Dr.Andra yang sering tercium pada gadis itu membuat si kucing pasrah dibawa kemana saja. Senja tiba, dan suara mesin mobil Andra terdengar memasuki garasi. Dinda membukakan pintu sambil menggendong Bingo. Andra tampak mematung disambut oleh Dinda dan Bingo. Gadis itu tersenyum senang sambil memainkan tangan Bingo agar melambai padanya. "Selamat datang, Dokter," Suara gadis itu sengaja dihaluskan seperti suara kucing.Perlahan bibir menawannya tersenyum. "Hai Bingo. Apa kau merepotkan istriku?"Pipi Dinda seketika merona mendengar pertanyaan itu. "Tidak, Bingo menemaniku main," jawabnya sambil meraih tangan Andra dan mengecup punggung tangannya. Ini pertama kali ia la
Bab 60Andra terpaku. "Jamaah?" Dinda mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu melangkah mendekati. "Ya, saya ingin Dokter jadi imamnya.""Tidak. Saya tidak bisa!" tolak Andra. "Kamu sudah tau itu," lirihnya kemudian. Dinda meraih lengan laki-laki itu dan memeluknya manja. "Saya tau. Tapi ini juga salah Dokter. Dokter buat saya bercita-cita tinggi pada pernikahan kita. Saya ingin Dokter tidak hanya menjadi imam dalam pernikahan ini, tapi juga dalam shalat saya."Andra meneguk salivanya. Melihat sikap manja Dinda membuatnya berkeringat. Mungkin jika gadis itu meminta sesuatu yang lain ia akan segera melakukannya. Tapi ini ... shalat. Andra perlahan menggeleng. "Aku tidak pantas, Dinda.""Semua orang pantas untuk kembali pada Tuhannya. Bahkan jika itu pencuri, pezina, perampok, bahkan pembunuh sekalipun.""Bagaimana kalau aku melakukan salah satunya?""Allah akan tetap menunggu Dokter untuk kembali pada-Nya. Dan rasa tak pantas yang Dokter rasakan sekarang, adalah bukti bahwa Dokte
Bab 61Dinda membalas dekapan itu. Memeluk tubuh tegap sang dokter sehangat mungkin.Andra memejamkan matanya menerima balasan dari gadis itu. Menikmati hangatnya hingga dadanya terasa berdebar. Menghirup harumnya rambut lembut Dinda hingga membuat sebuah rasa yang menggebu kembali hadir."Dinda, aku udah punya SIM, kan?" Dinda mengernyit dalam dekapan laki-laki itu. "SIM? Udah kan? Kalo nggak gimana Dokter bisa bawa mobil?""Bukan Surat Izin Mengemudi, tapi Surat Izin Mencium."Pipi Dinda seketika merona mendengarnya. Gadis itu semakin mempererat pelukannya dan menyembunyikan wajahnya di dada yang bidang itu.Gerakan Dinda justru membuat Andra merasa tergelitik. Membuat aliran panas di dalam darahnya mengalir dengan cepat. "Aku tidak bisa terus bertahan kalo begini, Sayang," bisiknya di telinga Dinda. Bulu Dinda kembali meremang. Hangatnya napas laki-laki itu menyapu telinganya. Membuat jantungnya berdebar tak karuan. "Usia Bingo udah berapa tahun, Dokter?" Napas Andra yang mu
Dinda kembali mendapatkan pesan saat baru duduk di bangkunya. Kali ini dari Andra. "Dinda, pulang kuliah sore nanti, kamu jalan-jalan saja dulu sama Fathimah. Aku sudah transfer uangnya."Dinda mengangkat alisnya. Transfer uang lagi? Saldo buku tabungannya setiap hari bertambah. Ia hanya memakainya untuk ongkos pulang kalau sang dokter tidak bisa menjemput. Sekarang laki-laki itu kembali mengirimkan uang. Lama-lama Dinda bisa buka usaha dengan uang tabungannya. "Mamanya Reza mau ketemu nanti sore. Boleh nggak saya ke sana aja?" ketiknya."Boleh," balas Andra setelah beberapa saat. Dinda menghela napas lega dan menyimpan ponselnya kembali. Fathimah kemudian datang dengan wajah kuyu dan lingkaran mata yang menghitam. "Kamu kenapa?" risau Dinda."Aku nggak bisa tidur semalaman.""Nggak tidur kenapa?" Fathimah menghempaskan tubuhnya pada kursi di samping Dinda. "Karena cinta.""Maksudnya?" Dinda bingung setengah geli mendengar jawaban sahabatnya."Semalam aku datengin apartemen
"Lidahnya sengaja dihilangkan agar tak bisa mengeong. Dan dia disuntikkan cairan yang menyebabkan tubuhnya tak bisa terkena cahaya matahari."Reza seketika tegang. Parah sekali. Hanya psikopat dan manusia yang tak memiliki hati nurani yang melakukan hal sekejam itu. Kucing itu ia temukan di dalam salah satu kamar di rumah dinas seorang dokter ternama, yaitu Dr.Andra Janson. Dengan bukti cerita Siska dan hasil pengintaian Brigadir Edi, akhirnya ia bisa mendapatkan surat penggeledahan dari atasannya. Meski buktinya tak begitu kongkrit, tapi sang komisaris yang memang sedang ingin menjerat orang ternama untuk kepopulerannya, langsung menyetujui. Reza mengulurkan tangan untuk mengambil kucingnya. Namun ternyata si kucing yang tak lain adalah Bingo itu tak mau disentuh. Akhirnya terpaksa, dokter hewan yang ahli dalam menangani hewan, memasukkan Bingo ke dalam kandang. Edi menyambut Reza yang keluar sambil menjinjing kandang. "Gimana, Bang?""Kucingnya pernah mengalami penyiksaan.""Y
Begitu tiba di rumah, Dinda langsung menuju kamar ke-tiga. Keadaan rumah sedikit berantakan dan pintu kamar Bingo pun terbuka karena penggeledahan yang dilakukan Polisi. Ia masuk dan mencari di setiap laci meja. Satu-satunya meja yang ada di kamar itu. Juga di setiap barang Bingo. Namun tak ada apapun. Dinda kembali memutar otak. Mungkin saja di kamar Dr.Andra sendiri. Dengan langkah pasti, gadis itu menuju kamar Andra dan langsung mencari. Awalnya tangannya merasa canggung dan tak nyaman memeriksa barang sang dokter tanpa sepengetahuan laki-laki itu seperti ini. Namun mengingat keadaan yang sedang genting, ia harus nekad. Setelah memeriksa setiap bagian kamar yang memungkinkan menyimpan barang-barang penting, Dinda hanya menemukan berkas-berkas usaha properti dan selembar foto. Foto seorang anak remaja dengan seorang wanita paruh baya berdiri di depan sebuah bangunan yang bernama Panti Asuhan Bunda. Wanita berpakaian suster itu merangkul pundak si remaja dengan senyuman hangat.
Menuju Rumah Pinus, Dinda terus berdoa semoga bisa menemukan bukti bahwa kucing itu bukan disiksa oleh Dr. Andra. Pasti ada sesuatu tentang Bingo yang tersimpan di sana. Tring. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya begitu ia tiba di bukit Pinus. "Reza," desahnya. Ia memilih untuk mengabaikannya. Namun Reza kembali menelepon. "Halo assalamualaikum?" Dinda akhirnya menjawab dengan nada tak ramah. "Syukurlah kamu akhirnya menjawab. Kamu lagi dimana, Din?""Aku sedang mencari bukti bahwa Dr.Andra tidak bersalah seperti tuduhan mu.""Nggak perlu, Din. Kamu harus terima kenyataan bahwa Dr.Andra itu tidak sebaik yang kamu kira. Kami baru saja menemukan pemilik kucing itu sebelumnya. Dia adalah korban penyekapan berantai yang mati dalam penyekapan itu."Dinda terdiam. Kabar itu membuatnya terkejut. Namun tentu ia tak ikut meyakini bahwa Andra pelakunya. "Kucing milik korban kemudian diambil dan disembunyikan dengan cara dihilangkan lidahnya dan disuntikkan cairan yang menyebabkan tubuhn