Dengan tubuh yang kehabisan tenaga, Andra turun dari mobilnya. Namun ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkah masuk. Selembar surat ternyata mampu membuatnya merasa seperti terkena serangan jantung. Tangannya yang masih gemetar meraih gagang pintu dan membukanya. "Assalamualaikum," ucapnya dengan napas yang nyaris habis. "Wa'alaikumsalam!" jawab Dinda dari dapur. Suaranya terdengar menyenangkan, mengirimkan energi positif yang membuat Andra tenang. "Ya, aku telah pulang ke rumah. Aku telah kembali pada Dinda dan akan baik-baik saja," gumam laki-laki itu.Dinda keluar dari dapur dengan bibir tersenyum dan menghampirinya. Perempuan berwajah ayu itu langsung menyalami dan mencium punggung tangannya itu lembut."Dingin banget tangan Kanda. Apa di luar udaranya memang dingin?" tanya Dinda. Kemudian mengangkat wajahnya dan menyadari bahwa keadaan suaminya sedang tidak baik-baik saja."Kanda kenapa?"Andra tak bisa menjawabnya. Ia hanya meraih Dinda kedalam dekapan.Dinda membiarkan tub
Seorang laki-laki berusia sekitar 70 tahun berdiri menatap halaman villa nya yang sejuk dengan senyuman. Sementara di belakangnya duduk satu sosok berpakaian serba hitam tanpa berkata-kata. "Hari ini aku akan menemui Ambarwati lagi. Apa kau tau? Menemuinya membuatku merasa muda setiap saat."Sosok itu masih terdiam. Dan laki-laki tua yang tak lain adalah Jamal itu meliriknya sekilas. "Apa kau sudah mengeksekusi korban yang ke-empat? Aku tak menyangka, seseorang meminta bantuan padaku untuk membuka jalan menjadi pembunuh. Dendam itu ternyata mengerikan.""Saya tidak menyimpan dendam apapun. Saya hanya bersenang-senang dan melakukan apa yang tidak bisa dia lakukan, hahaha ...." Sosok itu akhirnya menjawab dan tertawa keras."Baiklah. Aku akan meninggalkan mu dengan kesenangan mu itu. Sementara aku akan menuju kesenangan ku sendiri," ujar Jamal, laki-laki tua yang masih berbadan sehat dan tidak bongkok sama sekali, meski rambutnya telah berubah putih semua.Dengan kemeja pantai bermo
"Kalian tak akan bisa hidup tenang. Seseorang akan terus mempermainkan kalian dan membuat kalian menderita!"Kata-kata Jamal terngiang di telinga Andra. Sempat terpikirkan di kepalanya apa maksud laki-laki tua itu. Namun kemudian Komisaris Polisi tiba-tiba datang dan langsung menjabat tangannya."Terimakasih, Dokter. Saya benar-benar minta maaf karena telah berkali-kali memanggil Anda ke kantor untuk tuduhan yang buruk. Padahal karena Anda lah penjahat-penjahat kelas kakap bisa ditangkap. Dulu Dahlan, dan sekarang Jamal."Andra mengangguk. "Tapi saya tidak membantu menangkap Dahlan.""Ya, tapi tetap karena ada sangkut pautnya dengan Anda." Pak Komisaris tetap bersikeras.Edi yang sedang membantu petugas memeriksa kamar hotel langsung mencibir dari jarak jauh. Atasannya itu memang sangat pandai mencari muka, padahal dirinya yang dulu meminta mereka untuk menjerat dr. Andra dalam kasus Dahlan, agar berita kasusnya menjadi besar. Pak Komisaris kemudian memanggil Reza. "Cepat ajak dr. A
"Rekaman suara telah diterima. Korban selanjutnya telah terdeteksi."Dinda dan Fathimah saling berpandangan membaca pesan itu. Wajah keduanya semakin tegang. "Ini maksudnya apa?" tanya Dinda meski ia tahu Fathimah juga tak mengetahui jawabannya. "Mungkin ini salah kirim?" Fathimah balik bertanya.Dinda langsung menunjukkan namanya yang tertulis di kotak. "Ini untukku.""Ini nggak beres, Din. Kamu telepon dr. Andra sekarang!"Dinda mengangguk dan langsung mencari nomor suaminya. "Nomor yang hubungi sedang tidak aktif atau di luar jangkauan." Suara operator terdengar dan Dinda pun mematikan teleponnya."Kenapa?" Dinda menggeleng. "Tidak aktif. Aku akan menelepon Reza aja."Gadis itu kembali membuka kontak dan mencari nomor sang detektif. "Halo, assalamualaikum Din?" Suara Reza terdengar di seberang."Za, aku ada yang nggak beres di rumah aku. Kamu bisa kemari nggak?""Oke, aku ke sana sekarang!" jawab Reza tanpa bertanya apa-apa lagi. Lima belas menit kemudian laki-laki itu telah
Entah kenapa perasaanku sedang tidak enak. Jangan lupa kunci semua pintu."Perkataan Andra barusan membuat tangan Dinda seketika dingin. Gemetaran, ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Bingo masih meringkuk di antara kakinya. Seperti ada yang membuat kucing merasa tak nyaman sehingga mencari tempat perlindungan."Bingo, aku akan mengantarmu ke kamar kalo kamu nggak mau makan lagi. Ayuk!" Dinda mengangkat Bingo dan menggendongnya. Dengan jantung yang terus berdetak kencang, ia menuju ke kamar si kucing. Ada bayangan hitam yang mengikuti. Seperti itulah yang ia rasakan saat ini. Berkali-kali ia menoleh ke belakang, namun tak ada siapa-siapa. Begitu masuk ke kamar Bingo, ia langsung menutup dan mengunci pintunya. Lebih aman menunggu di kamar daripada di luar. "Kamu main-main di sini aja ya, Bingo. Aku akan temenin." Dinda menurunkan kucingnya dan menatap mata hewan bernetra abu-abu itu. Ada ketakutan di sana. Jelas Bingo merasakan ada yang sedang tidak beres. Dinda
Bab 102Sebuah mobil pick up melaju dengan kecepatan sedang di jalanan. Di dalamnya duduk Fathimah, di samping kursi seorang laki-laki paruh baya yang telah menolongnya dari asap beracun. Gadis itu menelepon ayahnya kembali, ia harus menanyakan keadaan ibunya dan menceritakan apa yang telah terjadi padanya. "Halo, Papa? Gimana keadaan Mama sekarang?" "Mama udah dibawa ke rumah sakit. Tadi Alex datang dan bantu Papa bawa Mama. Kamu kenapa belum sampai?" "Ada kejadian yang hampir bikin Fatim mati, Pa." "Apa?!""Sopir taksi yang Fatim tumpangi ternyata penjahat, dia bawa Fatim ke arah lain terus di racuni dengan asap. Untung ada yang bantu. Ini Fatim lagi on the way ke rumah sakit.""Astaghfirullah. Oke Papa tunggu di sini," jawab Maksum syok. Tak lama kemudian, mobil pickup yang ditumpangi Fathimah memasuki area rumah sakit. "Terimakasih, Pak. Udah bantu saya sejauh ini," ucapnya sebelum turun. "Iya, Neng, ndak usah sungkan. Itu memang sudah tugas kita sesama manusia. Cepat mas
Reza melihat Alex duduk di kursi pengunjung yang berbaris di dinding luar ruang rawat. Laki-laki itu langsung bangkit dan mempersilahkan sang detektif masuk. Di dalam ruangan, Dinda sedang duduk berbincang dengan Fathimah, sedang Andra berdiri mendengarkan. "Assalamualaikum," ucapnya. "Wa'alaikumsalam," jawab ketiga orang di sana. "IPDA Reza, silahkan masuk," sambut Fathimah. Reza tersenyum dan menghampiri. Kemudian menyerahkan buket bunga carnation yang dibawanya. "Semoga cepat pulih kembali," ucapnya."Terimakasih." "Apa racun itu banyak terhirup?" "Ya, saya nyaris pingsan. Tapi untungnya ada orang yang menolong."Reza mengangguk-angguk. Matanya kemudian melirik sekilas pada Andra."Kami sudah menemukan taksinya.""Alhamdulillah, cepat sekali," puji Fathimah. "Ya, Alhamdulillah. Dan ternyata taksi itu dibajak seseorang.""Dibajak? Jadi yang ingin meracuniku itu bukan sopir taksi beneran?" "Bukan. Memang ada orang yang ingin merebut taksi yang akan menjemputmu."Fathimah te
Dinda menatap laki-laki berkumis yang tiba-tiba masuk dan mengecam suaminya itu, dengan tatapan kesal. Persis seperti komisaris korup dalam film India, atasan Reza itu benar-benar bermuka dua. Beberapa hari yang lalu Andra sempat cerita bahwa sang komisaris berterimakasih padanya karena telah membantu menangkap Jamal. Laki-laki bermata kecil itu juga meminta maaf karena pernah menuduh Andra sebagai pelaku pembunuhan dan juga pernah ingin mempidanakannya saat kasus dengan Dahlan dahulu. Dada Dinda serasa bergemuruh mengingat semuanya.Sekarang, pria itu kembali ingin menjerat suaminya dan menuduhnya memberi kesaksian palsu. "Saya tidak berbohong, Suami saya memang langsung pulang sore itu.""Baiklah kalau Anda bersikeras seperti itu. Saya cuma mau nanya, apa Anda punya buktinya?"Dinda terdiam dengan sejuta rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan. Sementara itu di luar ruangan, Alex dan Fathimah sedang duduk menunggu dengan raut cemas. "Alex, semua ini salahku. Coba saja aku tak ter