Dinda membuka matanya. Seraut wajah tampan langsung terlihat dan mempesona. Andra tidur di sampingnya dengan menopang kepala. Laki-laki itu tidak menutup matanya. Pandangannya menerawang dengan tatapan kosong. Dinda menyentuh wajah itu lembut."Kanda udah bangun? Kok nggak bangunin Dinda?" "Eh? Aku tidak ingin mengganggu tidurmu.""Apa udah azan subuh?" "Belum, mungkin lima menit lagi. Dinda tersenyum dan menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Andra. "Kanda kenapa? Lagi mikirin sesuatu?""Hm. Aku lagi mikir, kapan kamu akan berinisiatif untuk mengajak bermesraan lebih dulu?" Dinda meninju pelan perut sixpack suaminya dengan pipi yang memerah. "Masa perempuan yang ngajak duluan? Malu dong. Dinda kan tugasnya nunggu.""Oh, jadi semalam kamu menunggu aku ajak duluan?" "Ya nggak gitu juga," Dinda makin menyembunyikan wajahnya. Andra terkekeh. Senang melihat Dinda malu karenanya sekaligus geli merasakan gesekan wajah ayu gadis itu di dadanya. "Dinda," panggilnya pelan. "Hm .
Reza menggenggam flash disk itu dengan harapan besar, di dalam sana ada bukti yang ia cari. Keluar dari Rumah Pinus ia langsung melaju ke kota. Singgah di sebuah warnet dan menyewa komputernya.Tring.Ponselnya berbunyi. Reza mengangkat telepon itu dengan fokus tetap pada flashdisk."Halo Bang! Di mana sekarang? Pak komisaris datang. Dia menanyakan tentang penyelidikan kasus pembunuhan itu dan memberi waktu kita 3 hari untuk mendapatkan hasilnya. Gila nggak, sih?"Reza hanya diam. Menatap layar komputer yang mulai menayangkan isi flashdisk dengan bibir tersenyum puas."Bang, dengar nggak?""Ya, aku dengar. Tidak usah takut, aku sudah temukan pelakunya.""Yang benar, Bang?""Ya, bilang sama Bapak komisaris aku akan menangkap pelakunya hari ini juga."*Andra mengangkat sebuah telepon dari nomor asing, kala sore saat ia sedang beranjak pulang. "Halo assalamualaikum?" sapanya tak bersemangat. "Wa'alaikumsalam, Dokter. Ini saya Endang, pengurus panti.""Oh iya, Bu?""Saya cuma mau meng
Bab 96Dengan tubuh yang kehabisan tenaga, Andra turun dari mobilnya. Namun ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkah masuk. Selembar surat ternyata mampu membuatnya merasa seperti terkena serangan jantung. Tangannya yang masih gemetar meraih gagang pintu dan membukanya. "Assalamualaikum," ucapnya dengan napas yang nyaris habis. "Wa'alaikumsalam!" jawab Dinda dari dapur. Suaranya terdengar menyenangkan, mengirimkan energi positif yang membuat Andra tenang. "Ya, aku telah pulang ke rumah. Aku telah kembali pada Dinda dan akan baik-baik saja," gumam laki-laki itu.Dinda keluar dari dapur dengan bibir tersenyum dan menghampirinya. Perempuan berwajah ayu itu langsung menyalami dan mencium punggung tangannya itu lembut."Dingin banget tangan Kanda. Apa di luar udaranya memang dingin?" tanya Dinda. Kemudian mengangkat wajahnya dan menyadari bahwa keadaan suaminya sedang tidak baik-baik saja."Kanda kenapa?"Andra tak bisa menjawabnya. Ia hanya meraih Dinda kedalam dekapan.Dinda membiar
Dengan tubuh yang kehabisan tenaga, Andra turun dari mobilnya. Namun ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkah masuk. Selembar surat ternyata mampu membuatnya merasa seperti terkena serangan jantung. Tangannya yang masih gemetar meraih gagang pintu dan membukanya. "Assalamualaikum," ucapnya dengan napas yang nyaris habis. "Wa'alaikumsalam!" jawab Dinda dari dapur. Suaranya terdengar menyenangkan, mengirimkan energi positif yang membuat Andra tenang. "Ya, aku telah pulang ke rumah. Aku telah kembali pada Dinda dan akan baik-baik saja," gumam laki-laki itu.Dinda keluar dari dapur dengan bibir tersenyum dan menghampirinya. Perempuan berwajah ayu itu langsung menyalami dan mencium punggung tangannya itu lembut."Dingin banget tangan Kanda. Apa di luar udaranya memang dingin?" tanya Dinda. Kemudian mengangkat wajahnya dan menyadari bahwa keadaan suaminya sedang tidak baik-baik saja."Kanda kenapa?"Andra tak bisa menjawabnya. Ia hanya meraih Dinda kedalam dekapan.Dinda membiarkan tub
Seorang laki-laki berusia sekitar 70 tahun berdiri menatap halaman villa nya yang sejuk dengan senyuman. Sementara di belakangnya duduk satu sosok berpakaian serba hitam tanpa berkata-kata. "Hari ini aku akan menemui Ambarwati lagi. Apa kau tau? Menemuinya membuatku merasa muda setiap saat."Sosok itu masih terdiam. Dan laki-laki tua yang tak lain adalah Jamal itu meliriknya sekilas. "Apa kau sudah mengeksekusi korban yang ke-empat? Aku tak menyangka, seseorang meminta bantuan padaku untuk membuka jalan menjadi pembunuh. Dendam itu ternyata mengerikan.""Saya tidak menyimpan dendam apapun. Saya hanya bersenang-senang dan melakukan apa yang tidak bisa dia lakukan, hahaha ...." Sosok itu akhirnya menjawab dan tertawa keras."Baiklah. Aku akan meninggalkan mu dengan kesenangan mu itu. Sementara aku akan menuju kesenangan ku sendiri," ujar Jamal, laki-laki tua yang masih berbadan sehat dan tidak bongkok sama sekali, meski rambutnya telah berubah putih semua.Dengan kemeja pantai bermo
"Kalian tak akan bisa hidup tenang. Seseorang akan terus mempermainkan kalian dan membuat kalian menderita!"Kata-kata Jamal terngiang di telinga Andra. Sempat terpikirkan di kepalanya apa maksud laki-laki tua itu. Namun kemudian Komisaris Polisi tiba-tiba datang dan langsung menjabat tangannya."Terimakasih, Dokter. Saya benar-benar minta maaf karena telah berkali-kali memanggil Anda ke kantor untuk tuduhan yang buruk. Padahal karena Anda lah penjahat-penjahat kelas kakap bisa ditangkap. Dulu Dahlan, dan sekarang Jamal."Andra mengangguk. "Tapi saya tidak membantu menangkap Dahlan.""Ya, tapi tetap karena ada sangkut pautnya dengan Anda." Pak Komisaris tetap bersikeras.Edi yang sedang membantu petugas memeriksa kamar hotel langsung mencibir dari jarak jauh. Atasannya itu memang sangat pandai mencari muka, padahal dirinya yang dulu meminta mereka untuk menjerat dr. Andra dalam kasus Dahlan, agar berita kasusnya menjadi besar. Pak Komisaris kemudian memanggil Reza. "Cepat ajak dr. A
"Rekaman suara telah diterima. Korban selanjutnya telah terdeteksi."Dinda dan Fathimah saling berpandangan membaca pesan itu. Wajah keduanya semakin tegang. "Ini maksudnya apa?" tanya Dinda meski ia tahu Fathimah juga tak mengetahui jawabannya. "Mungkin ini salah kirim?" Fathimah balik bertanya.Dinda langsung menunjukkan namanya yang tertulis di kotak. "Ini untukku.""Ini nggak beres, Din. Kamu telepon dr. Andra sekarang!"Dinda mengangguk dan langsung mencari nomor suaminya. "Nomor yang hubungi sedang tidak aktif atau di luar jangkauan." Suara operator terdengar dan Dinda pun mematikan teleponnya."Kenapa?" Dinda menggeleng. "Tidak aktif. Aku akan menelepon Reza aja."Gadis itu kembali membuka kontak dan mencari nomor sang detektif. "Halo, assalamualaikum Din?" Suara Reza terdengar di seberang."Za, aku ada yang nggak beres di rumah aku. Kamu bisa kemari nggak?""Oke, aku ke sana sekarang!" jawab Reza tanpa bertanya apa-apa lagi. Lima belas menit kemudian laki-laki itu telah
Entah kenapa perasaanku sedang tidak enak. Jangan lupa kunci semua pintu."Perkataan Andra barusan membuat tangan Dinda seketika dingin. Gemetaran, ia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Bingo masih meringkuk di antara kakinya. Seperti ada yang membuat kucing merasa tak nyaman sehingga mencari tempat perlindungan."Bingo, aku akan mengantarmu ke kamar kalo kamu nggak mau makan lagi. Ayuk!" Dinda mengangkat Bingo dan menggendongnya. Dengan jantung yang terus berdetak kencang, ia menuju ke kamar si kucing. Ada bayangan hitam yang mengikuti. Seperti itulah yang ia rasakan saat ini. Berkali-kali ia menoleh ke belakang, namun tak ada siapa-siapa. Begitu masuk ke kamar Bingo, ia langsung menutup dan mengunci pintunya. Lebih aman menunggu di kamar daripada di luar. "Kamu main-main di sini aja ya, Bingo. Aku akan temenin." Dinda menurunkan kucingnya dan menatap mata hewan bernetra abu-abu itu. Ada ketakutan di sana. Jelas Bingo merasakan ada yang sedang tidak beres. Dinda