Maaf ya guys up bab nya telat nih... komen yang banyak dulu dong ..hihi
Wanita itu adalah Anjana Lestari Wijaya, pemilik Wijaya Group.Aryan mengernyit, begitu pula dewan direksi lainnya. Tidak ada yang menyangka perusahaan sebesar Wijaya Group tertarik berinvestasi di Ashwara Group di tengah krisis ini.Kael menatapnya tajam. Dia menduga ada pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini, tetapi tidak menyangka Wijaya Group yang maju lebih dulu."Bu Anjana ..." Aryan berdehem. "Anda serius?"Anjana tersenyum tipis. "Saya tidak pernah main-main dalam bisnis, Pak Aryan. Ashwara Group masih punya potensi besar, selama dikelola dengan baik."Kael menyipitkan mata. "Kenapa sekarang? Ini waktu paling berisiko untuk masuk ke Ashwara Group."Anjana mengangkat bahu santai. "Saya percaya perusahaan ini punya fondasi kuat. Skandal pribadi tidak seharusnya menghambat potensi bisnis yang lebih besar.""Tentu saja, kita perlu membahas lebih lanjut syarat kerja sama ini. Tapi, jika kalian ingin menyelamatkan perusahaan, ini adalah penawaran terbaik yang kalian punya," lanju
Keesokan paginya, Zara terbangun lebih dulu. Dia mengerjap pelan sebelum menoleh ke samping, menemukan Kael masih tertidur nyenyak di sebelahnya. Napas pria itu teratur, wajahnya tampak lebih tenang dibanding saat pulang tadi malam.Zara menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Saat tidur, Kael terlihat berbeda, lebih lembut, tanpa garis tegas yang biasanya menghiasi wajahnya. Rasanya aneh melihat pria yang begitu dominan dan dingin bisa tampak setenang ini di sampingnya. Bahkan dalam tidur pun, pria ini tetap menyebalkan ... karena terlalu tampan.Sungguh, Zara masih belum terbiasa dengan pemandangan ini!Tiba-tiba, Kael bergerak. Salah satu lengannya bergeser dan entah bagaimana, mendarat tepat di pinggang Zara. Sentuhan itu seharusnya biasa saja, tapi perbedaannya adalah tangan Kael tidak berhenti di sana.Jari-jarinya bergerak, mengguratkan tekanan ringan di kulitnya, lalu menariknya lebih dekat. Zara menahan napas. Bibirnya terkatup rapat saat dia mencoba mendorong dada Kael pe
Sore itu, setelah selesai bekerja, Zara langsung menuju rumah Riki. Perjalanan ke sana terasa lebih panjang dari biasanya, meskipun sebenarnya tidak terlalu jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, perasaan yang sulit diabaikan sejak Riki menghubunginya tadi pagi.Begitu sampai di depan rumah, Zara berdiri sejenak sebelum mengetuk pintu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, firasatnya mengatakan bahwa pertemuan ini tidak akan berlangsung dengan tenang.Tidak butuh waktu lama, pintu terbuka. Riki berdiri di ambang pintu dengan ekspresi khawatir. Matanya langsung menyapu wajah keponakannya, seolah ingin memastikan Zara baik-baik saja setelah pemberitaan yang sempat heboh kemarin."Zara ..." Suara Riki pelan, sedikit berat, seperti menahan sesuatu yang sudah lama ingin diucapkan. Riki menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Kamu apa kabar?""Aku baik-baik saja, Om." Zara tersenyum kecil, mencoba menenangkan Omnya.Riki masih menatapnya beberapa det
Sarah menegang di kursinya, sementara Zara menatap Kael dengan campuran keterkejutan dan kebingungan.Riki tampak terkejut beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil dan membuka pintu lebih lebar. "Masuklah, Kael."Kael melangkah masuk dengan langkah santai, tangannya masih terselip di saku celana. Tatapannya sekilas menyapu ruangan."Apa saya mengganggu?" tanya Kael, nadanya terdengar sopan, tapi sorot matanya tajam, penuh otoritas, seolah mengatakan bahwa dia tak peduli apakah kedatangannya mengganggu atau tidak."Tidak, tidak sama sekali." Riki buru-buru menggeleng, lalu mengajak Kael duduk.Namun, Zara buru-buru bangkit, mencoba menarik pergelangan tangan Kael."Ayo kita pulang aja, Kael," kata Zara cepat, ingin segera menghindari situasi ini sebelum Sarah melontarkan lebih banyak kata-kata yang bisa memanaskan suasana.Sarah mendengus dan bersandar ke sofa, kakinya disilangkan dengan angkuh."Loh? Kok buru-buru? Duduk dulu lah. Masa datang cuma buat jemput doang? Nggak sopan,
Riki tampak terkejut, sementara Sarah tidak bisa menyembunyikan perubahan ekspresi di wajahnya.Sarah membuka mulut, seolah ingin melanjutkan perdebatan, tetapi tak ada kata yang keluar. Sementara itu, Riki hanya menghela napas kecil."Kael, saya tidak peduli dengan omongan orang luar. Saya hanya ingin Zara bahagia. Tolong jaga dia baik-baik," ujar Riki dengan tenang, menatap Kael dengan sorot mata yang tulus. Suaranya terdengar mantap, tetapi jauh lebih lembut dibandingkan keheningan yang memenuhi ruangan.Mata Kael beralih ke Riki. Seketika, ketajaman dalam sorot matanya melunak."Saya akan selalu menjaga Zara, Om. Zara adalah rumah saya, tempat saya kembali, tempat saya ingin menetap,” ucap Kael, nada suaranya lebih dalam, lebih tulus.Zara menahan napas, tenggorokannya mendadak terasa kering. Kata-kata Kael begitu sederhana, tetapi mampu mengguncangnya dengan cara yang tidak terduga.Riki tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan."Kalau begitu, saya bisa lebih tenang sekarang," ujar
Kael menegang, tatapannya berubah dingin. Beberapa detik berlalu dalam kesunyian yang pekat, hanya suara detak jam yang terdengar jelas di ruangan itu.Kael menatap Aryan, matanya tajam, penuh amarah atau mungkin kecewa, tetapi yang jelas aura ketegangan semakin kental di ruangan itu."Dan kalau aku menolak?" tanya Kael akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah, lebih tajam, seperti ujung pisau yang siap menebas.Aryan menatapnya lurus, tidak bergeming sedikit pun."Kamu akan kehilangan kepercayaan. Itu berarti kekuasaanmu di perusahaan ini akan terancam. Aku tidak ingin itu terjadi, dan aku yakin kamu pun tidak," jawab Aryan datar, suaranya tidak menunjukkan sedikitpun rasa ragu.Kael tetap diam, matanya tetap terpaku pada map yang ada di hadapannya, seolah berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Jemarinya mengepal pelan di atas meja, menahan amarah yang mulai memuncak.Aryan menghela napas panjang, menatap Kael yang tampak semakin frustrasi."Kamu harus berpikir
"Enggak," jawab Kael cepat, terlalu cepat.Seperti orang yang ingin lari dari kenyataan, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya semakin memperburuk keadaan.Zara tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak, matanya menatap Kael lurus, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab."Kalau nggak, kenapa ada surat ini?" Suara Zara terdengar lebih pelan, tapi ada tekanan di dalamnya yang cukup untuk membuat Kael sulit bernapas.Kael menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak di dadanya. Dia bisa merasakan denyut halus di pelipisnya, tanda bahwa pikirannya sedang berusaha keras mencari jalan keluar.Kael tahu, kalau dia berkata terlalu sedikit, Zara tidak akan puas. Namun, jika dia berkata terlalu banyak, dia tahu kata-katanya hanya akan semakin melukai."Ayah yang mengurus ini, bukan aku," kata Kael akhirnya, suara sedikit pecah, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Zara terdiam sejenak, matanya berkedip, menunggu penjelasan lebih lanjut."Maksud kamu?" tanya Zara, suaranya
Hening, udara seakan berat di antara mereka, kata-kata yang baru saja keluar masih bergema di pikiran masing-masing."Apa kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Zara, suaranya datar, meski ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dalam setiap suku kata.Kael tidak butuh waktu lama untuk menjawab."Aku nggak pernah merasa seyakin ini," ujar Kael dengan keyakinan yang tercermin dalam matanya.Zara menghela napas, lalu menatapnya, matanya yang tidak berkaca-kaca justru menyimpan begitu banyak beban yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Kenapa kamu nggak marah?" tanya Kael, kali ini dengan suara lebih kecil, penuh rasa ingin tahu dan sedikit kesedihan.Zara tersenyum kecil, tetapi senyum itu lebih terasa seperti luka."Aku marah, Kael," jawab Zara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh beratnya perasaan yang dia tahan.Kael menelan ludah, merasa cemas. "Iya, maksud aku … kenapa kamu nggak marah besar? Mungkin kalau kamu melampiaskannya, aku bakal ngerasa lebih baik."Zara menggeleng
Sementara itu, Zara akhirnya berhasil menarik tangannya dari genggaman Varen."Ren, ngapain sih lo?" tanya Zara dengan nada kesal, alisnya bertaut.Varen mengangkat kedua tangan seolah tidak bermaksud buruk."Nggak, gue cuma mau ngasih ini ke lo," ujar Varen, sambil menyodorkan sebuah kotak kecil berisi coklat.Zara menimbang-nimbang sebelum akhirnya memasukkan kotak itu ke dalam tasnya. Dia malas berdebat lebih jauh."Oh ... makasih. Tapi lain kali, jangan tiba-tiba pegang tangan gue lagi, ya," ucap Zara sambil melirik tajam.Varen tertawa kecil, menggaruk tengkuknya. "Oke, sorry, gue refleks."Mereka tidak menyadari bahwa Kael masih mengamati dari dalam mobil dengan ekspresi gelap.Setelah berbasa-basi sebentar, mereka akhirnya masuk ke dalam restoran. Suasana masih sepi karena jam operasional belum dimulai.Zara langsung berjalan ke loker untuk bersiap-siap, sementara Varen baru saja melepas jaketnya ketika suara berat memanggil namanya."Varen."Zara refleks menoleh dengan kaget se
"Zara, Ibu tidak pernah menilai seseorang dari statusnya. Ibu sangat jelas melihat perubahan Kael sejak menikah denganmu, dan itu sudah cukup," ujar Maharani dengan lembut, menggenggam tangan Zara seolah ingin meyakinkannya."Tapi saya bukan siapa-siapa, Bu. Saya nggak punya latar belakang hebat seperti perempuan lain yang mungkin lebih cocok dengan Kael ..." lirih Zara."Zara, cinta bukan soal latar belakang, bukan soal cocok atau tidak cocok di mata orang lain. Lihat Kael, dia memilihmu bukan karena siapa kamu di mata orang lain, tapi karena siapa kamu di matanya." Maharani menangkup pipi Zara, ibu jarinya menghapus sisa air mata yang tertinggal di sana.Zara terdiam. Kata-kata Maharani seperti tamparan lembut yang menenangkan."Kamu tahu? Sejak kecil, Kael selalu menahan diri. Dia tumbuh dalam aturan yang ketat, harus selalu sempurna, harus selalu sesuai harapan. Tapi setelah menikah denganmu, dia belajar untuk mengikuti hatinya sendiri. Kamu mengajarinya itu, Zara," lanjut Maharani
Kael melirik Zara, mencari jawaban di wajah istrinya, tetapi ekspresi Zara tetap tenang. Dia tidak terlihat emosi, tetapi justru karena itulah Kael semakin curiga.Apa ini berarti Zara masih marah pada Kael?Apa Zara masih kesal sampai-sampai tidak mau tidur sekamar dengannya malam ini?"Kamu yakin?" tanya Maharani pelan, mencoba membaca maksud di balik permintaan itu.Zara mengangguk ringan. "Iya, Bu. Saya ingin menemani Ibu malam ini."Kael menghela napas pelan, tapi tetap memperhatikan reaksi Zara dengan saksama."Baiklah, Sayang. Kebetulan Ibu juga ingin ada teman ngobrol malam ini," jawab Maharani akhirnya, tersenyum lembut.Kael masih menatap Zara, tapi istrinya sama sekali tidak melihat ke arahnya. Bukan karena dia tidak sadar, tapi karena dia memang menghindari tatapan Kael.Dan itu cukup untuk membuat Kael tahu, Zara belum baik-baik saja.Setelah selesai makan malam, Zara berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian. Kael mengikutinya dari belakang, langkahnya pelan, tetapi pe
Hening, udara seakan berat di antara mereka, kata-kata yang baru saja keluar masih bergema di pikiran masing-masing."Apa kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Zara, suaranya datar, meski ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dalam setiap suku kata.Kael tidak butuh waktu lama untuk menjawab."Aku nggak pernah merasa seyakin ini," ujar Kael dengan keyakinan yang tercermin dalam matanya.Zara menghela napas, lalu menatapnya, matanya yang tidak berkaca-kaca justru menyimpan begitu banyak beban yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata."Kenapa kamu nggak marah?" tanya Kael, kali ini dengan suara lebih kecil, penuh rasa ingin tahu dan sedikit kesedihan.Zara tersenyum kecil, tetapi senyum itu lebih terasa seperti luka."Aku marah, Kael," jawab Zara pelan, suaranya hampir tenggelam oleh beratnya perasaan yang dia tahan.Kael menelan ludah, merasa cemas. "Iya, maksud aku … kenapa kamu nggak marah besar? Mungkin kalau kamu melampiaskannya, aku bakal ngerasa lebih baik."Zara menggeleng
"Enggak," jawab Kael cepat, terlalu cepat.Seperti orang yang ingin lari dari kenyataan, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya semakin memperburuk keadaan.Zara tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak, matanya menatap Kael lurus, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab."Kalau nggak, kenapa ada surat ini?" Suara Zara terdengar lebih pelan, tapi ada tekanan di dalamnya yang cukup untuk membuat Kael sulit bernapas.Kael menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak di dadanya. Dia bisa merasakan denyut halus di pelipisnya, tanda bahwa pikirannya sedang berusaha keras mencari jalan keluar.Kael tahu, kalau dia berkata terlalu sedikit, Zara tidak akan puas. Namun, jika dia berkata terlalu banyak, dia tahu kata-katanya hanya akan semakin melukai."Ayah yang mengurus ini, bukan aku," kata Kael akhirnya, suara sedikit pecah, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Zara terdiam sejenak, matanya berkedip, menunggu penjelasan lebih lanjut."Maksud kamu?" tanya Zara, suaranya
Kael menegang, tatapannya berubah dingin. Beberapa detik berlalu dalam kesunyian yang pekat, hanya suara detak jam yang terdengar jelas di ruangan itu.Kael menatap Aryan, matanya tajam, penuh amarah atau mungkin kecewa, tetapi yang jelas aura ketegangan semakin kental di ruangan itu."Dan kalau aku menolak?" tanya Kael akhirnya, suaranya terdengar lebih rendah, lebih tajam, seperti ujung pisau yang siap menebas.Aryan menatapnya lurus, tidak bergeming sedikit pun."Kamu akan kehilangan kepercayaan. Itu berarti kekuasaanmu di perusahaan ini akan terancam. Aku tidak ingin itu terjadi, dan aku yakin kamu pun tidak," jawab Aryan datar, suaranya tidak menunjukkan sedikitpun rasa ragu.Kael tetap diam, matanya tetap terpaku pada map yang ada di hadapannya, seolah berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya. Jemarinya mengepal pelan di atas meja, menahan amarah yang mulai memuncak.Aryan menghela napas panjang, menatap Kael yang tampak semakin frustrasi."Kamu harus berpikir
Riki tampak terkejut, sementara Sarah tidak bisa menyembunyikan perubahan ekspresi di wajahnya.Sarah membuka mulut, seolah ingin melanjutkan perdebatan, tetapi tak ada kata yang keluar. Sementara itu, Riki hanya menghela napas kecil."Kael, saya tidak peduli dengan omongan orang luar. Saya hanya ingin Zara bahagia. Tolong jaga dia baik-baik," ujar Riki dengan tenang, menatap Kael dengan sorot mata yang tulus. Suaranya terdengar mantap, tetapi jauh lebih lembut dibandingkan keheningan yang memenuhi ruangan.Mata Kael beralih ke Riki. Seketika, ketajaman dalam sorot matanya melunak."Saya akan selalu menjaga Zara, Om. Zara adalah rumah saya, tempat saya kembali, tempat saya ingin menetap,” ucap Kael, nada suaranya lebih dalam, lebih tulus.Zara menahan napas, tenggorokannya mendadak terasa kering. Kata-kata Kael begitu sederhana, tetapi mampu mengguncangnya dengan cara yang tidak terduga.Riki tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan."Kalau begitu, saya bisa lebih tenang sekarang," ujar
Sarah menegang di kursinya, sementara Zara menatap Kael dengan campuran keterkejutan dan kebingungan.Riki tampak terkejut beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil dan membuka pintu lebih lebar. "Masuklah, Kael."Kael melangkah masuk dengan langkah santai, tangannya masih terselip di saku celana. Tatapannya sekilas menyapu ruangan."Apa saya mengganggu?" tanya Kael, nadanya terdengar sopan, tapi sorot matanya tajam, penuh otoritas, seolah mengatakan bahwa dia tak peduli apakah kedatangannya mengganggu atau tidak."Tidak, tidak sama sekali." Riki buru-buru menggeleng, lalu mengajak Kael duduk.Namun, Zara buru-buru bangkit, mencoba menarik pergelangan tangan Kael."Ayo kita pulang aja, Kael," kata Zara cepat, ingin segera menghindari situasi ini sebelum Sarah melontarkan lebih banyak kata-kata yang bisa memanaskan suasana.Sarah mendengus dan bersandar ke sofa, kakinya disilangkan dengan angkuh."Loh? Kok buru-buru? Duduk dulu lah. Masa datang cuma buat jemput doang? Nggak sopan,
Sore itu, setelah selesai bekerja, Zara langsung menuju rumah Riki. Perjalanan ke sana terasa lebih panjang dari biasanya, meskipun sebenarnya tidak terlalu jauh. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, perasaan yang sulit diabaikan sejak Riki menghubunginya tadi pagi.Begitu sampai di depan rumah, Zara berdiri sejenak sebelum mengetuk pintu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, firasatnya mengatakan bahwa pertemuan ini tidak akan berlangsung dengan tenang.Tidak butuh waktu lama, pintu terbuka. Riki berdiri di ambang pintu dengan ekspresi khawatir. Matanya langsung menyapu wajah keponakannya, seolah ingin memastikan Zara baik-baik saja setelah pemberitaan yang sempat heboh kemarin."Zara ..." Suara Riki pelan, sedikit berat, seperti menahan sesuatu yang sudah lama ingin diucapkan. Riki menghela napas sebelum akhirnya bertanya, "Kamu apa kabar?""Aku baik-baik saja, Om." Zara tersenyum kecil, mencoba menenangkan Omnya.Riki masih menatapnya beberapa det