"Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.
Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah."Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe."Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood."Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku."Mita, sudah ya, sekarang waktunya kerja. Aku lagi suntuk." Aku melenggang masuk ke ruang kerjaku, mengabaikan Mita."Eh Dia ngeluyur masuk. Pengantin baru, bukannya seneng, eh dia malah suntuk. Aneh." Masih bisa kudengar Mita bergumam pelan."Ekhem!" Aku berdehem memperingatinya agar kembali ke dapur dan memantau semua karyawan."Eh, iya. Iya! Siap!" cetus Mita yang paham maksudku. Meski kami dekat layaknya dua orang sahabat, tapi ada saatnya ia harus menghormatiku sebagai owner kafe ini.Aku mulai menekuri pekerjaanku. Sesekali aku mengecek ke dapur dan ke ruang depan kafe dimana pelanggan mulai berdatangan karena sudah memasuki jam makan siang.Setelah memastikan semuanya kondusif. Aku masuk kembali ke ruang kerjaku. Baru saja aku duduk beberapa menit.Mita datang tergopoh-gopoh sampai ia lupa mengetuk pintu ruanganku."Mita! Ada apa sih? Bikin kaget aja."Mita menarik napas lalu membuangnya perlahan."Nih minum dulu, lalu katakan, ada apa?" Aku menyodorkan segelas air putih di mejaku, tapi ia menggeleng."Itu, Mir, di depan ada yang cari kamu.""Cari aku? Siapa?" Ia mengangguk."Ibu mertua kamu."Aku terkejut, kenapa bisa Mama Rita tahu kafeku. Sejak kemarin bahkan aku belum bercerita atau ngobrol apapun dengan beliau. Pun mengenai kafe ini. Kenapa sekarang beliau sudah ada di sini?"Mama Rita?" Mita mengangguk.Aku bangkit berdiri, sejenak membetulkan posisi hijabku, sebelum melangkah menemui Mama Rita. Tak kupungkiri,. Menikah dadakan dengan Raka, membuatku belum mengenal lebih dekat seperti apa sifat dan karakter Mama Rita. Ada rasa grogi saat bertemu dan mengobrol berdua dengan beliau yang kini telah menjadi ibu mertuaku."Assalamualaikum Mama!" sapaku begitu sampai di meja, dimana Mama Rita duduk seorang diri seperti tengah menungguku."Amira, Mama ganggu nggak?" tanya Mama Rita dengan sorot mata berbinar, dan senyum melengkung di bibirnya. ia menarikku dalam pelukannya, dan memicium pipi kanan dan kiriku. Wow, sebuah sambutan yang sangat hangat."Ah enggak kok, Ma. Tadinya juga cuma iseng aja kemari. Daripada di rumah sepi," jawabku asal."Sepi? Memang Raka kemana? Kan dia masih cuti selama seminggu. Memangnya dia nggak di rumah?" Aku tercengang. Aduh, kenapa aku harus bilang di rumah sepi."Eh, ada kok Ma, Raka ada di rumah, tapi sepertinya dia kecapekan jadi masih tidur," jawabku asal. Aku merutuki diriku sendiri. Jangan sampai aku salah bicara lagi."Kok Mama tahu Amira ada di sini?" tanyaku mengalihkan perhatian."Ya, tadi Mama sempat telpon ibu kamu. Ya, ngobrol-ngobrol tentang kamu. Ternyata kamu itu hebat ya, masih muda sudah punya usaha sendiri, hebat kamu Mir!""Ah Mama bisa aja. Ini semua juga berkat dukungan dan doa dari Ibu dan Ayah, juga Mas Faisal kok Ma." Aku tersipu malu mendapat pujian dari Mama mertua."Oh." Mama Rita manggut-manggut tersenyum.Tadi memang Ibu sempat menelponku sekedar menanyakan kabarku. Mungkin ibu ada sedikit khawatir anak bungsunya ini tiba-tiba menikah dan hidup dengan suaminya. Aku pun mengatakan aku baik-baik saja dan sekarang berada di kafe. Mungkin setelah ibu meneleponku, Mama Rita menelpon ibu, dan ibu mengatakan aku sedang ada di kafe. Itu yang aku simpulkan."Kalau gitu, coba kamu telpon Raka, kita makan siang sama-sama di sini. Mama yakin Raka juga pasti senang bisa makan sama-sama di kafe milik istrinya." Aku tersentak kaget.Masalahnya aku sendiri tak punya nomor telepon Raka. Lucu memang, kami suami istri, tapi nomor telpon saja kami tak punya. Saking cueknya dia.Otakku langsung berpikir keras mencari alasan."Ehm, maaf Ma, kebetulan hape Amira lagi habis baterai, baru saja tadi Amira charge." Aku memberikan alasan."Oh, baiklah biar Mama yang telpon Raka."Wanita yang mengenakan gamis berbahan maxmara dengan motif bunga lavender itu pun mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangan mewah miliknya."Sebentar ya Sayang." Aku mengangguk tersenyum. Mama Rita langsung menelpon Raka, terdengar bunyi sambungan terhubung tapi belum diangkat oleh Raka. Sesekali beliau melirikku sekilas, lalu tersenyum.Mama Rita sampai menelpon Raka dua atau tiga kali. Apa iya, Raka sedang sibuk, sampai tak mendengar hape-nya bunyi."Hallo Raka! Kamu di mana kok rame banget?" Suara Mama Rita begitu teleponnya terhubung dengan Raka.Beliau langsung menekan tombol speaker bagitu panggilan tersambung. Mungkin pikirnya biar aku bisa ikut mendengarkan."Hallo Ma. Ada apa Ma? Raka lagi di luar.""Di luar? Kata Amira tadi kamu lagi tidur di rumah?" tanya Mama Rita dengan raut wajah serius sambil sesekali melirikku, aku hanya tersenyum canggung."Oh, ehm, iya tadi di rumah, ini baru aja keluar ada urusan sama temen, Ma," sahut Raka di seberang sana."Ya sudah, sekarang Mama lagi di Kafenya Amira, kamu kesini sekarang, kita makan siang sama-sama di sini. Mama tunggu!""Apa? Kafenya Amira?""Iya! Tuh kan bener dugaan Mama, kamu sendiri sudah jadi suaminya nggak tahu apa kesibukan istrimu. Apalagi ini kan kalian masih pengantin baru, masak Amira sibuk di Kafe, kamunya sibuk sama temen kamu! Kamu ini gimana sih Ka! Dah, cepetan kamu kesini sekarang!"Panggilan di matikan sepihak oleh Mama Rita."Maaf ya Mir, Raka memang begitu, harap maklum ya Mir kamu ngadepin dia, tapi Mama pastikan dia sebenarnya baik kok. Ya, kalian cuma butuh waktu aja untuk saling mengenal satu sama lain." Mama Rita bicara sambil menggenggam erat jemariku. Seakan memberi kekuatan padaku untuk tetap sabar.Aku hanya tersenyum getir."Iya Ma. Mau Amira ambilkan makanan sekarang? Mama mau makan apa?""Nanti saja lah nunggu Raka datang, Mama masih ingin ngobrol sama kamu."Aku yang hendak bangkit berdiri pun mengurungkan niatku."Sebenarnya, Pernikahan Raka dengan Evita kemarin itu keinginan Raka. Kami Orang tua Raka, tidak merestui hubungan mereka."Aku tersentak kaget. Hubungan mereka tidak direstui? Lantas mengapa bisa mereka menjalin hubungan sampai selama itu?Di dalam otakku bertanya-tanya. Sambil terus menyimak cerita Tante Rita."Raka itu keras kepala. Semakin ditentang dia semakin jadi. Sampai akhirnya kami mengalah dan menyetujui hubungan mereka. Hari itu, hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bagi Raka. Justru menjadi hari menyedihkan baginya. Benar feeling Mama, kalau Evita adalah perempuan nggak bener. Ia justru membuat malu kami sekeluarga. Ia kabur di saat kami semua sudah kepalang tanggung di hadapan penghulu dan para tamu, rekanan dan relasi bisnis Papa."Netra Mama Rita memerah, menampakkan kemarahan yang tersimpan di sana.Aku tertegun menatapnya dalam, lalu mengelus pelan jemari tangannya yang masih menggenggam erat tanganku."Maafkan Kami ya Mir, jika ini juga suatu hal yang mendadak buat kamu. Satu hal yang Mama yakini, kamu adalah perempuan yang tepat untuk Raka. Mama yakin kamu bisa jadi pendamping yang baik untuk Raka." Kini netra itu menatap dalam padaku.Ya Tuhan, apa jadinya jika Mama Rita mengetahui tentang perjanjian yang sudah aku dan Raka sepakati.Apa jadinya jika Mama Rita tahu jika aku dan Raka dengan sengaja mendirikan tembok yang tinggi nan kokoh diantara kami berdua?Bersambung."Mama? Mama ngapain di sini?" tanya Raka begitu sampai di meja tempat kami duduk menunggunya. Sekilas kedua netra kami beradu."Ngapain? Main-main ke tempat usaha menantu Mama memang nggak boleh?" Raka hanya mengerutkan dahi. "Kamu pasti nggak tahu ya, kalau Amira ini ternyata pengusaha kuliner, nih lihat kafe-nya aja bagus, bersih, Dia sendiri lho yang merintisnya dari nol."Raka hanya diam, tak menanggapi apapun kata-kata mamanya. Melihat tak ada tanggapan apapun dari putranya, membuat menatap serius Wajah Raka.Raka yang merasa ditatap oleh mamanya langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini, dimana ada banyak pengunjung yang tengah menikmati makan siang, atau sekedar nongkrong di jam istirahat mereka.Kemudian ia tersenyum seraya mengangguk."Iya Mama benar. Mantu Mama memang hebat," ucap Raka yang aku yakini itu hanya pura-pura, tak lebih hanya untuk menghibur hati mamanya. Seulas senyum langsung terbit di wajah Mama Rita."Oh ya jelas! Sudah cantik, pinter us
"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
"Raka dan Amira pulang dulu ya Ma" ucap Raka membuat Mama tercenung."Ehm, nggak apa-apa kalau kita pulangnya nanti dulu, Mas." kataku saat melihat Mama Rita tak menjawab ucapan Raka."Ah, nggak apa-apa Mir, kalau kalian mau pulang sekarang, tidak apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mama nggak apa-apa." Mama Rita berkata seraya menyentuh lembut jemariku."Benar Mama nggak apa-apa? Apa perlu kita panggilkan dokter Ma?" tanyaku yang merasa khawatir akan kondisi kesehatan Mama. Tapi, Mama Rita menggeleng."Tidak perlu Mir. Mama hanya butuh istirahat saja." Akhirnya aku mengalah, kami berdua pamit. Raka lebih dulu keluar kamar Mama. "Amira, ingat ya, kalau Raka berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, bilang sama Mama," ucap Mama menatapku dalam. Aku pun mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Raka keluar rumah ini."Sebenarnya Mama Rita sakit apa, Raka?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Kondisi kesehatan Mama sedikit terganggu semenjak kecelakaan ya
"Terima kasih," balas Raka, sambil mendudukan diri di kursi kosong yang ada di dekatku. Akhirnya, aku memberikan semangkok mi instanku itu untuk Raka dan membiarkan dia memakannya sampai habis. Setelah itu, aku memilih untuk memasak makanan lain untuk diriku sendiri. Raka makan mie instan dengan lahap. Aku memilih untuk merebus dua butir telur.Setelah mie-nya habis Raka bangkit berdiri mengambil air minum kemudian melenggang begitu saja. "Eh, eh tunggu!" Buru-buru aku berdiri di hadapannya agar ia menghentikan langkah.Ia menatapku dengan dahi berkerut."Tuh beresin dulu mie-nya yang tumpah!" ucapku.Enak saja dia yang numpahin aku yang bersihin. Aku sudah berbaik hati berbagi mie instan milikku. Sekarang tugasnya membereskan kekacauan di dapur ini."Kau saja lah!" Ia mengibaskan tangannya. Tentu membuat netraku membeliak."Eh enggak, enggak! Kamu yang sudah membuat kekacauan ini Raka, jadi kau yang harus membersihkannya!" sungutku tak mau kalah."Ya sudah besok saja lah! Sekara
Seketika jantungku seperti berhenti sesaat, ketika Raka memanggilku dengan sebutan 'Sayang' terasa sangat ... aneh terdengar di telingaku."Sayang kok kamu malah diam." Lagi Raka berkata, kali ini bahkan tanpa canggung merangkul bahuku di depan Papa dan Mamanya.Aku hanya tersenyum kaku menanggapi ucapan Raka."Eh nggak apa-apa Mas," ucapku gugup.Kulihat Mama Rita tersenyum penuh arti menatap aku dan Raka secara bergantian."Ehm, sebentar Amira buatkan teh hangat dulu ya Ma, Pa." Papa dan Mama mengangguk. Bergegas aku berjalan cepat ke dapur, menetralisir degup jantung yang tiba-tiba berdetak cepat. Aih, baru juga dia bilang sayang boongan, tapi kenapa aku sudah segugup ini? Aku membuat tiga cangkir teh hangat, untuk Mama dan Papa, dan satu lagi untuk Raka.Dan kalian tahu, ini adalah kali pertama aku membuatkan minuman untuk dia. Ya, Suamiku. Aku bahkan tak tahu, minuman apa kesukaannya, aku buatkan saja teh manis.Aku keluar ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi tiga can
Aku tertegun, tanpa mampu berkata apa-apa."Iya Ma. Mama doain aja ya Ma." Raka yang menyahutinya, sambil mencium takzim punggung tangan ibunya. Mama Rita pun tersenyum hangat menatap Raka.Melepas kepergian mereka Raka merangkul pundakku seraya melambaikan tangannya pada kedua orangtuanya.Jangan ditanya suasana hatiku saat merasakan lengan kekar itu melingkar di bahuku. Jantungku berpacu lebih cepat. Satu tanganku menyelinap di balik hijabku, menekan dada ini, khawatir Raka bisa mendengar detak jantungku.Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, mesin mobil pun mulai menyala. Tapi tiba-tiba pintu mobil di samping kemudi kembali terbuka."Ya Allah Mama sampai lupa Sayang, ini tadi bawa ini dari rumah buat kalian berdua, ya Allah malah lupa tadi nggak di bawa masuk saat baru sampai sini." Mama Rita terkekeh sendiri menyadari kelupaannya."Ya Allah Ma. Repot-repot bawa makanan segala Ma." Aku menerima rantang susun dari tangan Mama."Nggak repot kok, kan masaknya di bantu Bik Ijah, ini m
"Oke, kita ketemu di tempat biasa. Aku langsung jalan sekarang kesana." Terdengar suara Raka berbicara di telepon dengan seseorang. Ia berbicara sambil berjalan ke dapur, mengambil air minum di meja makan kemudian berjalan melewatiku begitu saja.Aku membereskan meja makan, dan mencuci piring kotornya. Mengabaikan Raka yang sepertinya akan pergi keluar.Mau pergi kemana juga, itu bukan urusanku. Aku tetap dengan pekerjaanku. Setelah ini juga aku rencananya ingin keluar ketemu teman-temanku. Daripada weekend suntuk di rumah kan, lebih baik aku keluar bertemu teman-teman untuk shopping dan ke salon.Setelah membereskan dapur, aku pun bersiap dan langsung meluncur ke sebuah Mall, tempat aku janjian dengan teman-temanku."Hei, Yunia, Caca, maaf ya Gue telat, biasa tadi macet di jalan," ucapku begitu sampai di meja sebuah restoran dimana kedua temanku menunggu."Iya nggak apa-apa, santai aja, kita juga lagi makan dulu kok. Lo mau makan dulu?" tanya Yunia, aku menggeleng, karena tadi aku s
Aku sampai di rumah saat matahari sudah condong di ufuk barat.Lelah sih, tapi senang, aku bisa menghabiskan waktu bersama Yunia dan Caca, walaupun lebih sering kami berdebat dan saling meledek, tapi sebenarnya kami adalah geng yang kompak.Aku merasakan tubuhku juga segar setelah melakukan perawatan di salon.Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, hingga tiba-tiba ponselku berdering, aku langsung merogoh ponselku dari dalam tas. Tertera nama Mas Faisal di layar pipihku."Hallo Assalamualaikum Mas." "Wa'alaikumusalam. Apa kabar Dek?""Aku, baik. Alhamdulillah. Ada apa tumben nanyain?" cibirku, pasalnya dia sangat jarang sekali menanyakan kabarku. Paling-paling telpon jika ada satu hal yang penting."Ya Allah, ketus banget. Ya namanya seorang kakak, ya wajar dong nanyain kabar adiknya," sahutnya dari seberang sana."Ya. Wajar sih. Sekarang bilang, ada apa telpon Amira Mas?" tanyaku mulai serius pada kakak lelakiku ini."Kamu, di sana baik-baik aja kan?" Pertanyaan Mas Faisal tentu me
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin