Aku bertanya pada Raka melalui gerakan tangan, sedang pendengaranku masih tetap fokus mendengarkan Mama Rita yang masih bicara di telepon. Raka pun paham, ia mengangguk dan mengacungkan jempol."Tap–tapi ini Amira lagi mau masak Ma, untuk makan malam," ucapku jujur, memang aku sedang menyiapkan sayur untuk di masak."Sudah mulai di masak, memangnya?""Ya, belum sih, lagi motong sayur, Ma." Aku melempar pandangan pada wortel yang masih belum selesai kupotong."Nah belum kan, masuk kulkas aja sayurnya Mir, kalian makan malam berdua keluar, please, anggap aja ini Hadian dari Mama untuk kalian." Lagi aku melirik Raka, ia mengangguk."Ya sudah oke Ma, nanti Raka dan Amira akan ke sana. Makasih banyak ya Ma. Mama sampai repot-repot booking tempat untuk kita makan malam, padahal Amira dan Raka juga bisa makan di rumah."Akhirnya aku pun menuruti permintaan Mama, sayur dan juga ayam yang tadi sudah ku keluarkan, aku masukkan kembali ke dalam kulkas."Bersiap-siap lah, kita akan jalan sekarang
"Amira, Amira! Bangun, ayo masuk!" Aku terkejut saat tiba-tiba Raka membangunkanku. Aku membuka mata dan menoleh sekeliling ternyata aku ketiduran di teras, masih di luar rumah dengan posisi duduk memeluk lutut, dan bersandar pada pintu."Raka.""Ayo masuk, tidur di dalam." Raka berkata sambil memutar anak kunci.Aku menatap tajam padanya, dadaku bergemuruh hebat, baru kali ini aku merasakan marah yang teramat sangat. Aku memang hanya jadi istri yang tak harapkan baginya. Tapi tak bisakah ia menghargaiku sebagai seorang perempuan? Dengan tidak meninggalkanku begitu saja di restoran.Kalau pun ia tak ingin pulang bersama denganku atau ada urusan lain, tak bisakah ia bicara padaku baik-baik agar aku tak sampai menunggu lama seperti orang bodo* di dalam restoran sana!"Ayo masuklah." Lagi Raka berkata tanpa menoleh padaku. Tak tahukah ia aku sedang sangat marah padanya.Aku melenggang masuk, dan langsung menuju ke kamar."Amira, maafkan aku, tadi aku ada urusan mendadak yang sangat pent
"Oke. Sekarang gini, kalau kamu tak bisa menghargaiku sebagai istrimu, minimal hargai aku sebagai teman, bisa kan? Kalau itu pun kau tak bisa, maka sebaiknya kita bercerai!" ucapku lantang langsung pada intinya.Semalaman aku berpikir, hati ini merasakan lelah, jadi mungkin kupikir akan lebih baik berpisah, jika bersama pun hanya ada rasa saling kecewa. Dengan berpisah, aku harap ia pun bisa bebas mencari keberadaan Evita, dan aku pun bebas dengan diriku sendiri.Ya, sepertinya itu akan lebih baik. Raka masih diam,, setelah beberapa saat aku menunggunya bicara. Ia tetap masih diam membisu.Oke, diamnya Raka kuanggap ia setuju. Mari kita bercerai saja.Aku melangkah hendak masuk ke kamar. Berniat untuk mengemasi barang-barangku. Saat nanti ayah dan ibu tanya, itu urusan belakang. Yang penting sekarang aku akan keluar dari rumah ini."Amira, tunggu. Amira!" Raka mengejarku yang baru saja memasuki pintu kamar, ia menerobos masuk dan langsung mencekal lenganku."Jangan sentuh aku! Stop!
"Selamat pagi Pak Raka." Seseorang menyambut kami saat kami baru saja memasuki area kantor yang merupakan cabang baru perusahaan Papa.Gedung ini terlihat mewah dengan bangunan baru yang gagah berdiri menjulang tinggi."Ya, Selamat pagi Pak Diki," jawab Raka seraya menerima uluran tangan seorang laki-laki kira-kira berusia 40 tahunan itu."Senang bertemu dengan Anda Pak Raka, apa ini ....""Ya, ini istri saya, Amira." Pak Diki tersenyum padaku aku pun mengangguk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada."Oke, mari saya antar ke dalam, Pak. Semuanya sudah siap, tinggal menunggu Bapak." Pak Diki mempersilahkan kami untuk masuk, kami berjalan bersama, beriringan.Aku berjalan di samping Raka, tak ada gandengan tangan layaknya pasangan suami istri lainnya. Ternyata di dalam sebuah ruangan yang cukup besar sudah ramai, semua karyawan berkumpul di sini, duduk di kursi-kursi yang berjejer rapi. Di depan sudah ada meja panjang, dimana para petinggi perusahaan dan para tamu unda
"Boleh saya duduk di sini?" tanyannya sopan, sambil melirik satu bangku lagi tak jauh dari tempatku duduk."Oh ya, silakan.""Saya Arya, salah satu manager di kantor pusat." Ia mengulurkan tangannya. Tapi aku hanya mengatupkan kedua telapak tanganku di dada. Ia pun mengerti dan tersenyum."Bagaimana ceritanya istri seorang Raka Ardiansyah calon pemimpin perusahaan, justru duduk sendiri di luar gedung begini Nona Amira?""Ehm, aku duduk di sini untuk cari udara segar, karena di dalam tadi cukup ramai, kurasa di sini, suasananya lebih nyaman."Lagi-lagi ia mengangguk tersenyum, wajahnya tak setampan Raka, tapi saat ia tersenyum ada daya tarik tersendiri. Astaghfirullah ingat Amira, kau sudah bersuami, tak pantas memuji laki-laki lain!Ah, meskipun status istri hanya sebatas status belaka, bukan istri sesungguhnya."Ehm, maaf sebaiknya saya permisi untuk kembali masuk ke dalam, khawatir Raka mencariku, permisi Pak Arya." Aku pamit dengan sopan pada laki-laki yang tengah duduk dengan sant
Aku melirik Raka yang masih terdiam, kami bersitatap beberapa detik, sepertinya ada masalah."Minum dulu teh-nya Pa," ucap Mama seraya mendaratkan bobotnya di sofa."Satu hal yang ingin Papa sampaikan pada kalian, terutama kamu Raka, ingat, pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, dimana janji yang kamu ucapkan di hadapan penghulu, bukan hanya di saksikan oleh manusia, tapi juga di saksikan oleh Allah dan malaikat. Jadi Papa minta, kamu jangan main-main!" Papa berkata dengan lugas, sampai membuatku tertunduk, sebab merasa pernikahan yang kujalani ini tak berjalan semestinya.Mengapa Papa bicara begitu? Apakah Papa mengetahui sesuatu tentang hubungan kami? Aku dan Raka."Kamu juga harus menghargai Amira, istrimu.""Iya Pa." Raka menjawab singkat, lalu meraih cangkir teh di depannya, dan menyesapnya pelan."Di minum dulu Mir, kamu pasti capek kan, tadi habis perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta." Seperti biasa, Mama Rita selalu hangat.Aku pun meminum teh, lalu memakan bolen pisang
"Maaf mengganggu waktumu Mir," ucap Papa seraya bangkit dari duduknya, lalu mendaratkan bobotnya di sofa berseberangan denganku."Nggak ganggu kok Pa, lagi pula semua urusan di Kafe sudah ada yang menghandle." Aku menjawab sambil membuka susunan rantang kantong plastik putih berukuran besar, berisi makanan."Terimakasih banyak ya Mir," ucap Papa sambil tersenyum."Kita makan siang sama-sama di sini, Papa juga sudah ajak Mama, tapi katanya kepala sedikit pusing jadi Mama memilih untuk berisitirahat di rumah," sambungnya lagi."Assalamualaikum Pa." Tiba-tiba Raka memasuki ruangan ini.Ia nampak kaget melihatku ada di sini "Amira.""Ya, Papa yang meminta dia kesini dan membawakan makan siang untuk kita, ayo kita makan sama-sama. Papa penasaran dengan menu di Kafe Amira, tadinya mau datang langsung kesana, tapi tahu sendiri Papa sangat sibuk, tak sempat, jadi tak salahnya 'kan Papa minta kamu yang kesini Mir, sekali-kali biar kamu lihat kantor Papa, dan kerjaan suamimu." Papa Papa menyah
"Ini Tas kamu." Aku seperti mengenali suara orang ini."Iya benar ini tas-nya Mbak ini Mas! Alhamdulillah! Mbak ini tas-nya 'kan?!" Ibu-ibu yang sedang berdiri menemaniku menyahut. Aku yang masih dengan posisi duduk karena sejak tadi dilanda rasa cemas pun langsung mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang suaranya tak asing bagiku."Amira," ucap laki-laki itu. Dari nada bicaranya terdengar seperti terkejut.Laki-laki itu pun membuka kaca helm full face-nya yang berwarna hitam."Arya." "Amira, ternyata Kau yang tadi di jambret? Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil melepas helm di kepalanya. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya.Aku langsung bangkit berdiri, dan meraih tas yang ada di tangan ibu-ibu yang menemaniku duduk tadi."Oh jadi Mbak sama Mas ini saling kenal? Owalah, kebetulan sekali ya," ucap wanita yang sudah sangat baik menemaniku di depan supermarket ini."I–iya Bu, kebetulan Mbak ini, istrinya teman saya." Arya yang menjawab."Owh gitu. Ya sudah kalau gitu saya tinggal m
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin