"Ini Tas kamu." Aku seperti mengenali suara orang ini."Iya benar ini tas-nya Mbak ini Mas! Alhamdulillah! Mbak ini tas-nya 'kan?!" Ibu-ibu yang sedang berdiri menemaniku menyahut. Aku yang masih dengan posisi duduk karena sejak tadi dilanda rasa cemas pun langsung mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang suaranya tak asing bagiku."Amira," ucap laki-laki itu. Dari nada bicaranya terdengar seperti terkejut.Laki-laki itu pun membuka kaca helm full face-nya yang berwarna hitam."Arya." "Amira, ternyata Kau yang tadi di jambret? Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil melepas helm di kepalanya. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya.Aku langsung bangkit berdiri, dan meraih tas yang ada di tangan ibu-ibu yang menemaniku duduk tadi."Oh jadi Mbak sama Mas ini saling kenal? Owalah, kebetulan sekali ya," ucap wanita yang sudah sangat baik menemaniku di depan supermarket ini."I–iya Bu, kebetulan Mbak ini, istrinya teman saya." Arya yang menjawab."Owh gitu. Ya sudah kalau gitu saya tinggal m
"Hai, maaf menunggu lama ya, tadi lagi lumayan ribet di dapur." Aku menghampiri Arya yang sudah duduk di salah satu bangku di Kafe.Tadi memang Mita mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu denganku, aku sudah bisa menebak itu pasti Arya, karena memang sejak kemarin kami sepakat akan bertemu di sini. Karena aku sudah janji mentraktirnya makan siang di Kafe-ku."Iya nggak apa-apa, bisa dimaklumi. Kamu hebat ya, masih muda tapi sudah punya usaha sendiri, keren kamu Mir. Raka pasti bangga punya istri sepertimu, sudah cantik, pinter usaha," Arya menatap sekeliling area Kafe dengan pandangan takjub."Ah kamu ini berlebihan.""Ah ya, kamu mau makan apa, aku kan sudah janji akan traktir kamu makan di sini, sebentar ya.""Emma!" Aku memanggil salah satu karyawan bagian waiters untuk mendekat ke tempat dimana aku duduk berseberangan dengan Arya."Ya Mbak.""Mana buku menunya."Emma memberikan buku menu itu padaku. Dan aku langsung menyerahkan pada Arya."Ini menu yang ada di sini, silahkan
"Tumben Lo makan siang jauh banget dari kantor?" tanya Raka dengan tatapan penuh selidik."Iya tadi sekalian lewat, dari kantor Pak Hadi, dan baru kutahu, ternyata makanan di Kafe istri Lo ini ternyata sangat enak," jawab Arya dengan santai.Raka duduk di bangku yang tadi di duduki Arya."Sekarang Lo udah selesai makan kan? Sana Lo balik ke kantor, Gue masih ada urusan sama Istriku.""Ya, memang ini Gue udah mau balik ke kantor kok, ya dah, Gue duluan ya!" Arya melenggang meninggalkan kami.Aku masih duduk di bangku berseberangan dengan Raka. "Raka ada apa kemari?" tanyaku."Ingin main sebentar ke Kafe ini apa tak boleh? Arya aja boleh."Aku mengernyitkan menatap Raka yang sepertinya agak aneh. Apa dia tak suka dengan kehadiran Arya di sini? Kenapa tak suka? Toh juga perjanjian yang kita sepakati bersama tertulis tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.Aku aja tak pernah komplen atau ikut campur dengan urusan dia."Ambilkan aku makanan, aku lapar," ucap Raka lagi."Mita!" Aku me
"Kenapa tiba-tiba Papa marah-marah?" tanyaku setelah cukup lama kami berdua sama-sama diam di dalam mobil perjalanan pulang ke rumah."Sepertinya Papa dengar pas aku bicara sama Arya di kantor tadi.""Kalian bicara apa, sampai membuat Papa marah?" tanyaku heran pasalnya kalau hanya pembicaraan biasa tentu tak 'kan membuat Papa marah. Kali ini Papa terlihat sangat murka.Raka terdiam beberapa saat."Pembicaraan urusan laki-laki. Kau tak perlu tahu," jawabnya.Aku hanya menghela napas, mendengar itu. Ada-ada saja, pembicaraan apaan itu urusan laki-laki? Sampai membuat Papa semarah itu."Sepertinya kita harus lebih kompak lagi dalam berpura-pura di depan orang tua kita, terutama Papa." Kembali aku membuang napas berat.Hah! Perasaan selama ini aku sudah berusaha semaksimal mungkin memerankan sandiwara ini.Sesampai di rumah aku langsung bergegas untuk turun dari mobil."Masuklah, aku masih ada urusan di luar, jangan lupa kunci pintunya." Sejenak aku tercengang. Mau pergi kemana dia, mala
Menatap irish hitam nan tajam itu membuat dadaku berdegup kencang, hingga tiba-tiba terdengar suara bunyi kompor dimatikan, ternyata tangan Raka dibelakang pinggangku mematikan kompor."Raka, bisa tolong mundur sedikit?" pintaku karena jarak kami kini hanya beberapa centi."Aku minta maaf soal semalam–" bukannya memundurkan tubuhnya ia justru kembali mengatakan maaf."Iya, iya, oke, kita bisa bicara sambil duduk, oke, sekarang tolong kamu mundur," ucapku gugup. Entah mengapa berada dengan jarak begitu dekat dengannya membuatku gugup, ada gelanyar aneh menjalar di dalam sini. Ah apa aku terindikasi penyakit jantung, semenjak menikah dengannya?Raka menatapku lamat-lamat, aku mengangguk, memintanya untuk duduk di kursi dan kita bicara.Akhirnya ia pun menurut, mundur dari hadapanku kemudian duduk di kursi. Aku ikut duduk berhadapan dengannya."Amira, semalam aku langsung telepon Mama, Mama sedang kurang sehat." Terdengar helaan napas berat dari Raka."Gimana keadaan Mama sekarang?""Sem
"Assalamualaikum Bu." Hari ini sepulang dari Kafe aku memilih untuk untuk pulang ke rumah Mama, permasalahan yang kuhadapi tentang Raka, tentang Arya, tentang mertuaku, semuanya sangat melelahkan. Dan tiba-tiba aku rindu dengan suasana kamarku."Amira, kamu datang sendirian? Suamimu mana?" tanya ibu sambil mengedarkan pandangan ke belakangku."Raka 'kan kerja Ma, paling pulangnya habis magrib." Aku memang selalu pulang jam lima sore, walaupun Kafe tutup jam sepuluh malam, tapi ada Mita dan rekan-rekan karyawan di Kafe yang bisa diandalkan untuk mengurusi Kafe hingga waktu tutup itu tiba."Oh, tapi kamu udah ijin 'kan sama suamimu kalau kamu kemari?" Sejenak aku terdiam, aku memang belum bilang apa-apa pada Raka. Lagi pula ini juga bukan urusan dia kan, aku mau pergi kemana juga, terserah aku."Amira!" panggil Ibu karena melihatku terdiam."Oh, iya Ma, sudah, aku sudah bilang Raka kok kalau aku kesini, ucapku berbohong. Biarlah nanti aku kirim pesan saja pada Raka, kalau aku ada di s
[Raka, aku pulang ke rumah Ibu.] Sebaris pesan ini kukirimkan pada Raka, tapi masih centang dua abu-abu.Mau di balas atau enggak yang penting aku sudah memberitahunya.Aku merebahkan tubuhku di pembaringan, menghirup dalam-dalam aroma suasana di dalam kamarku ini, semuanya masih sama, walau aku ada di rumah di rumah Raka, tapi kamar ini tetap rapi, bersih dan wangi, sepertinya Ibu sering membersihkannya.Aku menatap langit-langit kamar, tanpa sadar air mataku meleleh di kedua sudut netraku.Lelah. Aku lelah menjalani hidup seperti ini. Sudah empat bulan sudah aku menjalani hari-hariku menjadi istri seorang Raka Ardiansyah. Yang aku rasakan hanya hampa. Mendadak dada ini terasa sesak. "Mir," panggilan Ibu mengagetkanku, buru-buru aku mengusap air mataku."Ya Bu." "Boleh ibu masuk?" "Iya Bu." Aku bangun dan memutar anak kunci membuka pintu kamar.Beberapa saat Ibu menatap wajahku lamat-lamat walau sebisa mungkin aku menghindari tatapannya."Mir," panggil Ibu setelah menatapku. Sea
"Ayah, doain aja ya, kami memang tak menunda, kami juga terus berusaha, berikhtiar, tapi semua kembali lagi, semuanya Allah yang menentukan kapan waktunya." Raka menjawab dengan tenang. Seakan terlihat begitu jelas sisi bijak dalam dirinya."Ya, sudah pasti itu, Ayah selalu doain kalian, semoga rumah tangga kalian langgeng, segera di kasih momongan Sholeh dan Sholihah." Ayah menjawab sambil tersenyum, membuatku tertegun mendengar doa tulus Ayah.Tiba-tiba saja netra ini berembun, ada rasa sesak yang menyeruak di dalam dada, karena kenyataan yang Ayah lihat berbanding terbalik dengan kondisi kami yang sebenarnya. Entah aku sanggup bertahan berapa lama, aku tak tahu.Aku menekan pelan dada ini menetralisir rasa yang tadi sempat bergemuruh di dada sebelum melanjutkan langkah ke ruang tamu. Aku tarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan."Ehm, Mas, makan dulu yuk, makanannya sudah aku siapkan di meja makan," ucapku di buat semanis mungkin. Raka menatapku."Ayo Raka, makanlah dulu. A
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin