Dua box berisi nasi dan ayam goreng krispi lengkap dengan saus sambal ada di meja makan. Aku langsung membuka satu box, toh juga tadi Raka sudah menawariku.
Sekarang entah dia ada dimana, aku tak peduli. Karena perutku sudah sangat lapar, aku langsung melahap nasi milikku.Rasa kesal, emosi, juga hati ini yang belum menerima keadaan ini, tentu sangat menguras energi. Dan itu membuat nafsu makanku bertambah. Hanya beberapa menit saja makananku sudah habis tak tersisa. Tersisa satu box nasi milik Raka.Perutku masih terasa lapar, karena porsi nasinya sangat sedikit menurutku. Satu kepalan tangan. Aku mengusap perutku yang masih terasa lapar."Raka! Mau di makan nggak nasinya?" tanyaku setengah berteriak.Hening. Tak ada jawaban. Lagi ngapain sih tuh orang?"Raka! Kamu mau makan nggak? Kalau nggak di makan, aku yang makan ya!" teriakku lagi. Tapi masih tak ada jawaban.Daripada mubadzir 'kan? Mendingan aku makan, perutku masih lapar. Aku membuka lagi kotak nasi dan memakannya. Setelah habis, aku bersendawa, Alhamdulillah akhirnya kenyang.Aku tersenyum puas. Sekarang waktunya tidur. Sebelumnya, mencuci tangan di wastafel."Kau memakan milikku?" Aku terlonjak kaget, tiba-tiba Raka sudah duduk di kursi makan, di depan plastik putih pembungkus nasi tadi.Aku terkesiap."Ehm aku pikir tadi kamu tak mau makan, jadi tadi aku mema–"Brak!Kembali aku tersentak kaget, Raka bangkit dan membanting kursi yang tadi di duduknya. Aku hanya melongo. Merasa bersalah.Eh dia marah, aduh gimana ini? Lagian dari tadi aku teriak nanyain, mau makan enggak, dia nggak jawab. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal."Rakus!" Hatiku tercubit mendengar ia mengatakan itu. Aku menggigit bibir ini, dan meremas jemariku sendiri.Raka melenggang begitu saja meninggalkan ruang makan."Aduh, Mir, kenapa kamu nggak inget dia orangnya begitu? Walau lapar harusnya kamu mikir dulu, ingat ini bukan lagi di rumah orang tuamu, dimana kamu bebas makan pada saja. Kamu sekarang tinggal dengan orang lain. Ya, orang lain yang tiba-tiba jadi suami." Hatiku berbisik merutuki perbuatanku sendiri memakan habis makanan.Masih teringat jelas bagaimana kesalnya wajah Raka tadi saat mendapati plastik putih itu kosong. Sudah sejak kemarin wajahnya sangat cuek dan dingin, sekarang ditambah kesalahanku ini, sudah makin tak enak melihat wajahnya Raka.Ya, kukui dia memang tampan, putih, tatapan matanya tajam, alisnya hitam tebal, rahangnya kokoh, tubuhnya tinggi tegap atletis. Sungguh fisik yang sempurna. Tapi sikapnya yang dingin, jutek, tatapan matanya seolah menyiratkan kebencian padaku. Sungguh sangat tak enak dilihat. Bahkan kalau bisa aku menghindari bertatapan dengannya.Kulihat Raka keluar rumah. Mungkinkah dia membeli makanan baru. Karena tadi makanan miliknya telah aku habiskan? Entahlah.Aku menghela napas. Aku jadi merasa bersalah padanya.Aku berjalan ngontai masuk kembali ke kamar. Kubuka laptopku dan mulai mengecek semua laporan masuk hasil pemasukan dan pengeluaran dari kafe milikku. Mencoba mengabaikan rasa bersalahku terhadap Raka tadi.Tapi tetap saja tak bisa, lagi aku jadi kepikiran. Kemana Raka pergi? Apa dia benar-benar marah padaku gara-gara nasi kotak? Kulirik jam dinding, sudah hampir sejam Raka keluar rumah. Sampai kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, belum ada tanda-tanda Raka pulang.Aku tutup kembali laptopku, berjalan mendekati jendela, menyingkap sedikit gordennya. Sepi. Bahkan kini hujan rintik-rintik mulai turun.Mobil milik Raka masih terparkir di halaman, itu artinya tadi Raka pergi tidak pakai mobil. Aduh, Raka kemana ya? Aku bukan mengkhawatirkannya, hanya saja hati ini tak tenang karena rasa bersalah telah menghabiskan jatah makanan miliknya.Aku membuang napas berat. Malam semakin larut. Aku mulai menguap karena rasa kantuk mulai menyerang. Akhirnya aku putuskan untuk tidur. Biarlah besok aku akan meminta maaf padanya.*Pagi-pagi sekali jam enam pagi ternyata sudah ada tukang sayur yang lewat depan rumah. Kebetulan sekali. Aku langsung berlari menghampiri penjual sayur berniat membeli beberapa sayur-mayur dan ayam.Aku berencana akan masak pagi ini, sebagai permintaan maafku pada Raka. Semoga dia mau makan masakanku."Eh, ada tetangga baru?" tanya ibu penjual sayur."Oh iya Bu, perkenalkan saya Amira, baru pindah kemari, kemarin." Aku mengulurkan tangan padanya. Beliau pun menyambut tanganku."Panggil saja saya Bik Rum. Orang komplek sini biasa manggil saya begitu," sahutnya ramah. Kebetulan baru hanya aku yang datang menghampiri gerobak sayurnya."Oh. Baik Bik Rum."Aku akan masak tumis jamur merang dan ayam goreng. Ya semoga saja dia mau makan, aku tak tau masakan kesukaannya apa?"Eh sudah ditempatin ya Mbak, rumahnya?" tanya seorang ibu yang tiba-tiba datang menghampiri gerobak sayur Bik Rum."Oh iya Bu," sahutku ramah, baru kusadari saat menoleh ternyata ia bertanya padaku"Kenalin saya Sulis, tetangga sebelah." Beliau menunjuk sebuah rumah yang letaknya tepat di samping rumah Raka."Oh Ibu Sulis, saya Amira." Kami pun berjabat tangan."Mbak Amira ini istrinya Mas Raka?" tanyanya. Rupanya beliau mengenal Raka."Iya Bu." Aku mengiyakan. Meski kenyataannya kami di rumah tak lebih dari dua orang asing yang tinggal satu atap. Bu Sulis tampak heran seperti memperhatikan diri ini lebih detail."Ada apa memangnya Bu? Ada yang salah?" tanyaku heran sekaligus risih. Malu juga di liatin sampe begitu dari ujung kepala sampai ujung kaki."Ah tidak ada apa-apa. Cuma agak bingung aja tadi, pernah Mas Raka datang kemari bersama perempuan, yang Dia sebut calon istrinya, tapi maaf bukan Mbak orangnya." Bu Sulis tampak seperti tak enak hati usai mengucapkan itu."Ehm maaf lho Mbak, bukan maksud apa-apa." Aku hanya tersenyum canggung menatap wanita kira-kira seusai ibuku. Oh tidak, lebih mudah dari ibu.Mungkinkah yang dimaksud adalah Evita yang pernah datang kemari bersama Raka? Ya sepertinya begitu."Oh. Iya nggak apa-apa Bu. Saya dan Raka memang baru menikah.""Oh. Kalau begitu, selamat ya Mbak. Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah, kalau perlu apa-apa jangan sungkan datang aja ke rumah saya," ucapnya ramah mengulas senyum."Iya Bu, terimakasih. Nanti kapan-kapan saya main ke rumah.""Iya Mbak, senang berkenalan dengan Mbak Amira, orangnya ramah, cantik lagi. Enggak kayak yang waktu itu di bawanya kemari sama Mas Raka, Dia judes."Aku hanya tersenyum menatapnya. Aku lihat Bu Sulis ini orangnya apa adanya. Sejak tadi ia bicara apa adanya."Eh maaf lho Mbak, saya jadi keceplosan. Semoga langgeng ya Mbak sama Mas Raka, kalian cocok. Cantik dan ganteng. Beda banget sama yang kemarin, cantik sih tapi ya gitu judes banget!" Bu Sulis terkekeh.Iyakah? Evita itu judes, setahuku dia memang agak jutek, tapi karena kami sudah kenal lama menurutku dia baik kok.Ah memang gini tetangga dimana-mana sama. Sukanya membanding-bandingkan!"Bu Sulis bisa aja," sahutku sambil tersenyum."Ya sudah saya pamit dulu ya Bu Sulis. Saya harus cepat masak." Aku pamit setelah Bik Rum menghitung semua belanjaanku.Aku langsung masuk ke dalam rumah, dan memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas, sebagian aku tetap letakkan di atas meja untuk di masak hari ini.Pintu kamar Raka masih tertutup rapat. Entah tadi malam ia pulang jam berapa saat aku sudah tidur.Aku yang sudah terbiasa dengan masak memasak karena aku memiliki kafe. Memasak adalah hal yang biasa aku lakukan. Jadi untuk memasak menu tumis jamur dan ayam goreng bisa aku selesaikan dengan waktu cepat. Untung saja rumah ini sudah lengkap dengan semua perabot dapur. Sepertinya Raka memang sudah menyiapkan rumah ini sebelum menikah untuk ditempati bersama Evita.Setelah semuanya siap tersaji aku langsung mandi.Saat aku selesai mandi bertepatan dengan Raka yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi dengan pakaian kasual kaos dan jaket juga celana jeans. Beberapa detik ia berdiri di depan pintu. Tatapan mata kami bertemu. Sebelum akhirnya ia membuang membuang pandangan ke arah lain."Raka, aku sudah masak untuk sarapan. Ada di atas meja." Aku memberitahunya. Ia diam tak merespon apapun. Lalu melangkah menuju pintu depan."Raka, aku minta maaf, soal semalam. Maaf." Ia menghentikan langkahnya beberapa saat, aku yakin ia mendengarku, tapi tak menyahut.Ia melangkah begitu saja keluar rumah, masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Hanya deru suara mobilnya yang terdengar semakin lama semakin menjauh.Aku menghempaskan tubuhku di sofa, menatap ke halaman rumah yang kini telah kosong. Kutarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Ada rasa nyeri menjalar di hati ini, ketika aku sudah berusaha berbuat baik, tapi terabaikan. Aku menggigit bibir ini, menghalau rasa sesak di dada.Bersambung."Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah."Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe."Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood."Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku."Mita, s
"Mama? Mama ngapain di sini?" tanya Raka begitu sampai di meja tempat kami duduk menunggunya. Sekilas kedua netra kami beradu."Ngapain? Main-main ke tempat usaha menantu Mama memang nggak boleh?" Raka hanya mengerutkan dahi. "Kamu pasti nggak tahu ya, kalau Amira ini ternyata pengusaha kuliner, nih lihat kafe-nya aja bagus, bersih, Dia sendiri lho yang merintisnya dari nol."Raka hanya diam, tak menanggapi apapun kata-kata mamanya. Melihat tak ada tanggapan apapun dari putranya, membuat menatap serius Wajah Raka.Raka yang merasa ditatap oleh mamanya langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini, dimana ada banyak pengunjung yang tengah menikmati makan siang, atau sekedar nongkrong di jam istirahat mereka.Kemudian ia tersenyum seraya mengangguk."Iya Mama benar. Mantu Mama memang hebat," ucap Raka yang aku yakini itu hanya pura-pura, tak lebih hanya untuk menghibur hati mamanya. Seulas senyum langsung terbit di wajah Mama Rita."Oh ya jelas! Sudah cantik, pinter us
"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
"Raka dan Amira pulang dulu ya Ma" ucap Raka membuat Mama tercenung."Ehm, nggak apa-apa kalau kita pulangnya nanti dulu, Mas." kataku saat melihat Mama Rita tak menjawab ucapan Raka."Ah, nggak apa-apa Mir, kalau kalian mau pulang sekarang, tidak apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mama nggak apa-apa." Mama Rita berkata seraya menyentuh lembut jemariku."Benar Mama nggak apa-apa? Apa perlu kita panggilkan dokter Ma?" tanyaku yang merasa khawatir akan kondisi kesehatan Mama. Tapi, Mama Rita menggeleng."Tidak perlu Mir. Mama hanya butuh istirahat saja." Akhirnya aku mengalah, kami berdua pamit. Raka lebih dulu keluar kamar Mama. "Amira, ingat ya, kalau Raka berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, bilang sama Mama," ucap Mama menatapku dalam. Aku pun mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Raka keluar rumah ini."Sebenarnya Mama Rita sakit apa, Raka?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Kondisi kesehatan Mama sedikit terganggu semenjak kecelakaan ya
"Terima kasih," balas Raka, sambil mendudukan diri di kursi kosong yang ada di dekatku. Akhirnya, aku memberikan semangkok mi instanku itu untuk Raka dan membiarkan dia memakannya sampai habis. Setelah itu, aku memilih untuk memasak makanan lain untuk diriku sendiri. Raka makan mie instan dengan lahap. Aku memilih untuk merebus dua butir telur.Setelah mie-nya habis Raka bangkit berdiri mengambil air minum kemudian melenggang begitu saja. "Eh, eh tunggu!" Buru-buru aku berdiri di hadapannya agar ia menghentikan langkah.Ia menatapku dengan dahi berkerut."Tuh beresin dulu mie-nya yang tumpah!" ucapku.Enak saja dia yang numpahin aku yang bersihin. Aku sudah berbaik hati berbagi mie instan milikku. Sekarang tugasnya membereskan kekacauan di dapur ini."Kau saja lah!" Ia mengibaskan tangannya. Tentu membuat netraku membeliak."Eh enggak, enggak! Kamu yang sudah membuat kekacauan ini Raka, jadi kau yang harus membersihkannya!" sungutku tak mau kalah."Ya sudah besok saja lah! Sekara
Seketika jantungku seperti berhenti sesaat, ketika Raka memanggilku dengan sebutan 'Sayang' terasa sangat ... aneh terdengar di telingaku."Sayang kok kamu malah diam." Lagi Raka berkata, kali ini bahkan tanpa canggung merangkul bahuku di depan Papa dan Mamanya.Aku hanya tersenyum kaku menanggapi ucapan Raka."Eh nggak apa-apa Mas," ucapku gugup.Kulihat Mama Rita tersenyum penuh arti menatap aku dan Raka secara bergantian."Ehm, sebentar Amira buatkan teh hangat dulu ya Ma, Pa." Papa dan Mama mengangguk. Bergegas aku berjalan cepat ke dapur, menetralisir degup jantung yang tiba-tiba berdetak cepat. Aih, baru juga dia bilang sayang boongan, tapi kenapa aku sudah segugup ini? Aku membuat tiga cangkir teh hangat, untuk Mama dan Papa, dan satu lagi untuk Raka.Dan kalian tahu, ini adalah kali pertama aku membuatkan minuman untuk dia. Ya, Suamiku. Aku bahkan tak tahu, minuman apa kesukaannya, aku buatkan saja teh manis.Aku keluar ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi tiga can
Aku tertegun, tanpa mampu berkata apa-apa."Iya Ma. Mama doain aja ya Ma." Raka yang menyahutinya, sambil mencium takzim punggung tangan ibunya. Mama Rita pun tersenyum hangat menatap Raka.Melepas kepergian mereka Raka merangkul pundakku seraya melambaikan tangannya pada kedua orangtuanya.Jangan ditanya suasana hatiku saat merasakan lengan kekar itu melingkar di bahuku. Jantungku berpacu lebih cepat. Satu tanganku menyelinap di balik hijabku, menekan dada ini, khawatir Raka bisa mendengar detak jantungku.Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, mesin mobil pun mulai menyala. Tapi tiba-tiba pintu mobil di samping kemudi kembali terbuka."Ya Allah Mama sampai lupa Sayang, ini tadi bawa ini dari rumah buat kalian berdua, ya Allah malah lupa tadi nggak di bawa masuk saat baru sampai sini." Mama Rita terkekeh sendiri menyadari kelupaannya."Ya Allah Ma. Repot-repot bawa makanan segala Ma." Aku menerima rantang susun dari tangan Mama."Nggak repot kok, kan masaknya di bantu Bik Ijah, ini m
"Oke, kita ketemu di tempat biasa. Aku langsung jalan sekarang kesana." Terdengar suara Raka berbicara di telepon dengan seseorang. Ia berbicara sambil berjalan ke dapur, mengambil air minum di meja makan kemudian berjalan melewatiku begitu saja.Aku membereskan meja makan, dan mencuci piring kotornya. Mengabaikan Raka yang sepertinya akan pergi keluar.Mau pergi kemana juga, itu bukan urusanku. Aku tetap dengan pekerjaanku. Setelah ini juga aku rencananya ingin keluar ketemu teman-temanku. Daripada weekend suntuk di rumah kan, lebih baik aku keluar bertemu teman-teman untuk shopping dan ke salon.Setelah membereskan dapur, aku pun bersiap dan langsung meluncur ke sebuah Mall, tempat aku janjian dengan teman-temanku."Hei, Yunia, Caca, maaf ya Gue telat, biasa tadi macet di jalan," ucapku begitu sampai di meja sebuah restoran dimana kedua temanku menunggu."Iya nggak apa-apa, santai aja, kita juga lagi makan dulu kok. Lo mau makan dulu?" tanya Yunia, aku menggeleng, karena tadi aku s
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin