Bab 1. Dikatai Perawan Tua
"Kapan kamu akan menikah, Mir?"Aku menggeleng-gelengkan kepala. Baru saja Ibu masuk ke rumah dengan wajah masam setelah membeli sayur di pedagang sayur keliling yang berhenti di depan rumah. Setelah mengempaskan dirinya di atas sofa ruang tamu, beliau langsung menanyakan hal tersebut."Itu lagi," keluku, tidak berminat menjawab pertanyaan tersebut."Ya iyalah!" Ibu langsung menyahut ketus."Kamu itu sudah 27 tahun, sebentar lagi menginjak kepala tiga! Apa kamu nggak pengin nikah?!"Meskipun Ibu tampak menggebu-gebu, aku tetap menanggapinya dengan santai."Belum ada jodohnya, Bu," jawabku."Jodoh, gundulmu! Kamunya aja yang nggak niat!" sergah Ibu, akhirnya mengamuk."Kamu itu! Dijodohkan sama anaknya Pak Lurah nggak mau, sama tentara anak Pak Mandor juga kamu tolak! Padahal mereka itu kan ganteng, mapan, kamunya aja yang selalu saja banyak alasan!"Aku diam saja dimarahi, hingga akhirnya Ibu melanjutkan dengan pertanyaan, "Kamu ini ... normal, kan?"Tatapan memincing serta nada bicara Ibu membuatku terbelalak."Astaghfirullah, Ibu!" balasku kesal."Ngomong apaan sih? Ya tentu aku normal lah! Tega banget Ibu nanyanya gitu!""Ya habisnya! Kamu seperti nggak ada rasa tertarik sama–""Assalamualaikum! Bu Salma!" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang kukenali sebagai Bu Inneke, tetangga yang hobi bergosip di lingkungan ini masuk tanpa dipersilakan terlebih dahulu sembari menenteng bungkusan plastik putih."Ini udang belanjaan Bu Salma ketinggalan!""Oh." Ibu buru-buru memasang senyum dan ekspresi ramah."Makasih ya, Bu Inneke.""Sama-sama, Bu. Katanya tadi sudah dihitung," ucap Bu Inneke lagi. Lalu ia beradu pandang denganku yang masih mengenakan baju rumahan."Eh, ada Amira, nggak kerja, Mir?"Nadanya genit sekali, seakan sedang menggodaku dengan jail."Kerja, Bu. Berangkat jam sembilan." Aku tetap membalas dengan sopan, meskipun enggan mengobrol lebih lama.Di lingkungan ini, Bu Inneke terkenal suka kepo dengan urusan orang lain juga. Mungkin untuk bahan gosipnya."Owh ya, Kalau kafe milik sendiri mah enak ya, berangkat kapan saja bebas," tanggap Bu Inneke."Mau datang mau nggak terserah kita, wong punya sendiri. Semua dikerjain karyawannya."Aku hanya tersenyum tipis dan berniat masuk ke kamar lagi untuk bersiap-siap."Hebat ya kamu, Mir. Masih muda sudah sukses, punya usaha sendiri," ucap Bu Inneke lagi."Tapi jangan terlalu sibuk lho. Nanti lupa cari pasangan hidup. Masa sudah tua kok masih asyik sendiri aja. Kasihan bapak ibumu, pasti sudah mau nimang cucu."Seketika aku merasa tak nyaman dengan ucapan Bu Inneke. Mungkin inilah yang membuat mood Ibu rusak pagi-pagi dan menagihku soal pernikahan. Beliau pasti kepikiran dengan omongan Bu Inneke.Sementara itu, Bu Inneke masih melanjutkan, "Lihat tuh, teman-teman seusia kamu. Sudah pada punya anak. Sudah ada yang dua, tiga. Lha kamu, kapan?""Bu," sahutku pada akhirnya. Lama-lama gerah juga. ."Menikah itu bukan ajang perlombaan. Jadi bukan perkara siapa yang duluan, siapa yang belakangan, tapi karena semua datang dengan waktunya sendiri-sendiri."Bu Inneke berdecak. "Halah! Alasan klasik itu, Mir!" balasnya."Kamu itu jangan terlalu pemilih lah. Kamu itu mau cari yang kayak gimana lagi? Mau jadi perawan tua? Siapa yang mau, Mir!"“Aduh, Bu. Kan, bukan masalah Ibu juga,” jawabku sembari menekan perasaan dongkol di hati."Yang menikah nanti kan saya, bukan Ibu. Bu Inneke kan sudah nikah dua kali, masa mau lagi."Bu Inneke terperangah mendengar jawabanku. Wajahnya yang bulat tampak geram dan merah, tidak terima."Kamu–""Saya permisi dulu ya, Bu. Mau siap-siap," ucapku buru-buru. "Mau urus kafe, biar sukses dan nggak numpang sama suami saya nanti."Tanpa mendengar respons tetangga satu itu, aku masuk kamar. Aku tidak peduli kalau-kalau nanti aku dimarahi Ibu atau Ayah.Geram rasanya jika wanita paruh baya itu datang bertandang ke rumah. Pasti ujung-ujungnya bikin aku kesal."Nggak sopan kamu, Mir! Orang tua kasih petuah baik kok malah dikatain!" Meski begitu, aku bisa mendengar omelannya dari dalam kamar."Bu Salma, lihat nih anakmu! Pantas dia nggak laku! begini kelakuannya! Dasar perawan tua!"Mataku terpejam, mencoba mengendalikan kekesalan dan kemarahanku atas kata-kata si tetangga yang pastinya tidak hanya menyakiti hatiku, melainkan hati kedua orang tuaku yang mendengarnya.Apalagi Ibu. Beliau pasti langsung kepikiran. Selalu seperti itu, Ibu terlalu baper jika ada orang lain atau tetangga yang mulai membahas masalah jodoh untukku.Bukannya aku tak ingin menikah, tapi belum ketemu yang cocok.Masa iya aku mau asal nikah aja? Pernikahan adalah hal yang sakral dan aku ingin menikah dengan orang yang benar-benar tepat, berharap bisa menikah sekali seumur hidup, dan bersama-sama mengarungi rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.Apa itu salah?Meskipun aku perempuan, apa aku juga tak boleh memilih?Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera berangkat ke kafe. Sore nanti juga aku harus berangkat ke acara kondangan pernikahan sahabatku. Aku tidak mungkin melewatkannya.Toh, calon suami tidak akan tiba-tiba muncul kalau aku cuma galau begini.Atau begitulah yang kupikirkan.*'Pengantin wanitanya tidak ada! Dia hilang!"Suasana ricuh langsung menyambutku begitu aku sampai di area rias pengantin, di belakang gedung.Seharusnya ruangan ini adalah tempat berkumpul keluarga inti sahabatku, Evita, untuk dirias dan di mana Evita sedang menunggu pengiring pengantinnya menuju pelaminan.Namun, yang ada di sini adalah ketegangan. Bahkan ibu sahabatku itu kulihat sedang tergeletak di bangku panjang–pingsan.Belum saja aku sempat bertanya, salah seorang sepupu Evita berdiri di sampingku dengan wajah panik, sibuk mencoba menelepon seseorang."Duh, gimana sih ini Evita! Angkat dong!” gerutunya. Ia tampak gusar, meskipun wajahnya pucat."Kamu di mana sih!?""Ada apa ini!?"Tiba-tiba perhatian semua orang terarah pada sesosok pria paruh baya yang baru saja datang. Pandangannya tajam menyapu kepanikan keluarga Evita di dalam ruangan–yang makin menjadi karena suaranya menggelegar.Di belakang pria itu, tampak dua sosok yang kukenali."Ayah? Ibu?" gumamku terkejut. Mereka sempat mengatakan kalau sore ini akan menghadiri acara pernikahan putra sahabat dekat mereka.Apakah ini acaranya? Jadi putra sahabat orang tuaku akan menikahi sahabatku … yang saat ini entah di mana?Astaga!"Amira!" Tidak hanya aku, Ibu dan Ayah juga sama terkejutnya. Mereka berbisik hati-hati, tampak tegang dan langsung menarikku mendekati mereka."Apa yang–""Apa maksud kalian pengantin wanitanya tidak ada!?" bentak pria yang tadi menambah ketegangan di ruangan ini, yang kukenali sebagai sahabat Ayah dan ibu. Beliau sedang berdiri berhadapan dengan ayah Evita."Bagaimana bisa dia kabur!? Kalian berniat mempermalukan kami ya!"Aku ikut tegang. Tidak berani bersuara maupun bergerak sedikit pun.Aduh, Evita. Masalah apa yang kamu sebabkan…."Ma-maaf, Besan," ucap sosok yang kukenali sebagai ayah Evita."Kami–"Sahabat ayahku mengibaskan tangannya, tidak mau dengar dan langsung berbalik pada ayah dan ibuku.Aku memperhatikan pria itu sempat tertegun saat melihatku dan bertanya, "Siapa ini?""Ini putriku, Ful," ucap ayahku pada kawannya yang belakangan kuketahui bernama Saiful itu."Namanya Amira."Pak Saiful melihatku dalam waktu yang cukup lama. Keningnya berkerut, seperti sedang berpikir.Hingga akhirnya, tiba-tiba ia bertanya, "Anakmu sudah menikah?"Ayahku tampak heran. "Belum. Dia–"Pak Saiful mengangguk.Pria paruh baya itu menatap ayahku dengan pandangan lurus dan penuh tekad."Mustafa, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" ucap Pak Saiful."Izinkan putrimu untuk menikah dengan putraku."Bersambung.Bab 2. Pernikahan Dadakan si Pengantin Pengganti"Izinkan putrimu menikah dengan putraku!"Tubuhku bagai tersambar petir ketika mendengar pria paruh baya yang tadinya menjadi calon mertua sahabatku itu tiba-tiba menawarkan pernikahan kepada ayahku. Tidak hanya itu, ayahku langsung mengangguk."Ayah!" Aku langsung memprotes. Niatku datang ke sini hanyalah menghadiri pernikahan sahabat lama, bukan menggantikan sahabatku menikah!Dan lagi, bagaimana bisa aku menikahi calon suami dari Evita, sahabatku sendiri!?Aku tidak mau!Namun, sebelum aku bisa menyuarakan penolakan, Ibu langsung menggenggam kedua tanganku dan menatapku penuh harap."Amira … Nak." Ibuku berbisik lembut."Sepertinya ini jalan dari Tuhan buat kamu. Mau ya, Mir."Aku menggeleng, membuat genggaman ibuku makin erat."Kamu itu sudah dewasa. Apa lagi yang kamu tunggu? Ayah dan Ibu ingin melihat kamu segera menikah." Ibu kembali berkata. "Kalau nunggu yang sempurna, tidak akan ada, Mir. Selama ini kamu sibuk merintis usah
Aku mengabaikan apa yang ia katakan tadi. Terserah dia kalau memang mau cari Evita. Alhamdulillah kalau bisa ketemu dan aku terbebas dari pernikahan ini. Aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan, tanpa merespon apa yang di katakan Raka.Terlihat ia bangun dari sofa, meraih jaket dan kunci mobilnya, lalu keluar kamar.Ah, malah bagus dia tak ada, aku bisa tidur nyenyak, gumamku. Dan mulai memejamkan mata.Baru saja aku hampir terlelap, di luar kamar terdengar keributan."Ada apalagi sih! Mau tidur aja susah banget, ada saja gangguannya," gerutuku.Sayup-sayup bisa kudengar suara Tante Rita."Masuk! Mama bilang, masuk! Buat apa kamu cari perempuan itu lagi! Sudah bagus keluarga ini mau menolong kita, kalau tidak keluarga kita sudah di buat malu sama perempuan itu!""Ma, biar Aku cari Evita malam ini Ma.""Enggak! Jangan bikin gara-gara lagi kamu Ka! Jangan bikin malu Mama sama Papa di depan keluarganya Pak Mustafa! Mereka sudah sangat baik mau membantu kita!" Aku menempelkan satu
"Bagaimana?"Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?"Oke."Aku pun membubuhkan tanda tangan di bawah, lalu memberikannya kembali surat itu pada Raka.Ia mengangguk."Ini, simpanlah. Dan mulai sekarang kau bisa menempati kamar depan ini, dan aku di kamar itu, ucapnya sambil menunjuk dua kamar yang masih tertutup pintunya. Aku mengangguk. Kemudian bangkit seraya menarik koperku.Raka pun bangkit dan masuk ke kamarnya. Tatapan Raka sejak kemarin masih tak berubah, jangankan tersenyum, melihatku rasanya enggan. Ia hanya bicara seperlunya saja seperti tadi saat memberikan surat perjanjian itu.Aku mengerti, saat ini pasti hatinya tidak baik-baik saja.Aku memperhatikan ruangan yang akan menjadi kamarku ini. Sebuah ruangan yang tidak lebih besar dari kamarku di rumah, dengan nuansa serba putih dan dua jendela berukuran sedang.
Tak membuang waktu lama, aku langsung mengambil laptop dan beberapa barang-barangku yang tertinggal. Aku melirik jam di pergelangan tanganku sudah jam delapan malam, aku harus cepat kembali ke rumah Raka, sebelum hari semakin malam."Amira pamit pulang dulu ya Bu, Yah!" pamitku pada ayah dan ibu, yang masih ada di ruang tengah. Kulihat Mas Faisal juga sudah bersiap, dengan satu koper miliknya teronggok di dekatnya, sepertinya Mas Faisal pun akan pulang ke Bandung malam ini."Nggak makan dulu, Mir?" tanya ibu saat aku mencium punggung tangannya."Nggak usah, nanti di rumah aja, Ma. Keburu kemalaman soalnya." "Cie! Yang sudah jadi istri, nggak berani pulang larut malam lagi deh sekarang! Hahaha!" Mas Faisal kembali meledekku. Aku hanya memutar bola mataku, jengah.Padahal, mau aku pulang malam atau pulang pagi sekalipun, Raka nggak akan komplain, karena jelas tertulis di surat perjanjian itu, kalau diantara kami tidak boleh ikut campur urusan masing-masing."Ya nggak gitu juga, sih. Da
Dua box berisi nasi dan ayam goreng krispi lengkap dengan saus sambal ada di meja makan. Aku langsung membuka satu box, toh juga tadi Raka sudah menawariku.Sekarang entah dia ada dimana, aku tak peduli. Karena perutku sudah sangat lapar, aku langsung melahap nasi milikku. Rasa kesal, emosi, juga hati ini yang belum menerima keadaan ini, tentu sangat menguras energi. Dan itu membuat nafsu makanku bertambah. Hanya beberapa menit saja makananku sudah habis tak tersisa. Tersisa satu box nasi milik Raka.Perutku masih terasa lapar, karena porsi nasinya sangat sedikit menurutku. Satu kepalan tangan. Aku mengusap perutku yang masih terasa lapar."Raka! Mau di makan nggak nasinya?" tanyaku setengah berteriak.Hening. Tak ada jawaban. Lagi ngapain sih tuh orang?"Raka! Kamu mau makan nggak? Kalau nggak di makan, aku yang makan ya!" teriakku lagi. Tapi masih tak ada jawaban.Daripada mubadzir 'kan? Mendingan aku makan, perutku masih lapar. Aku membuka lagi kotak nasi dan memakannya. Setelah h
"Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah."Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe."Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood."Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku."Mita, s
"Mama? Mama ngapain di sini?" tanya Raka begitu sampai di meja tempat kami duduk menunggunya. Sekilas kedua netra kami beradu."Ngapain? Main-main ke tempat usaha menantu Mama memang nggak boleh?" Raka hanya mengerutkan dahi. "Kamu pasti nggak tahu ya, kalau Amira ini ternyata pengusaha kuliner, nih lihat kafe-nya aja bagus, bersih, Dia sendiri lho yang merintisnya dari nol."Raka hanya diam, tak menanggapi apapun kata-kata mamanya. Melihat tak ada tanggapan apapun dari putranya, membuat menatap serius Wajah Raka.Raka yang merasa ditatap oleh mamanya langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini, dimana ada banyak pengunjung yang tengah menikmati makan siang, atau sekedar nongkrong di jam istirahat mereka.Kemudian ia tersenyum seraya mengangguk."Iya Mama benar. Mantu Mama memang hebat," ucap Raka yang aku yakini itu hanya pura-pura, tak lebih hanya untuk menghibur hati mamanya. Seulas senyum langsung terbit di wajah Mama Rita."Oh ya jelas! Sudah cantik, pinter us
"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin