Aku mengabaikan apa yang ia katakan tadi. Terserah dia kalau memang mau cari Evita. Alhamdulillah kalau bisa ketemu dan aku terbebas dari pernikahan ini. Aku kembali merebahkan tubuhku di pembaringan, tanpa merespon apa yang di katakan Raka.
Terlihat ia bangun dari sofa, meraih jaket dan kunci mobilnya, lalu keluar kamar.Ah, malah bagus dia tak ada, aku bisa tidur nyenyak, gumamku. Dan mulai memejamkan mata.Baru saja aku hampir terlelap, di luar kamar terdengar keributan."Ada apalagi sih! Mau tidur aja susah banget, ada saja gangguannya," gerutuku.Sayup-sayup bisa kudengar suara Tante Rita."Masuk! Mama bilang, masuk! Buat apa kamu cari perempuan itu lagi! Sudah bagus keluarga ini mau menolong kita, kalau tidak keluarga kita sudah di buat malu sama perempuan itu!""Ma, biar Aku cari Evita malam ini Ma.""Enggak! Jangan bikin gara-gara lagi kamu Ka! Jangan bikin malu Mama sama Papa di depan keluarganya Pak Mustafa! Mereka sudah sangat baik mau membantu kita!"Aku menempelkan satu telingaku di balik pintu kamar, karena begitu penasaran. Rupanya, Raka kena semprot sama mamanya."Tapi Ma!""Nggak ada tapi-tapian! Kalau kamu sayang sama Mama dan Papa, kamu nurut! Masuk kembali ke kamar, temani istrimu!" titah Tante Rita.Ah, maksudku Mama Rita. Karena beliau kini sudah menjadi ibu mertuaku.Aku langsung kembali naik ke ranjang dan menutup kembali tubuhku dengan selimut. Aku berbaring membelakangi pintu. Suara derit pintu terbuka, sepertinya Raka kembali masuk ke kamar, tak jadi mencari Evita.Pagi menjelang. Entah jam berapa aku terlelap. Aku lihat Raka masih bergelung selimut, terlelap di sofa.Aku langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi, membiarkan Raka yang masih terlelap. Aku pun tak berani membangunkannya.Selesai mandi aku langsung turun ke dapur bergabung sama ibu dan Mama Rita yang mulai mempersiapkan acara walimah. Dua orang tetangga yang diminta ibu untuk membantu di rumah ini pun sudah siap dengan tugas masing-masing.Jam sepuluh acara di gelar, banyak tetangga yang datang, tak terkecuali Bu Inneke yang baru kemarin nyinyir mengataiku Perawan tua."Alhamdulillah, akhirnya laku juga Amira," cetusnya begitu ia masuk ke dapur menemui ibu.Laku? Dia kira aku ini barang jualan, di bilangnya laku. Aku menggerutu tanpa berani menyela, karena di sini ada banyak orang."Alhamdulillah Bu, doa saya terkabul, semalam Amira menikah, ini mendadak, karena situasi." Ibu menyahut."Situasi mendadak? Amira nggak kena gerebek karena mesum, lalu kemudian di nikahkan 'kan?""Astaghfirullah, ya enggak lah! Tolong kalau ngomong itu di jaga, takutnya menjadi fitnah!" Kali ini Mama Rita yang menyahut."Ya barangkali, namanya anak muda jaman sekarang, kalau nggak hamidun duluan ya kena grebek, lalu dinikahkan mendadak." Rasa nyeri menjalar di hati ini, mendengar ucapan Bu Inneke."Maaf Bu, saya bukan perempuan seperti itu, jadi tolong jangan bicara yang tidak-tidak," tegasku."Iya. Maaf Bu Inneke kalau kemari hanya untuk menebar fitnah yang nggak bener, sebaiknya ibu tunggu di depan." Ibu berkata sambil menunjuk ke arah ruang tamu, dimana ayah dan Papa Saiful tengah menggelar permadani di ruang tamu hingga teras rumah. "Sudah jangan dipikirkan omongan orang. Kami semua juga tahu, pernikahan kalian mendadak bukan karena seperti itu." Mama Rita mengelus pelan pundakku. Aku tersenyum padanya. Beliau memang sangat baik padaku."Iya Ma, makasih ya.""Mama yang makasih sama kamu, mau jadi menantu Mama." Lagi Mama Rita tersenyum hangat padaku."Raka mana?""Masih tidur Ma, aku nggak berani bangunin dia, sepertinya dia kecapekan."Mama Rita hanya tersenyum."Ya sudah, biarkan nanti saja dibangunkan untuk sarapan sama-sama."Aku mengangguk dan kembali membantu pekerjaan dapur yang bisa aku kerjakan."Sarapan sudah siap, sana kamu bangunin suamimu Mir!" pinta Ibu padaku.Aku justru bengong."Nggak apa-apa, sana bangunin Raka. Kalian pasti masih canggung ya, nggak apa-apa nanti lama-lama juga terbiasa," ucap Mama Rita seolah tahu perasaanku.Aku pun berjalan ke kamar untuk membangunkan Raka.Tapi saat aku masuk kamar, ternyata kosong. Raka tak ada. Lalu tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok Raka yang hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang hingga lututnya. Reflek aku berteriak dan menutup wajahku dengan kedua tangan.Raka pun terkejut melihatku ada di kamar, secepat kilat ia kembali masuk ke kamar mandi.Sejenak kami berdua sama-sama diam. Aku menakan erat dada ini, menetralisir degup jantung yang tiba-tiba bergejolak"Ekhem! Raka, di suruh turun untuk sarapan sama-sama," ucapku berusaha tenang, meski sebenarnya aku begitu gugup."Ya. Nanti aku turun," sahutnya dari dalam kamar mandi."Oke." Aku pun langsung bergegas keluar kamar dan kembali menutup pintu kamar, sambil menekan dada ini."Kenapa Dek?!" Aku terlonjak kaget, tiba-tiba ada Mas Faisal dibelakangku."Oh, nggak apa-apa Mas, aku nggak apa-apa.""Hayo abis ngapain? Kok kayaknya tegang gitu?" Ledeknya."Siapa yang tegang, eh, kok Mas sudah sampai rumah kapan sampai?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan."Tadi malam, saat semua orang sudah tidur.""Oh. Ya sudah aku kembali turun ke bawah ya!" Aku langsung berusaha kabur darinya supaya tidak di tanya macam-macam."Eh tunggu, suamimu mana? Mas pengin kenal!""Ada di kamar, sebentar lagi juga turun," sahutku sambil menuruni anak tangga.Acara tasyakuran walimah pun akhirnya berjalan dengan lancar, dan sore ini juga Raka di depan orangtuaku memintaku untuk ikut dengannya tinggal di rumah pribadinya.Tentu ayah tidak keberatan. Beliau justru senang karena dengan begitu kami bisa hidup mandiri, begitu katanya.Ibu membantuku mengemasi barang-barangku di kamar. Sedangkan Raka bersama papa mamanya, masih bercengkrama dengan Ayah dan Mas Faisal di ruang tengah."Nanti kamu di sana harus taat sama suamimu ya Mir, wajib hukumnya seorang istri taat pada suaminya." Ibu membantuku memasukkan baju-baju ke dalam koper sambil memberi nasihat padaku. Aku hanya menjawab iya sambil sesekali mengangguk.Entah apa jadinya nanti di sana, pernikahan macam apa ini yang nanti aku jalani.Kedua keluarga ikut mengantarkan kami ke rumah yang memang sudah disiapkan Raka untuk di tempatinya Setelah menikah.Setelah melihat dan berkeliling melihat semua ruangan rumah ini, akhirnya ibu dan ayah pamit pulang, pun dengan Mama Rita dan Papa Saiful. Kini tinggal kami berdua di rumah ini, kembali pada suasana canggung menyelimuti kami.Baru saja aku hendak bangkit dari sofa, Raka duduk di dekatku, dan menyodorkan sebuah amplop padaku."Apa ini?" tanyaku menatap sepucuk amplop putih diatas meja."Buka aja," sahutnya datar tanpa ekspresi.Aku pun meraihnya dan melihat isinya. Sebuah surat perjanjian."Maksudnya?""Kamu baca dulu."'Surat perjanjian' yang isinya. 1. Raka dan Amira tidak boleh tidur satu kamar. 2. Amira tidak boleh menyentuh barang-barang pribadi milik Raka, begitu juga sebaliknya. 3. Amira tidak boleh mengatur atau menanyakan kemana Raka pergi. 4. Di larang ikut campur urusan masing-masing. 5. Tidak boleh melaporkan tentang perjanjian ini pada orang tua masing-masing."Kalau setuju kamu boleh langsung tanda tangan di bawahnya. Masing-masing kita pegang satu lampiran," ucap Raka.Sejenak aku termenung."Bagaimana?"Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?Bersambung."Bagaimana?"Aku mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang sejak kemarin sudah sah menjadi suamiku itu, tapi sikapnya sangat cuek dan dingin.Aku terperangah. Apa maksudnya dia memberiku surat perjanjian seperti ini?"Oke."Aku pun membubuhkan tanda tangan di bawah, lalu memberikannya kembali surat itu pada Raka.Ia mengangguk."Ini, simpanlah. Dan mulai sekarang kau bisa menempati kamar depan ini, dan aku di kamar itu, ucapnya sambil menunjuk dua kamar yang masih tertutup pintunya. Aku mengangguk. Kemudian bangkit seraya menarik koperku.Raka pun bangkit dan masuk ke kamarnya. Tatapan Raka sejak kemarin masih tak berubah, jangankan tersenyum, melihatku rasanya enggan. Ia hanya bicara seperlunya saja seperti tadi saat memberikan surat perjanjian itu.Aku mengerti, saat ini pasti hatinya tidak baik-baik saja.Aku memperhatikan ruangan yang akan menjadi kamarku ini. Sebuah ruangan yang tidak lebih besar dari kamarku di rumah, dengan nuansa serba putih dan dua jendela berukuran sedang.
Tak membuang waktu lama, aku langsung mengambil laptop dan beberapa barang-barangku yang tertinggal. Aku melirik jam di pergelangan tanganku sudah jam delapan malam, aku harus cepat kembali ke rumah Raka, sebelum hari semakin malam."Amira pamit pulang dulu ya Bu, Yah!" pamitku pada ayah dan ibu, yang masih ada di ruang tengah. Kulihat Mas Faisal juga sudah bersiap, dengan satu koper miliknya teronggok di dekatnya, sepertinya Mas Faisal pun akan pulang ke Bandung malam ini."Nggak makan dulu, Mir?" tanya ibu saat aku mencium punggung tangannya."Nggak usah, nanti di rumah aja, Ma. Keburu kemalaman soalnya." "Cie! Yang sudah jadi istri, nggak berani pulang larut malam lagi deh sekarang! Hahaha!" Mas Faisal kembali meledekku. Aku hanya memutar bola mataku, jengah.Padahal, mau aku pulang malam atau pulang pagi sekalipun, Raka nggak akan komplain, karena jelas tertulis di surat perjanjian itu, kalau diantara kami tidak boleh ikut campur urusan masing-masing."Ya nggak gitu juga, sih. Da
Dua box berisi nasi dan ayam goreng krispi lengkap dengan saus sambal ada di meja makan. Aku langsung membuka satu box, toh juga tadi Raka sudah menawariku.Sekarang entah dia ada dimana, aku tak peduli. Karena perutku sudah sangat lapar, aku langsung melahap nasi milikku. Rasa kesal, emosi, juga hati ini yang belum menerima keadaan ini, tentu sangat menguras energi. Dan itu membuat nafsu makanku bertambah. Hanya beberapa menit saja makananku sudah habis tak tersisa. Tersisa satu box nasi milik Raka.Perutku masih terasa lapar, karena porsi nasinya sangat sedikit menurutku. Satu kepalan tangan. Aku mengusap perutku yang masih terasa lapar."Raka! Mau di makan nggak nasinya?" tanyaku setengah berteriak.Hening. Tak ada jawaban. Lagi ngapain sih tuh orang?"Raka! Kamu mau makan nggak? Kalau nggak di makan, aku yang makan ya!" teriakku lagi. Tapi masih tak ada jawaban.Daripada mubadzir 'kan? Mendingan aku makan, perutku masih lapar. Aku membuka lagi kotak nasi dan memakannya. Setelah h
"Heh, pengantin baru kok udah kerja aja sih?" ledek Mita, asistenku saat aku tiba di kafe.Mita dan beberapa karyawan kafe milikku, memang datang ke acara tasyakuran walimah yang diadakan di rumah kemarin. Ayah yang memintaku untuk mengundang mereka. Ayah bilang, mereka juga kerabat, dan sebaiknya diundang agar tahu kalau aku memang sudah menikah. Aku tak mampu membantah."Ish, apaan sih Mit!" Aku menanggapinya dengan malas. Mita sudah lebih dari seorang asisten bagiku dia sudah seperti sahabatku. Karena dia ikut kerja denganku sejak awal aku membuka Kafe."Kenapa? Ngomong-ngomong suamimu ganteng juga ya Mir, kenal dimana? Aku kemarin sempat kaget juga lho, nggak ada angin nggak ada hujan, tau-tau di undang ke acara pernikahan kamu." ucapnya lagi yang sepertinya penasaran.Aku hanya mengibaskan tangan di depan wajah. Tak penting membahas itu, yang ada hanya membuatku badmood."Lah, ditanya kok gitu, mana dong, Amira yang biasanya cerewet." Mita masih saja berusaha menggodaku."Mita, s
"Mama? Mama ngapain di sini?" tanya Raka begitu sampai di meja tempat kami duduk menunggunya. Sekilas kedua netra kami beradu."Ngapain? Main-main ke tempat usaha menantu Mama memang nggak boleh?" Raka hanya mengerutkan dahi. "Kamu pasti nggak tahu ya, kalau Amira ini ternyata pengusaha kuliner, nih lihat kafe-nya aja bagus, bersih, Dia sendiri lho yang merintisnya dari nol."Raka hanya diam, tak menanggapi apapun kata-kata mamanya. Melihat tak ada tanggapan apapun dari putranya, membuat menatap serius Wajah Raka.Raka yang merasa ditatap oleh mamanya langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan ini, dimana ada banyak pengunjung yang tengah menikmati makan siang, atau sekedar nongkrong di jam istirahat mereka.Kemudian ia tersenyum seraya mengangguk."Iya Mama benar. Mantu Mama memang hebat," ucap Raka yang aku yakini itu hanya pura-pura, tak lebih hanya untuk menghibur hati mamanya. Seulas senyum langsung terbit di wajah Mama Rita."Oh ya jelas! Sudah cantik, pinter us
"Kamu nggak apa-apa kan Mir, ninggalin Kafe dan main ke rumah Mama?" tanya Mama ketika kami bertiga sudah beranjak dari keluar Kafe. Ya, hari ini Mama mengajakku untuk ke rumahnya. Ini adalah kali pertama aku bertandang ke rumahnya setelah menyandang status menantu Mama."Nggak apa-apa Ma, ada Mita, yang akan membantu pekerjaan Mira, kalau Amira sedang nggak ada di Kafe."Mama Rita mengangguk lalu mengajakku berjalan ke mobil.Aku tak menyangka hidupku selucu ini. Di saat wanita lain akan sibuk mencari perhatian pada calon mertua sebelum janur kuning melengkung. Tapi aku, justru baru akan menginjakkan kaki di rumah ibu mertuaku setelah sah menyandang status menantu.Aku dan Mama Rita berjalan bersisian. Sedangkan Raka, ia sudah lebih dulu berjalan menuju ke mobilnya."Raka! Lain kali kalau jalan gandeng tangan istrimu!" tegas Mama Rita saat kami bertiga sudah duduk di dalam mobil. Hanya helaan napas Raka yang terdengar. "Raka! Kamu denger nggak, yang Mama bilang!" ucap Mama Rita la
"Raka dan Amira pulang dulu ya Ma" ucap Raka membuat Mama tercenung."Ehm, nggak apa-apa kalau kita pulangnya nanti dulu, Mas." kataku saat melihat Mama Rita tak menjawab ucapan Raka."Ah, nggak apa-apa Mir, kalau kalian mau pulang sekarang, tidak apa-apa, tak perlu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mama nggak apa-apa." Mama Rita berkata seraya menyentuh lembut jemariku."Benar Mama nggak apa-apa? Apa perlu kita panggilkan dokter Ma?" tanyaku yang merasa khawatir akan kondisi kesehatan Mama. Tapi, Mama Rita menggeleng."Tidak perlu Mir. Mama hanya butuh istirahat saja." Akhirnya aku mengalah, kami berdua pamit. Raka lebih dulu keluar kamar Mama. "Amira, ingat ya, kalau Raka berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, bilang sama Mama," ucap Mama menatapku dalam. Aku pun mengangguk kemudian mengikuti langkah kaki Raka keluar rumah ini."Sebenarnya Mama Rita sakit apa, Raka?" tanyaku saat kami berdua sudah berada di dalam mobil. "Kondisi kesehatan Mama sedikit terganggu semenjak kecelakaan ya
"Terima kasih," balas Raka, sambil mendudukan diri di kursi kosong yang ada di dekatku. Akhirnya, aku memberikan semangkok mi instanku itu untuk Raka dan membiarkan dia memakannya sampai habis. Setelah itu, aku memilih untuk memasak makanan lain untuk diriku sendiri. Raka makan mie instan dengan lahap. Aku memilih untuk merebus dua butir telur.Setelah mie-nya habis Raka bangkit berdiri mengambil air minum kemudian melenggang begitu saja. "Eh, eh tunggu!" Buru-buru aku berdiri di hadapannya agar ia menghentikan langkah.Ia menatapku dengan dahi berkerut."Tuh beresin dulu mie-nya yang tumpah!" ucapku.Enak saja dia yang numpahin aku yang bersihin. Aku sudah berbaik hati berbagi mie instan milikku. Sekarang tugasnya membereskan kekacauan di dapur ini."Kau saja lah!" Ia mengibaskan tangannya. Tentu membuat netraku membeliak."Eh enggak, enggak! Kamu yang sudah membuat kekacauan ini Raka, jadi kau yang harus membersihkannya!" sungutku tak mau kalah."Ya sudah besok saja lah! Sekara
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin