"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."
Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?
Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih untuk kembali ke rumah sakit. Perempuan itu bekerja sebagai salah satu dokter di rumah sakit milik keluarganya sendiri.
Situasi yang cukup menyedihkan untuk disebut sebagai acara pernikahan. Namun sekali lagi, Laras tidak peduli pada Jovian dan Bella yang langsung pergi meninggalkannya, atau pada kehidupan baru yang akan ia jalani mulai hari ini.
Laras melangkah memasuki kamar yang sudah disiapkan untuknya. Kamar yang bahkan lebih luas dari ruang tamu di rumah orang tuanya. Kini ia berdiri di depan sebuah jendela besar, yang dari sana Laras bisa melihat langsung halaman belakang yang ditumbuhi banyak sekali tanaman itu. Ada beberapa pohon ketapang yang tumbuh di dekat pagar tembok, juga beberapa tanaman-tanaman hias yang tertanam rapi pada pot-pot besar. Dalam keterdiaman itu, Laras bisa merasakan bahwa ponselnya bergetar. Ia menjawab panggilan yang masuk, sambil terus menatap pada halaman belakang itu.
"Ras, maaf saya lupa," ujar Jovian diujung telepon sesaat setelah laras menjawab panggilannya, "bisa tolong bawakan map hitam yang ada di ruang kerja saya, nggak? Ada di atas meja harusnya. Saya udah telepon Bella tapi katanya dia udah sampe di rumah sakit."
"Ruang kerjanya di mana? Aku nggak tau tempatnya."
"Ruangan yang ada di tengah-tengah kamar kamu sama Bella, Ras. Tolong, ya. Saya butuh banget soalnya."
"Ya udah, tungguin. Kalo aku naik busway masih keburu, nggak?"
"Bawa mobil aja, Ras. Kelamaan pake busway."
"Aku nggak bisa nyetir, Jo. Kamu mau mobilmu penyok?"
"Ya udah naik taksi aja, nanti biar saya yang bayar taksinya. Tolong sekarang ya, Ras."
Tepat setelah mengatakan hal itu, Jovian mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Setelah menghela nafas panjang, Laras berjalan menuju ruangan yang Jovian maksud. Di dalam ruangan itu, Laras bisa melihat bahwa Jovian sangat menyukai ruangan yang rapi dan wangi. Tidak ada banyak barang di dalamnya, hanya ada beberapa rak buku, meja dan kursi kerja, juga satu sofa panjang di dekat pintu.
Laras berjalan menuju meja kerja Jovian, lalu mengambil sebuah map yang diminta laki-laki itu. Laras tersenyum kecut ketika melihat foto pernikahan Jovian dan Bella terpajang di meja itu dengan bingkai kecil.
"Ini gue rasanya kayak pelakor, deh. Tapi pelakor yang direstui istrinya," gumam Laras sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan itu.
***
Hanya butuh waktu sekitar 40 menit, hingga Laras sampai pada kantor Jovian. Perempuan itu menelepon Jovian sebelum masuk ke dalam, agar ia tidak perlu berbicara dengan resepsionis seperti beberapa hari yang lalu.
"Langsung naik aja, Ras. Kamu udah tau ruangan saya, kan?" Begitu kata Jovian ketika Laras mengatakan bahwa dirinya sudah berada di depan kantornya. Maka dengan langkah ragu, Laras melangkah memasuki kantor itu, dan berjalan menuju ke arah lift. Laras bahkan sudah tidak peduli meski kedua resepsionis itu menatapnya keheranan sambil berbisik-bisik.
Tepat setelah membuka pintu ruangan Jovian, Laras bisa melihat dengan jelas laki-laki itu sedang sibuk dengan beberapa kertas yang berada di atas mejanya. Kalau boleh jujur, sebenarnya Laras juga menyadari bahwa Jovian cukup tampan. Namun mau bagaimanapun, ia sudah meneguhkan hatinya untuk tidak jatuh cinta pada laki-laki itu, sampai kapan pun.
"Thankyou, Ras," ujar Jovian setelah Laras meletakkan sebuah map hitam di meja kerja laki-laki itu. Ia mengambil dompet dari kantong celananya, kemudian mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari dompet itu. "Ini kamu pegang aja, Ras. Kalo butuh apa-apa kamu bisa pake itu."
"Nggak usah, Jo. Aku belum butuh apa-apa."
"Pegang aja." Jovian berdiri dan menyelipkan kartu itu pada tangan Laras. "Anggap aja itu bentuk tanggung jawab, karena sekarang kamu udah jadi istri saya."
Laras tampak tertunduk sebentar. "Jo, soal anak--"
"Saya nggak mau bahas itu dulu. Bukan cuma kamu, saya juga belum siap. Bahkan untuk membayangkan saya tidur sama perempuan selain Bella aja saya nggak bisa. Jadi bisa, nggak, kita bahasnya pelan-pelan?"
Perempuan itu hanya mengangguk, dengan senyum yang sama sekali tidak Jovian mengerti maknanya.
"Ras," panggil Jovian ketika Laras hendak berjalan keluar ruangan itu, "jangan berharap apa-apa sama saya. Saya cinta sama Bella lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Jadi, jangan berharap apa-apa. Saya nggak bisa kasih apa pun selain uang ...."
"Ras, kayaknya kamu bayi tabung aja, deh. Biar lebih cepet prosesnya."Laras mengacak rambutnya frustasi ketika mengingat ucapan Bella tadi sore. Saat itu Laras sedang duduk sambil menonton drama favoritnya di ponsel miliknya, lalu Bella tiba-tiba pulang ke rumah dan mengatakan sebuah kalimat yang menurut Laras sangat menyebalkan. Bukannya ia menunggu momen untuk tidur dengan Jovian atau apa pun itu, tapi menurut Laras ucapan Bella sudah keterlaluan. Kalau ujung-ujungnya ia harus menjalankan prosedur bayi tabung itu, lalu untuk apa dirinya menikah dan membatalkan beasiswanya?"Kenapa lagi kali ini?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan minuman di hadapan Laras.Benar, perempuan itu sekarang sedang berada di kafe milik Chandra, sebab ia tidak ingin terus berduaan dengan Bella di rumah itu."Lo tau nggak, si Bella itu ngomong apa?" Laras mengaduk minumannya kasar. "Kayaknya kamu bayi tabung aja deh, biar cepet prosesnya," katanya sambil meniru gaya bicara Bella."Lah? Terus ngapain s
"Dari mana kamu, Ras?" tanya Bella ketika Laras baru saja memasuki kediaman mereka. "Kamu nggak lihat ini udah jam 11 malem? Terus itu kamu dianterin cowok begitu, kamu pikir pantes?""Maaf, Mbak. Tadi aku main ke kafe dia, terus sekalian nunggu kafenya tutup. Karena udah malem, dia jadi anterin aku pulang.""Aku emang bebasin kamu mau ngapain aja di sini, Ras. Tapi tolong tau batasan."Laras hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya begitu dalam. Ia sadar bahwa dirinya bersalah, karena pulang terlalu larut. Namun, kafe milik Chandra memang sedang ramai tadi, jadi Laras tidak tega untuk meninggalkan Chandra dan kedua karyawannya yang terlihat kewalahan dengan pengunjung kafe yang ramai."Dia siapa?" tanya Jovian yang baru saja datang dan duduk di sofa ruang tamu, "saya cuma pengen tahu siapa aja temen kamu, Ras.""Namanya Chandra, Jo. Dia temen kuliahku dulu," sahut Laras. Perempuan itu melihat sekilas ke arah Jovian, hanya untuk memastikan laki-laki itu mendengar suaranya yang memang
Pagi ini, Laras terbangun dengan perasaannya yang begitu kosong. Ia memang tinggal di rumah yang luas dan nyaman, ia juga sudah tidak lagi pusing soal uang atau hutang-hutang keluarganya. Namun, entah mengapa hal itu tidak membuat perasaannya membaik. Pernah dengar kalimat 'uang tidak menjamin kebahagiaanmu'? Laras akan membenarkan hal itu. Buktinya, ia tidak bahagia meski kini jumlah angka di rekeningnya lebih banyak dari yang pernah ia impikan.Setelah merapikan tempat tidurnya, kini Laras melangkah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, maka tidak heran kalau rumah itu masih sepi. Bukankah orang-orang kaya memang akan bangun lebih siang dari orang lain? Setidaknya begitu menurut Laras.Perempuan berambut panjang itu berjalan menuju dapur. Laras dibuat terpesona dengan ruangan luas bernuansa putih itu. Kitchen set yang terlihat mewah, kulkas dua pintu yang terlihat sangat mahal, juga mini bar yang biasanya hanya ia lihat
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di rumah sakit bersama Jovian dan Bella. Tujuannya tentu saja untuk menuruti permintaan Bella agar Laras melakukan prosedur bayi tabung. Laras tidak lagi bisa melawan permintaan Bella, sebab ia baru tahu bahwa perempuan itu memberi lebih banyak dari yang mereka sepakati untuk Ayah dan ibunya. Katanya, Bella bahkan memberikan sebuah restoran miliknya pada ayah Laras. Alasannya sudah pasti agar perempuan itu lebih leluasa untuk mengatur hidup Laras. Jadi, pada akhirnya Laras hanya bisa pasrah ketika Bella membawanya ke rumah sakit itu. Bukan rumah sakit milik keluarga Bella, melainkan rumah sakit yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Bella sengaja mengajak Laras ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebab ia tidak ingin menjadi bahan gosip diantara rekan-rekannya. Kini mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan dokter, bersama beberapa pasien lain yang sedang mengantre untuk memeriksa kandungannya. Hingga bermenit-menit setel
"Nggak mau, Bu. Ibu tahu Laras masih pengen lanjut kuliah. Beasiswa Laras bahkan udah diterima kemarin." Perempuan dengan rambut panjang kecoklatan itu berbicara dengan suaranya yang mulai bergetar. Matanya kini bahkan terlihat berair, seakan menegaskan bahwa ia sedang menahan tangisnya dengan sekuat tenaga hingga suaranya bergetar seperti itu."Kamu tahu uang 300 juta itu banyak untuk keluarga kita, Ras. Bapak sama Ibu dapat uang segitu dari mana lagi?""Laras akan carikan buat Bapak. Tuggu sampai Laras selesai kuliah, Laras pasti bayar semua hutang Bapak.""Mereka nggak bisa nunggu lebih lama, Nak," sahut seorang wanita paruh baya yang sedari tadi duduk tenang sambil memijat pangkal hidungnya, "mereka ngancam mau laporin bapakmu ke polisi kalau kita nggak lunasi dalam sebulan kedepan. Kamu tega lihat bapakmu masuk penjara?""Terus, Ibu tega lihat anak Ibu harus ngubur mimpinya dan hamil tanpa menikah?!" pekik Laras dengan nada bicaranya yang mulai tinggi."Lagi pula kamu nggak rugi,
[Mbak Bella: Hari ini makan siang sama aku dan suami ya, Ras. Kita ngobrol soal pernikahan kalian.]Kalimat yang Laras temukan di internet pagi ini benar-benar memiliki arti yang dalam baginya. 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'*, begitu kira-kita isinya. Ia mengacak rambutnya frustasi ketika membaca satu pesan masuk dari Bella-- perempuan yang memintanya untuk menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, sebab mereka ingin memiliki anak melalui Laras."Kenapa orang-orang kaya gampang banget mempermainkan hidup orang lain, sih?" gerutu Laras yang merasa seolah tidak memiliki harapan lagi dalam hidupnya. Ia kini tergeletak di lantai samping ranjangnya. Selain karena kipas anginnya tidak mampu menghilangkan hawa panas di kamarnya, ia juga merasa perlu menenangkan diri dengan berolahraga sebentar di atas matras yang Chandra berikan sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu. Kata Chandra, Laras harus rajin berolahraga agar bis
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana."Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella."Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu.""Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau.""Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.Det
Langit Bendungan Hilir siang itu tampak sedang cerah-cerahnya. Matahari bahkan seakan hanya berjarak sekitar lima jengkal dari kepala. Tak hanya itu, debu-debu halus yang beterbangan, asap dari kendaraan yang berlalu-lalang, juga suara klakson yang saling bersahutan seakan ikut mendukung cuaca yang cukup memusingkan siang itu. Laras merasa memasuki dimensi lain, ketika hawa dingin air conditioner dari cafe milik Chandra menerpa wajahnya, saat ia baru saja mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya."Selamat da--" Chandra menghentikan salamnya, saat ia mengetahui bahwa orang yang baru saja membuka pintu adalah Laras. Perempuan itu berjalan ke arah kasir dengan wajahnya yang terlihat lesu."Mau pesan apa hari ini?" tanya Chandra dengan nada yang dibuat-buat seakan ia sedang melayani pelanggan lain."Gue mau americano pakai sirup stroberi. Kopinya satu shot aja, tapi sirup stroberinya tiga pump. Bisa, nggak, kalo gue request americanonya di-blend pake es batu? Gue lagi pengen frappe."Chand
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di rumah sakit bersama Jovian dan Bella. Tujuannya tentu saja untuk menuruti permintaan Bella agar Laras melakukan prosedur bayi tabung. Laras tidak lagi bisa melawan permintaan Bella, sebab ia baru tahu bahwa perempuan itu memberi lebih banyak dari yang mereka sepakati untuk Ayah dan ibunya. Katanya, Bella bahkan memberikan sebuah restoran miliknya pada ayah Laras. Alasannya sudah pasti agar perempuan itu lebih leluasa untuk mengatur hidup Laras. Jadi, pada akhirnya Laras hanya bisa pasrah ketika Bella membawanya ke rumah sakit itu. Bukan rumah sakit milik keluarga Bella, melainkan rumah sakit yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Bella sengaja mengajak Laras ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebab ia tidak ingin menjadi bahan gosip diantara rekan-rekannya. Kini mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan dokter, bersama beberapa pasien lain yang sedang mengantre untuk memeriksa kandungannya. Hingga bermenit-menit setel
Pagi ini, Laras terbangun dengan perasaannya yang begitu kosong. Ia memang tinggal di rumah yang luas dan nyaman, ia juga sudah tidak lagi pusing soal uang atau hutang-hutang keluarganya. Namun, entah mengapa hal itu tidak membuat perasaannya membaik. Pernah dengar kalimat 'uang tidak menjamin kebahagiaanmu'? Laras akan membenarkan hal itu. Buktinya, ia tidak bahagia meski kini jumlah angka di rekeningnya lebih banyak dari yang pernah ia impikan.Setelah merapikan tempat tidurnya, kini Laras melangkah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, maka tidak heran kalau rumah itu masih sepi. Bukankah orang-orang kaya memang akan bangun lebih siang dari orang lain? Setidaknya begitu menurut Laras.Perempuan berambut panjang itu berjalan menuju dapur. Laras dibuat terpesona dengan ruangan luas bernuansa putih itu. Kitchen set yang terlihat mewah, kulkas dua pintu yang terlihat sangat mahal, juga mini bar yang biasanya hanya ia lihat
"Dari mana kamu, Ras?" tanya Bella ketika Laras baru saja memasuki kediaman mereka. "Kamu nggak lihat ini udah jam 11 malem? Terus itu kamu dianterin cowok begitu, kamu pikir pantes?""Maaf, Mbak. Tadi aku main ke kafe dia, terus sekalian nunggu kafenya tutup. Karena udah malem, dia jadi anterin aku pulang.""Aku emang bebasin kamu mau ngapain aja di sini, Ras. Tapi tolong tau batasan."Laras hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya begitu dalam. Ia sadar bahwa dirinya bersalah, karena pulang terlalu larut. Namun, kafe milik Chandra memang sedang ramai tadi, jadi Laras tidak tega untuk meninggalkan Chandra dan kedua karyawannya yang terlihat kewalahan dengan pengunjung kafe yang ramai."Dia siapa?" tanya Jovian yang baru saja datang dan duduk di sofa ruang tamu, "saya cuma pengen tahu siapa aja temen kamu, Ras.""Namanya Chandra, Jo. Dia temen kuliahku dulu," sahut Laras. Perempuan itu melihat sekilas ke arah Jovian, hanya untuk memastikan laki-laki itu mendengar suaranya yang memang
"Ras, kayaknya kamu bayi tabung aja, deh. Biar lebih cepet prosesnya."Laras mengacak rambutnya frustasi ketika mengingat ucapan Bella tadi sore. Saat itu Laras sedang duduk sambil menonton drama favoritnya di ponsel miliknya, lalu Bella tiba-tiba pulang ke rumah dan mengatakan sebuah kalimat yang menurut Laras sangat menyebalkan. Bukannya ia menunggu momen untuk tidur dengan Jovian atau apa pun itu, tapi menurut Laras ucapan Bella sudah keterlaluan. Kalau ujung-ujungnya ia harus menjalankan prosedur bayi tabung itu, lalu untuk apa dirinya menikah dan membatalkan beasiswanya?"Kenapa lagi kali ini?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan minuman di hadapan Laras.Benar, perempuan itu sekarang sedang berada di kafe milik Chandra, sebab ia tidak ingin terus berduaan dengan Bella di rumah itu."Lo tau nggak, si Bella itu ngomong apa?" Laras mengaduk minumannya kasar. "Kayaknya kamu bayi tabung aja deh, biar cepet prosesnya," katanya sambil meniru gaya bicara Bella."Lah? Terus ngapain s
"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih
Laras sendiri tidak tahu, pernikahan seperti apa yang ia inginkan. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Namun hari ini, di sini lah Laras berada. Berdiri dalam sebuah toko gaun pengantin milik seorang perancang yang lumayan terkenal di Jakarta. Laras hanya duduk dengan pasrah, sementara Bella tampak berkeliling memilihkan gaun pengantin untuknya. Menurut Laras, Bella adalah srigala berbulu domba. Perempuan itu bisa terlihat baik dan jahat dalam satu waktu."Yang ini suka, nggak, Ras?" tanya Bella yang berhasil memecah lamunan Laras.Laras berdiri dari duduknya, lalu mendekat pada Bella yang sedang memegang sebuah gaun pengantin."Kayaknya ini terlalu kebuka, deh, Mbak," sahut Laras dengan hati-hati, "bagian dadanya udah kebuka terus bawahnya juga masih ada belahan sampe paha. Aku rasa kurang pantes pake gaun ini di depan orang tua Jovian.""Iya juga, ya. Sorry aku nggak mikir sampe ke sana," ujar Bella yang kemudian meletakkan kembali gaun pengantin yang ia penga
Langit Bendungan Hilir siang itu tampak sedang cerah-cerahnya. Matahari bahkan seakan hanya berjarak sekitar lima jengkal dari kepala. Tak hanya itu, debu-debu halus yang beterbangan, asap dari kendaraan yang berlalu-lalang, juga suara klakson yang saling bersahutan seakan ikut mendukung cuaca yang cukup memusingkan siang itu. Laras merasa memasuki dimensi lain, ketika hawa dingin air conditioner dari cafe milik Chandra menerpa wajahnya, saat ia baru saja mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya."Selamat da--" Chandra menghentikan salamnya, saat ia mengetahui bahwa orang yang baru saja membuka pintu adalah Laras. Perempuan itu berjalan ke arah kasir dengan wajahnya yang terlihat lesu."Mau pesan apa hari ini?" tanya Chandra dengan nada yang dibuat-buat seakan ia sedang melayani pelanggan lain."Gue mau americano pakai sirup stroberi. Kopinya satu shot aja, tapi sirup stroberinya tiga pump. Bisa, nggak, kalo gue request americanonya di-blend pake es batu? Gue lagi pengen frappe."Chand
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana."Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella."Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu.""Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau.""Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.Det
[Mbak Bella: Hari ini makan siang sama aku dan suami ya, Ras. Kita ngobrol soal pernikahan kalian.]Kalimat yang Laras temukan di internet pagi ini benar-benar memiliki arti yang dalam baginya. 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'*, begitu kira-kita isinya. Ia mengacak rambutnya frustasi ketika membaca satu pesan masuk dari Bella-- perempuan yang memintanya untuk menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, sebab mereka ingin memiliki anak melalui Laras."Kenapa orang-orang kaya gampang banget mempermainkan hidup orang lain, sih?" gerutu Laras yang merasa seolah tidak memiliki harapan lagi dalam hidupnya. Ia kini tergeletak di lantai samping ranjangnya. Selain karena kipas anginnya tidak mampu menghilangkan hawa panas di kamarnya, ia juga merasa perlu menenangkan diri dengan berolahraga sebentar di atas matras yang Chandra berikan sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu. Kata Chandra, Laras harus rajin berolahraga agar bis