Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana.
"Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.
Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella.
"Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu."
"Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau."
"Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.
Detik berikutnya, Bella tampak memanggil salah satu karyawan pada toko tersebut.
"Dulu aku pesen cincin pernikahanku sama Jovian di sini, Ras," ujar Bella saat seorang karyawan perempuan sudah berada di hadapan mereka, "ini toko perhiasan langgananku. Makanya aku pengen kamu pakai cincin dari sini juga."
"Mbak, tolong ukur jari dia, ya," ujar Bella pada perempuan di hadapannya, "tolong buatkan dia cincin pernikahan yang cantik."
"Baik, Bu."
"Ah, Jovian butuh cincin baru nggak, ya?" lanjut Bella, "dia udah ada cincin nikah sama aku, sih, Ras. Kamu nggak keberatan kalau dia nggak pakai cincin yang sama kayak kamu, kan?"
Pertanyaan Bella tentu saja membuat semua karyawan yang berada di sana memusatkan perhatian pada mereka. Toko itu masih sepi, karena memang mereka baru saja memulai jam operasionalnya. Makanya ketika Bella berbicara, semua orang yang berada di sana bisa mendengarnya.
"Ada yang pernah bikin cincin buat pernikahan kedua suaminya nggak sih, Mbak?" tanya Bella. Perempuan yang kini sedang melayaninya tampak bingung dan melirik Laras dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ah, ini calon istri kedua suami saya, Mbak."
"Mbak Bella," potong Laras, "aku belum setuju soal pernikahan itu."
"Berarti kamu setuju soal prosedur bayi tabungnya?"
"Mbak, aku--"
"Aku udah transfer uang 300 juta itu ke bapak kamu, Ras. Emang dia nggak bilang? Aku pikir kamu udah setuju makanya bapak kamu terima uang itu," potong Bella. Perempuan itu tampak tersenyum sekarang. Namun, entah kenapa senyuman itu justru tampak aneh bagi Laras.
"Bella, udah. Banyak orang di sini," sahut Jovian.
"Ah ... maaf, ya, Mbak," ujar Bella pada perempuan dari toko perhiasan di hadapannya, "ayo, Ras. Jari kamu mau diukur, tuh."
Tanpa mengatakan apa pun lagi, perempuan itu mulai mengukur jari tangan Laras. Situasinya terasa sangat canggung sekarang. Entah sengaja atau tidak, tapi Bella baru saja terkesan merendahkan Laras dan keluarganya.
Perempuan itu tampak mencatat dengan detail ukuran jari Laras, lalu mulai mengeluarkan sebuah tablet. "Ibu bisa pilih design-nya di sini, ya, Bu. Atau Ibu sudah ada design yang diinginkan?"
Laras tampak bingung saat menatap layar tablet itu. Ia tidak tahu model apa yang harus dipilih. Laras bahkan tidak pernah memakai perhiasan sebelumnya. Terakhir kali Ibu membelikannya perhiasan adalah saat dirinya masih duduk di bangku SD. Anting-anting yang Ibu beli di sebuah toko emas di kawasan Blok M itu saja sudah cukup mewah bagi Laras, jadi bagaimana bisa dia memilih sebuah cincin dari toko semegah ini?
"Mau aku yang pilihin aja nggak, Ras?" tanya Bella.
Jovian tampak melihat sekilas layar tablet yang masih berada di tangan Laras, lalu kembali fokus pada layar ponselnya.
"Nomor 3 dari kanan bagus," kata Jovian. Laki-laki itu berhasil membuat Bella menatapnya dengan senyum sumbang.
"Ya udah, Mbak. Nomor 3 dari kanan aja," sambung Laras.
"Baik. Pembayarannya bisa dilakukan 50% hari ini, lalu pelunasan saat cincinnya sudah siap diambil, ya, Bu."
"Saya bayar lunas aja, Mbak," sela Bella cepat.
Perempuan itu tampak mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian menulis surat pemesanan dan memberikannya pada Laras.
"Berliannya mau pakai yang seperti apa, Bu?"
"Samain aja sama punya saya, Mbak."
"Wah, Bu Bella ini memang baik sekali, ya," sahut perempuan itu, membuat Bella mengembangkan senyumnya, "kadarnya 0,4 1F ya, Bu. Totalnya dua puluh tujuh juta seratus lima puluh ribu rupiah."
Bella hendak mengeluarkan dompet dari tasnya, tapi Jovian segera mencegahnya. Laki-laki itu mengeluarkan dompetnya sendiri dari kantong celana, lalu menyerahkan sebuah kartu berwarna hitam.
"Dua puluh tujuh juta?!" gumam Laras dalam hati, "cincin macam apa yang harganya bahkan hampir 30 juta?!"
Setelah meyelesaikan pembayaran dan keluar dari toko berlian itu, Bella mengajak mereka untuk mampir ke salah satu restoran yang berada di sana. Seperti biasa, Laras hanya menurut dan membiarkan Bella memilih makanan apa saja untuknya. Kini mereka sedang duduk di salah satu kursi restoran. Bella dan Jovian duduk berhadapan dengan Laras, jadi ia bisa melihat seluruh interaksi suami-istri itu.
Bella menyandarkan kepalanya pada Jovian, sementara laki-laki itu menggenggam tangan Bella yang berada di atas pahanya. Mereka kini sedang berbincang, membahas hal-hal yang tidak Laras mengerti. Sungguh, haruskah Laras menghabiskan sisa hidupnya untuk menyaksikan kemesraan pasangan di depannya itu?
"Ah ... iya, aku hampir lupa. Tadinya aku mau sekalian beliin beberapa baju, tas dan sepatu baru buat kamu, Ras. Biar kalau pergi sama Jovian dan ketemu koleganya, Jovian nggak malu sama penampilan kamu. Tapi kata mama Jovian, pernikahan kalian bakal disembunyikan dari publik, jadi aku pikir kamu nggak terlalu butuh itu. Nggak pa-pa, kan?"
Ya Tuhan! Bella benar-benar tidak perlu mengatakan hal itu. Lagi pula, Laras tidak pernah meminta untuk dibelikan barang-barang baru atau mengumumkan pernikahannya. Menikah dengan Jovian saja sudah cukup menjadi mimpi buruk bagi Laras, jadi kenapa ia harus mengumumkan mimpi buruk itu?
"Nggak pa-pa, Mbak. Lagian aku nggak terlalu suka hal-hal kayak gitu, kok."
"Tapi kamu harus rubah penampilan, deh, Ras. Biar Jovian betah. Dia tuh suka perempuan yang feminim dan anggun," kata Bella lagi, "nanti aku ajak kamu ke salon langgananku, ya. Biar mereka rubah penampilan kamu jadi lebih seger."
Laras hanya mengangguk sambil tersenyum canggung. Sepertinya kemarin Laras terlalu cepat menilai bahwa Bella adalah perempuan yang baik.
Langit Bendungan Hilir siang itu tampak sedang cerah-cerahnya. Matahari bahkan seakan hanya berjarak sekitar lima jengkal dari kepala. Tak hanya itu, debu-debu halus yang beterbangan, asap dari kendaraan yang berlalu-lalang, juga suara klakson yang saling bersahutan seakan ikut mendukung cuaca yang cukup memusingkan siang itu. Laras merasa memasuki dimensi lain, ketika hawa dingin air conditioner dari cafe milik Chandra menerpa wajahnya, saat ia baru saja mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya."Selamat da--" Chandra menghentikan salamnya, saat ia mengetahui bahwa orang yang baru saja membuka pintu adalah Laras. Perempuan itu berjalan ke arah kasir dengan wajahnya yang terlihat lesu."Mau pesan apa hari ini?" tanya Chandra dengan nada yang dibuat-buat seakan ia sedang melayani pelanggan lain."Gue mau americano pakai sirup stroberi. Kopinya satu shot aja, tapi sirup stroberinya tiga pump. Bisa, nggak, kalo gue request americanonya di-blend pake es batu? Gue lagi pengen frappe."Chand
Laras sendiri tidak tahu, pernikahan seperti apa yang ia inginkan. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Namun hari ini, di sini lah Laras berada. Berdiri dalam sebuah toko gaun pengantin milik seorang perancang yang lumayan terkenal di Jakarta. Laras hanya duduk dengan pasrah, sementara Bella tampak berkeliling memilihkan gaun pengantin untuknya. Menurut Laras, Bella adalah srigala berbulu domba. Perempuan itu bisa terlihat baik dan jahat dalam satu waktu."Yang ini suka, nggak, Ras?" tanya Bella yang berhasil memecah lamunan Laras.Laras berdiri dari duduknya, lalu mendekat pada Bella yang sedang memegang sebuah gaun pengantin."Kayaknya ini terlalu kebuka, deh, Mbak," sahut Laras dengan hati-hati, "bagian dadanya udah kebuka terus bawahnya juga masih ada belahan sampe paha. Aku rasa kurang pantes pake gaun ini di depan orang tua Jovian.""Iya juga, ya. Sorry aku nggak mikir sampe ke sana," ujar Bella yang kemudian meletakkan kembali gaun pengantin yang ia penga
"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih
"Ras, kayaknya kamu bayi tabung aja, deh. Biar lebih cepet prosesnya."Laras mengacak rambutnya frustasi ketika mengingat ucapan Bella tadi sore. Saat itu Laras sedang duduk sambil menonton drama favoritnya di ponsel miliknya, lalu Bella tiba-tiba pulang ke rumah dan mengatakan sebuah kalimat yang menurut Laras sangat menyebalkan. Bukannya ia menunggu momen untuk tidur dengan Jovian atau apa pun itu, tapi menurut Laras ucapan Bella sudah keterlaluan. Kalau ujung-ujungnya ia harus menjalankan prosedur bayi tabung itu, lalu untuk apa dirinya menikah dan membatalkan beasiswanya?"Kenapa lagi kali ini?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan minuman di hadapan Laras.Benar, perempuan itu sekarang sedang berada di kafe milik Chandra, sebab ia tidak ingin terus berduaan dengan Bella di rumah itu."Lo tau nggak, si Bella itu ngomong apa?" Laras mengaduk minumannya kasar. "Kayaknya kamu bayi tabung aja deh, biar cepet prosesnya," katanya sambil meniru gaya bicara Bella."Lah? Terus ngapain s
"Dari mana kamu, Ras?" tanya Bella ketika Laras baru saja memasuki kediaman mereka. "Kamu nggak lihat ini udah jam 11 malem? Terus itu kamu dianterin cowok begitu, kamu pikir pantes?""Maaf, Mbak. Tadi aku main ke kafe dia, terus sekalian nunggu kafenya tutup. Karena udah malem, dia jadi anterin aku pulang.""Aku emang bebasin kamu mau ngapain aja di sini, Ras. Tapi tolong tau batasan."Laras hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya begitu dalam. Ia sadar bahwa dirinya bersalah, karena pulang terlalu larut. Namun, kafe milik Chandra memang sedang ramai tadi, jadi Laras tidak tega untuk meninggalkan Chandra dan kedua karyawannya yang terlihat kewalahan dengan pengunjung kafe yang ramai."Dia siapa?" tanya Jovian yang baru saja datang dan duduk di sofa ruang tamu, "saya cuma pengen tahu siapa aja temen kamu, Ras.""Namanya Chandra, Jo. Dia temen kuliahku dulu," sahut Laras. Perempuan itu melihat sekilas ke arah Jovian, hanya untuk memastikan laki-laki itu mendengar suaranya yang memang
Pagi ini, Laras terbangun dengan perasaannya yang begitu kosong. Ia memang tinggal di rumah yang luas dan nyaman, ia juga sudah tidak lagi pusing soal uang atau hutang-hutang keluarganya. Namun, entah mengapa hal itu tidak membuat perasaannya membaik. Pernah dengar kalimat 'uang tidak menjamin kebahagiaanmu'? Laras akan membenarkan hal itu. Buktinya, ia tidak bahagia meski kini jumlah angka di rekeningnya lebih banyak dari yang pernah ia impikan.Setelah merapikan tempat tidurnya, kini Laras melangkah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, maka tidak heran kalau rumah itu masih sepi. Bukankah orang-orang kaya memang akan bangun lebih siang dari orang lain? Setidaknya begitu menurut Laras.Perempuan berambut panjang itu berjalan menuju dapur. Laras dibuat terpesona dengan ruangan luas bernuansa putih itu. Kitchen set yang terlihat mewah, kulkas dua pintu yang terlihat sangat mahal, juga mini bar yang biasanya hanya ia lihat
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di rumah sakit bersama Jovian dan Bella. Tujuannya tentu saja untuk menuruti permintaan Bella agar Laras melakukan prosedur bayi tabung. Laras tidak lagi bisa melawan permintaan Bella, sebab ia baru tahu bahwa perempuan itu memberi lebih banyak dari yang mereka sepakati untuk Ayah dan ibunya. Katanya, Bella bahkan memberikan sebuah restoran miliknya pada ayah Laras. Alasannya sudah pasti agar perempuan itu lebih leluasa untuk mengatur hidup Laras. Jadi, pada akhirnya Laras hanya bisa pasrah ketika Bella membawanya ke rumah sakit itu. Bukan rumah sakit milik keluarga Bella, melainkan rumah sakit yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Bella sengaja mengajak Laras ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebab ia tidak ingin menjadi bahan gosip diantara rekan-rekannya. Kini mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan dokter, bersama beberapa pasien lain yang sedang mengantre untuk memeriksa kandungannya. Hingga bermenit-menit setel
"Nggak mau, Bu. Ibu tahu Laras masih pengen lanjut kuliah. Beasiswa Laras bahkan udah diterima kemarin." Perempuan dengan rambut panjang kecoklatan itu berbicara dengan suaranya yang mulai bergetar. Matanya kini bahkan terlihat berair, seakan menegaskan bahwa ia sedang menahan tangisnya dengan sekuat tenaga hingga suaranya bergetar seperti itu."Kamu tahu uang 300 juta itu banyak untuk keluarga kita, Ras. Bapak sama Ibu dapat uang segitu dari mana lagi?""Laras akan carikan buat Bapak. Tuggu sampai Laras selesai kuliah, Laras pasti bayar semua hutang Bapak.""Mereka nggak bisa nunggu lebih lama, Nak," sahut seorang wanita paruh baya yang sedari tadi duduk tenang sambil memijat pangkal hidungnya, "mereka ngancam mau laporin bapakmu ke polisi kalau kita nggak lunasi dalam sebulan kedepan. Kamu tega lihat bapakmu masuk penjara?""Terus, Ibu tega lihat anak Ibu harus ngubur mimpinya dan hamil tanpa menikah?!" pekik Laras dengan nada bicaranya yang mulai tinggi."Lagi pula kamu nggak rugi,
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di rumah sakit bersama Jovian dan Bella. Tujuannya tentu saja untuk menuruti permintaan Bella agar Laras melakukan prosedur bayi tabung. Laras tidak lagi bisa melawan permintaan Bella, sebab ia baru tahu bahwa perempuan itu memberi lebih banyak dari yang mereka sepakati untuk Ayah dan ibunya. Katanya, Bella bahkan memberikan sebuah restoran miliknya pada ayah Laras. Alasannya sudah pasti agar perempuan itu lebih leluasa untuk mengatur hidup Laras. Jadi, pada akhirnya Laras hanya bisa pasrah ketika Bella membawanya ke rumah sakit itu. Bukan rumah sakit milik keluarga Bella, melainkan rumah sakit yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Bella sengaja mengajak Laras ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebab ia tidak ingin menjadi bahan gosip diantara rekan-rekannya. Kini mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan dokter, bersama beberapa pasien lain yang sedang mengantre untuk memeriksa kandungannya. Hingga bermenit-menit setel
Pagi ini, Laras terbangun dengan perasaannya yang begitu kosong. Ia memang tinggal di rumah yang luas dan nyaman, ia juga sudah tidak lagi pusing soal uang atau hutang-hutang keluarganya. Namun, entah mengapa hal itu tidak membuat perasaannya membaik. Pernah dengar kalimat 'uang tidak menjamin kebahagiaanmu'? Laras akan membenarkan hal itu. Buktinya, ia tidak bahagia meski kini jumlah angka di rekeningnya lebih banyak dari yang pernah ia impikan.Setelah merapikan tempat tidurnya, kini Laras melangkah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, maka tidak heran kalau rumah itu masih sepi. Bukankah orang-orang kaya memang akan bangun lebih siang dari orang lain? Setidaknya begitu menurut Laras.Perempuan berambut panjang itu berjalan menuju dapur. Laras dibuat terpesona dengan ruangan luas bernuansa putih itu. Kitchen set yang terlihat mewah, kulkas dua pintu yang terlihat sangat mahal, juga mini bar yang biasanya hanya ia lihat
"Dari mana kamu, Ras?" tanya Bella ketika Laras baru saja memasuki kediaman mereka. "Kamu nggak lihat ini udah jam 11 malem? Terus itu kamu dianterin cowok begitu, kamu pikir pantes?""Maaf, Mbak. Tadi aku main ke kafe dia, terus sekalian nunggu kafenya tutup. Karena udah malem, dia jadi anterin aku pulang.""Aku emang bebasin kamu mau ngapain aja di sini, Ras. Tapi tolong tau batasan."Laras hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya begitu dalam. Ia sadar bahwa dirinya bersalah, karena pulang terlalu larut. Namun, kafe milik Chandra memang sedang ramai tadi, jadi Laras tidak tega untuk meninggalkan Chandra dan kedua karyawannya yang terlihat kewalahan dengan pengunjung kafe yang ramai."Dia siapa?" tanya Jovian yang baru saja datang dan duduk di sofa ruang tamu, "saya cuma pengen tahu siapa aja temen kamu, Ras.""Namanya Chandra, Jo. Dia temen kuliahku dulu," sahut Laras. Perempuan itu melihat sekilas ke arah Jovian, hanya untuk memastikan laki-laki itu mendengar suaranya yang memang
"Ras, kayaknya kamu bayi tabung aja, deh. Biar lebih cepet prosesnya."Laras mengacak rambutnya frustasi ketika mengingat ucapan Bella tadi sore. Saat itu Laras sedang duduk sambil menonton drama favoritnya di ponsel miliknya, lalu Bella tiba-tiba pulang ke rumah dan mengatakan sebuah kalimat yang menurut Laras sangat menyebalkan. Bukannya ia menunggu momen untuk tidur dengan Jovian atau apa pun itu, tapi menurut Laras ucapan Bella sudah keterlaluan. Kalau ujung-ujungnya ia harus menjalankan prosedur bayi tabung itu, lalu untuk apa dirinya menikah dan membatalkan beasiswanya?"Kenapa lagi kali ini?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan minuman di hadapan Laras.Benar, perempuan itu sekarang sedang berada di kafe milik Chandra, sebab ia tidak ingin terus berduaan dengan Bella di rumah itu."Lo tau nggak, si Bella itu ngomong apa?" Laras mengaduk minumannya kasar. "Kayaknya kamu bayi tabung aja deh, biar cepet prosesnya," katanya sambil meniru gaya bicara Bella."Lah? Terus ngapain s
"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih
Laras sendiri tidak tahu, pernikahan seperti apa yang ia inginkan. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Namun hari ini, di sini lah Laras berada. Berdiri dalam sebuah toko gaun pengantin milik seorang perancang yang lumayan terkenal di Jakarta. Laras hanya duduk dengan pasrah, sementara Bella tampak berkeliling memilihkan gaun pengantin untuknya. Menurut Laras, Bella adalah srigala berbulu domba. Perempuan itu bisa terlihat baik dan jahat dalam satu waktu."Yang ini suka, nggak, Ras?" tanya Bella yang berhasil memecah lamunan Laras.Laras berdiri dari duduknya, lalu mendekat pada Bella yang sedang memegang sebuah gaun pengantin."Kayaknya ini terlalu kebuka, deh, Mbak," sahut Laras dengan hati-hati, "bagian dadanya udah kebuka terus bawahnya juga masih ada belahan sampe paha. Aku rasa kurang pantes pake gaun ini di depan orang tua Jovian.""Iya juga, ya. Sorry aku nggak mikir sampe ke sana," ujar Bella yang kemudian meletakkan kembali gaun pengantin yang ia penga
Langit Bendungan Hilir siang itu tampak sedang cerah-cerahnya. Matahari bahkan seakan hanya berjarak sekitar lima jengkal dari kepala. Tak hanya itu, debu-debu halus yang beterbangan, asap dari kendaraan yang berlalu-lalang, juga suara klakson yang saling bersahutan seakan ikut mendukung cuaca yang cukup memusingkan siang itu. Laras merasa memasuki dimensi lain, ketika hawa dingin air conditioner dari cafe milik Chandra menerpa wajahnya, saat ia baru saja mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya."Selamat da--" Chandra menghentikan salamnya, saat ia mengetahui bahwa orang yang baru saja membuka pintu adalah Laras. Perempuan itu berjalan ke arah kasir dengan wajahnya yang terlihat lesu."Mau pesan apa hari ini?" tanya Chandra dengan nada yang dibuat-buat seakan ia sedang melayani pelanggan lain."Gue mau americano pakai sirup stroberi. Kopinya satu shot aja, tapi sirup stroberinya tiga pump. Bisa, nggak, kalo gue request americanonya di-blend pake es batu? Gue lagi pengen frappe."Chand
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana."Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella."Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu.""Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau.""Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.Det
[Mbak Bella: Hari ini makan siang sama aku dan suami ya, Ras. Kita ngobrol soal pernikahan kalian.]Kalimat yang Laras temukan di internet pagi ini benar-benar memiliki arti yang dalam baginya. 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'*, begitu kira-kita isinya. Ia mengacak rambutnya frustasi ketika membaca satu pesan masuk dari Bella-- perempuan yang memintanya untuk menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, sebab mereka ingin memiliki anak melalui Laras."Kenapa orang-orang kaya gampang banget mempermainkan hidup orang lain, sih?" gerutu Laras yang merasa seolah tidak memiliki harapan lagi dalam hidupnya. Ia kini tergeletak di lantai samping ranjangnya. Selain karena kipas anginnya tidak mampu menghilangkan hawa panas di kamarnya, ia juga merasa perlu menenangkan diri dengan berolahraga sebentar di atas matras yang Chandra berikan sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu. Kata Chandra, Laras harus rajin berolahraga agar bis