Laras sendiri tidak tahu, pernikahan seperti apa yang ia inginkan. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Namun hari ini, di sini lah Laras berada. Berdiri dalam sebuah toko gaun pengantin milik seorang perancang yang lumayan terkenal di Jakarta. Laras hanya duduk dengan pasrah, sementara Bella tampak berkeliling memilihkan gaun pengantin untuknya. Menurut Laras, Bella adalah srigala berbulu domba. Perempuan itu bisa terlihat baik dan jahat dalam satu waktu.
"Yang ini suka, nggak, Ras?" tanya Bella yang berhasil memecah lamunan Laras.
Laras berdiri dari duduknya, lalu mendekat pada Bella yang sedang memegang sebuah gaun pengantin.
"Kayaknya ini terlalu kebuka, deh, Mbak," sahut Laras dengan hati-hati, "bagian dadanya udah kebuka terus bawahnya juga masih ada belahan sampe paha. Aku rasa kurang pantes pake gaun ini di depan orang tua Jovian."
"Iya juga, ya. Sorry aku nggak mikir sampe ke sana," ujar Bella yang kemudian meletakkan kembali gaun pengantin yang ia pengang.
"Yang ini aja gimana, Mbak? Boleh, nggak?" tanya Laras. Kini ia memegang sebuah gaun panjang berwarna putih yang terlihat cukup elegan. Gaun itu memiliki lengan panjang yang indah, dengan kain sutra yang bersulam benang perak. Seluruh gaun itu juga dipenuhi kilauan yang tampak cantik.
"Boleh, dong. Kamu coba di ruangan itu, Ras. Biar mereka bisa cocokin sama ukuran badanmu."
Kini Laras berdiri di depan sebuah cermin. Ia menatap sendu pada pantulan dirinya yang sedang memakai gaun itu. Meski terlihat cantik, tapi entah kenapa Laras tidak merasa senang. Bukan pernikahan seperti ini yang Laras inginkan. Ia tidak butuh pernikahan mewah, atau gaun mewah dari perancang terkenal. Tidak masalah meski ia hanya memakai sebuah gaun yang dijahit sederhana, asal dirinya bisa memilih dengan siapa ia menikah. Laras sudah terbiasa untuk tidak memiliki sebuah pilihan dalam hidupnya, tapi untuk kali ini ... hidup terlalu jauh membawanya untuk hancur.
Setelah menghapus jejak air matanya, Laras keluar dari ruangan itu. Ia juga sudah melepas gaun pengantin itu, dan memakai bajunya sendiri. Ia menoleh ke setiap sudut ruangan itu, tapi Bella tidak lagi terlihat di sana.
"Tadi Ibu Bella sudah pulang, dijemput suaminya. Gaunnya juga sudah di bayar, jadi Ibu Laras cuma perlu bawa ini saja, ya, Bu." Seorang perempuan memberikan sebuah bukti pembayaran pada Laras, lalu meninggalkannya sendirian di sana.
"Bagus, lah," gumam Laras, "gue jadi nggak perlu terjebak di tengah-tengah pasangan itu lagi kayak kemarin."
***
Laras sedang duduk sendiri pada sebuah bangku taman yang berada di dekat cafe milik Chandra. Ia menatap ujung tali sepatunya, dengan tangannya yang memegang sebuah es krim coklat kesukaannya. Laras membiarkan es krim itu mencair, hingga mengotori jari-jari tangannya. Sama seperti es krim itu, Laras berharap waktu dapat mencairkan semua kesedihan dalam hidupnya.
"Jangan ngelamun mulu, ntar kesurupan tau rasa, lo!" Chandra baru saja duduk di samping Laras, lalu mengambil es krim yang masih Laras pegang. Dengan hati-hati, Chandra membersihkan sisa-sisa es krim itu dari tangan Laras dengan sebotol air yang tadi ia bawa.
Laras tidak mengatakan apa pun. Tidak peduli meski kini tangannya sedang diguyur air oleh Chandra, atau meski Chandra tampak melepas cardigan yang ia gunakan hanya untuk mengelap tangan Laras yang basah. Perempuan itu hanya terus menatap sendu pada ujung tali sepatunya
Setelah tangan Laras bersih, Chandra memegang kedua pundak perempuan itu, hanya untuk membuat mereka berhadapan. "Lo kenapa?"
"Gue boleh lari nggak, sih? Gue nggak mau jadi istri kedua Jovian atau siapa pun. Gue nggak mau ada di situasi kayak gini. Kenapa hidup nggak pernah adil sama gue?"
"Ras ... gue tau lo frustasi banget sama keadaan ini. Kalo boleh, gue juga pengen bawa lo kabur dari sini. Bawa lo lari dari semua masalah ini. Tapi lo nggak boleh lupa, kalo lari dari masalah justru bakal bikin semuanya makin runyam."
Dengan sekuat tenaga, Laras menahan air mata yang sedikit lagi akan keluar. Ia meremat ujung kaos yang ia kenakan, lalu menghela nafas panjang.
"Lo pernah punya mimpi soal pernikahan nggak, sih, Chan?" tanya Laras, "gue pengen, deh, bisa milih mau nikah sama siapa. Bisa milih kehidupan seperti apa yang mau gue jalani. Gue pengen anak-anak gue bangga punya Ibu seorang dokter."
"Mau apa pun profesi lo di masa depan, bahkan meski lo akhirnya memutuskan untuk diem di rumah sambil ngurus anak dan suami lo, anak-anak lo pasti bangga, Ras. Mereka pasti bangga punya Ibu sekuat lo."
"Kalo lo, Chan? Lo pernah mimpi soal pernikahan?"
Chandra terkekeh sejenak. "Pernah, lah. Gue bahkan udah punya pasangan impian gue. Gue pengen liat dia tiap pagi setelah gue bangun tidur, Ras. Gue pengen punya rumah sederhana sama dia. Nggak perlu luas, yang penting nyaman dan punya halaman belakang. Gue mau tanem banyak bunga di sana. Liat anak-anak gue lari-larian, liat dia siram tanaman. Sederhana, tapi gue nggak akan dapet itu."
"Kenapa?"
Chandra terdiam sejenak. Ia memalingkan pandangannya dari Laras, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi taman itu.
"Gue nggak tau bakal punya kesempatan sama dia atau nggak, tapi rasanya dunia kayak lagi kasih tau gue kalo gue bukan orang yang cukup baik buat dia."
"Pernikahan bukan soal cukup baik atau nggak, kan? Nggak ada manusia yang bener-bener cukup baik buat manusia lain, Chan."
"Lo bener, tapi gue rasa sekarang udah terlambat."
"Kenapa? Dia udah punya pacar?"
Untuk kedua kalinya, Chandra kembali terdiam. Ia tidak akan pernah sanggup mengatakan bahwa perempuan yang ia impikan untuk menjalin hubungan pernikahan dengan dirinya adalah Laras, perempuan yang kini sedang duduk di sampingnya, dan menumpahkan segala carut-marut yang ada dalam kepalanya.
"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih
"Ras, kayaknya kamu bayi tabung aja, deh. Biar lebih cepet prosesnya."Laras mengacak rambutnya frustasi ketika mengingat ucapan Bella tadi sore. Saat itu Laras sedang duduk sambil menonton drama favoritnya di ponsel miliknya, lalu Bella tiba-tiba pulang ke rumah dan mengatakan sebuah kalimat yang menurut Laras sangat menyebalkan. Bukannya ia menunggu momen untuk tidur dengan Jovian atau apa pun itu, tapi menurut Laras ucapan Bella sudah keterlaluan. Kalau ujung-ujungnya ia harus menjalankan prosedur bayi tabung itu, lalu untuk apa dirinya menikah dan membatalkan beasiswanya?"Kenapa lagi kali ini?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan minuman di hadapan Laras.Benar, perempuan itu sekarang sedang berada di kafe milik Chandra, sebab ia tidak ingin terus berduaan dengan Bella di rumah itu."Lo tau nggak, si Bella itu ngomong apa?" Laras mengaduk minumannya kasar. "Kayaknya kamu bayi tabung aja deh, biar cepet prosesnya," katanya sambil meniru gaya bicara Bella."Lah? Terus ngapain s
"Dari mana kamu, Ras?" tanya Bella ketika Laras baru saja memasuki kediaman mereka. "Kamu nggak lihat ini udah jam 11 malem? Terus itu kamu dianterin cowok begitu, kamu pikir pantes?""Maaf, Mbak. Tadi aku main ke kafe dia, terus sekalian nunggu kafenya tutup. Karena udah malem, dia jadi anterin aku pulang.""Aku emang bebasin kamu mau ngapain aja di sini, Ras. Tapi tolong tau batasan."Laras hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya begitu dalam. Ia sadar bahwa dirinya bersalah, karena pulang terlalu larut. Namun, kafe milik Chandra memang sedang ramai tadi, jadi Laras tidak tega untuk meninggalkan Chandra dan kedua karyawannya yang terlihat kewalahan dengan pengunjung kafe yang ramai."Dia siapa?" tanya Jovian yang baru saja datang dan duduk di sofa ruang tamu, "saya cuma pengen tahu siapa aja temen kamu, Ras.""Namanya Chandra, Jo. Dia temen kuliahku dulu," sahut Laras. Perempuan itu melihat sekilas ke arah Jovian, hanya untuk memastikan laki-laki itu mendengar suaranya yang memang
Pagi ini, Laras terbangun dengan perasaannya yang begitu kosong. Ia memang tinggal di rumah yang luas dan nyaman, ia juga sudah tidak lagi pusing soal uang atau hutang-hutang keluarganya. Namun, entah mengapa hal itu tidak membuat perasaannya membaik. Pernah dengar kalimat 'uang tidak menjamin kebahagiaanmu'? Laras akan membenarkan hal itu. Buktinya, ia tidak bahagia meski kini jumlah angka di rekeningnya lebih banyak dari yang pernah ia impikan.Setelah merapikan tempat tidurnya, kini Laras melangkah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, maka tidak heran kalau rumah itu masih sepi. Bukankah orang-orang kaya memang akan bangun lebih siang dari orang lain? Setidaknya begitu menurut Laras.Perempuan berambut panjang itu berjalan menuju dapur. Laras dibuat terpesona dengan ruangan luas bernuansa putih itu. Kitchen set yang terlihat mewah, kulkas dua pintu yang terlihat sangat mahal, juga mini bar yang biasanya hanya ia lihat
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di rumah sakit bersama Jovian dan Bella. Tujuannya tentu saja untuk menuruti permintaan Bella agar Laras melakukan prosedur bayi tabung. Laras tidak lagi bisa melawan permintaan Bella, sebab ia baru tahu bahwa perempuan itu memberi lebih banyak dari yang mereka sepakati untuk Ayah dan ibunya. Katanya, Bella bahkan memberikan sebuah restoran miliknya pada ayah Laras. Alasannya sudah pasti agar perempuan itu lebih leluasa untuk mengatur hidup Laras. Jadi, pada akhirnya Laras hanya bisa pasrah ketika Bella membawanya ke rumah sakit itu. Bukan rumah sakit milik keluarga Bella, melainkan rumah sakit yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Bella sengaja mengajak Laras ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebab ia tidak ingin menjadi bahan gosip diantara rekan-rekannya. Kini mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan dokter, bersama beberapa pasien lain yang sedang mengantre untuk memeriksa kandungannya. Hingga bermenit-menit setel
"Nggak mau, Bu. Ibu tahu Laras masih pengen lanjut kuliah. Beasiswa Laras bahkan udah diterima kemarin." Perempuan dengan rambut panjang kecoklatan itu berbicara dengan suaranya yang mulai bergetar. Matanya kini bahkan terlihat berair, seakan menegaskan bahwa ia sedang menahan tangisnya dengan sekuat tenaga hingga suaranya bergetar seperti itu."Kamu tahu uang 300 juta itu banyak untuk keluarga kita, Ras. Bapak sama Ibu dapat uang segitu dari mana lagi?""Laras akan carikan buat Bapak. Tuggu sampai Laras selesai kuliah, Laras pasti bayar semua hutang Bapak.""Mereka nggak bisa nunggu lebih lama, Nak," sahut seorang wanita paruh baya yang sedari tadi duduk tenang sambil memijat pangkal hidungnya, "mereka ngancam mau laporin bapakmu ke polisi kalau kita nggak lunasi dalam sebulan kedepan. Kamu tega lihat bapakmu masuk penjara?""Terus, Ibu tega lihat anak Ibu harus ngubur mimpinya dan hamil tanpa menikah?!" pekik Laras dengan nada bicaranya yang mulai tinggi."Lagi pula kamu nggak rugi,
[Mbak Bella: Hari ini makan siang sama aku dan suami ya, Ras. Kita ngobrol soal pernikahan kalian.]Kalimat yang Laras temukan di internet pagi ini benar-benar memiliki arti yang dalam baginya. 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'*, begitu kira-kita isinya. Ia mengacak rambutnya frustasi ketika membaca satu pesan masuk dari Bella-- perempuan yang memintanya untuk menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, sebab mereka ingin memiliki anak melalui Laras."Kenapa orang-orang kaya gampang banget mempermainkan hidup orang lain, sih?" gerutu Laras yang merasa seolah tidak memiliki harapan lagi dalam hidupnya. Ia kini tergeletak di lantai samping ranjangnya. Selain karena kipas anginnya tidak mampu menghilangkan hawa panas di kamarnya, ia juga merasa perlu menenangkan diri dengan berolahraga sebentar di atas matras yang Chandra berikan sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu. Kata Chandra, Laras harus rajin berolahraga agar bis
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana."Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella."Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu.""Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau.""Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.Det
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di rumah sakit bersama Jovian dan Bella. Tujuannya tentu saja untuk menuruti permintaan Bella agar Laras melakukan prosedur bayi tabung. Laras tidak lagi bisa melawan permintaan Bella, sebab ia baru tahu bahwa perempuan itu memberi lebih banyak dari yang mereka sepakati untuk Ayah dan ibunya. Katanya, Bella bahkan memberikan sebuah restoran miliknya pada ayah Laras. Alasannya sudah pasti agar perempuan itu lebih leluasa untuk mengatur hidup Laras. Jadi, pada akhirnya Laras hanya bisa pasrah ketika Bella membawanya ke rumah sakit itu. Bukan rumah sakit milik keluarga Bella, melainkan rumah sakit yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Bella sengaja mengajak Laras ke rumah sakit yang berada di pinggiran kota, sebab ia tidak ingin menjadi bahan gosip diantara rekan-rekannya. Kini mereka sedang menunggu giliran untuk masuk ke ruangan dokter, bersama beberapa pasien lain yang sedang mengantre untuk memeriksa kandungannya. Hingga bermenit-menit setel
Pagi ini, Laras terbangun dengan perasaannya yang begitu kosong. Ia memang tinggal di rumah yang luas dan nyaman, ia juga sudah tidak lagi pusing soal uang atau hutang-hutang keluarganya. Namun, entah mengapa hal itu tidak membuat perasaannya membaik. Pernah dengar kalimat 'uang tidak menjamin kebahagiaanmu'? Laras akan membenarkan hal itu. Buktinya, ia tidak bahagia meski kini jumlah angka di rekeningnya lebih banyak dari yang pernah ia impikan.Setelah merapikan tempat tidurnya, kini Laras melangkah keluar dari kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, maka tidak heran kalau rumah itu masih sepi. Bukankah orang-orang kaya memang akan bangun lebih siang dari orang lain? Setidaknya begitu menurut Laras.Perempuan berambut panjang itu berjalan menuju dapur. Laras dibuat terpesona dengan ruangan luas bernuansa putih itu. Kitchen set yang terlihat mewah, kulkas dua pintu yang terlihat sangat mahal, juga mini bar yang biasanya hanya ia lihat
"Dari mana kamu, Ras?" tanya Bella ketika Laras baru saja memasuki kediaman mereka. "Kamu nggak lihat ini udah jam 11 malem? Terus itu kamu dianterin cowok begitu, kamu pikir pantes?""Maaf, Mbak. Tadi aku main ke kafe dia, terus sekalian nunggu kafenya tutup. Karena udah malem, dia jadi anterin aku pulang.""Aku emang bebasin kamu mau ngapain aja di sini, Ras. Tapi tolong tau batasan."Laras hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya begitu dalam. Ia sadar bahwa dirinya bersalah, karena pulang terlalu larut. Namun, kafe milik Chandra memang sedang ramai tadi, jadi Laras tidak tega untuk meninggalkan Chandra dan kedua karyawannya yang terlihat kewalahan dengan pengunjung kafe yang ramai."Dia siapa?" tanya Jovian yang baru saja datang dan duduk di sofa ruang tamu, "saya cuma pengen tahu siapa aja temen kamu, Ras.""Namanya Chandra, Jo. Dia temen kuliahku dulu," sahut Laras. Perempuan itu melihat sekilas ke arah Jovian, hanya untuk memastikan laki-laki itu mendengar suaranya yang memang
"Ras, kayaknya kamu bayi tabung aja, deh. Biar lebih cepet prosesnya."Laras mengacak rambutnya frustasi ketika mengingat ucapan Bella tadi sore. Saat itu Laras sedang duduk sambil menonton drama favoritnya di ponsel miliknya, lalu Bella tiba-tiba pulang ke rumah dan mengatakan sebuah kalimat yang menurut Laras sangat menyebalkan. Bukannya ia menunggu momen untuk tidur dengan Jovian atau apa pun itu, tapi menurut Laras ucapan Bella sudah keterlaluan. Kalau ujung-ujungnya ia harus menjalankan prosedur bayi tabung itu, lalu untuk apa dirinya menikah dan membatalkan beasiswanya?"Kenapa lagi kali ini?" tanya Chandra yang baru saja meletakkan minuman di hadapan Laras.Benar, perempuan itu sekarang sedang berada di kafe milik Chandra, sebab ia tidak ingin terus berduaan dengan Bella di rumah itu."Lo tau nggak, si Bella itu ngomong apa?" Laras mengaduk minumannya kasar. "Kayaknya kamu bayi tabung aja deh, biar cepet prosesnya," katanya sambil meniru gaya bicara Bella."Lah? Terus ngapain s
"Aku menerimamu, Jovian Dianggakara sebagai suamiku. Untuk saling menjaga, sejak saat ini sampai selamanya. Dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum semesta, dan inilah janjiku yang tulus dihadapan Tuhan."Berjanji atas nama Tuhan? Laras benar-benar ingin tertawa kencang sekarang. Tuhan mana yang mengijinkan pernikahan atas dasar keterpaksaan seperti ini? Namun sudahlah, orang-orang seperti Laras memang tidak pernah diberi hak untuk memilih, kan?Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat itu sudah selesai sejak siang tadi. Semua tamu yang datang untuk menyaksikan pernikahan tertutup mereka sudah pulang, dengan ucapan selamat yang bagi Laras tidak berarti apa-apa. Kini Laras hanya ditinggalkan sendiri dalam rumah yang cukup luas itu, sementara Jovian bahkan langsung pergi ke kantor setelah acara pernikahan mereka selesai. Sama seperti Jovian, Bella memilih
Laras sendiri tidak tahu, pernikahan seperti apa yang ia inginkan. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menikah secepat ini. Namun hari ini, di sini lah Laras berada. Berdiri dalam sebuah toko gaun pengantin milik seorang perancang yang lumayan terkenal di Jakarta. Laras hanya duduk dengan pasrah, sementara Bella tampak berkeliling memilihkan gaun pengantin untuknya. Menurut Laras, Bella adalah srigala berbulu domba. Perempuan itu bisa terlihat baik dan jahat dalam satu waktu."Yang ini suka, nggak, Ras?" tanya Bella yang berhasil memecah lamunan Laras.Laras berdiri dari duduknya, lalu mendekat pada Bella yang sedang memegang sebuah gaun pengantin."Kayaknya ini terlalu kebuka, deh, Mbak," sahut Laras dengan hati-hati, "bagian dadanya udah kebuka terus bawahnya juga masih ada belahan sampe paha. Aku rasa kurang pantes pake gaun ini di depan orang tua Jovian.""Iya juga, ya. Sorry aku nggak mikir sampe ke sana," ujar Bella yang kemudian meletakkan kembali gaun pengantin yang ia penga
Langit Bendungan Hilir siang itu tampak sedang cerah-cerahnya. Matahari bahkan seakan hanya berjarak sekitar lima jengkal dari kepala. Tak hanya itu, debu-debu halus yang beterbangan, asap dari kendaraan yang berlalu-lalang, juga suara klakson yang saling bersahutan seakan ikut mendukung cuaca yang cukup memusingkan siang itu. Laras merasa memasuki dimensi lain, ketika hawa dingin air conditioner dari cafe milik Chandra menerpa wajahnya, saat ia baru saja mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya."Selamat da--" Chandra menghentikan salamnya, saat ia mengetahui bahwa orang yang baru saja membuka pintu adalah Laras. Perempuan itu berjalan ke arah kasir dengan wajahnya yang terlihat lesu."Mau pesan apa hari ini?" tanya Chandra dengan nada yang dibuat-buat seakan ia sedang melayani pelanggan lain."Gue mau americano pakai sirup stroberi. Kopinya satu shot aja, tapi sirup stroberinya tiga pump. Bisa, nggak, kalo gue request americanonya di-blend pake es batu? Gue lagi pengen frappe."Chand
Pukul 10 pagi, Laras sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta. Ia datang sendiri menggunakan motor bututnya, karena Bella mengajaknya untuk bertemu di tempat itu. Setelah melangkah masuk, Laras tampak kagum melihat satu per satu toko yang berada di sana. Toko-toko itu hanya menjual barang-barang dari merek mahal. Sambil mengagumi barang-barang yang terpajang di sana, Laras terus melangkah hingga kini ia sampai pada salah satu toko yang menjual perhiasan. Ia bisa melihat dengan jelas Bella sedang duduk bersama Jovian di sana."Ras," panggil Bella, sambil melambaikan tangannya.Setelah tersenyum, Laras melangkah masuk dan duduk di samping Bella."Lama ya, Mbak? Tadi ban motorku bocor, jadi harus tambal dulu.""Ya ampun, Ras. Tau gitu tadi biar dijemput aja sama Jovian. Tadi aku udah minta dia buat jemput kamu, tapi dia kekeuh nggak mau.""Nggak pa-pa, kok, Mbak. Udah biasa motorku banyak tingkah begitu," sahut Laras, yang kemudian disambut kekehan Bella.Det
[Mbak Bella: Hari ini makan siang sama aku dan suami ya, Ras. Kita ngobrol soal pernikahan kalian.]Kalimat yang Laras temukan di internet pagi ini benar-benar memiliki arti yang dalam baginya. 'Life just took a left, we all thought it would gonna go straight or right, but it took a left.'*, begitu kira-kita isinya. Ia mengacak rambutnya frustasi ketika membaca satu pesan masuk dari Bella-- perempuan yang memintanya untuk menjadi istri kedua dari suaminya sendiri, sebab mereka ingin memiliki anak melalui Laras."Kenapa orang-orang kaya gampang banget mempermainkan hidup orang lain, sih?" gerutu Laras yang merasa seolah tidak memiliki harapan lagi dalam hidupnya. Ia kini tergeletak di lantai samping ranjangnya. Selain karena kipas anginnya tidak mampu menghilangkan hawa panas di kamarnya, ia juga merasa perlu menenangkan diri dengan berolahraga sebentar di atas matras yang Chandra berikan sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lalu. Kata Chandra, Laras harus rajin berolahraga agar bis