"Diamlah Rena, kalau kau masih ingin bekerja di sini!" tegas Ducan pada si karyawan yang mulai lancang pikirannya.
"Ma-maaf tuan," tertunduk malu meninggalkan ruangan dan hanya menyisakan 3 orang di dalamnya: Ducan, Hanisa, dan sekretarisnya. Lalu kembali melihat wanita di depannya yang tak lain adalah Hanisa."Mana KTPmu?" Ducan masih dengan tatapan Elangnya."Untuk apa?" juteknya sebab si pria juga melakukan hal yang sama padanya, tidak sopan dan kasar.Melihat tingkah si wanita yang jutek, lantas si pria menarik tas yang telah diberikan padanya tadi.Dari sandangan Hanisa dengan kasar, hingga si empunya meringis, "shtt," namun si pria tidak mengindahkannya dan malah mengobrak-abrik tas itu.
Sedangkan si empunya hanya bisa terdiam tidak terima. Dan melihat sang CEO mengeluarkan sebuah KTP dari dompetnya yang terlihat tipis tanpa isi, sangat malang.Lantas sang CEO pun mengeluarkan ekspresi antara kasihan dan lucu melihat kondisi dalam dan luar dompet si wanita di depannya, sangat mengkhawatirkan."Untuk saat ini aku akan menahan KTPmu sebagai jaminan kalau kau memang tidak mencuri atau, mencuri barang milikku, selama masa perbaikan CCTV itu.""Aku sudah bilang, aku tidak mencuri apapun berapa kali harus kukatakan!" kesalnya yang terus di tuduh."Tidak ada yang tahu tikus mana yang berusaha mencuri benda milikku. Dan ini juga hanya sebuah jaminan, kalau kau memang tidak bersalah harusnya kau tidak akan marah!""Oke! baiklah kalau itu memang maumu. Tapi biar kuberi tahu, aku bukan tikus yang datang untuk mencuri benda milikmu atau milik siapapun," menunjuk wajah Ducan dengan kesalnya."Karena itu. Aku memberikan hak padamu untuk menahan KTPku, BAHKAN kalau perlu aku juga bisa memberimu kartu keluargaku!" menarik sang dompet dari tangan Ducan dengan ekspresi kesal lalu pergi meninggalkan mereka.
Setelah mendengar perkataan si wanita, Ducan hanya menatap terus wanita itu yang kini mulai menjauh darinya, sedangkan sang sekretaris diam-diam tertawa kecil melihat tuan mudanya, yang tak berkutik atas apa yang dikatakan wanita itu.Bagaimana tidak. Seumur-umur ia bersama tuannya, ini pertama kalinya ada orang yang berani mengatai tuannya. Apa lagi orang itu adalah seorang gadis kecil, rasanya sangat aneh untuk seorang Ducan Alexan.Tidak seperti biasa bila ada orang yang mengatai atau melakukan hal yang tidak disukainya, dia akan melakukan hal yang mungkin sangat di sesali orang itu, namun kali ini sangat berbeda.
Pria yang digemari banyak wanita ini malah membiarkan wanita di depannya pergi dengan selamat. Ducan yang sadar ada yang menertawakannya diam-diam langsung menatap tajam sang sekretaris sehingga yang menerima tatapan itu terdiam.Melihat sang tuan pergi dengan kesalnya sambil menyusul.
Setelah Ducan dan sekretaris yang menyusulnya tadi sampai pada ruangan. Sang sekretaris melihat tuannya tiba-tiba tertegun dengan pikirannya.Entah apa yang saat itu dalam pikiran sang tuan, namun tampaknya itu agaknya lebih serius dari masalah yang menimpah tokonya.
Sekretaris yang melihat pun lantas menyadarkan sang tuan, "Tuan," menyentuh pundak Ducan pelan."Ada apa, Tuan? Apa yang Anda pikirkan? Apakah masalah perkataan wanita kecil tadi?" Menatap takut Ducan, takut sang tuan tersinggung atas ucapannya.Namun sang tuan menatap tajam lagi sang sekretaris yang tampaknya meledek dirinya, sekretaris pun lantas kembali menundukan pandangan melihat ekspresi itu."Maaf, Tuan, tapi kalau boleh tahu ada apa dengan ekspresi tuan, mengapa tiba-tiba seperti itu?"
"Apa kau masih ingat dengan kejadian 20 tahun yang lalu?"Ducan tiba-tiba kembali pada kesadarannya namun masih menatap tajam ke depan tanpa menghiraukan sekretaris disebelahnya.
"Apakah itu tentang pria di masa lalu, Tuan?" jawab Tony seakan mengerti maksud dari perkataan tuannya itu, namun hanya anggukan yang didapat."Tony, cepat cari tahu tentang wanita itu!" ucap Ducan dengan pandangan tajam lurus ke depan, tanpa melihat sang sekretaris menatap heran Ducan yang tidak pernah berekspresi seperti itu.*
"Dasar pria menyebalkan! Entah mengapa aku bertemu dengan orang-orang menyebalkan itu," kesalnya melewati perjalanan yang rasanya sangat lama.
Meskipun begitu, ia tetap menjalani perjalanan menuju kediamannya. Namun tidak lama setelah setengah perjalanan, tiba-tiba ia merasa ada yang mengikuti dirinya dari belakang.Ia memutuskan untuk melihat, untuk menghilangkan rasa penasaran siapa yang mengikutinya.
"Tidak ada siapa-siapa," ucapnya setelah melihat ke belakang.Namun saat ia kembali melanjutkan langkahnya ia merasa ada lagi yang mengikutinya. Takut akan dicegat orang jahat, akhirnya ia pun segera melangkahkan kakinya dengan cepat.
"Ibu," Hanisa yang telah sampai tujuannya setelah berlari dari rasa takut yang ia pikir ada yang mengikutinya."Hanisa, kamu kenapa nak?" Melihat Hanisa yang terengah-engah seperti habis dikejar setan rasanya."Nggak papa, Buk. Hani hanya buru-buru tadi pengen cepat sampai rumah soalnya Hani lapar," alasannya agar sang Ibu tidak merasa khawatir.Sang ibu pun lantas tersenyum mendengar perkataan putrinya itu, "Yah, udah yok. Kita makan, kebetulan itu baru saja masak," ucap sang Ibu kemudian menutup pintu yang setengah terbuka itu.Namun saat ia ingin menutup pintunya, ibu yang tak sengaja melihat seorang pria berbadan besar memakai topi hitam yang hanya menampakkan matanya tiba-tiba merasa heran. Lantaran pria berbaju hitam itu kini tampak sangat mencurigakan menurutnya.Namun tidak ingin anaknya menunggu terlalu lama, ia pun segera menghiraukan itu dan menyusul Hanisa yang telah berada di meja makan menunggunya."Ada apa, Buk?" Hanisa yang sadar perubahan wajah sang Ibu yang terlihat khawatir."Ibu nggak papa?" tanyanya lagi yang juga ikut khawatir melihat ekspresi sang ibu.
"Ibu nggak papa kok," Harumi yang berusaha membuat putrinya agar tidak khawatir. Namun Hanisa justru tak percaya lantaran ekspresi dan wajah ibunya yang tiba-tiba pucat rasanya sangat aneh."Ibu, tolong jawab Hani ada apa? Setelah ibu menutup pintu tiba-tiba ekspresi ibu berubah, sebenarnya kenapa Buk?""Ibu nggak papa kok," berusaha menenangkan diri.Namun Hanisa yang tahu Ibunya berbohong langsung pergi melihat ke arah di mana tepatnya Ibunya merasa cemas, hingga sampai tujuannya. Hanisa yang saat ini berdiri tepat di depan jendela rumahnya melihat beberapa orang mengawasi rumahnya.Namun tidak tahu mereka siapa sehingga ia pun kembali kepada sang Ibu, "Siapa mereka, Buk? Hanisa, yang berpikir mungkin sang ibu tahu siapa mereka."Ibu juga nggak tahu siapa mereka tapi ibu rasa mereka orang-orang suruhan Juragan," sang ibu yang sedikit khawatir.Hanisa yang berpikir sama mempercayai ucapan sang Ibu lantaran orang yang saat ini bermasalah dengan mereka hanyalah sang Juragan, Hanisa pun langsung mengelus lembut pundak sang ibu yang terlihat khawatir."Tapi untuk apa Juragan itu mengawasi rumah kita, bukannya kita sudah sepakat akan membayarnya Minggu depan?""Ibu juga nggak tahu."Melihat sang Ibu yang tampak khawatir, ia pun berusaha menenangkan lagi sang Ibu meskipun sebenarnya ia juga memang sedikit khawatir, masalahnya antara ia dan ibunya akan menikahi Juragan itu.Setelah berhasil memenangkan sedikit ibunya, mereka pun kembali melanjutkan makan yang tertunda tadi.*"Ayo," ucap si Juragan yang menarik tangan Harumi, ibu Hanisa."Lepaskan Pak, lepaskan saya!" Harumi lagi berusaha melepas genggaman sang Juragan.Hanisa yang melihat itu lantas berlari menuju sang Ibu dan melepas genggaman si Juragan."Bukankah kita sudah sepakat akan membayarnya Minggu depan?" Hanisa khawatir sebab si Juragan tidak menepati janjinya.
"Ah... tidak ada, saya sudah tidak bisa memberi kalian waktu lagi. Sekarang saya mencabut janji itu, ayo ikut saya," menarik tangan wanita itu yang tak lain adalah Harumi yang telah lama diidamkan nya.Bahkan setelah menyepakati janji itu ia masih terus memperhatikan setiap langkah dan setiap hal pada Harumi yang penuh nafsu."Ayo," menarik kembali tangan Harumi.Hingga ketiganya berdebat saling tarik menarik tangan wanita itu. Namun saat kejadian itu terus berlangsung, seketika seorang pria berbadan tinggi, berkulit putih, hidung mancung menggenggam tangan si Juragan dan menghempaskannya."Sudah di bilang lepas, maka lepaskan," ucap si Pria dengan suara baritonnya, sehingga si empunya tangan terkejut melihat sosok pria tidak dikenal di depannya.Sepasang obsidian paruh baya itu terheran melihat siapa Pria yang telah masuk dalam masalah mereka. Namun tidak untuk Hanisa, karena wanita itu pernah berurusan langsung dengan si pria, jadi wajar saja ia mengenali orang itu meskipun tidak tahu namannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Ducan Alexan pemilik toko barang maha itu.Terkejut dan berfikir mengapa Pria itu bisa di sini. Tentunya itu menjadi pertanyaan bagi Hanisa, karena tidak mungkin Pria seperti itu datang ke arah perumahannya yang kecil bersama dengan para pengawal dan sekretarisnya."Siapa kau? Berani sekali masuk dalam urusanku!" ucap Juragan itu menunjuknya, "Kau tidak tahu siapa aku!" katanya lagi."Aku tidak peduli siapa kau tapi yang pasti jangan berani menganggu mereka lagi dan jauhi mereka!" tegasnya menatap tajam pria itu."Enak saja, mereka sudah berhutang padaku dan tidak mampu membayarnya jadi sebagai gantinya wanita itu harus menikahiku!" Menunjuk Harumi."Tapi kita sudah sepakat untuk membayarnya Minggu depan n
"1 Miliar!""Sa... Satu miliar," ucapnya. "Yang benar saja," gumamnya, memiringkan kepala seakan tidak percaya, mengapa patung sekecil itu bisa semahal itu."Yang benar saja, apa kau berusaha memerasku?" melihat Ducan tidak percaya."Apa kau pikir, aku penipu yang berusaha menipu orang miskin sepertimu! Kalau memang begitu, aku tidak akan membayar utangmu."Seketika Hanisa terdiam mendengar itu. Sedangkan si Pria kembali melihat si wanita dengan ekspresi yang jelas saja di mengerti semua orang. "Kenapa? Tidak sanggup bayar?" ucap Ducan melirik ke arah wanita itu.Sedangkan yang dilirik tidak bergeming sedikit pun, menggaruk kening yang tidak terasa gatal."Baiklah. Aku tahu orang sepertimu tidak akan sanggup membayarnya, karena itu aku punya dua saran?" Melirik licik "Saran?" Hanisa yang penasaran akan saran yang dipikirnya mungkin lebih baik daripada membayar utangnya, "saran apa?""Sarannya. Kau tidak perlu repot membayar utangmu padaku asal, kau mau menikah denganku," seketika ek
"Aku setuju untuk menikah denganmu," ucap Hanisa setelah memikirkan keputusannya selama dua hari, lalu datang ke kantor Ducan."Apa kau sudah memikirkannya dengan baik?" tanya Ducan sambil menatap Hanisa.Menganggukkan kepalanya, "Aku sudah memikirkannya. Mungkin lebih baik aku menderita daripada harus melihat Ibu ku tersakiti," ucap Hanisa."Bagus," kata Ducan sambil melempar sebuah map panjang berwarna hitam, "kita akan menikah besok.""HAH!" terkejutnya karena tidak menyangka akan secepat itu, "Kupikir akan ada pengenalan dulu," batinnya sambil menatap Ducan dengan heran."Kenapa kau menatapku? Tidak jadi mau menikah?" tegas Ducan."Ee... Tidak, aku siap," jawabnya sambil berusaha menegaskan dirinya, "Galak!" gumamnya kecil sambil melirik Ducan."Ayo.""Kemana?" tanyanya penasaran, karena tiba-tiba saja si pria yang terlihat fokus pada ponsel genggamnya, kini membuatnya tersentak dengan ajakan itu."Ke fitting baju," jawab Ducan sambil mengalihkan perhatiannya pada Hanisa, yang ter
Keesokan harinya, seperti yang telah diberitahukan oleh Ducan, bahwa kini keduanya akan menikah pada tanggal dan waktu yang sudah ditetapkan oleh Ducan, dengan tamu dan semua urusan pernikahan yang telah dipercayakannya kepada Ajudan terbaik yang selama ini bersamanya, yaitu Tony."Selamat pagi, hadirin yang terkasih. Kita berkumpul di hadapan Tuhan dan di hadapan satu sama lain untuk menyaksikan ikatan suci antara Ducan Alexan dan Hanisa Mila," ucap seorang pendeta yang kini menjadi saksi pernikahan mereka beserta keluarga terdekat saja."Ducan Alexan, apakah engkau bersedia mengambil Hanisa Mila jadi istrimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?""Ya, saya bersedia.""Hanisa Mila, apakah engkau bersedia mengambil Ducan Alexan menjadi suamimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?" kata pendeta lagi."Ya, saya bersedia.""Dengan persetujuan kalian be
Setelah menghabiskan waktu di rumah seharian, wanita yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba ponsel itu berdering.*Bipzzz*"Hallo," mengangkat telepon itu tanpa tahu yang menelpon."Hallo, Hanisa. Kamu apa kabar, sayang?" ucap si wanita dalam telepon yang tak lain adalah ibunya, Harumi."Ibuk," senangnya meskipun baru sehari ia meninggalkan rumah tapi rasa rindu terhadap ibunya sudah sangat dalam, "ibu apa kabarnya?" senyum yang menghiasi wajahnya."Ibu baik, kamu gimana sekarang? Lagi ngapain?""Aku baik, Bu. Aku juga lagi nggak ngapa-ngapain makanya rada bosan," ucapnya. "Ibu di mana sekarang?""Ibu lagi di rumah, lagi beres-beres.""Beres-beres, tapi kok kedengarannya rame?" penasarannya."Oh iya, ibu lupa kasih tahu kamu kalau sekarang ibu sudah pindah. Ducan meminta ibu untuk tinggal di rumah yang dia belikan," ucap si ibu. "Sebelumnya ibu juga sudah menolak tapi dia memaksa sekretarisnya untuk membawa ibu.""Paksa? Ibu diseret?" lagi-lagi penasarannya."Bukan, sebenarnya sehabis
"Ini memang salahku, seharusnya aku tidak mengatakan itu," frustasinya.Di sisi lain, pria yang saat ini dalam kondisi mood yang tidak baik terus marah-marah pada semua karyawannya.Sampai sekretaris yang melihat itu merasa tidak biasa dengan tingkah si tuan. Meskipun tuannya itu adalah seorang pemarah, arogan, dan kasar.Tapi si tuan bahkan tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya, meski dalam masalah sekalipun."Permisi, tuan. Apakah ada hal yang bisa saya bantu?" ucap Tony. "Apa yang terjadi? Tampaknya Anda dalam masalah besar," tanyanya lagi."Tidak apa-apa, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu," ucapnya tanpa melihat sekretaris dan hanya fokus pada laptop di depannya dengan serius."Baiklah, tuan. Tapi jika Anda dalam masalah dan ingin bercerita, saya selalu siap mendengarkan," ucapnya lagi lalu meninggalkan ruangan setelah melirik tuannya yang terlihat kesal.Di sisi lain, saat Hanisa yang frustasi memikirkan ucapannya dengan mencari solusi, Duncan yang tak henti kesal terus me
"Aku minta maaf," ucap wanita itu lagi melirik si pria, "apa kau masih marah padaku?""Kenapa aku harus marah padamu? Bukankah kita menikah karena syaratku,""Tapi aku menamparmu?" ucapnya mengernyit mengingat kejadian lalu."Karena itu. Jangan lakukan itu lagi, aku paling benci disentuh terutama tikus sepertimu," ucapnya.Kemudian melangkahkan kakinya, menuju kamar mandi berniat membersihkan diri.Sedangkan yang mendengar, merasa sedikit kesal mendengar kata tikus yang selalu diucapkan pria menyebalkan itu.Tapi mau bagaimana lagi, marah juga kan baru minta maaf. Ia pun tidak ingin mengambil pusing lalu mengambil laptop yang tak jauh darinya.Namun, setelah beberapa menit ia memainkan sang laptop. Tiba-tiba wanita itu tertegun melihat sosok pria di depannya.Keluar dari kamar mandi dengan pesonanya yang lagi-lagi menjerat wanita itu.Bagaimana tidak, rambut yang basah, matanya yang tajam, hidung yang mancung. Dibasahi oleh tetesan rambut itu.Bahkan garis rahang yang tajam itu, semaki
"Aaa," teriaknya, "diterima kerja, diterima kerja," ucap wanita itu lagi yang tak lain adalah Hanisa.Saking senangnya wanita itu bahkan berdiri dari posisinya lalu menari-nari diruangan itu, yang mana adalah kamar mereka.Tok tok *(suara ketukan pintu)*"Diterima kerja, diterima kerja," ucap wanita itu lagi tidak mendengar ketukan pelan pintu itu.Tok, tok *(ketukan pintu itu lagi sedikit keras namun masih dihiraukan)*"Diterima kerja, diterima kerja," ucapnya lagi, sakin senangnya wanita itu tak melihat kini pria yang menurutnya menyebalkan ada di ambang pintu yang ternyata terbuka.Namun wanita itu tidak mengetahui kehadirannya, sedikit membuatnya jengkel.Apa dia tidak malu, menari-nari di ruangan pintu yang terbuka, bagaimana jika ada yang melihatnya?Mungkin seperti itulah kurang lebih yang ada di pikiran Ducan terhadap wanita yang kini menari-nari didepannya.Tanpa tahu kehadirannya."Diterima kerja, diterima kerja," katanya lagi sambil menari-nari.PRAkkkKesal pria itu, memuk
Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,
"A... aku? Aku... aku tidak apa-apa," ucapnya terbata-bata, terlihat canggung melihat Ducan yang tadi jauh di sana kini sudah berada tepat di depannya. "Kau yakin?" ucap Ducan memperhatikan dengan pasti. "Umm," dehemnya, menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Ducan. "Ya sudah, kalau begitu. Ayo," ucap Ducan kemudian mengajak Hanisa menuju lift lantai kamar mereka. Hingga tak lama, kedua orang itu pun kini sampai di lantai kamar mereka. Sampai saat ini, Hanisa masih saja tak berkutik untuk mengeluarkan suaranya karena merasa canggung kepada pria yang dipeluknya, mengingat kejadian saat di gedung tadi. Ia kemudian hanya bisa keluar, menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. "Hanisa," seru Ducan lagi hingga membuat Hanisa tersentak dari pikirannya. "Iya," jawabnya sambil menoleh pada Ducan yang membuatnya harus mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka, yang masih berada tepat di depan pintu lift itu. "Malam ini, aku ingin kau tidur di kamarku," serunya yang membuat Hanisa t
"Kau!" Bugh! Pria itu tersulut emosi, kemudian menampar wajah Hanisa hingga pipi wanita itu memerah. Bahkan, karena kerasnya pukulan itu, sapu tangan yang diikatkan ke mulutnya terlepas. "Jangan coba-coba memancing emosiku jika tidak ingin aku memukulmu lebih keras lagi." "Mengerti?" ucapnya lagi, memberikan peringatan. Namun Hanisa masih mengabaikannya, padahal kini sudut bibirnya terluka. Namun, diabaikannya karena rasa sakit yang dialaminya tidak sebanding dengan keinginannya untuk bebas dari sekapan pria itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!" teriaknya. "Sebenarnya, kau mau apa dariku?" tanya Hanisa, menuntut penjelasan. "Aku? Mau apa?" ucapnya. "Aku mau kau. Aku mau hidup dan matimu," ucapnya lagi dengan nada yang begitu menyeramkan menurut Hanisa. "Maksudmu?" tanyanya bingung dengan wajah ketakutan sebab pria itu kini menatap dirinya, seakan ingin melakukan sesuatu pada wanita itu. Kemudian, pria itu mengeluarkan benda tajam dari dalam pakaiannya dan mendekat. "Mau apa kau? Ha?"
"Kau?" ucap wanita itu ketika ia melihat seorang pria berdiri di hadapannya tertunduk dengan topi berwarna hitam. "Siapa?" ucap wanita itu lagi ketika ia melihat sesosok pria yang ia pikir Ducan ternyata bukanlah Ducan. Kemudian pria itu pun menegakkan kepalanya sehingga si wanita bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. "Sedang mencari siapa ya?" ucapnya lagi yang sedikit agak takut karena tampang pria yang di depannya agak sedikit mencurigakan. "Saya mencari kamu," ucap pria tak dikenal itu dengan nada sedikit berat dan menakutkan yang membuat si wanita agak sedikit takut, namun ia masih berusaha tenang. "Maaf, tapi sepertinya Anda salah orang," ucap wanita itu lagi, karena menurutnya selama ia di Prancis, ia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan pria manapun selain dengan Ducan dan sekretaris pria itu. Kemudian karena takut dan merasa orang ini ingin berbuat jahat padanya, wanita itu pun dengan cepat langsung ingin menutup pintunya. Namun gagal karena pria itu dengan cepa