Setelah menghabiskan waktu di rumah seharian, wanita yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba ponsel itu berdering.
*Bipzzz*"Hallo," mengangkat telepon itu tanpa tahu yang menelpon."Hallo, Hanisa. Kamu apa kabar, sayang?" ucap si wanita dalam telepon yang tak lain adalah ibunya, Harumi."Ibuk," senangnya meskipun baru sehari ia meninggalkan rumah tapi rasa rindu terhadap ibunya sudah sangat dalam, "ibu apa kabarnya?" senyum yang menghiasi wajahnya."Ibu baik, kamu gimana sekarang? Lagi ngapain?""Aku baik, Bu. Aku juga lagi nggak ngapa-ngapain makanya rada bosan," ucapnya. "Ibu di mana sekarang?""Ibu lagi di rumah, lagi beres-beres.""Beres-beres, tapi kok kedengarannya rame?" penasarannya."Oh iya, ibu lupa kasih tahu kamu kalau sekarang ibu sudah pindah. Ducan meminta ibu untuk tinggal di rumah yang dia belikan," ucap si ibu. "Sebelumnya ibu juga sudah menolak tapi dia memaksa sekretarisnya untuk membawa ibu.""Paksa? Ibu diseret?" lagi-lagi penasarannya."Bukan, sebenarnya sehabis setelah kamu menikah kemarin, Juragan Hengki datang ke rumah," penjelasan si ibu. "Dia masih dengan penawarannya meminta untuk menikahinya," katanya lagi.Memang benar setelah acara pernikahan selesai, Juragan Hengki yang ternyata meminta pengawal suruhannya mengawasi rumah itu, sampai pada acara selesai lalu kemudian menemui Harumi.Namun untungnya, Ducan yang menyadari sebelum kejadian meminta Tony sekretaris yang juga ajudannya untuk mengawasi rumah, ibu Hanisa sebagai jaga-jaga."Tapi, ibu baik-baik aja kan?""Iya, tapi sekarang kamu nggak perlu khawatir, karena Ducan sudah menyuruh pengawal dan supir untuk menjaga dan mengantar jemput ibu," ucap si ibu menenangkan putrinya."Kemarin memang sempat Juragan itu datang, tapi, Ducan datang jadi dia tidak berani menemui ibu. Sampai sekarang.""Syukurlah, Bu," legahnya setelah mendengar ucapan si ibu."Yah udah, ibu mau lanjut bantu-bantu dulu ya, kamu baik-baik di sana.""Iya, Bu, dah."*"Apa ini?" ucap Ducan.Setelah melihat tingkah wanita yang tiba-tiba tampak sangat perhatian padanya. Yang telah kembali dari pekerjaan, wanita itu melayani Ducan layaknya suami istri.Ya, meskipun memang benar mereka adalah suami istri tapi 'kan masih belum ada cinta di antara keduanya, sehingga Ducan yang menerima layanan itu tampak heran. Dan bertanya-tanya sambil memperhatikan wajah wanita yang asik menyediakan makanannya."Kau kenapa? Bingungnya.""Jangan ge-er dulu. Aku hanya ingin berterimakasih padamu untuk ibuku, karena kau telah membantunya.""Aku tidak akan ge-er padamu, itu sudah kewajibanku untuk menafkahimu dan ibumu sebagai suami," ucap Ducan tanpa rasa bersalah sedangkan yang mendengar tampak tersentuh, hingga pipinya padam merona.Sebenarnya memang tidak salah kalau Ducan mengatakan hal itu padanya. Karena jelas saja memang wanita itu adalah istrinya sekarang, jadi apa salahnya?"Kenapa kau terdiam? Ada yang salah pada ucapanku?" ucap Ducan memperhatikan wajah merona itu, "kenapa? Kau tersentuh dengan ucapanku?"Ti...tidak, kenapa aku tersentuh. Seperti katamu, bukankah wajar kau menafkahiku," elaknya sedikit gugup.Namun itu jelas saja diketahui Ducan. Sambil meneguk sesendok nasi ke mulutnya yang sedikit gugup melirik tatapan si pria."Ka...kau kenapa menatapku begitu?" Mematahkan tatapan itu. Sedangkan yang menatap dengan teratur mengalihkan atensinya.Kemudian menyantap makanan yang telah disediakan wanita yang sudah menjadi istrinya itu.Tidak berapa lama akhirnya keduanya telah selesai dan kembali ke ruangan pribadi mereka, yaitu kamar mereka.Keduanya kemudian melakukan urusan masing-masing, si pria sibuk melakukan kerjaannya, sedangkan si wanita sibuk dengan mencari kerjaannya juga dengan laptop.Asik dengan kerjaan, Akhirnya perut yang rakus itu kembali mengeroncong. Wanita yang kemudian melihat beberapa makanan dan minum, langsung mengunjungi tempat itu yang tak lain milik pria di depannya.Tapi sekali lagi, bukan Ducan namanya jika tidak peduli akan itu dan hanya memperhatikan heran."Baru saja makan sudah makan lagi, dasar tikus," ucap pria itu setelah tak tahan melihat rakusnya."Apa katamu? Aku memang lapar tapi aku bukan Tikus, kau tidak melihat bentukku seperti ini," kesalnya dengan mulut yang terisi penuh."Iya, bentuk manusia tapi kau tikus yang sudah mencuri barangku.""Kau...."Gedebum...Suara benturan yang saat ini dialami keduanya, yang dalam pesonanya masing-masing.Wanita yang saat ini berada di tubuh bidang si pria kini terpesona akan tampang itu lagi, rasanya sudah berapa kali makhluk itu memancarkan pesonanya.Si pria yang juga merasakan hal yang sama pun, juga langsung tersadar."Makannya hati-hati," ucap pria itu dengan nada tidak biasa sedikit lembut tapi juga tidak kasar, yang masih berada di bawah tubuh si wanita, menyadarkan yang paling muda.Meski jarak usia keduanya terbilang jauh. Tidak membuat keduanya terlihat berbeda, terlihat seperti 3-5 tahun palingan.Setelah beberapa jam yang fokus pada pekerjaannya masing-masing, akhirnya si wanita yang terlihat mengantuk menyudahi urusannya.Dan berniat membaringkan tubuhnya yang mungil, yang disadari pria itu."Aaa...," teriak wanita itu hingga membangunkan yang di sebelahnya."Ada apa-ada apa?" Cemas si pria yang mengira ada maling atau terjadi sesuatu pada wanita di sebelahnya.Plakk..."Kau menamparku?""Itu bahkan kurang puas untukmu," kesalnya sebab pria yang tadi malam berada di sofa, kini berada sangat dekat dengannya, di kasur.Yang mana posisi wanita tersebut memeluk si pria dengan sangat intim."Kenapa kau berada di sebelahku?" kesalnya lagi."Inikan juga kasurku, apa masalahmu?" kesalnya juga, sebab baru kali ini ada orang yang berani menyentuh dirinya, apalagi sampai menamparnya."I..., iya ta..., tapi?" ucapnya terbata, karena ada benarnya bahwa itu memang kasurnya, lagi pula kan mereka memang sudah menikah, apa salahnya? Hanya saja di antara mereka masih belum ada cinta."Apa? tapi apa?" tanyanya kesal, menyadari wanita itu gugup ia pun lantas meninggalkan si wanita dan pergi untuk mandi."Maaf." ucap wanita yang kini berada di sebelah Ducan yang menyantap sarapannya, tengah berada di meja makan, "aku tahu seharusnya aku tidak seperti itu, tapi ini pertama kalinya bagiku tidur dengan seorang pria," menatap Ducan sedikit takut, takut dia akan marah.Sedangkan yang ditatap hanya melirik kecil."Aku hanya belum terbiasa," ucap wanita itu lagi namun tidak dihiraukan si pria, kemudian pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata.Membuat si wanita tampak frustrasi akan tindakan dan ekspresi itu, "Huff...," tarikan nafasnya frustrasi, menduduki kursi yang sebelumnya didiami si pria."Ini memang salahku, seharusnya aku tidak mengatakan itu," frustasinya.Di sisi lain, pria yang saat ini dalam kondisi mood yang tidak baik terus marah-marah pada semua karyawannya.Sampai sekretaris yang melihat itu merasa tidak biasa dengan tingkah si tuan. Meskipun tuannya itu adalah seorang pemarah, arogan, dan kasar.Tapi si tuan bahkan tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya, meski dalam masalah sekalipun."Permisi, tuan. Apakah ada hal yang bisa saya bantu?" ucap Tony. "Apa yang terjadi? Tampaknya Anda dalam masalah besar," tanyanya lagi."Tidak apa-apa, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu," ucapnya tanpa melihat sekretaris dan hanya fokus pada laptop di depannya dengan serius."Baiklah, tuan. Tapi jika Anda dalam masalah dan ingin bercerita, saya selalu siap mendengarkan," ucapnya lagi lalu meninggalkan ruangan setelah melirik tuannya yang terlihat kesal.Di sisi lain, saat Hanisa yang frustasi memikirkan ucapannya dengan mencari solusi, Duncan yang tak henti kesal terus me
"Aku minta maaf," ucap wanita itu lagi melirik si pria, "apa kau masih marah padaku?""Kenapa aku harus marah padamu? Bukankah kita menikah karena syaratku,""Tapi aku menamparmu?" ucapnya mengernyit mengingat kejadian lalu."Karena itu. Jangan lakukan itu lagi, aku paling benci disentuh terutama tikus sepertimu," ucapnya.Kemudian melangkahkan kakinya, menuju kamar mandi berniat membersihkan diri.Sedangkan yang mendengar, merasa sedikit kesal mendengar kata tikus yang selalu diucapkan pria menyebalkan itu.Tapi mau bagaimana lagi, marah juga kan baru minta maaf. Ia pun tidak ingin mengambil pusing lalu mengambil laptop yang tak jauh darinya.Namun, setelah beberapa menit ia memainkan sang laptop. Tiba-tiba wanita itu tertegun melihat sosok pria di depannya.Keluar dari kamar mandi dengan pesonanya yang lagi-lagi menjerat wanita itu.Bagaimana tidak, rambut yang basah, matanya yang tajam, hidung yang mancung. Dibasahi oleh tetesan rambut itu.Bahkan garis rahang yang tajam itu, semaki
"Aaa," teriaknya, "diterima kerja, diterima kerja," ucap wanita itu lagi yang tak lain adalah Hanisa.Saking senangnya wanita itu bahkan berdiri dari posisinya lalu menari-nari diruangan itu, yang mana adalah kamar mereka.Tok tok *(suara ketukan pintu)*"Diterima kerja, diterima kerja," ucap wanita itu lagi tidak mendengar ketukan pelan pintu itu.Tok, tok *(ketukan pintu itu lagi sedikit keras namun masih dihiraukan)*"Diterima kerja, diterima kerja," ucapnya lagi, sakin senangnya wanita itu tak melihat kini pria yang menurutnya menyebalkan ada di ambang pintu yang ternyata terbuka.Namun wanita itu tidak mengetahui kehadirannya, sedikit membuatnya jengkel.Apa dia tidak malu, menari-nari di ruangan pintu yang terbuka, bagaimana jika ada yang melihatnya?Mungkin seperti itulah kurang lebih yang ada di pikiran Ducan terhadap wanita yang kini menari-nari didepannya.Tanpa tahu kehadirannya."Diterima kerja, diterima kerja," katanya lagi sambil menari-nari.PRAkkkKesal pria itu, memuk
"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Anda," senyumnya.Setelah wanita itu keluar dari ruangan si pria, yang menjadi bosnya.Akhirnya, wanita itu dituntun seorang wanita di depannya menuju ruangan yang akan ditempatinya."Sampai. Sekarang ini adalah ruanganmu. Selamat bergabung di perusahaan ini, Hanisa. Good luck," kata wanita itu. "Perkenalkan, namaku Rachel. Aku bekerja di perusahaan ini sudah 5 tahun. Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa bertanya padaku," ucap wanita itu lagi."Terima kasih, Rachel. Senang bertemu denganmu," senyumnya."Hufff. Aku sangat gugup. Tidak menyangka akhirnya aku bisa mendapat posisi dan pekerjaan ini," ucap Hanisa setelah wanita yang bernama Rachel tadi meninggalkan ruangannya.Hingga waktu terus berjalan, akhirnya wanita itu telah menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang tidak sadar bahwa hari semakin larut.Saking gilanya bekerja. Wanita itu dengan segera meninggalkan ruangannya.Yang kini berharap sebuah taksi untuk dinaikinya. Namun menging
"Aaa...," teriak wanita itu sambil berlari menuju si pria.Set....Tap!"Apa yang kau lakukan?" ucap pria itu heran.Namun bukan saja heran, tapi juga jantungan, bagaimana tidak. Wanita yang tadi ditatapnya dari jarak yang jauh.Kini berada tepat di pangkuannya, menatap lurus mata itu, yang setengah mati ketakutan."Turun dari tubuhku!" tegas pria itu."Tidak!""Aku bilang turun!""Tidak. Umuuuu," rengeknya manja, bahkan pria itu tidak sanggup menahan pipinya yang hampir memerah, melihat tingkah gemas si wanita.Ia pun dengan terpaksa mengikuti kemauan wanita itu."Sekarang katakan padaku, ada apa?" tanyanya sedikit lembut, menatap wajah wanita yang tampak takut.Sedangkan ia hampir mati degdegan, melihat posisi tubuh mereka yang intim."Ada kecoa," ucapnya sedikit takut melirik yang dirasa ada kecowanya.Seketika yang menatap merasa aneh, sejak kapan ada kecoa di rumah sebesar ini pikirannya, padahal setiap detail sudut rumahnya selalu diperhatikan sang pelayan.Tapi tidak ingin meng
"Aku menyesal mengatakannya," gumannya lalu memutuskan untuk tidur.Seakan tak terima akan respon pria itu terhadap ciuman yang baru saja mereka lakukan.Hingga keesokan harinya saat ia bekerja, wanita itu masih berpikir, "Apakah segampang itu," pikirnya lagi, "ini kali pertama aku melakukannya dengan seorang pria. Apakah dia tidak merasakan apapun," frustasinya."Tapi apakah dia juga pertama kali melakukannya? Aku rasa tidak, bagaimana mungkin pria sepertinya bisa baru pertama kali," ucapnya lagi, "tidak mungkin," seraya menggelengkan kepala.Saking asiknya dengan pikirannya sendiri, wanita itu tidak menyadari bahwa diam-diam atasannya sedang memperhatikannya.Hingga bosnya yang heran dan merasa lucu akan tingkahnya kemudian menghampirinya.Tok tok..."Masuk," menyadari kehadiran atasannya, ia pun berusaha bersikap untuk terlihat normal, "Pak Robert. Silakan duduk pak, apa ada yang bisa saya bantu?" seraya melemparkan senyum."Tidak ada, saya hanya ingin memastikan beberapa karyawan
"Ternyata Pak Robert baik juga," ucap wanita itu yang telah berada di ruangannya, sambil membayangkan hal yang baru mereka lakukan tadi."Dia tipe pria yang baik, sabar, dan pengertian, tidak seperti pria itu. Bahkan sudah jadi suami saja tidak ada baik-baiknya," cemberutnya mengingat perlakuan pria yang sudah menjadi suaminya, yang tak lain adalah Ducan.Setelah wanita itu bekerja dan masa kerja yang juga sudah berakhir, ia pun memutuskan untuk kembali ke kediamannya. Namun belum jauh ia berjalan menjauh dari pintu perusahaan, tiba-tiba sebuah mobil Rolls Royce Ghost menghampirinya."Hai, Han," ucap seorang pria yang berada dalam mobil silver itu."Ehh pak," jawab wanita itu tersenyum melihat sosok di belakang kursi penumpang."Kamu mau pulang?""Iya, pak.""Naik taksi?""Iya, pak," senyumnya."Gimana kalau sama saya aja, saya antar. Dari pada kamu nungguin taksi, pasti masih lama," ucap pria itu meyakinkan."Ummm," pikirnya sebelum memutuskan lalu menaiki mobil itu. Sehingga mobil i
"Kau kenapa? Kenapa memandangku seperti itu?" ucap wanita itu setelah menghampiri pria yang mendiami sofa itu."Menurutmu, aku kenapa?" ucap pria itu menatap tajam yang di depannya.Bingungnya."Sebenarnya, dia kenapa? Apa jangan-jangan dia tahu aku menyentuh laptopnya semalam," batinnya, takut pria di depannya mengetahui apa yang telah dilakukannya.Yang mana tadi pagi, sebelum wanita itu berangkat bekerja, ia sempat menyentuh laptop si pria yang masih menyala.Tidak bermaksud membaca dokumen perusahaannya.Sehingga ia pikir, mungkin pria itu marah padanya karena kelancangan dirinya.Hingga tiba-tiba, wanita itu mendudukkan dirinya pada sofa panjang yang didiami pria itu."Aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk membaca dokumen perusahaanmu," ucapnya, namun itu lebih terlihat seperti rengekan dari pada ucapan maaf, hingga membuat si pria terkejut, akan tingkahnya."Apa yang kau lakukan?" bingungnya atas ucapan wanita itu."Aku tidak akan mengulanginya lagi, kau bisa memegang kata-k
Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,
"A... aku? Aku... aku tidak apa-apa," ucapnya terbata-bata, terlihat canggung melihat Ducan yang tadi jauh di sana kini sudah berada tepat di depannya. "Kau yakin?" ucap Ducan memperhatikan dengan pasti. "Umm," dehemnya, menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Ducan. "Ya sudah, kalau begitu. Ayo," ucap Ducan kemudian mengajak Hanisa menuju lift lantai kamar mereka. Hingga tak lama, kedua orang itu pun kini sampai di lantai kamar mereka. Sampai saat ini, Hanisa masih saja tak berkutik untuk mengeluarkan suaranya karena merasa canggung kepada pria yang dipeluknya, mengingat kejadian saat di gedung tadi. Ia kemudian hanya bisa keluar, menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. "Hanisa," seru Ducan lagi hingga membuat Hanisa tersentak dari pikirannya. "Iya," jawabnya sambil menoleh pada Ducan yang membuatnya harus mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka, yang masih berada tepat di depan pintu lift itu. "Malam ini, aku ingin kau tidur di kamarku," serunya yang membuat Hanisa t
"Kau!" Bugh! Pria itu tersulut emosi, kemudian menampar wajah Hanisa hingga pipi wanita itu memerah. Bahkan, karena kerasnya pukulan itu, sapu tangan yang diikatkan ke mulutnya terlepas. "Jangan coba-coba memancing emosiku jika tidak ingin aku memukulmu lebih keras lagi." "Mengerti?" ucapnya lagi, memberikan peringatan. Namun Hanisa masih mengabaikannya, padahal kini sudut bibirnya terluka. Namun, diabaikannya karena rasa sakit yang dialaminya tidak sebanding dengan keinginannya untuk bebas dari sekapan pria itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!" teriaknya. "Sebenarnya, kau mau apa dariku?" tanya Hanisa, menuntut penjelasan. "Aku? Mau apa?" ucapnya. "Aku mau kau. Aku mau hidup dan matimu," ucapnya lagi dengan nada yang begitu menyeramkan menurut Hanisa. "Maksudmu?" tanyanya bingung dengan wajah ketakutan sebab pria itu kini menatap dirinya, seakan ingin melakukan sesuatu pada wanita itu. Kemudian, pria itu mengeluarkan benda tajam dari dalam pakaiannya dan mendekat. "Mau apa kau? Ha?"
"Kau?" ucap wanita itu ketika ia melihat seorang pria berdiri di hadapannya tertunduk dengan topi berwarna hitam. "Siapa?" ucap wanita itu lagi ketika ia melihat sesosok pria yang ia pikir Ducan ternyata bukanlah Ducan. Kemudian pria itu pun menegakkan kepalanya sehingga si wanita bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. "Sedang mencari siapa ya?" ucapnya lagi yang sedikit agak takut karena tampang pria yang di depannya agak sedikit mencurigakan. "Saya mencari kamu," ucap pria tak dikenal itu dengan nada sedikit berat dan menakutkan yang membuat si wanita agak sedikit takut, namun ia masih berusaha tenang. "Maaf, tapi sepertinya Anda salah orang," ucap wanita itu lagi, karena menurutnya selama ia di Prancis, ia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan pria manapun selain dengan Ducan dan sekretaris pria itu. Kemudian karena takut dan merasa orang ini ingin berbuat jahat padanya, wanita itu pun dengan cepat langsung ingin menutup pintunya. Namun gagal karena pria itu dengan cepa