"Capek banget...."
Hanisa mengeluh setelah setengah hari mencari pekerjaan, namun belum membuahkan hasil. Padahal, sudah seminggu dia mencari kerja.
Semua ini karena ia harus melunasi utang 100 juta milik ibunya, atau ibunya akan dipaksa menikah oleh seorang pria yang ternyata diam-diam memperhatikan Harumi dengan genit.
Pria genit yang dari dulu sudah mengincar Harumi ini, adalah seorang Juragan kaya. Dengan alasan memberikan pinjaman padanya, ia bermaksud menikahi Harumi Ibu Hanisa, jika tidak mampu membayarnya.Namun niat buruk sang Juragan tidak diketahui dirinya sehingga saat ia menerima pinjaman dengan sebuah syarat pun tidak masalah, karena pikirnya syarat yang akan diberi paling adalah bunga yang sangat tinggi.
"Ke mana lagi ya?" ucap Hanisa sambil memperhatikan sekelilingnya.Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan di masa lalu, keduanya harus hidup dengan berkelimpahan utang. Perjuangan ibunya yang ingin menyekolahkan Hanisa di pendidikan yang tinggi, terpaksa harus meminjam dari seorang juragan yang bernama Hengki.
Lagi mencari-cari, Hanisa melihat toko barang mewah di seberang jalan yang tampaknya cocok untuk melamar kerja. Dengan semangat, ia pun menghampiri toko tersebut dan segera memasukinya."Wow, besar dan mewah," kagumnya.
Ia memperhatikan setiap detail ruangan beserta isinya yang dipenuhi berbagai macam benda besar dan kecil. Hingga salah satu yang paling menyilaukan di situ mengenai matanya, tapi tidak segera dilihatnya.
"Ini pasti sangat mahal," gumamnya kagum pada Gucci besar tidak jauh dari pintu masuk untuk kedua kalinya.Sampai pada reaksi ketiga kalinya, cahaya benda kecil berwarna gold itu masih mengenai matanya, meski berada dalam jarak yang cukup jauh darinya. Dengan penasaran ia pun berjalan menghampiri benda kecil itu.
"Ternyata kamu. Kau sangat kecil tapi mengapa sangat menyilaukanku," ucapnya seorang diri, seraya memberikan senyum pada benda kecil di depannya.Sampai pada beberapa detik ia baru menyadari bahwa kehadirannya di situ adalah untuk melamar kerja dan bukan, menikmati keindahan di dalamnya.
Lalu kembali menaruh benda kecil berwarna gold itu pada tempatnya.Belum berapa jauh ia melangkah tiba-tiba sebuah alarm berbunyi, ia terkejut selain karena bunyi alarm itu tapi juga beberapa orang pria berbadan tinggi besar datang menghampirinya dan tiga orang wanita lengkap seragam putih rok hitam, sepertinya mereka adalah pegawai di toko besar dan mewah itu.
"Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan," ucap Hanisa saat pria berbadan tinggi besar menarik tas yang di sandangnya. Namun pertanyaan itu tidak dijawab oleh beberapa orang yang menghadang dirinya. Dan tiba-tiba seorang pria berbadan tinggi berkulit putih, hidung mancung, bermata tajam memasuki barisan para pengawal yang menghadang dirinya, layaknya seorang pangeran yang dipersilakan jalan. Hanisa pun dengan kagum melihat sosok itu."Kembalikan," ucap pria itu dengan tatapan elangnya.
"Apa? Apa maksudmu?"Hanisa yang tidak tahu apa yang terjadi, mengapa segelintir orang berbadan tinggi ini mengelilingi dirinya yang mungil.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksud, cepat kembalikan tas ku," katanya lagi.
Sesaat setelah ia selesai berbicara, seorang pria berbadan besar tadi datang menghampiri pria bermata elang itu, yang tak lain adalah seorang CEO di toko megah itu bernama Ducan Alexan.Pemilik dari tiga perusahaan terbesar di negaranya, pengawal itu memberi CEO dingin dan tajam itu sebuah tas berukuran sedang milik si wanita.
Tas berwarna abu berbahan kain itu diperiksa oleh sang CEO dan ditemukan sebuah benda kecil berwarna emas, berbentuk kucing. Wanita itu terbelalak melihat benda yang telah ditaruhnya."Mengapa bisa ada di tas ku?" bingungnya.
Dan benar saja, benda itu memang berada di tasnya, namun tidak dicurinya. Melainkan jatuh tepat di tasnya, pada saat ia berburu melamar pekerjaan di sana. "A... aku, aku tidak mencurinya!" tegasnya sedikit gugup. "Aku tidak tahu kapan benda itu berada di tas ku," ucapnya lagi. "Jika kau tidak mencurinya, lalu apa? Dia berjalan ke dalam tasmu?" ucap pria itu masih dengan tatapan intimidasinya. "Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak mencurinya!" "Di mana-mana, pencuri mana mau mengaku," tiba-tiba seorang pekerja wanita di situ masuk dalam percakapan mereka. "Tapi aku benar-benar tidak tahu bagaimana benda kecil itu bisa berada dalam tas ku!" ucap Hanisa mengalihkan perhatiannya pada si wanita. "Jika bukan kau curi, mana mungkin benda itu berada di dalam tas milikmu," ungkap karyawan itu lagi, bagaikan benalu, sangat suka memanaskan suasana. "Diamlah! Aku tidak bertanya padamu! Ini urusanku."Ia menatap tajam karyawan wanita, yang telah berani masuk percakapan mereka. Sedangkan si wanita hanya tertunduk diam melihat tatapan yang rasanya akan membunuh dirinya saat itu juga.
"Begini saja, daripada terus menuduh dan mengatakan diriku mencuri benda itu, bagaimana kalau kita cek CCTV saja. Toko sebesar ini, mana mungkin tidak punya CCTV," katanya pada karyawan wanita yang sempat berdebat dengannya.Si pria terus menatap si wanita yang bersikap tidak bersalah.
Setelah sampai pada ruangan CCTV, mereka pun memeriksa kejadian yang menjadi perbincangan hangat tadi. Namun, sampainya di sana, kejadian yang menjadi topik panas itu tidak dapat diputar karena ada beberapa kerusakan pada bagian CCTV. Dengan sigap, sang CEO menyuruh sekretaris pribadinya untuk menghubungi Teknisi CCTV, dan tanpa berpikir lama, sang sekretaris pun langsung melakukan yang diperintahkan tuan mudanya itu. * Saat semua orang sedang menunggu sang teknisi memperbaiki CCTV, perhatian Ducan seakan tidak bisa lepas dari si wanita, yang sejak tadi sibuk melihat benda kecil di lengannya yang tidak berhenti mengepal jari dan menggigit jarinya. Bingung dan timbul penasaran, apa yang sedang dipikirkan wanita kecil di depannya? Sedangkan karyawan wanita yang suka memanaskan suasana, juga sedang memperhatikan CEO yang masih memperhatikan Hanisa, mengerutkan bibirnya seakan tidak terima. "Bagaimana, apa sudah diperbaiki? Apa yang salah pada CCTV-nya?" tanya Ducan pada sang Teknisi di sebelahnya, setelah mengalihkan pandangannya dari Hanisa. "Maaf, Tuan, sepertinya ada beberapa bagian yang rusak, sehingga akan membutuhkan waktu untuk memperbaikinya," jawab sang Teknisi setelah berdiri dari duduknya. "Berapa lama waktu, untuk memperbaikinya?" "Kalau masalah itu saya kurang tahu tuan, saya tidak bisa memastikannya. Tapi tuan tenang saja, saya akan berusaha segera menyelesaikannya." "Lalu. Bagaimana dengan isi rekamannya, apakah masih berfungsi?" "Kalau untuk itu, saya tidak bisa memastikannya, Tuan, karena kita tidak tahu kapan tepatnya CCTV ini mati," jawab teknisi sebelum kembali melanjutkan katanya."Jika rekaman yang ingin Tuan lihat sebelum CCTV mati, mungkin bisa, tapi jika CCTV sudah mati sebelum terekam maka sudah dipastikan Tuan tidak bisa melihatnya.
Namun Ducan hanya terdiam kala mendengar ucapan teknisi lalu mengalihkan perhatian kepada wanita kecil yang berada di seberang pojok dinding ruangan, siapa lagi kalau bukan Hanisa yang masih melakukan gerakan-gerakan yang menyakiti matanya."Saya yakin di luar sana pasti rekan-rekan kamu sudah menunggu. Dan saat kamu bebas nanti kamu pasti akan merencanakan lagi aksi kamu, ya kan?"
"Diamlah Rena, kalau kau masih ingin bekerja di sini!"
"Diamlah Rena, kalau kau masih ingin bekerja di sini!" tegas Ducan pada si karyawan yang mulai lancang pikirannya."Ma-maaf tuan," tertunduk malu meninggalkan ruangan dan hanya menyisakan 3 orang di dalamnya: Ducan, Hanisa, dan sekretarisnya. Lalu kembali melihat wanita di depannya yang tak lain adalah Hanisa."Mana KTPmu?" Ducan masih dengan tatapan Elangnya."Untuk apa?" juteknya sebab si pria juga melakukan hal yang sama padanya, tidak sopan dan kasar.Melihat tingkah si wanita yang jutek, lantas si pria menarik tas yang telah diberikan padanya tadi.Dari sandangan Hanisa dengan kasar, hingga si empunya meringis, "shtt," namun si pria tidak mengindahkannya dan malah mengobrak-abrik tas itu.Sedangkan si empunya hanya bisa terdiam tidak terima. Dan melihat sang CEO mengeluarkan sebuah KTP dari dompetnya yang terlihat tipis tanpa isi, sangat malang.Lantas sang CEO pun mengeluarkan ekspresi antara kasihan dan lucu melihat kondisi dalam dan luar dompet si wanita di depannya, sangat me
Sepasang obsidian paruh baya itu terheran melihat siapa Pria yang telah masuk dalam masalah mereka. Namun tidak untuk Hanisa, karena wanita itu pernah berurusan langsung dengan si pria, jadi wajar saja ia mengenali orang itu meskipun tidak tahu namannya. Ya, siapa lagi kalau bukan Ducan Alexan pemilik toko barang maha itu.Terkejut dan berfikir mengapa Pria itu bisa di sini. Tentunya itu menjadi pertanyaan bagi Hanisa, karena tidak mungkin Pria seperti itu datang ke arah perumahannya yang kecil bersama dengan para pengawal dan sekretarisnya."Siapa kau? Berani sekali masuk dalam urusanku!" ucap Juragan itu menunjuknya, "Kau tidak tahu siapa aku!" katanya lagi."Aku tidak peduli siapa kau tapi yang pasti jangan berani menganggu mereka lagi dan jauhi mereka!" tegasnya menatap tajam pria itu."Enak saja, mereka sudah berhutang padaku dan tidak mampu membayarnya jadi sebagai gantinya wanita itu harus menikahiku!" Menunjuk Harumi."Tapi kita sudah sepakat untuk membayarnya Minggu depan n
"1 Miliar!""Sa... Satu miliar," ucapnya. "Yang benar saja," gumamnya, memiringkan kepala seakan tidak percaya, mengapa patung sekecil itu bisa semahal itu."Yang benar saja, apa kau berusaha memerasku?" melihat Ducan tidak percaya."Apa kau pikir, aku penipu yang berusaha menipu orang miskin sepertimu! Kalau memang begitu, aku tidak akan membayar utangmu."Seketika Hanisa terdiam mendengar itu. Sedangkan si Pria kembali melihat si wanita dengan ekspresi yang jelas saja di mengerti semua orang. "Kenapa? Tidak sanggup bayar?" ucap Ducan melirik ke arah wanita itu.Sedangkan yang dilirik tidak bergeming sedikit pun, menggaruk kening yang tidak terasa gatal."Baiklah. Aku tahu orang sepertimu tidak akan sanggup membayarnya, karena itu aku punya dua saran?" Melirik licik "Saran?" Hanisa yang penasaran akan saran yang dipikirnya mungkin lebih baik daripada membayar utangnya, "saran apa?""Sarannya. Kau tidak perlu repot membayar utangmu padaku asal, kau mau menikah denganku," seketika ek
"Aku setuju untuk menikah denganmu," ucap Hanisa setelah memikirkan keputusannya selama dua hari, lalu datang ke kantor Ducan."Apa kau sudah memikirkannya dengan baik?" tanya Ducan sambil menatap Hanisa.Menganggukkan kepalanya, "Aku sudah memikirkannya. Mungkin lebih baik aku menderita daripada harus melihat Ibu ku tersakiti," ucap Hanisa."Bagus," kata Ducan sambil melempar sebuah map panjang berwarna hitam, "kita akan menikah besok.""HAH!" terkejutnya karena tidak menyangka akan secepat itu, "Kupikir akan ada pengenalan dulu," batinnya sambil menatap Ducan dengan heran."Kenapa kau menatapku? Tidak jadi mau menikah?" tegas Ducan."Ee... Tidak, aku siap," jawabnya sambil berusaha menegaskan dirinya, "Galak!" gumamnya kecil sambil melirik Ducan."Ayo.""Kemana?" tanyanya penasaran, karena tiba-tiba saja si pria yang terlihat fokus pada ponsel genggamnya, kini membuatnya tersentak dengan ajakan itu."Ke fitting baju," jawab Ducan sambil mengalihkan perhatiannya pada Hanisa, yang ter
Keesokan harinya, seperti yang telah diberitahukan oleh Ducan, bahwa kini keduanya akan menikah pada tanggal dan waktu yang sudah ditetapkan oleh Ducan, dengan tamu dan semua urusan pernikahan yang telah dipercayakannya kepada Ajudan terbaik yang selama ini bersamanya, yaitu Tony."Selamat pagi, hadirin yang terkasih. Kita berkumpul di hadapan Tuhan dan di hadapan satu sama lain untuk menyaksikan ikatan suci antara Ducan Alexan dan Hanisa Mila," ucap seorang pendeta yang kini menjadi saksi pernikahan mereka beserta keluarga terdekat saja."Ducan Alexan, apakah engkau bersedia mengambil Hanisa Mila jadi istrimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?""Ya, saya bersedia.""Hanisa Mila, apakah engkau bersedia mengambil Ducan Alexan menjadi suamimu, untuk mencintai dan menghormatinya, dalam suka dan duka, dalam kesehatan dan sakit, selama keduamu hidup?" kata pendeta lagi."Ya, saya bersedia.""Dengan persetujuan kalian be
Setelah menghabiskan waktu di rumah seharian, wanita yang sibuk dengan ponselnya tiba-tiba ponsel itu berdering.*Bipzzz*"Hallo," mengangkat telepon itu tanpa tahu yang menelpon."Hallo, Hanisa. Kamu apa kabar, sayang?" ucap si wanita dalam telepon yang tak lain adalah ibunya, Harumi."Ibuk," senangnya meskipun baru sehari ia meninggalkan rumah tapi rasa rindu terhadap ibunya sudah sangat dalam, "ibu apa kabarnya?" senyum yang menghiasi wajahnya."Ibu baik, kamu gimana sekarang? Lagi ngapain?""Aku baik, Bu. Aku juga lagi nggak ngapa-ngapain makanya rada bosan," ucapnya. "Ibu di mana sekarang?""Ibu lagi di rumah, lagi beres-beres.""Beres-beres, tapi kok kedengarannya rame?" penasarannya."Oh iya, ibu lupa kasih tahu kamu kalau sekarang ibu sudah pindah. Ducan meminta ibu untuk tinggal di rumah yang dia belikan," ucap si ibu. "Sebelumnya ibu juga sudah menolak tapi dia memaksa sekretarisnya untuk membawa ibu.""Paksa? Ibu diseret?" lagi-lagi penasarannya."Bukan, sebenarnya sehabis
"Ini memang salahku, seharusnya aku tidak mengatakan itu," frustasinya.Di sisi lain, pria yang saat ini dalam kondisi mood yang tidak baik terus marah-marah pada semua karyawannya.Sampai sekretaris yang melihat itu merasa tidak biasa dengan tingkah si tuan. Meskipun tuannya itu adalah seorang pemarah, arogan, dan kasar.Tapi si tuan bahkan tidak pernah bertindak seperti itu sebelumnya, meski dalam masalah sekalipun."Permisi, tuan. Apakah ada hal yang bisa saya bantu?" ucap Tony. "Apa yang terjadi? Tampaknya Anda dalam masalah besar," tanyanya lagi."Tidak apa-apa, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu," ucapnya tanpa melihat sekretaris dan hanya fokus pada laptop di depannya dengan serius."Baiklah, tuan. Tapi jika Anda dalam masalah dan ingin bercerita, saya selalu siap mendengarkan," ucapnya lagi lalu meninggalkan ruangan setelah melirik tuannya yang terlihat kesal.Di sisi lain, saat Hanisa yang frustasi memikirkan ucapannya dengan mencari solusi, Duncan yang tak henti kesal terus me
"Aku minta maaf," ucap wanita itu lagi melirik si pria, "apa kau masih marah padaku?""Kenapa aku harus marah padamu? Bukankah kita menikah karena syaratku,""Tapi aku menamparmu?" ucapnya mengernyit mengingat kejadian lalu."Karena itu. Jangan lakukan itu lagi, aku paling benci disentuh terutama tikus sepertimu," ucapnya.Kemudian melangkahkan kakinya, menuju kamar mandi berniat membersihkan diri.Sedangkan yang mendengar, merasa sedikit kesal mendengar kata tikus yang selalu diucapkan pria menyebalkan itu.Tapi mau bagaimana lagi, marah juga kan baru minta maaf. Ia pun tidak ingin mengambil pusing lalu mengambil laptop yang tak jauh darinya.Namun, setelah beberapa menit ia memainkan sang laptop. Tiba-tiba wanita itu tertegun melihat sosok pria di depannya.Keluar dari kamar mandi dengan pesonanya yang lagi-lagi menjerat wanita itu.Bagaimana tidak, rambut yang basah, matanya yang tajam, hidung yang mancung. Dibasahi oleh tetesan rambut itu.Bahkan garis rahang yang tajam itu, semaki
Di ruangan yang tertutup tanpa cahaya, seorang pria berjambang tipis terbaring dengan pakaian serba hitam tanpa alas. Pria itu tampak terluka setelah mendapatkan pukulan dari beberapa penjaga yang ada di gedung itu. Gedung yang berdiri sendiri di tengah hutan yang lebat. “Sial, kurang ajar kau, Ducan,” umpatnya setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah Ducan, yang tak lain adalah Hendri, orang yang kemarin disekapnya. “Aku sudah katakan, Hendri, jangan menolakku. Aku paling benci ditolak. Kau tahu kan, istrimu saat ini ada bersamaku beserta putramu.” “Jadi, jika kau masih ingin melihat mereka, maka lakukan saja apa yang aku katakan,” ucap Ducan penuh penegasan. “Ck, dari dulu kau memang brengsek. Kau selalu menggunakan kelemahan seseorang setiap kali membutuhkan sesuatu dari orang itu.” “Aku tahu itu,” jawab Ducan dengan enteng. “Sekarang katakan, apa kau mau mengikuti perintahku? Atau… kau mau melihat mayat anak dan istrimu?” tanya Ducan lagi. Pria itu tidak menjawab
Waktu terus berjalan, jam menunjuk pukul 07.30 pagi. Hanisa terbangun dari tidurnya, setelah ia memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas, mengingat semalam ia menangis karena teror yang membuatnya terpukul.Ducan masih saja terlelap dengan pakaian kerja, kemeja putihnya. Hanisa menatap lekat-lekat wajah pria yang telah menjadi suaminya itu. Ia tak menyangka bahwa semalaman ini ia tertidur di pelukan Ducan dan memeluknya begitu erat, sampai tidak ada jarak di antara mereka.Sehingga Hanisa bisa dengan jelas menatap wajah pria itu. Wajahnya yang tampan dan berkarisma benar-benar membuat Hanisa gila. Betapa tampannya.Meski dalam tidur saja ia bisa terlihat sangat tampan dengan rambut teracak dan wajah sayu yang tampan. Pria itu tidak sempat mengganti pakaiannya karena ia tidak ingin meninggalkan Hanisa dan membuat wanitanya terbangun karena pergerakan yang Ducan lakukan. Karena itu, Ducan tidak menggantinya hingga matahari terbit."Dia, dia yang menemaniku sepanjang malam ini
"Ducan," peluk Hanisa sebelum pria itu bisa membenarkan posisinya, menangis di pelukan Ducan sambil tersedu-sedu. "Tolong jangan pergi. Aku takut. Ini pertama kalinya ada yang mengirimkan sesuatu seperti itu padaku. Aku takut," tangisnya yang tak henti. Ducan yang melihat itu seketika merasakan ada sesuatu yang terkoyak di dalam dirinya. Entah mengapa, tetapi yang pasti, di dalam lubuk hati Ducan yang paling dalam, ada suara keras dalam hatinya yang tak bisa ia ungkapkan, bahwa ia sama sekali tidak ingin melihat sesuatu terjadi pada Hanisa, meskipun itu hanyalah hal kecil. Ducan hanya bisa terdiam membiarkan Hanisa memeluk erat dirinya. Ia tidak bisa berkata-kata melihat kondisi Hanisa yang sangat terpukul karena teror itu, dan hanya bisa pasrah. Kemudian, ia mengelus lembut puncak kepala Hanisa. "Aku tidak akan pergi, tenanglah. Aku di sini bersamamu. Jangan khawatir," ucap Ducan menenangkan Hanisa. Hanisa sedang tidak berpikir apa-apa. Ia hanya terus berdiam di dalam pelukan Du
"Ada apa, Tuan? Apakah Anda percaya akan ucapan orang sialan itu?" ucap Tony setelah melihat reaksi wajah Ducan yang berbeda. "Tidak, bukan itu, Tony. Aku hanya merasa bahwa apa yang orang itu katakan tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah." "Maksud Tuan?" tanya Tony penasaran setelah mendengar ucapan tuannya yang penuh teka-teki. "Aku hanya merasa kalau orang ini ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu, tapi aku tidak tahu apa itu. Awalnya, aku kira orang ini hanyalah orang biasa yang disuruh untuk menerorku saja." "Tapi setelah ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku tak percaya, sekarang aku yakin dia bukanlah orang biasa." "Selama ini kita sudah salah menilainya," ucap Ducan lagi. "Iya, Tuan, Anda benar. Selama ini kita salah mengenalnya. Awalnya, saya juga mengira begitu, tapi setelah mendengar semua ucapannya, sekarang saya juga yakin." "Ini, Tuan, coba lihat ini. Beberapa hari ini saya telah menyelidiki tentang Hendri ini," ucap Tony lagi s
"Bagaimana dengan ini?" ucap Ducan, menyuruh anak buahnya untuk membawa seseorang ke hadapan mereka."Apa kau masih mementingkan bosmu itu?" Ducan menunjuk pada wanita yang agaknya berusia 25 tahun, yang tak lain adalah istri pria itu."Dasar bajingan kau, Ducan!" umpatnya meludah, dengan bibir yang masih berdarah. Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Ducan. Ia malah tersenyum licik dengan penuh kemenangan; orang yang selama ini berusaha membunuhnya telah kalah telak dan tak bisa melarikan diri lagi.Tapi itu bukan berarti ia akan terjamin keselamatannya. Selama musuh dari musuh ke musuhnya masih hidup dan mengganggu ketenangan keluarganya, ia akan tetap waspada dan tidak buta diri akan hal ini."Sekarang katakan, siapa orang yang menyuruhmu?" ucap Ducan dengan nada sedikit tidak sabar, melihat orang di depannya tampak ragu-ragu untuk menjawab."Cepat katakan, atau..." ancamnya sambil menyodorkan pistol ke kepala wanita yang sedang pingsan akibat bius yang Ducan berikan."Iya. Baik, b
"Mau ke kamar mandi," jawabnya berbicara dengan mulut yang tidak terlalu lebar, yang diangguki Ducan, percaya.Ducan kemudian memperhatikan Hanisa berjalan sampai memasuki kamar mandi, tampak perhatikannya.Hingga sampai di depan pintu kamar mandi, Hanisa pun dengan cepat menutup pintunya.Dan..."Aaaa...," teriak Hanisa, menutup mulutnya agar tidak terlalu sakit dan terdengar oleh Ducan. Dia melompat-lompat kecil tak percaya, kalau tadi ia baru saja membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Ducan, yang hampir saja ketahuan karena kecerobohannya."Bodoh! Bodoh kau, Hanisa. Kenapa kau bisa-bisanya membayangkan hal-hal yang seperti itu bersama dia? Kenapa?" gerutunya kesal."Apa tadi dia tahu kalau aku sedang memikirkannya?" serunya menatap diri dalam cermin. "Hufff... ini benar-benar membuatku gila. Apa yang harus kukatakan padanya? Dan... apa yang dia pikirkan tentangku saat ini?""Apa dia tahu? Tidak. Aku rasa dia tidak akan tahu apa yang aku pikirkan tadi," ucapnya meyakinkan diri,
"A... aku? Aku... aku tidak apa-apa," ucapnya terbata-bata, terlihat canggung melihat Ducan yang tadi jauh di sana kini sudah berada tepat di depannya. "Kau yakin?" ucap Ducan memperhatikan dengan pasti. "Umm," dehemnya, menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Ducan. "Ya sudah, kalau begitu. Ayo," ucap Ducan kemudian mengajak Hanisa menuju lift lantai kamar mereka. Hingga tak lama, kedua orang itu pun kini sampai di lantai kamar mereka. Sampai saat ini, Hanisa masih saja tak berkutik untuk mengeluarkan suaranya karena merasa canggung kepada pria yang dipeluknya, mengingat kejadian saat di gedung tadi. Ia kemudian hanya bisa keluar, menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun. "Hanisa," seru Ducan lagi hingga membuat Hanisa tersentak dari pikirannya. "Iya," jawabnya sambil menoleh pada Ducan yang membuatnya harus mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka, yang masih berada tepat di depan pintu lift itu. "Malam ini, aku ingin kau tidur di kamarku," serunya yang membuat Hanisa t
"Kau!" Bugh! Pria itu tersulut emosi, kemudian menampar wajah Hanisa hingga pipi wanita itu memerah. Bahkan, karena kerasnya pukulan itu, sapu tangan yang diikatkan ke mulutnya terlepas. "Jangan coba-coba memancing emosiku jika tidak ingin aku memukulmu lebih keras lagi." "Mengerti?" ucapnya lagi, memberikan peringatan. Namun Hanisa masih mengabaikannya, padahal kini sudut bibirnya terluka. Namun, diabaikannya karena rasa sakit yang dialaminya tidak sebanding dengan keinginannya untuk bebas dari sekapan pria itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!" teriaknya. "Sebenarnya, kau mau apa dariku?" tanya Hanisa, menuntut penjelasan. "Aku? Mau apa?" ucapnya. "Aku mau kau. Aku mau hidup dan matimu," ucapnya lagi dengan nada yang begitu menyeramkan menurut Hanisa. "Maksudmu?" tanyanya bingung dengan wajah ketakutan sebab pria itu kini menatap dirinya, seakan ingin melakukan sesuatu pada wanita itu. Kemudian, pria itu mengeluarkan benda tajam dari dalam pakaiannya dan mendekat. "Mau apa kau? Ha?"
"Kau?" ucap wanita itu ketika ia melihat seorang pria berdiri di hadapannya tertunduk dengan topi berwarna hitam. "Siapa?" ucap wanita itu lagi ketika ia melihat sesosok pria yang ia pikir Ducan ternyata bukanlah Ducan. Kemudian pria itu pun menegakkan kepalanya sehingga si wanita bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. "Sedang mencari siapa ya?" ucapnya lagi yang sedikit agak takut karena tampang pria yang di depannya agak sedikit mencurigakan. "Saya mencari kamu," ucap pria tak dikenal itu dengan nada sedikit berat dan menakutkan yang membuat si wanita agak sedikit takut, namun ia masih berusaha tenang. "Maaf, tapi sepertinya Anda salah orang," ucap wanita itu lagi, karena menurutnya selama ia di Prancis, ia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan pria manapun selain dengan Ducan dan sekretaris pria itu. Kemudian karena takut dan merasa orang ini ingin berbuat jahat padanya, wanita itu pun dengan cepat langsung ingin menutup pintunya. Namun gagal karena pria itu dengan cepa